Part 17
Sejak kejadian di mobil pada saat itu, tidak ada lagi yang namanya perhatian seorang Adrian. Bahkan bisa dikatakan bahwa dia cukup menghindariku. Aku cukup tahu diri dengan mengakui bahwa aku bukan siapa-siapanya, aku menghormati keputusannya dengan sama-sama menjaga jarak darinya.
FLASHBACK ON
"Sederhanya, bagi bapak saya itu siapa?" tanyaku.
"Kamu itu siswa prakerin di tempat saya kerja, dan kamu itu anak dari orang yang saya kagumi." Jawabnya tanpa memandang ke arahku.
"Jadi hanya sebatas itu?" tanyaku nanar.
"Maksud kamu?" tanyanya kembali sambil membelokkan mobil ke area perusahaan.
"Apa maksud dari perhatian bapak selama ini pada saya, saya membutuhkan alasannya pak." ujarku. Bahkan sekarang aku memanggilnya bapak walaupun ini masih di luar jam kerja.
Kak Adrian tidak menjawab pertanyaanku dan fokus memarkirkan mobilnya.
Setelah mobil terparkir, dia pun kembali bersuara.
"Saya tidak tahu alasan saya melakukan semua itu kepada kamu, awalnya saya hanya merasa perlu melakukan itu karena kamu adalah anak dari orang yang saya kagumi dan banyak membantu saya saat dulu. Tapi semakin kesini semuanya menjadi berbeda, tapi walaupun begitu saya masih belum mengenali perasaan apa ini. Maaf jika perhatian saya selama ini membuat kamu tidak nyaman, membuat kamu dalam ketidakpastian, tapi yang pasti jangan mengharapkan saya Naraya, karena itu akan membuat kamu tersakiti." Ujarnya panjang lebar.
Dan sekarang aku benar-benar merasa bahwa harapan ku selama ini sia-sia.
FLASHBACK OFF
Sekarang memasuki minggu terakhir aku menjalani prakerin di sini. Aku berharap bahwa kegiatan ini segera berakhir sehingga aku tak perlu bertemu dengan Adrian. Entah kemana rasa sopanku kini, bahkan aku selalu menyebut namanya tanpa embel-embel kakak ataupun bapak.
Setelah kejadian itu aku tak pernah makan di kantin, karena kantin selalu mengingatkanku padanya. Aku selalu diam di taman belakang kantor ataupun diam di ruangan.
Dan hari ini aku memutuskan untuk kembali berdiam diri di taman belakang kantor. Taman ini cukup indah dan jarang ada orang, aku tahu mereka semua orang sibuk dan waktu istirahat yang singkat tidak memungkinkan mereka untuk sekedar bersantai di taman. Aku jadi kepikiran untuk menanyakan pada om Daniel apa alasannya membuat taman ini.
"Jadi selama ini kamu suka di sini?" tanya seseorang dan kemudian ia duduk di sampingku.
"Saya suka keindahan, dan taman ini indah pak." jawabku sekenanya.
"Kalau kamu suka keindahan, berarti kamu suka saya?" tanya dia ambigu.
"Hah?" tanyaku tak mengerti.
"Kalau kamu suka saya, mari kita pacaran." ujarnya santai tanpa ekspresi.
Mendengar ocehannya itu, seketika emosiku yang aku tahan selama ini naik ke ubun-ubun.
"Pacaran? Bapak pikir semudah itu, bapak itu sebenarnya ada apa sih sama saya? Perasaan apa yang sebenarnya bapak miliki untuk saya? Saya memang kekanakan, terlihat gampangan, tapi saya masih memiliki hati pak, dan hati saya itu bukan Mall yang bisa seenaknya orang keluar masuk." ujarku dengan nada yang meluap-luap.
"Setelah bapak saat itu mengatakan bahwa saya jangan berharap kepada bapak, dan saat ini bapak menawarkan sebuah hubungan kepada saya? Hahaha.. Bapak ini lucu sekali." lanjutku sambil tertawa hambar.
"Naraya, saya tidak bermaksud seperti itu, saya hanya.." ucapnya dan dengan segera aku potong.
"Hanya mencoba menebus kesalahan bapak saat itu kan? Tidak usah seperti ini pak, saya orangnya baik jadi sudah saya maafkan." ujarku sambil tersenyum sinis.
"Naraya.. Tolong dengarkan dulu." ucapnya dengan memohon.
"Maaf pak, tapi saya permisi." Ujarku sambil berdiri dan meninggalkannya.
