° Keputusan Terakhir °
Laksa tak melepaskan genggaman Mada. Ia merasa, ada hal buruk di luar sana yang akan memisahkan mereka. Ia tahu harusnya tidak berpikir seperti itu, mengingat yang berjalan mendekat adalah orang tuanya sendiri. Akan tetapi, degup jantungnya tak bisa berbohong. Terbiasa terluka dan sakit membuatnya lebih peka dari siapa pun. Katakanlah sombong, Laksa tidak peduli. Ia hanya ingin ayahnya berhenti di ambang pintu dan tidak ikut masuk.
Sayang, hal itu tentu tidak terjadi.
"Laksa …."
Ibu menarik kursi di sisi kiri Laksa dan duduk perlahan, sedangkan ayah memilih berdiri di belakangnya. Mada yang merasa tangan Laksa makin panas, berkeringat dan gemetaran sontak ikut panik dan menelan ludah. Ia tak tahu harus berbuat apa karena jujur, tampang ibu dan ayahnya telah mengatakan semuanya.
"Laksa sakit lagi, ya, Bu?"
Lelaki pucat yang masih lemas itu bertanya lebih dulu. Pertanyaan bodoh, memang, toh ia sudah mengira hal ini akan terjadi, cepat atau lambat. Namun, Laksa tetap ingin mendengarnya langsung dari mulut ibunya.
"Setelah ini kamu harus berobat, ya."
Mada menghela napas. Sebuah kekhawatiran tak selamanya hanya berhenti di kata 'bisa jadi'. Nyatanya, mereka detik ini benar-benar dihadapkan dengan situasi yang paling ingin dihindari. Laksa juga merasa deja vu, rasanya baru kemarin ia dinyatakan remisi dan sekarang harus kembali bergulat dengan hal yang sama lagi. Sel-sel kanker itu seolah rindu berat dan tidak mau jauh-jauh darinya.
"Laksa nanti ikut Ayah, ya. Ayah yang bakal membiayai pengobatan kamu. Ibu dan Ayah sudah membicarakan hal ini dan ini pilihan yang terbaik."
Bukan Laksa, melainkan Mada yang terlihat mendidih hingga membelalakkan mata. "Maksudnya apa, Bu? Kalau mau ngambil keputusan kayak gini, libatkan kami juga. Mada dan Laksa udah gede. Bisa mikir, bisa diajak diskusi, bisa mempertimbangkan, dan bisa memilih."
"Mada! Perhatikan nada bicaramu ke Ibu," tegur sang ayah.
Meski kesal, Mada tetap menyadari kesalahannya. "Maaf, Bu."
Ibu menggeleng kecil dan menunduk, merasa gagal dan kalah dewasa. "Mada tau sendiri kondisi keuangan kita kayak gimana. Ibu mau yang terbaik buat Laksa. Kamu juga, kan?"
"Terus kenapa Ayah mau bawa Laksa? Emang Ayah nggak mau ngebiayain Laksa kalau dia masih tinggal sama Ibu?"
"Mada, jangan marah-marah gini--"
"Mada nggak marah!" Sungguh bertolakbelakang dengan ucapannya. "Cuma nanya, poin Mada nggak salah, kan?"
Laksa masih menyimak. Ia menggigit bibir, mencengkeram selimut yang menghalau udara dingin dari AC. Sayang, nyatanya hawa sejuk yang mengisi ruangan itu seketika sirna, berganti sesak dan panas yang menjalar di seluruh tubuh. Ia masih menggenggam tangan Mada yang tak sedikit pun melepasnya. Mereka saling menguatkan, takut angin yang menerpa kian kencang dan menjauhkan keduanya.
"Ibu nggak bisa egois. Ayah sudah mau membiayai pengobatan Laksa, jadi Ibu rasa nggak masalah kalau Laksa ikut Ayah. Kamu mau, kan, Nak?"
Karena diam, Mada mewakili suara saudara kembarnya. "Ayah maunya apa, sih? Dulu pengin bawa Mada buat dijadiin aset klub, sekarang pakai alasan penyakit Laksa buat bawa dia. Kami bukan barang, Yah."
"Mada! Rendah sekali jalan pikiranmu!"
"Terus Mada kudu mikir gimana kalau kenyataannya begitu? Kenapa Ayah nggak biarin Laksa tinggal sama Ibu dan Mada?"
Ayah mendekat dan menatap Mada tajam. "Itu demi kebaikan Laksa. Ayah mau dia tetap di sisi Ayah, biar kalau ada apa-apa bisa segera ditangani. Jadi Ibu nggak perlu repot-repot menghubungi Ayah. Kamu paham?"
"Sudah, nggak perlu diteruskan."
Laksa menengahi. Ia mendongak, menatap kedua orang tua dan saudaranya bergantian. Matanya tampak merah, berkaca-kaca menahan laju air mata yang sejak tadi ingin turun. Namun, sekuat tenaga ditahan karena belum waktunya.
"Ayah dan Ibu bisa keluar dulu? Laksa mau ngobrol sama Mada aja."
"Tapi Nak--"
"Laksa mohon, nggak lama, kok," pintanya lirih dan bergetar. "Ayah bisa langsung pulang."
