Tujuh
Saat Leo sudah berangkat kerja, Angela hanya bisa bersantai manja. Merecokkan isi rumah, menjadikan rumah itu seperti kapal pecah. Gadis itu menghabiskan banyak snack dan seperti biasa, semua bungkus makanan tersebut berserakan di mana-mana. Ini sudah layak disebut kapal pecah. Tiba-tiba terdengar bunyi bell. Sontak gadis itu langsung mengernyit. Diliriknya jam dinding ternyata menunjukkan pukul sebelas siang. Ia merasa heran, mungkinkah Leo pulang jam segini? Jika bukan, lalu siapa? Tak mungkin kurir online shop karena Angela merasa tak memesan apa pun. Atau mungkin Leo yang memesan sesuatu? Bagaimana jika bukan, apa itu tamu Leo. Angela terus menduga-duga. Haruskah ia membukannya lalu menyuruhnya masuk dalam keadaan yang berantakan.
Akhirnya dari pada menduga-duga lebih baik ia membukanya dan menanyakan maksud kedatangan siapa pun di sana. Bagi Angela, tak ada yang perlu dikhawatirkan karena prinsipnya itu semua akan baik-baik saja. Tak peduli bagaimanapun caranya yang jelas Angela adalah ratu di rumah ini. Akhirnya ia beranjak dari sofa, sesekali mengisap tangannya karena masih ada sisa-sisa keju dari makanan ringan yang ia makan.
Kini, Angela melangkah ke dekat pintu dan perlahan membukanya, rupanya seorang lelaki yang datang. Sepertinya teman atau rekan kerja Leo. Lelaki itu memperhatikan detail Angela dari ujung kepala hingga kaki.
"Siapa?" tanya Angela to the point padahal etikanya seharusnya ia menyapa atau mempersilakan masuk terlebih dahulu.
"Leo ada?" tanya lelaki itu ramah.
"Leo? Hey, ini jam berapa? Ini adalah jam kerja, seharusnya kamu temui dia di kantor. Kenapa malah ke sini?"
Lelaki itu heran, siapa gadis ini? Dan kenapa sensitif sekali, bukankah dirinya bertanya baik-baik? Malah dijawab dengan songong seperti itu.
"Hm, kalau boleh tahu kamu ini siapa, ya? Setahuku Leo belum menikah, kenapa bisa ada wanita di sini? Apa kamu pembantunya?"
Jelas saja Angela sangat kesal seolah ingin mendamprat lelaki asing itu. Malas sekali kedatangan orang asing hanya mengganggu aktivitas manjanya saja, alih-alih mempersilakan masuk, Angela malah berharap lelaki itu segera pulang.
"Kamu penasaran ingin tahu siapa aku?" tanya Angela. Lelaki itu pun mengangguk.
"Yakin kamu ingin tahu?" tanya Angela lagi. Kali ini ia berbisik dan sedikit menggoda hingga membuat lelaki itu keheranan dan tak menyangka kalau gadis di hadapannya bisa bersikap seperti itu.
"Ya, kamu siapa?" Lelaki itu mulai salah tingkah akibat sikap Angela yang sedikit mendekati tubuhnya.
"Perkenalkan, aku Angela. Kekasih Leo, mungkin bisa dibilang calon istrinya," ucapnya sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman. Lelaki itu terkejut, namun kemudian langsung membalas jabat tangan Angela.
"Aku, aku ... Tristan," ucapnya sedikit gugup karena Angela sedikit mencengkeram tangannya bahkan tak mau melepaskan jabat tangan itu seakan bermaksud menggoda. Beberapa detik tangan mereka saling bertaut sampai pada akhirnya Angela bersedia melepaskan tangan Tristan. Lelaki itu tak menyangka terhadap sikap Angela.
"Kenapa diam saja? Apa kamu tak berencana pulang? Leo tak ada, datang saja ke kantornya."
"Ah iya, maaf. Oh ya, sebelum pulang aku boleh bertanya?"
Dengan ketus Angela bertanya, "Tanya apa?"
"Apa kamu tinggal di sini?" Meski awalnya ragu, namun Tristan memberanikan diri bertanya seperti itu. Ia sadar betul bahwa Angela sedikit garang dari sikapnya tadi.
Angela kemudian mendekatkan bibirnya pada telinga Tristan.
