Part 32
Happy Reading ^_^
Sudah satu Minggu berlalu sejak Adrian memutuskan untuk menata pikirannya kembali, selama ini aku seperti tak bersemangat lagi melaksanakan rutinitasku. Zahra, dia merasa aneh dengan sikapku akhir-akhir ini. Tapi sampai saat ini pun aku belum bercerita kepada siapapun tentang hal ini.
Sesekali aku memandangi ponsel berharap ada notifikasi dari Adrian, tapi hasilnya nihil. Karena dosen belum datang aku pun membuka instagram berharap ada sedikit harapan kabar tentang Adrian. Benar dugaanku, sekitar 10menit yang lalu Adrian baru saja meng-upload sebuah foto.
@adrianfavian
Semangat belajar untuk olimpiadenya:)
Kangen kamu sama Ibu:(
Love you dear @dini_andini14
Hatiku mencelos melihat kata-katanya, harusnya kan aku yang menjadi penyemangatnya ketika dia lelah, seharusnya dia memberikan semangat padaku juga untuk aku belajar. Memang Dini itu adiknya, tapi bukan berarti ia harus membuat caption seperti itu disaat hubungan kami tidak baik-baik saja. Atau mungkin dia ingin menunjukkan pada dunia bahwa aku benar-benar bukan prioritasnya? Iya Ibunya Adrian memang memutuskan untuk menetap di Yogya karena kasihan katanya Eyang sendiri dan Andini pun ikut pindah kesana.
Semua pemikiran negatif itu terhenti ketika dosen memasuki kelas.
****
@shaquellanaraya
Aku rindu menjadi seseorang yang menjadi prioritas, ah bahkan Mommy @syaqiraballa dan Daddy @danekhana.balla tidak memprioritaskan aku lagi sejak ada @fabiankhairy.balla :(
"Wow caption-nya mantap." ujar seseorang dibelakangku mengagetkanku.
Aku pun menengok dan ternyata itu kak Doni, saat ini aku tengah berada di taman belakang kampus.
"Ih kak Doni ngeselin, ngapain coba ngintip-ngintip." cibirku.
"Tanpa aku ngintip pun akan ketahuan kok. Kan dengan meng-uploadnya kamu mengumumkan pada semua orang bahwa sekarang kamu lagi kurang perhatian." ujar kak Doni dan ia pun duduk di sebelahku.
"Btw aku siap kok jadiin kamu prioritas aku." lanjut kak Doni
"Apaan sih kak Doni ini ngomong seenaknya aja." elakku mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Emangnnya selama ini perhatian aku ke kamu, kamu gak ngeh nya maksudnya apa?" tanya kak Doni.
"Ngerti lah, aku kan emang orangnya baik hati dan tidak sombong jadi semua orang pun perhatian padaku." jawabku setengah bercanda.
"Ahhh... Sulit ngomong sama anak kecil." ujar kak Doni sambil memandang ke langit.
"Siapa yang anak kecil? Inget ya kak aku udah jadi MAHASISWA dan bukan anak kecil." tekanku.
"Emang ada anak kecil yang ngaku jadi anak kecil?" kak Doni malah meledekku.
"Tahu ah, kak Doni ribet." ujarku pura-pura marah.
"Salah satu sifat anak-anak adalah mudah marah dan merajuk." ucap kak Doni sambil tersenyum geli.
"Salah satu sifat orang yang belum dewasa adalah mudah menyimpulkan sendiri apa yang dilihatnya tanpa melihat akan permasalahnya langsung." balasku dan tersenyum penuh kemenangan.
"Salah satu sifat anak-anak adalah selalu ingin menang sendiri." kak Doni membalas ucapanku lagi.
"Ihh gak akan kelar deh ngomong sama kakak." ujarku sebal.
"Kamu kok ingin banget sih udahan bicara sama aku?" tanya kak Doni.
"Abisnya tiap bicara sama kakak selalu aja aku yang kalah bicara." jawabku.
"Kan emang itu keahlianku." jawab kak Doni sambil tersenyum bangga.
"Sombong." desisku.
Setelah itu mengalirlah banyak pembicaraan diantara kami dan diselingi tawa. Selalu aja ada hal-hal lucu tiap kali kami mengobrol. Kalau dibandingkan dengan kak Adrian itu seperti ini, kak Adrian bisa membekukan suasana dan kak Doni bisa mencairkan suasana.
Aku melirik arloji dan ternyata sudah pukul 16.45 ya ampun berarti kurang lebih aku ngobrol dengan kak Doni itu 45menit?
"Kak udah sore aku pulang ya." pamitku.
"Kamu bawa mobil?" tanya kak Doni.
"Bawa dong." jawabku.
"Yaudah kalau gitu kita bareng ke parkiran." ucap kak Doni sambil berdiri, aku pun hanya mengangguk dan mengikuti langkahnya.
Mataku terpaku pada sosok diujung sana. Pria dengan jas dan dasi yang sudah berantakan memandangku dengan tatapan yang sulit untuk ku artikan. Menyadari ada yang salah denganku kak Doni menghentikan jalannya.
"Kenapa Sha?" tanya kak Doni.
Aku tidak menjawab dan mataku terus menatap ke arah sana.
"Kamu baik-baik aja?" tanya kak Doni lagi.
"Kak. Bisa kakak duluan aja?" pintaku.
