Part 10

Happy Reading ^_^

Vote dulu sebelum baca ya >_<

Seperti biasa aku malas pergi ke kantor. Aku malas karena ada nenek sihir kak Aily di sana. Sebenarnya ia tak pantas di sebut nenek sihir sih, wajahnya itu cantik. Tapi ya gitu karena ia suka sama kak Adrian jadinya aku sebel deh sama dia.

Aku masuk ke dalam lift bersama beberapa karyawan. Tanpa aku sadari ternyata kak Adrian tengah berdiri di samping ku. Aku yang hendak menyapanya tidak jadi ketika melihat wajah datarnya.

Para karyawan telah pada keluar dan kini menyisakan aku dan kak Adrian berdua di lift. Ya tujuan kita kan memang sama, menuju lantai 15.

"Pagi pak." sapaku.

"Baru nyadar saya di sini?" tanyanya dengan pandangan lurus ke depan.

"Enggak pak. Cuma agak canggung aja sih kalau nyapa depan karyawan." jawabku.

Ting..

Lift terbuka di lantai 15. Dan kak Adrian segera keluar dari lift. Ingin sekali aku berteriak Woy.. ucapan salam gue bukan angin. Tapi semua itu aku tahan dalam hati.

Aku pun masuk ke dalam ruangan dengan perasaan dongkol yang luar biasa. Kemarin-kemarin aja sikapnya udah hangat, eh sekarang kaya es lagi.

"Pagi La." sapa kak Aily yang tengah duduk cantik di ruangan.

"Pagi kak." jawabku.

"Lesu amat, kenapa?" tanya kak Aily.

"Gak papa kok kak." ujarku.

Setelah itu tak ada percakapan lagi diantara kami, dan kami pun hanya fokus pada kerjaan.

***

"Bentar lagi istirahat, mau dimana?" tanya kak Aily.

"Di kantin aja kak." jawabku.

Sebenarnya kak Aily itu baik dan menyenangkan, hanya saja sikap centilnya pada kak Adrian yang membuatku sebal padanya.

---

Selesai shalat dzuhur aku hendak mengambil dompet dan ponselku, tapi kemana gerangan dompet ku?

Aku mengeluarkan semua isi tas ku, tapi hasilnya nihil. Tiba-tiba aku ingat kalau dompetku semalam aku letakkan di atas nakas ketika aku sudah selesai memphoto kartu kredit yang baru Dad kasih ke aku, kan selama ini aku hanya di kasih ATM doang. Aku memphotonya untuk di kirimkan ke sahabat-sahabat aku. Ceritanya kan aku mau pamer gitu. Gini nih kualat kali.

"Kenapa?" tanya kak Aily.

"Dompet aku ketinggalan." ujarku dengan wajah ditekuk.

"Pake uang aku aja gimana?" tanya kak Aily.

"Enggak deh kak." Jawabku tak enak.

"Nggak papa ayo deh La." ujar kak Aily memaksa.

Ini orang kok mencurigakan ya? Aku pun segera menepis pikiran buruk yang bersarang di kepala ku.

"Iya deh iya. Tapi bentar kak aku telpon dulu Mommy aku." ujarku.

Kak Aily pun hanya mengangguk.

"Assalamualaikum Mom." salamku ketika telpon tersambung.

"Waalaikumsalam." jawab Mom dari seberang telpon.

"Mom nanti titipin dompet aku ya ke pak Supri. Aku soalnya mau mampir ke toko roti dulu pengen ada yang dibeli." ujarku.

"Lho Yya, dompet kamu ketinggalan? Ceroboh amat sih." gerutu Mom.

"Iya Mom. Ayya beneran lupa deh Mom." ujarku.

"Udah dulu ya Mom." lanjutku sambil menutup telpon sepihak.

Aku yakin sekarang Mom pasti sedang mengomel sendiri.

"Yu kak." ujarku pada kak Aily.

"Gak papa telpon nya di tutup gitu aja?'tanya kak Aily.

"Gak papa kak. Paling Mommy aku lagi ngomel sekarang." ujarku sambil tertawa membayangkan Mom.

Kak Aily pun hanya menggelengkan kepalanya.

Kami sekarang telah tiba di kantin yang sudah cukup penuh. Aku pun segera mengambil makanan begitu pun dengan kak Aily.

"La, duduknya di meja pak Adrian ya." bisik kak Aily.

Tuh kan ini orang bersikap baik pasti ada maunya.

"Kenapa ngajak aku kak?" tanyaku.

"Aku lihat kamu kayanya akrab deh sama pak Adrian." ujarnya sambil memilih makanan.

"Akrab darimananya coba kak? Itu mungkin karena aku udah lumayan lama aja di sini." kekeh ku.

"Gak papa yang penting kita makannya bareng ya. Aku yang traktir nih." ujarnya.

Aku pun hanya memutar bola mata ku malas.

"Naraya makanan kamu saya bayarin." tiba-tiba kak Adrian muncul.

"Eh? Maksudnya pak?" tanyaku tak mengerti.