"Kamu rupanya penasaran padaku, ya?" bisik Angela pelan dan terkesan manja lalu direspon anggukan oleh lelaki itu.
"Kamu ini sungguh KEPO!" ucap Angela dengan teriakan kerasnya pada kata terakhir sehingga refleks Tristan menjauh.
Sikap Angela membuat lelaki itu tak betah berlama-lama di sana, sungguh bagi Tristan Angela adalah gadis gila. Mimpi apa ia semalam sampai berjumpa dengan gadis aneh semacam Angela. Tristan sudah tak sanggup lagi untuk lama-lama di sana, ia kemudian pamit.
Sementara Angela kini menutup pintunya sedikit keras. "Dasar, tamu aneh. Mengganggu waktu manjaku saja," ucap Angela.
***
Leo kini berada dalam sebuah ruangan yang didominasi oleh warna putih. Ruangan yang cukup luas dalam ukuran sebuah kantor. Tiba-tiba bunyi telepon menghentikan aktivitasnya di meja kerja. Tanpa ragu, ia mengangkatnya dengan tangan kiri.
"Ya?" jawab Leo.
"Ada yang memaksa berjumpa dengan Bapak, padahal saya sudah mengatakan kalau Bapak sedang sangat sibuk."
"Siapa?"
"Dia tak mau menyebutkan nama, tapi dia meminta saya mengatakan Angela pada Bapak."
Leo tersentak, bagaimana mungkin Angela tahu kantor ini? Rasanya mustahil sekali.
"Suruh masuk!" perintah Leo lalu menutup sambungan telepon internalnya. Leo berpikir kemungkinan-kemungkinan terburuk jika gadis itu benar-benar ada di sini. Beberapa saat kemudian ada yang mengetuk pintu, Leo pun mempersilakannya masuk dan betapa terkejutnya Leo saat melihat bukan Angela yang datang. Tapi ada yang membuatnya merasa janggal, dari mana Tristan tahu nama Angela?
"Kamu ini sok sibuk, Leo!" ucap Tristan saat duduk meski pun Leo belum mempersilakan lelaki itu duduk.
"Kenapa datang mendadak? Kapan balik ke Indonesia?" tanya Leo kemudian, lelaki itu berpikir mungkinkah Tristan datang ke rumahnya terlebih dahulu dan bertemu dengan Angela.
"Tadi sore, sih. Oh ya, kenapa tidak pernah bercerita kalau mau menikah?"
Leo tercekat. "Menikah? Siapa yang bilang? Ya Tuhan, itu gosip dari mana lagi?"
"Angela yang bilang, tadi aku sempat ke rumah dan katanya dia itu calon istrimu. Keren, keren." Tristan kemudian tertawa.
Benar saja dugaan Leo, pasti Tristan sempat ke rumahnya. Leo pun ikut tertawa merespons tawa Tristan. Meski terkesan dipaksakan.
"Tapi, tunggu." Kini mereka berhenti tertawa. Leo fokus mendengarkan apa yang akan sahabatnya ucapkan selanjutnya.
"Calon istrimu alias Angela itu, sedikit aneh, ya? Tapi please jangan marah, sebagai sahabat kan pahit manis harus jujur. Dan itu kesan yang aku rasakan saat bertemu dengan gadis itu. Aku rasa Angela sedikit ... gila," ucap Tristan. Ia sebenarnya tak ingin mengatakan kalimat terakhir itu namun faktanya kalimat itu lolos begitu saja.
"129 atau 130, ya? Apa 131? Waktu itu Angela terakhir bilang berapa, ya?" ucap Leo pelan yang tanpa ia sadari kalau sahabatnya itu tengah mendengarkan.
"Maksudnya?" Tristan bingung.
Leo mengutuk dirinya sendiri yang malah tertular virus gila Angela. Ia malah mem-forward ucapan Angela saat menyebut gadis itu gila.
"Leo?"
Leo yang melamun langsung terperanjat. Jangan sampai Tristan tahu kebodohannya di hadapan gadis itu.
"Maaf, aku tidak bermaksud menghakimi seleramu. Kamu tak perlu merespons ucapanku yang tadi. Walau bagaimanapun Angela calon istrimu. Tidak sepantasnya aku berkata seperti tadi. Tapi dia memang kekasihmu, 'kan?"