Sepertinya kak Doni mengerti dengan keadaanku karena ia pun berlalu meninggalkan ku. Dengan ragu kulangkahkan kaki mendekat ke kak Adrian. Ya pria diujung sana adalah kak Adrian.
"Sejak kapan disini kak?" tanyaku. Entah kenapa atmosfer disekitar sini berubah menjadi canggung.
"Niatnya saya kesini hendak menyelesaikan semua kesalahpahaman tempo hari. Tapi sepertinya saya datang bukan disaat yang tepat." ujar kak Adrian.
"Saya sepertinya mengganggu kebahagian kamu." sindir kak Adrian.
Aku hanya bisa menelan salivaku karena tidak tahu harus bicara apa.
"Caption sama keadaan sebenarnya suka beda. Ya seharusnya memang kita gak usah terpengaruh sama kata-kata seseorang. Di caption kamu seperti sedih tapi di dunia nyata kamu bahagia." lanjut kak Adrian masih dengan aksi nyindirnya.
"Bisa gak sih Nay kamu tidak usah bawa-bawa masalah kita ke social media? Kecuali kalau kamu mengharapkan ada seseorang yang bersedia menjadi sandaran kamu disaat kita lagi dalam masalah kaya gini." lanjutnya.
Merasa tidak terima dengan perkataannya aku pun angkat bicara.
"Masalah postingan aku tadi itu gak ada maksud cari perhatian kak. Lagi pula kakak lihat kan tadi aku ngetag Mommy, Daddy, dan Bian?"
"Iya dan itu semakin mempertegas ke orang tua kamu bahwa kita sedang ada dalam masalah." jawab kak Adrian.
"Lalu kakak sendiri gak nyadar diri gitu? Posting yang seolah-olah aku tuh gak berarti apa-apa buat kakak." balasku.
"Ya Allah Naraya, kamu gak baca aku hanya kasih semangat ke Dini yang akan Olimpiade." ucap kak Adrian sambil mengusap wajahnya kasar.
Biasanya aku akan menagis, tapi kali ini entahlah air mata sepertinya sudah kering sejak seminggu ini.
"Tapi pada kenyatannya kakak emang gak pernah jadikan aku prioritaskan?" tanyaku sarkas.
"Iya." jawabnya singkat.
Aku yang hendak berbicara tidak jadi ketika dia melanjutkan bicaranya.
"Bahkan sejak awal hubungan kita aku sudah menegaskannya kan Nay?"
"Tapi kak, aku pikir dengan berjalannya waktu kakak bisa mengubah semuanya." ujarku.
"Naraya dengar, tidak semudah itu mengubah prioritas dalam hidup kita. Sejak Ayah meninggal yang selalu menjadi prioritas aku itu Ibu dan Dini." ujar kak Adrian.
"Iya Ibu dan Dini yang selalu kakak prioritaskan. Dan sepertinya akan selalu seperti itu." ucapku sambil membuang muka.
"Naya apa maksud kamu? Kamu marah hanya karena Ibu dan Dini? Aku sungguh gak percaya ini Nay."
"Sadar atau tidak saat kita lagi bersama kakak selalu membicarakan Ibu dan Dini, seolah-olah itu menjadi alarm bagi aku untuk tidak menuntut terlalu banyak dari kakak." tuturku.
"Maaf Nay, aku benar-benar gak bermaksud seperti itu."
"Iya kamu gak bermaksud seperti itu kak, hanya aku saja yang terlalu perasa, hanya aku saja yang terlalu berpikiran sempit, hanya aku saja, aku saja, dan selalu aku saja yang salah." ucapku.
"Kalau kamu berpikiran selalu kamu yang salah itu adalah sebuah kesalahan. Coba kamu ingat ulang saya gak pernah menyalahkan kamu, saya hanya selalu mencoba meluruskan pemikiran kamu. Saya pikir kamu mengerti dengan konsekuensi menjalin hubungan dengan saya." ucap kak Adrian.
"Kenapa kakak harus datang ke hidup aku?" tanyaku lirih.
"Kamu menyesal karena ada saya?" Adrian balik bertanya.
"Aku menyesal karena kenapa aku harus bertemu dengn kakak disaat posisiku masih seperti ini, disaat pemikiranku masih kanak-kanak. Disaat aku masih belum bisa mengontrol emosi dengan benar, disaat aku..."
"Tapi saya gak pernah menyesal bertemu dengan kamu. Karena kamu adalah warna baru dihidup saya." Kak Adrian memotong ucapanku.
"Maaf." ucapku tertahan. Aku menghela napas panjang.
"Aku gak bisa lanjutin ini lagi." ujarku akhirnya.
"Maksud kamu Naraya?" tanya kak Adrian dengan wajah cemas.
"Aku gak bisa menerima konsekuensi itu. Kita akhiri saja semuanya sekarang kak, sebelum semuanya semakin jauh." akhirnya kata-kata itu meluncur juga dari mulutku.
"Saya kecewa Nay, sangat kecewa." ucap kak Adrian.
"Tapi jika itu pilihan kamu saya terima. Prioritas saya adalah membuat kamu bahagia. Semoga kamu bahagia dengan pilihan kamu, terima kasih atas apapun yang selama ini kamu telah lakukan pada saya."
Tanpa bicara apapun lagi dia pergi meninggalkanku, aku hanya memandangnya dengan tatapan kosong. Akankah aku menyesal dikemudian hari?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top