BAB 4
Gadis itu menyudahi kegiatannya dengan berat hati. Menutup novelnya kasar. Dia membuang napas lelah yang bercampur kesal.
"Apa lagi?" Meia menatap bergantian pada orang-orang yang kini mengelilinginya.
"Apa lagi?" Lizie mengulang dengan nada tak percaya. Bola matanya berputar muak.
Joe mengangkat telunjuk di hadapan hidung Meia, "Karena dirimu, aku mendapat peringatan dari kepala sekolah, kau tahu?"
"Oh, lalu?"
"Orang-orang di kelas lain mulai membicarakan Joe. Nama baik Joe sekarang tercoreng. Sadari itu, dasar gadis bodoh!" Lizie mendahului Joe menyahut.
"bukankah dari dulu memang sudah tercoreng?" Mata Meia membulat terkejut. "Bahkan aku kira wajah dan penampilannya dari dulu sudah tercoreng."
Serupa gunung aktif, magma yang sejak pagi anak-anak nakal itu timbun meledak seketika. Kali ini Joe lebih dulu menarik kerah Meia penuh gusar.
Gadis itu tidak menunjukkan sedikit pun rasa takut, "kalian tahu? sebenarnya aku punya kuasa mengusir kalian dari sekolah ini. Apa kalian akan tetap begini?"
Kumpulan pem-bully itu, walau tahu Meia berengsek tapi menyadari juga kalau sebenarnya gadis berkepang itu pandai mengendalikan batasan-batasan atas kekuasaannya.
Meia tidak mungkin sampai hati untuk mengusir siswa-siswa di sana.
Dan konyolnya adalah, anak-anak itu memanfaatkan belas kasih Meia untuk bersenang-senang.
"Siapa peduli," Erna, salah satu anggota Lizie squad menantang. "Kalau dipikir-pikir, apa kau tidak malu menggunakan otoritas dari ibumu yang jalang itu?"
Meia menaikkan satu alis, "Apa maksudmu?"
"Jangan berpura-pura bodoh, kami sudah tahu," balas Erna. Gadis berkulit gelap itu melirik ke arah Liana, kutu buku berkacamata yang sepertinya dipaksa nimbrung bersama anak-anak itu.
"Ru-rumahku terletak tidak jauh dari salah satu klub besar di pinggir kota," Liana mulai bicara canggung. "A-aku dulu heran kenapa nyonya Lyndis tidak kunjungan ke sekolah lagi hingga sekarang. Kukira beliau sibuk. Ta-tapi pada akhirnya aku tahu. Aku melihatnya, Meia. Ibumu sering bersenang-senang dengan pria di luar sana."
Meia terperangah. Apa yang ditutupi keluarganya selama ini diketahui penduduk sekolah.
Perlahan Joe melepas cengkeraman tangannya di kerah gadis itu. Tersenyum puas melihat ekspresi Meia.
Lizie tersenyum miring, "Dengar? Itu kesaksian yang cukup terpercaya, lho. Dengan taktik apa lagi kau akan membantah?"
Meia tidak membalas.
"Ternyata keluarga terhormat belum tentu juga layak dihormati."
"Benar."
"Kurasa hobi ibunya akan segera menurun ke generasi selanjutnya."
"Hahaha."
"Bagaimana, ya, cara mengatur waktu antara bekerja dan main bersama pria?"
"Atau jangan-jangan pekerjaannya adalah...."
PLAKK!
"BERISIK!" jerit Meia.
Hening. Lizie squad mematung.
Terutama sang ketua, Lizie, yang merasakan panas luarbiasa di pipinya.
PLAKK!
"KURANG AJAR!"
Meia menyentuh pipinya yang berjejak merah, menatap liar ke iris Lizie. Merasa ingin membalas tamparan itu lagi, tapi kedua lengan Joe menahan kedua lengan gadis itu sekuat tenaga.
"Apa-apaan ini!" teriak Meia.
Setengah kesadarannya sudah gagal mengerti. Kenapa dia menampar seseorang yang menghina ibunya? kenapa gadis itu malah ingin membela ibunya karena tidak terima? bukankah seharusnya ia tidak peduli?
Erna mengambil tumpukan buku The Prince of Oz. Tertawa mengejek.
"Jangan," pekik Meia putus asa. "Jangan rusak buku itu!"
Anak-anak itu cekikikan tidak peduli. Lizie mengambil komando. Memerintah Erna untuk menyobek halamannya. Liana si kutu buku, hanya menunduk sambil sesekali mempermainkan jemari dikedua belah tangannya dengan gelisah.
"Tidak!" Meia membeliak tanpa melakukan apapun ketika suara robekan itu menyayat gendang telinganya.
Ini bukan soal buku yang rusak. Bukan soal uang untuk biaya ganti. Ini soal rasa hormat dan cintanya. Meia tidak terima novel kesayangannya dipermainkan seperti itu.
Lembaran halaman bertebaran.
Joe merelaksasikan kedua tangannya sehingga Meia mudah melepaskan diri. Dengan sigap gadis beriris kelabu itu memunguti lembar demi lembar seri novel yang telah tercampur aduk di lantai marmer.
Bahkan ketika anak-anak tidak tahu diri itu mengoyak isi tasnya dan mengambil handphone serta kunci duplikat gudang, Meia acuh tak acuh. Seolah tak ada yang lebih penting saat itu selain buku kesayangannya.