"Iya, kamu jaga kesehatan. Ayah bakal jemput kamu kalau dokter udah ngebolehin pulang."
Kening Mada berkerut, tidak habis pikir dengan omongan ayahnya. Bagaimana bisa kalimat itu lancar diucapkan tanpa perizinan? Ia makin geleng-geleng saat ibunya mengusap lengan Laksa, lalu keluar ruangan. Hanya itu? Tidak ada permohonan maaf? Ah, yang benar saja. Mada berseru dan menjambak rambut.
"Dugaan kita lumayan meleset, ya, Da. Gue kira Ayah bakal bawa lo."
"Mau meleset atau nggak, intinya tetep sama. Lo gimana?"
Laksa mendengkus. Ia kembali menunduk. Tubuhnya makin terasa ringan hingga mati rasa. Perutnya masih terasa mual. Gemuruh di dalamnya terasa menjadi-jadi saat mendengar perdebatan ayahnya dengan Mada. Ia tidak suka mendengarnya, terlebih kalau ia-lah akar dari masalah tersebut.
"Sa, gue nanya lo, nih."
"Kudu gimana, sih, Da?"
"Hah?"
Air mata Laksa mulai menetes. "Gue belum dikasih kesempatan buat meratapi kambuhnya kanker sialan ini, terus gue dikasih pilihan buat pisah sama lo dan Ibu? Kok keroyokan? Nggak bisa gitu datangnya antre dulu? Gue butuh napas. Ngebayangin kemo lagi aja belum nyampek, kenapa kudu ngerasain jauh dari lo juga? Kenapa, sih? Baru kemarin, njir, gue ngerasa bebas. Rambut gue juga baru numbuh, Da!"
Mada mendekat, naik ke kasur dan duduk bersila di sebelah Laksa. Ia menyesuaikan diri dan membiarkan saudaranya itu bersandar di bahunya. Suasana kamar VIP tersebut masih hening. Hanya isakan Laksa yang terdengar, sedangkan Mada menutup mulut rapat-rapat dan sesekali mendongak, menghalau lara yang hendak jatuh.
"Ayah dan Ibu pasti punya alasan sendiri. Kita mungkin nggak akan pernah paham itu."
"Seenggaknya mereka bisa mikirin perasaan kita dulu sebelum ngebacot gitu."
"Sa, omongannya."
"Gue mohon kali ini aja biarin gue ngumpat ke mereka. Capek, Da."
"Oke."
Mada menepuk-nepuk lengan Laksa. Ia sebenarnya tidak nyaman dengan hawa panas dari leher lelaki itu, tetapi sebisa mungkin ditahan karena ia tahu sandaran terbaik Laksa adalah dirinya.
"Menurut lo gimana?"
"Hem?"
Laksa kembali bertanya, "Menurut lo gue harus ngeiyain tawaran Ayah atau gimana?"
"Kalau berdasarkan logika, gue mau lo ikut Ayah karena gaji Ibu nggak cukup buat biaya pengobatan lo. Tapi kalau berdasarkan perasaan, gue mau lo ikut Ibu dan gue bakal kerja paruh waktu nanti."
"Bayaran lo cuma bisa nebus obat gue, Da."
"Satu pekerjaan mungkin iya. Gue bisa kerja lebih dari itu."
"Dan menurut lo gue ngizinin?"
"Enggak."
"Itu tau."
Mada mengembuskan napas panjang. "Jadi, dari awal kita emang nggak punya pilihan, ya, Sa?"
"Keliatannya begitu."
"Padahal kita udah segede bagong gini, masih diatur-atur seenaknya aja."
Laksa mengusap tangisnya, lalu duduk tegap. Ia menatap Mada yang memosisikan diri menghadapnya. Mereka saling tatap cukup lama, sebelum akhirnya Laksa meraih tangan kanan Mada dan menggenggamnya.
"Gue nggak peduli ikut Ayah atau Ibu, yang penting sama lo. Kalau lo pengin gue ikut Ayah, lo mau ikut juga nggak, Da?"
"Terus ninggalin Ibu sendirian? Nggak dulu, deh, Sa. Lo tau sendiri dia kalau Minggu riweh jualannya gimana."
"Ya udah, gue ikut Ibu aja."
"Pengobatan lo?"
"Pakai BPJS."
"Emang bisa?" Mada mengerutkan kening.
"Nggak tau."
"Yee, dodol!"
Laksa sedikit tertawa. Biasanya, Mada yang ngelawak. Ternyata ia juga bisa melakukannya.
"Gue ngantuk, Da."
"Ya udah, tidur, gih."
Mada hendak turun. Namun, Laksa lekas menahan tangannya. "Lo di sini aja."
"Okelah."
Laksa menggeser tubuhnya agar Mada punya tempat yang cukup. Keduanya berbaring dan saling berhadapan. Laksa terlebih dulu memejamkan mata, sedangkan Mada masih repot membenahi selimut dan memastikan infus saudaranya tidak terganggu. Setelahnya, ia berusaha terlelap dan mengikuti jejak Laksa.
"Gue akan selalu di sisi lo, Sa, meski di mimpi sekalipun."
🍃🍃🍃
TAMAT
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top