10. Terus Berusaha
Hai gais, maaf ya lama lagi sibuk ngurus mudik 🤧
Semoga nggak lupa, kalau lupa baca ulang 😂
***
Dengan merenggangkan lehernya, Gevan mulai memasuki kantin rumah sakit. Matanya mengedar untuk mencari orang yang mungkin dia kenal. Setelah melihat Anton, dia mulai berjalan mendekat. Gevan menepuk bahu Anton sebentar dan duduk di kursi kosong.
"Udah selesai?" tanya Anton sambil menyantap makanannya.
Gevan hanya mengangguk dan mulai memilih menu makan siang yang akan ia makan. Sebetulnya dia tidak terlalu lapar, tapi ia harus tetap makan untuk kesehatan tubuhnya. Menu makan siang yang Gevan pilih kali ini adalah salad dan jus wortel.
"Tumben makan siang di sini? Biasanya dibawain bekal sama istri lo."
Anton menggeleng, "Viola nggak masak hari ini."
"Padahal seminggu kemarin rutin. Kenapa? Udah bosen?"
Anton menatap Gevan sinis. "Bilang aja lo iri! Dasar jomblo!"
"Ngapain iri? Bentar lagi gue juga nyusul."
Anton terbatuk mendengar itu, "Lo serius? Akhirnya usaha Tante Ajeng membuahkan hasil!" ucapnya bersemangat. "Jadi sama yang mana? Putri? Yasmine? Caca? Atau Sandr-"
"Olin," jawab Gevan cepat.
"Olin?" Dahi Anton berkerut, "Siapa Olin? Perasaan Tante Ajeng nggak pernah kenalin lo sama yang namanya Olin."
"Gue cari sendiri."
Anton kembali terkejut, "Seorang Gevan? Cari cewek sendiri? Gila!"
"Tapi ada sedikit masalah, Ton." Gevan mulai serius.
"Apa?"
"Olin nggak mau nikah sama gue."
Sebuah pukulan mendarat di kepala Gevan. "Gue pikir lo beneran mau nikah sama Olin."
"Kalo gue beneran."
"Ya, maksud lo apa? Kalau beneran kenapa dia nggak mau nikah sama lo?"
"Well, gue nikahin Olin cuma biar Mama seneng dan berhenti jodoh-jodohin gue."
"Gila lo! Anak orang mau lo ajak main-main. Nikah itu bukan mainan, Van."
"Gue tau." Gevan menghela napas kasar, "Gue tau kalau pernikahan itu bukan mainan, makanya gue pilih Olin buat jadi istri gue."
Anton menggelengkan kepalanya tidak percaya. Dia masih tidak mengerti dengan jalan atau isi pikiran Gevan saat ini. Apa sahabatnya itu sudah gila karena selalu dipaksa menikah? Atau yang lebih gilanya lagi Olin hanyalah khayalan Gevan belaka?
"Sekarang gue mau minta saran sama lo." Gevan menarik kursinya mendekat. "Gimana caranya biar Olin mau nikah sama gue?"
"Wah, kacau lo, Van. Udah gue bilang pernikahan itu bukan main-main. Kalau dia nggak suka sama lo-"
"Gue bisa buat dia suka sama gue seiring berjalannya waktu."
"Tetep batu." Anton mengangkat tangannya pasrah.
"Olin beda, Ton. Mama udah terlanjur suka sama dia. Olin juga lucu, cewek baik-baik, polos lagi." Gevan terkekeh mendengar kata terakhirnya. Dia kembali mengingat kepolosan Olin yang cukup menggelikan.
"Lo suka sama dia?"
"Tertarik."
"Gimana pernikahan bisa jalan kalau nggak ada perasaan di antara kalian?"
Gevan mengangkat bahunya pelan, "Komitmen?"
"Cuma itu?"
"Ya, gue tau nikah itu bukan main-main. Makanya gue pilih Olin karena dia yang cocok jadi istri gue."
"Biar bisa lo boongin?" Anton mendengkus.
Gevan menggeleng, "Gue tobat beneran kalau Olin mau nikah sama gue. Serius. Gue bakal terus jaga komitmen gue sama dia."
"Terserah lah. Lo yang kawin kok gue yang pusing."
"Terus gimana?"
"Gimana apanya?"
"Caranya biar Olin mau nikah sama gue."
Anton berdeham pelan dan berbisik, "Hamilin."
"Boleh?" tanya Gevan ikut berisik.
"Bego!" Satu pukulan kembalj mendarat di kepala Gevan.
