BAB 7

Pandangan seluruh umat manusia terpaku pada satu hal—presensi memukau di depan mereka.

Saat Tuan Hendrick membawa seorang rakyat baru ke dalam lokasi cikal bakal kepenatan berasal, semuanya terpana dalam gumaman.

Barang antik berdiri di hadapan mereka.

"Eunar Daphariel," embusan napas rakyat baru itu mengeluarkan suara untuk pertama kalinya. Siswi-siswi yang mendengar tercekik kagum. "Panggil aku Eunar."

Tuan Hendrick menceritakan soal alasan kepindahan Eunar, dan tak satu pun mendengar kecuali Meia. Pelajar laki-laki pun tenggelam di dasar iri, namun tidak bisa membenci.

Bahkan ketika Joe mendapati kekasihnya, Lizie, terperangah takjub, pemuda itu hanya bisa memajukan bibir bawahnya.

Tuan Hendrick lantas menunjuk satu-satunya kursi kosong di ujung. Sisi paling barat kelas. Eunar melirik ke kanan dan ke kiri. Sekilas menyadari Meia yang duduk di sisi paling timur.

Anak baru itu melangkahkan tungkainya. Puluhan bola mata mengiringi pergerakannya.

Namun, Eunar berhenti di titik yang salah.

"Bisakah kita bertukar tempat duduk, nona?" Eunar menyandarkan satu telapak tangannya di meja yang terletak di depan meja milik Meia. Bernegosiasi pada Liana, si kutu buku yang kini mendadak kaku. "Uhm, aku... sepertinya akan terus gugup kalau tidak di dekat Meia."

Meia Lyndis menggeleng tak percaya.

Dengan sigap kaki Liana menegak. Kutu buku itu langsung memindahkan barang-barang dari kolong meja ke dalam tasnya.

"Wah, terima kasih." Senyum kecil terukir di bibir anak baru itu. Membuat Liana semakin berjalan kikuk menuju kursi barunya.

Pelajaran pun di buka. Terlihat beberapa anak yang melempar pandangan tajam ke arah gadis paling kaya di sekolah mereka.

👑

"Hei, kenapa kita keluar pagi-pagi buta?"

Pangeran Eunar mengamati Meia yang sudah berseragam dari atas ke bawah, berbanding terbalik dengan Eunar yang masih santai dengan piyamanya. Gadis itu sedang menyeretnya diam-diam menuruni tangga.

Meia membalas dengan satu telunjuk di bibir, meminta lelaki itu diam sementara.

Dengan hati-hati iris kelabu memutar kunci depan. Eunar tetap tidak bisa membaca pikiran Meia sampai mereka tiba di sekolah.

Di depan sekolah, entah bagaimana seorang satpam sudah siap membuka gerbangnya lebar-lebar. Mempersilakan dua anak itu masuk tanpa syarat.

Lalu Meia memutar kunci satu ruangan lagi setelah meluncur di penjuru lorong dalam keadaan remang-remang. Eunar tetap mengekorinya.

Ketika pintu ruangan yang dimasuki itu ditutup, dan lampu dinyalakan. Eunar menyadari ruangan itu hanya berisi satu set sofa dan meja serta kumpulan lemari-lemari.

"Biasanya murid yang mendaftar pertama kali akan dibawa kemari," ucap Meia sambil menyimpan tas sekolahnya di salah satu meja. "Tapi karena para staf belum datang, kita pilih sendiri dulu saja, ya."

Eunar mengerjap. Masih mengikuti Meia yang sedang membuka lemari-lemari yang terkunci, "memilih?"

"Baju dan peralatan-peralatan sekolah," jelas Meia. "Kau mau sekolah bersamaku, kan? pasti seru, kok."

Meia mengambil salah satu kemeja dari dalam lemari. Membuka lipatan kemeja itu dan mencocokkannya dengan tubuh jangkung di hadapannya.

"Hm, apa yang ini cukup? atau agak kebesaran?" Meia menimbang-nimbang. "Kita harus mencuci dan melicinkan seragammu setelah ini. kalau berangkat sepagi ini pasti sempat."

Eunar agak menunduk, menyesuaikan pandangannya pada wajah Meia dan tersenyum, "kalau dengan begini aku bisa lebih melindungimu, aku suka, kok... sekolah."

Sontak Meia menutupi mukanya sendiri dengan kemeja di tangannya, "a-aku seperti ini bukan untuk dilindungi, kok. I-ingat itu, ya! Tapi... te-terima kasih."

👑

Kuis matematika mendadak di gelar. Nyonya Nadine, guru muda yang cukup disiplin memberikan selembar soal berisi sepuluh essay pada masing-masing siswa.

Meia mendengus. Kekuasaannya di sekolah tetap tidak bisa membuat kuis yang dibencinya itu dibatalkan.

Namun, untuk beberapa alasan gadis itu pun agak lega. Hampir semua murid terlihat sama frustasinya, yang menandakan mereka semua berada di posisi yang sama.

Dalam ujian hariannya itu, Meia bukan hanya kesulitan dengan soal. Dia justru tambah tidak bisa mengerjakan soal karena siswa di depan mejanya, Eunar, hanya bersidekap selama ujian.

Oh, tidak. Seharusnya dia menulis dengan tangannya sendiri batin Meia gelisah.

Meia melirik ke sana kemari, penuh kekhawatiran. Bagaimana bisa Eunar menggunakan sihirnya seperti itu? Bagaimana kalau ada yang melihat?

"Meia, kerjakan soalmu," Bu Nadine yang menyadari gerak-gerik aneh mulai mencurigai Meia.

Meia terkesiap. Akhirnya gadis itu hanya mencorat-coret kertasnya asal. Berharap mendapatkan poin dari usahanya menjabarkan hitungan yang sudah jelas salah.

Kuis matematika biasanya akan langsung dibagikan hasilnya pada saat itu juga. Bu Nadine adalah guru yang andal, memeriksa jawaban siswa tidak akan sesulit itu asal tulisan siswa tidak kelewat jelek.

Waktu dua puluh menit terakhir pelajaran biasanya cukup untuk menilai semuanya. Sambil menunggu guru itu selesai, siswa akan diminta membaca terlebih dahulu materi selanjutnya yang akan dibahas di pertemuan berikutnya. Tanpa berisik.

"Jangan khawatir," Eunar memutar tubuh dan bergumam. "Hanya kau yang bisa melihat yang tadi itu. Di mata orang lain, aku terlihat normal, kok."

Meia masih tidak habis pikir, "apa menggerakkan pulpen dengan tangan sendiri bisa sesulit itu, Eunar?"

Sang pangeran meringis, "Maafkan aku. Di sekolahku dulu, menulis tanpa mempraktikkan sihir justru di larang. Aku lupa ini di dunia yang berbeda."

Kelas diakhiri dengan tepuk tangan setelah diumumkan bahwa Eunar menjadi satu-satunya siswa yang tidak remed sekaligus mendapat nilai sempurna.

Di jam istirahat pun, bangku Eunar dikelilingi teman baru yang notabenenya adalah kaum hawa.

Namun Eunar tidak memerhatikan orang-orang di sekelilingnya dan lekas bangkit menuju meja di belakangnya, "kau bilang ada tempat di mana aneka makanan dan minuman berkumpul. Ayo kita ke sana, Meia."

👑

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top