Ia pun tak menjawab dan langsung menuju kasir. Ku lihat ia bercakap-cakap dengan penjaga kasir dan sesekali beliau melirik ke arah ku.

Tak lama kemudian kak Adrian pun berlalu dan menuju meja di pojok sana yang menjadi tempat favoritnya.

"Bu ini jadi berapa?" tanyaku.

"Udah dibayar sama pak Adrian semuanya." jawabnya.

Aku pun sukses melongo dibuatnya begitu pun dengan kak Aily yang berada di belakang ku.

Dengan segera aku pun melangkah menuju meja kak Adrian.

"La tungguin apa?" ujar kak Aily yang berjalan tergesa-gesa di belakang ku.

Masya Allah, aku sampai lupa kalau aku bersama kak Aily.

"Oh iya. Ayo kak." ucapku.

"Boleh duduk di sini pak?" kak Aily tiba-tiba bersuara mendahului ku.

Kak Adrian pun menatap kami sekilas dan kemudian ia mengangguk. Aku dan kak Aily pun duduk di depannya.

Aku yang hendak bertanya mengurungkan niat, karena melihat kak Adrian yang sedang makan. Kami pun makan dalam diam.

---

Selesai makan kami sedang menikmati minuman yang tersaji.

"Emm pak boleh tanya sesuatu?" tanyaku memecahkan keheningan.

"Apa?" tanyanya sangat singkat.

"Kok bapa bayarin makanan saya?" tanyaku.

"Kan kamu gak bawa dompet." ujarnya singkat tanpa mengalihkan pandangannya menatap ke luar jendela.

Seketika aku terdiam. Dari mana ia tahu aku gak bawa dompet ya?

Ku lirik kak Aily yang berada di sampingku. Ia pun sepertinya sama bingungnya denganku.

"Mommy kamu tadi nelpon ke saya. Katanya kamu gak bawa dompet jadi beliau minta tolong." ujarnya menatapku.

Aku yang ditatap seperti itu seketika menunduk malu. Tapi aku gak habis pikir kok Mommy gak ngehubungi om Daniel ya, terus kok Mommy punya nomor kak Adrian?

"Pak Daniel lagi meeting di luar kantor. Mommy kamu punya nomor saya waktu saya ke rumah kamu." ujar kak Adrian seolah mengerti pikiranku.

Aku yang hendak membuka mulut untuk bicara terhenti ketika mendengar kembali suara kak Adrian.

"Saya permisi." ucapnya sambil berdiri dan berlalu.

Aku hanya melongo melihatnya pergi, bahkan aku belum sempat berterima kasih padanya.

---

"Kamu harus jelasin semuanya." ujar kak Aily tiba-tiba sesampainya kami di ruangan.

"Jelasin apa kak?" tanyaku malas.

"Jelasin kejadian yang tadi." ujarnya.

"Kejadian yang mana?" tanyaku bingung.

"Kenapa pak Adrian nyebut-nyebut nama pak Daniel yang notabennya CEO. Terus kapan dan mau apa pak Adrian ke rumah kamu?" tanyanya dengan wajah serius.

Sumpah, aku malas banget jawab pertanyaannya. Tapi mau bagaimana lagi orang ini sepertinya punya kadar kepo di atas rata-rata.

"Pak Daniel itu om aku." jawabku. Walaupun tidak sepenuhnya benar, tapi om Daniel kan udah dianggap saudara sama Daddy dan udah aku anggap om sendiri.

"What?" tanyanya terkejut.

"Gak usah lebay juga kali kak." ujarku.

"Aku gak nyangka lho kalau kamu itu masih kerabatnya CEO perusahaan ini." ujarnya takjub.

"Om Daniel itu bukan sepenuhnya om aku juga sih. Dia itu sahabat Daddy dan udah dianggap saudara sendiri." ujarku.

"Jangan bilang kalau Daddy kamu itu presiden lagi." ujarnya.

Aku memutar bola mata malas.

"Kalau aku anak presiden udah terkenal di mana-mana kali kak ." ujarku.

Ia pun tertawa mendengar ucapanku.

"Eh, kamu belum jawab pertanyaan keduanya." ucap kak Aily.

"Pak Adrian ke rumah ada urusan sama Daddy." bohongku.

Yakali aku harus jawab ia ke rumah buat ngajak aku beli buku. Gimana jadinya orang ini.

"Emang Daddy kamu itu siapa sih La? Beliau sahabatan sama pak Daniel, terus kenal juga sama pak Adrian." tanya kak Aily.

Aku bingung harus jawab apa. Aku gak tahu gimana respon kak Aily nanti kalau tahu aku anaknya seorang Dane Khana Balla. CEO Balla Company yang mana Balla's University tempat kuliah kak Aily juga milik Dad.

Aku yang hendak membuka mulut terhenti ketika mendengar suara panggilan dari bu Devi.

"Ella sini sebentar." teriaknya dari luar.

"Kak aku permisi dulu." ujarku sambil tersenyum.

Kak Aily pun hanya mengangguk. Aku harus berterima kasih pada bu Devi karena menyelamatkan ku dari pertanyaan kak Aily.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top