Anton hanya bisa menggeleng pelan. Menjadi sahabat Gevan sejak masuk kuliah membuatnya sangat paham dengan sifat pria itu. Gevan memang sulit untuk membangun sebuah hubungan dengan wanita. Bukan karena tidak bisa, tapi dia terlalu malas. Dia lebih suka memanfaatkan waktunya untuk hal yang lebih penting. Bekerja dan belajar salah satu contohnya. Sifat itu yang membuat Gevan masih betah sendiri hingga saat ini. Namun sepertinya dia akan keluar dari zona nyaman kali ini. Pria itu mulai memikirkan komitmen akan pernikahan.
***
Olin mengulum permennya sambil mengelus kepala Ayang, kucing liar yang selalu mangkal di belakang bangunan kafe. Dia baru saja membuang sampah, tapi dia memutuskan untuk duduk sebentar sambil menikmati permen lolipop-nya. Hanya dengan makanan favoritnya itu dia bisa tenang dan bisa kembali berpikir dengan jernih.
Apa yang terjadi semalam cukup membuat Olin merasa tidak tenang. Tidurnya terganggu karena selalu teringat dengan ucapan Gevan. Tanpa hujan dan petir pria itu berubah aneh dalam semalam. Sepertinya Gevan sudah tidak memiliki cara lain untuk bebas dari permintaan ibunya. Begitu juga dengan Tante Ajeng, dia juga sama frustrasinya ingin melihat anaknya segera menikah.
"Gue harus gimana, Yang? Masa seharian harus matiin HP biar Om Gevan berhenti telepon?"
"Om Gevan ganteng sih, banyak duit juga, tapi dia suka main cewek. Gimana dong?"
"Sialan!" Suara pintu belakang yang terbuka keras mengejutkan Olin.
Dia berbalik dan menatap tajam pada Fika yang terlihat kesal. Wanita itu terlihat ingin berteriak tetapi memilih untuk meredamnya.
"Lo kenapa, Pik? Kesurupan?"
"Mas Tama sialan!"
Olin mendengkus mendengar itu. Dia kembali menatap Ayang dan mengelus kepalanya sayang.
"Lo juga!" Tiba-tiba Fika mendorong kepala Olin dari belakang.
"Apaan sih lo?"
"Lo tau? Hampir aja gue sampe puncak tapi tiba-tiba Om Gevan telepon Mas Tama nyariin lo. Sialan!" umpat Fika lagi.
"Om Gevan?" Olin berdiri dengan terkejut. Dia bahkan lebih terkejut saat mendengar nama Gevan dari pada kisah intim Fika dan Tama.
"Kalian sebenernya ada apa sih?"
"Om Gevan ngajak nikah," gumam Olin kembali berjongkok dengan lesu.
"Apa?!"
"Gue harus gimana, Pik?"
"Om Gevan ngapain lo?" Fika menarik bahu Olin dan menatapnya tajam.
"Yeee, lo pikir gue itu lo? Gue nggak diapa-apain kok."
"Lo harus hati-hati, Lin. Gue dapet sinyal buaya waktu Om Gevan ada di sekitar kita."
"Dia bayarin semua hutang gue. Sebagai gantinya dia minta gue nikah sama dia."
Fika terkejut mendengar itu, "Apa untungnya buat dia?"
"Dia dipaksa nikah sama ibunya"
"Iya juga, udah tua kan ya?"
"Gue harus gimana, Pik? Om Gevan nggak berhenti ganggu gue, bahkan juga sampe spam Mas Tama. Gue jadi nggak enak."
"Pilihan lo cuma dua." Fika mengangkat jari telunjuk dan tengahnya.
"Apa?"
"Yang pertama lo balikin uangnya."
"Yang kedua?"
"Lo nikah sama dia."
"Gila!" Olin menggeleng saat mendengar opsi kedua itu.
"Kalau gitu lo harus bisa bujuk Om Gevan biar kasih keringana buat lo balikin duitnya."
Olin menghela napas kasar, "Itu yang gue takutin. Gue takut Om Gevan ngelakuin segala cara biar gue nggak bisa balikin duitnya."
"Turut berduka cita ya." Fila menepuk pelan kepala Olin.
Pintu belakang kembali terbuka, mengejutkan Olin dan Fika. Di sana Tama muncul dan menatap mereka datar. Namun kali ini Fika tampak mengalihkan pandangannya. Mungkin masih kesal.
"Kalian berdua ngapain di sini?"
"Cari angin bentar, Mas. Biar hati adem," jawab Fika penuh maksud.
"Kerja lagi sana." Perintah Tama, "Dan kamu Olin, ke ruangan saya sebentar."
"Ada apa, Mas?" Olin mulai merasa tidak enak.
"Sepupu saya mau ketemu."
Mampus! Pura-pura kesurupan bisa nggak sih?
***
TBC
Masih nggak tau dukung Olin atau Om Gevan 🤧😭
Btw ini Tante Ajeng waktu liat anaknya:
Follow ig viallynn.story
Jangan lupa vote dan commentnya ya 😘
Viallynn
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top