Ku dengar dia berteriak memanggil namaku, tapi tak ada keinginan untuk melihatnya kembali, bahkan sekarang aku sedang mencoba menghapus air mata yang mulai membasahi pipiku.
***
Kejadian beruntun yang menimpaku dengan kak Adrian membuatku malas untuk memasuki kantor. Tiga hari lagi aku selesai melaksanakan kegiatan dan semua laporan sudah aku bereskan plus dengan semua tanda tangannya.
Aku bangun ogah-ogahan dari tempat tidur, ku pandang pantulan diriku di cermin, mataku sembab. Dasar Adrian brengsek! Hampir setiap malam aku menangis jika mengingat bagaimana kelakuannya terhadapku.
Aku segera mengambil ponselku dan mengetikkan sesuatu.
To : Zahra
Ra, gue izin gak masuk ya hari ini tolong bilangin ke pak Hadrian.
From : Zahra
Lo kenapa?
To : Zahra
Gak papa kok, cuma gak enak badan aja.
From : Zahra
Oke deh, cepat sembuh ya..
To : Zahra
Okay. Thx ya..
---
Seharian ini waktu kuhabiskan dengan menonton Drama Korea, ceritanya tidak terlalu menyedihkan tetapi membuatku menangis tersedu-sedu. Entahlah.
Drtt...
My Love Calling....
Aku menghembuskan napas malas, kenapa ini orang pakai nelpon segala sih? Dengan ogah-ogahan akhirnya aku mengangkatnya.
"Assalamu'alaikum" salamku.
"Wa'alaikumsalam." jawabnya.
"Naraya kamu sakit apa?" tanyanya dengan nada khawatir.
Entah hanya perasaanku saja tapi suaranya memang terdengar khawatir.
"Kurang enak badan aja kok Pak." jawabku.
"Kamu habis nangis?" tanyanya.
"Kamu nangis karena saya ya?" tanya dia kembali ke PDan.
"Emangnya kelihatan banget ya Pak walau Bapak gak lihat saya kalau saya nangis karena Bapak?" tanyaku lirih.
"Hahaha.. Kenapa Bapak diam? Santai aja Pak, saya nangis karena abis nonton Drakor." Lanjutku sambil tertawa hambar.
"Nay.." ucapnya tertahan.
Aku hanya diam menunggu kelanjutan bicaranya.
"Saya minta maaf." tuturnya.
Sungguh, bukan permintaan maaf seperti ini yang ingin aku dengarkan. Jika seperti ini aku jadi lebih menyalahkan diriku sendiri yang terlalu berharap padanya.
"Nay.. Maaf jika perkataan saya.." ucapnya dan dengan segera aku potong.
"Bapak tidak perlu minta maaf, lagi pula itu bukan sepenuhnya salah bapak. Justru saya yang minta maaf karena telah berpikir berlebihan kepada bapak. Saya minta bapak bersikap biasa saja pada saya, tidak perlu menjauhi saya atau memperlihatkan wajah penyesalan bapak, lagi pula tiga hari lagi saya berakhir prakerin dan itu artinya saya tidak akan melihat bapak lagi dan juga sebaliknya." ujarku panjang lebar.
"Baik jika itu yang kamu inginkan, saya akan menghormati keputusan kamu. Sejujurnya.." ucapnya terpotong.
Sayup-sayup aku mendengar ada seseorang yang berteriak memanggil nama kak Adrian. Lho, dia kan ada di kantor, terus nelponnya di mana dong?
"Naraya, sudah dulu ya saya ada kepentingan." ujarnya tergesa-gesa.
"Tunggu pak. Bapak nelpon dimana?" tanyaku kepo.
"Di ruangan tempat biasa kamu." jawabnya dengan nada Adrian seperti biasanya.
"Ya sudah kalau begitu. Assalamu'alaikum." ucapku dengan nada lega.
"Wa'alaikumsalam." tutupnya dan langsung mematikan telpon.
Sekarang aku semakin tersadarkan bahwa penantian ku selama ini akan sia-sia. Aku sadar bahwa Adrian adalah ketidakmungkinan, dan bodohnya aku selalu berpikir bahwa ketidakmungkinan itu menjadi mungkin.
Mungkin ini hanya akan menjadi segores cerita cinta yang pernah hadir dalam hidupku, ini akan menjadi sebagian kisah tragis yang pernah terjadi dalam hidupku, dan ini hanya akan menjadi mimpi indah yang menyedihkan yang menghias tidurku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top