Bahkan Leo tak pernah menyatakan ingin menjadi kekasih Angela. Angela yang ngotot kalau Leo sudah resmi menjadi kekasihnya.
"Leo?" Tristan memanggil Leo lagi. Leo mengutuk dirinya sendiri yang malah selalu melamun di hadapan Tristan.
"Oh maaf Tristan, aku sangat sibuk jadi tidak bisa berkonsentrasi. Baiklah, tentu kedatanganmu ke sini bukan tanpa tujuan, kamu tidak mungkin ke sini hanya membahas Angela, 'kan? Ayo katakan ada apa?"
Tristan tertawa ringan. "Tentu saja aku sangat merindukan sahabatku dan yang kedua, aku ingin kamu hadir di acara pernikahanku."
"Tunggu, apa kamu gila? Kamu tiba-tiba menikah? Dengan siapa? Bahkan kamu baru pulang ke Indonesia." Leo terheran-heran.
"Semua pertanyaan itu akan terjawab jika kamu hadir pada pernikahanku nanti. Oh ya, ajak juga Angela, ya."
"Sumpah demi apa pun aku tidak percaya kamu menikah."
"Hadir dan buktikan. Ini aku beri waktu dan tempat acara. Kamu wajib datang." Tristan memberi jeda sejenak pada ucapannya. "Baiklah sepertinya Mr. Leo sedang sibuk. Aku pamit ya, selamat bekerja kembali. Kamu harus semangat karena saat pulang nanti ada yang menyambutmu di rumah," ucap Tristan kemudian pergi meninggalkan Leo.
Leo langsung mencari ponselnya kemudian menghubungi Angela melalui nomor rumahnya.
"Hallo, Angela. Apa tadi ada yang ke rumah?" tanya Leo cepat saat gadis itu mengangkat teleponnya. Namun tak ada respons dan jawaban. Angela hanya diam meski sebenarnya ia mendengar apa yang Leo katakan.
"Angela?"
Gadis itu masih diam seribu bahasa.
"Apa kamu mendengarku, Angela?" tanya Leo lagi.
"Ya, aku mendengarmu." Akhirnya gadis itu mulai bersuara.
"Syukurlah kamu mendengar, oh ya, tadi ada sahabatku ke sana, ya? Namanya Tristan, dia mengatakan apa saja? Berapa lama lelaki itu di sana?"
Leo menunggu Angela menjawab, tapi tak ada jawaban seperti tadi. Padahal sebenarnya Angela mendengar. Leo memastikan apakah telepon masih tersambung dan faktanya memang sambungan telepon masih terhubung. Lalu kenapa gadis itu diam saja?
"Angela kenapa kamu diam saja? Kamu mendengarku, 'kan?"
"Ya, aku mendengar," jawab gadis itu yang sontak membuat Leo makin penasaran kenapa Angela bisa seperti itu.
"Kenapa tadi diam saja?"
"Untuk apa aku menjawab pertanyaanmu? Rasanya kamu tidak sopan dan tak tahu etika, seharusnya menyapa terlebih dahulu. Kamu ini aneh sekali, meneleponku langsung membombardir dengan banyak pertanyaan. Jadi meski aku mendengar, rasanya tak ada manfaat menjawab pertanyaan orang yang tidak sopan."
Leo mulai merasa kesal, namun sebisa mungkin harus menahan itu semua.
"Lalu aku harus bagaimana, Angela?"
"Matikan teleponnya, lalu telepon lagi. Saat aku mengangkat kamu harus sopan, menyapa terlebih dahulu, jangan langsung membombardir karena aku tak mungkin sudi menjawabnya. Setelah menyapa, baru silakan ulangi semua pertanyaan tadi. Jadi, apa kamu mengerti?"
"Baiklah, aku ulangi semuanya, ya. Maafkan aku," ucap Leo. Kemudian sambungan telepon terputus.
Dalam hati Leo, rasa kesal memang sudah lama bersarang saat menghadapi Angela namun sebisa mungkin ia tetap bersabar. Lelaki itu kini bersiap menelepon Angela kembali. Padahal sesungguhnya Leo ingin sekali menggigit atau menelan ponselnya sekarang juga akibat terlalu kesal pada sikap makhluk gila semacam Angela.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top