Pintu tertutup kasar. Suara kuncian menyertai. Gelak iblis masih terdengar beberapa menit sebelum akhirnya menghilang. Membiarkan gadis itu semakin tenggelam dalam kehampaannya.
Gadis itu sendirian. Terkunci tanpa bisa menghubungi siapa pun untuk dimintai bantuan. Raganya melemah. Seolah perlakuan teman-temannya tadi telah menguras habis zat kehidupan yang mengisi roh gadis itu.
Gadis itu... sama sekali enggan berteriak.
Sama sekali... tidak mengharapkan pertolongan.
Dengan bermodal selotip dari kotak pensilnya, Meia menata ulang sobekan-sobekan novel kecintaannya dan menyatukannya sebisa mungkin. Sedikit demi sedikit melakukan hal paling sia-sia yang pernah ada.
Dia tetap menekuri lantai, bersikap sok sibuk. Tindakannya itu entah didasari rasa bosan, entah hanya pelampiasan kekecewaan, atau apalah itu. Sudah tidak penting lagi. Yang pasti air mata terus mengalir dan membasahi tumpukan kertas yang sedang dirangkainya.
Bahkan dia tidak berniat menyalakan lampu gudang. Kegelapan sudah terlalu merasuk dalam hidupnya. Cahaya bulan yang merembes masuk dari celah ventilasi mungkin menjadi satu-satunya tanda yang menunjukkan hari sudah tertidur.
Meia tersenyum sendiri membayangkan tidak ada orang yang membukakan pintu rumah untuk ibunya.
Potongan terakhir selesai. Buku terakhir, seri ke-4 berhasil dirangkainya. Meia menghela napas lega. Air matanya sudah mengering. Tapi dia tidak beranjak dari tempatnya.
Gadis itu sejak tadi meratapi buku novelnya yang mulai mengeluarkan bias cahaya berwarna emas.
Meia menyeret tubuhnya mundur beberapa meter ketika diameter cahaya semakin meluas, nyaris menyinari seluruh bagian ruangan itu. Desiran angin semakin terasa dan mulai menggerakkan helaian anak rambut gadis itu. Sebelah tangannya menutupi sebagian penglihatannya, bertindak sebagai tameng kalau-kalau cahaya akan tumbuh lebih besar lagi.
Dan benar saja.
Selama sedetik, cahaya itu meledak. Pecahan sinar dan satu embusan kuat memenuhi ruangan. Membuat kelopak Meia mengatup secara refleks untuk beberapa sekon.
Dalam penglihatan pertamanya setelah mata gadis itu kembali terbuka, ia mendapati sosok bayangan berlapis cahaya di depannya. Berdiri tegak dengan komposisi tubuh yang memikat.
Sehelai jubah sedikit melebar termainkan sisa-sisa desir angin. Setelan rapi dengan unsur kemewahan. Satu hiasan elegan yang berkilat menyinari puncak kepala.
Sosok itu melangkah.
Mendekat.
Tiap gerakannya diiringi guguran gliter yang kerlip emasnya lenyap sebelum menyentuh lantai. Sepasang cahaya memutari sosok itu secara diagonal, seperti ying dan yang.
Meia terkesiap. Jantungnya berada diluar kendali.
Pada momen itu, pencahayaan diambil alih kembali oleh bulan.
Dalam remang-remang, gadis itu menyadari makhluk di depannya adalah laki-laki yang sebaya dengannya. Dan yang paling lucu adalah, makhluk misterius di sana memiliki ciri-ciri sama seperti karakter utama yang digambarkan di novel kecintaannya.
Entah apa yang menabrak otaknya, tiba-tiba Meia teringat suatu berita beberapa tahun lalu.
Tentang kematian sang penulis The Prince of Oz yang misterius. Tentang karya terakhirnya—The Prince of Oz seri-5—yang tidak pernah terselesaikan, dan draft-nya yang tidak pernah ditemukan.
The Prince of Oz sering disebut sebagai The Endless story karena tujuan akhir sang tokoh utama tidak pernah tersiratkan. Sang penulis benar-benar merahasiakannya sampai buku ke-5, dan seri terakhir itu tidak akan pernah ada. Dan yang tidak pernah ada sekarang memunculkan diri di hadapannya.
Seluruh cahaya dari sosok itu memudar. Dalam temaram, langkah itu berhenti satu meter dari tubuh Meia.
Sosok itu lantas merendahkan tubuhnya. Membiarkan satu lututnya menyentuh marmer dalam tundukan hormat dengan telapak tangan kanan yang berada di dada kirinya.
"Pangeran negeri Oz yang berkelana ke penjuru negeri. Aku... Eunar Daphariel, bersumpah akan selalu berada dipihakmu, nona," lelaki itu menorehkan senyum tipis yang entah kenapa menimbulkan kharisma luar biasa. Tubuh sang pangeran kembali bangkit, lengan lelaki itu kini terulur. Memberikan pegangan untuk bangun. "Jadi, maukah kau menyudahi air mata itu dan memberitahu namamu, nona?"
Napas Meia tertahan. Entah sejak kapan cairan dari matanya turun tidak mengikuti instruksi pikirannya. Gadis itu hancur. Juga, terselamatkan.
Kata 'harapan' yang selama ini dianggap bermakna kosong, kini mulai merangkak menjadi nyata.
Dalam titik yang memuakkan itu, untuk pertama kalinya, gadis itu meraih uluran dari tangan seseorang dengan sangat yakin.
"Aku Meia. Meia Lyndis."
👑
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top