🎋8. Attitude of Gratitude🎋


Eugene ragu-ragu melangkahkan kakinya menuju kolam renang, disebabkan ia tak percaya diri dengan baju renang yang dibawanya. Baju renang warna hitam berpotongan simple dengan bagian punggung terbuka sampai ke pinggang itu memang miliknya, masih ada price tag-nya. Dibeli setelah ia putus dengan pacarnya bernama Dewo. Andrea, sahabatnya menyarankan agar Eugene membeli bikini itu di depan mantannya sambil memamerkan pacar baru, tapi ia tak pernah berani memakainya karena terlalu seksi, juga tak bisa memamerkan pacar baru karena Dewo sudah punya pacar duluan. Akhirnya bikini itu hanya menghiasi lemari pakaiannya.

"Beib, sudah siap? Aku tunggu di kolam, ya," teriak Chris dari luar ruang ganti. Eugene segera menyambar jubah mandi dan bersyukur karena ia tak jadi meninggalkannya tadi. Diikatnya jubahnya dengan kencang sambil berjalan menuju kolam renang. Dilihatnya Chris, Joseph, dan temannya yang lain bernama Steve, sedang adu cepat berenang dengan gaya bebas ke sisi lain kolam, dia memutuskan untuk tidak nekad masuk ke kolam, hanya duduk di kursi malas sambil memakai kacamata hitamnya.

"Apa yang kau lakukan di sana?" tanya Chris. Dia baru menyelesaikan satu putaran ke sisi yang berlawanan.

"Aku takut air," jawab Eugene.

"Siapa yang datang ke kolam renang lalu bilang takut air?" tanya Joseph sambil mendekat kepada Chris.

"Waduh, Chris! Kau ingat apa yang kita lakukan ketika seseorang bilang dia takut air padahal dia ada di kolam renang?" pancing Steve sambil menghela nafas dengan gaya bosan. Joseph menaikkan sebelah alisnya menatap Chris. Pria itu terpancing, ia melompat dengan ringan dari dalam kolam. Dikibaskannya rambutnya, butir-butir air bercipratan, tubuhnya berkilat tertimpa cahaya matahari pagi ketika Chris melangkah mendekati Eugene. Wanita itu menelan ludah, membasahi kerongkongannya sambil memperhatikan sebutir air yang menetes dari leher Chris menuju dadanya yang berotot, ia tahu kalau pria itu akan melakukan sesuatu terhadapnya, tapi Eugene tak bisa bergerak menyadari betapa seksinya pemilik tubuh jangkung itu.

"Apa yang akan kau lakukan?" pekiknya. Eugene berniat kabur menangkap sinar tatapan nakal Chris yang tertuju padanya.

"Kemarilah."

"Aku nggak bisa berenang," jawab Eugene sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Chris mendekat ke arahnya dan mengulurkan tangannya. Matanya fokus menatap Eugene meminta wanita itu untuk percaya padanya. Eugene tersihir masuk ke dalam pusaran tenang menghanyutkan, tak sadar mengulurkan tangannya. Ketika sadar, tangannya sudah berada dalam genggaman pria itu.

"Pegangan saja tanganku. Jangan takut. Yuk, loncat!" Pria itu menarik lengan Eugene dan bersama-sama terjun ke dalam kolam.

Byur!

"Akuuu nggak bisa berenanggg. Tolonggg!" Eugene panik dan mulai menjangkau apa pun di dekatnya termasuk tubuh Chris. Setidaknya ia berhasil meraih lengan Chris.

"Help!"

Air kolam masuk ke dalam paru-parunya melalui hidung dan mulutnya, tapi ia malah mendengar kedua teman Chris tertawa. Eugene mengira dia akan mati karena tenggelam. Ajalnya akan sampai di sana.

"Ehm, berdiri saja, Beib, airnya hanya setinggi dada," tukas Chris lembut.

Apa? Apa kata Chris?

Chris menarik pinggang Eugene lalu membantunya berdiri dengan benar. Wanita itu memejamkan matanya, tapi ternyata Chris benar, kaki Eugene menginjak dasar kolam dan airnya hanya setinggi dadanya. Satu-satunya yang menghalangi gerakannya adalah jubah handuk yang jadi lebih berat karena terkena air. Joseph dan Steve masih tertawa ngakak ketika Eugene membuka matanya, membuat Eugene sangat malu.

"Hei! Aku tidak datang ke sini untuk ditertawakan kalian berdua!" teriaknya pada dua orang itu, pura-pura marah. Joseph membuat gerakan mengunci mulutnya, tapi wajahnya tetap tersenyum.

"Di mana kau menemukan cewek ini? Aku menyukainya," kata Joseph pada Chris. Chris menunjukkan ekspresi cemberut, sementara Eugene berusaha menulikan telinganya karena dirinya sedang dibicarakan.

"Kami saling menemukan," jawab Chris sambil mengangkat kedua bahunya. "Tapi, jangan pernah bilang kau menyukainya, atau...." Pria itu melakukan gerakan memotong leher dengan tangannya.

"Ya, ya, ngerti," jawab Joseph makin tertawa mendengar temannya mengatakan keberatannya secara jujur.

"Kapan mau ajari aku berenang?" tanya Eugene dengan santainya.

"Noh, sana! Sana! Ajari pacarmu! Nempel terus kayak manten baru, jadi teringat istilah di bawah bendera!" sindir Steve.

"Apa itu? Di bawah bendera?" tanya Chris dengan bodohnya. Joseph malah mengusirnya. "Abaikan Steve! Pergi sana urusin pacarmu! Beginilah nasib kami yang tak punya pacar, ditinggal pacaran sama temen yang katanya akan sehidup sejomblo. Nasib!"

"Yee, bangsat! Yang ngajakin berenang siapa, Njing!" maki Chris kesal. Ditinggalkannya kedua temannya itu dan mulai menjadi guru berenang bagi Eugene.

Belajar berenang bagi Eugene bukanlah hal yang gampang, bukan berarti dia tidak berusaha. Wanita cantik itu sadar kalau dia bukanlah perenang yang baik. Dia terlalu fokus pada tubuh seksi milik Chris sehingga apapun yang diajarkan kepada tak pernah bisa Eugene praktekkan.

"Aku terlalu bodoh, ya? Maaf, maaf!" kata Eugene ketika untuk kesekian kalinya ia tak bisa mengapung. Di luar dugaannya, Chris malah memamerkan senyumnya yang hangat. Direngkuhnya bahu wanita itu agar melihat kepadanya.

"Tak masalah, Beib. Anggap saja ini main-main, bahkan ketika kau tak bisa berenang, kau cukup percaya padaku. Kita tak akan tenggelam," bisik pria jangkung itu lembut.

Iya, aku akan tenggelam kalo aku tidak hati-hati. Sumpah! Aku tak ingin ini terjadi untuk kedua kalinya.

Eugene menatap Chris lurus, sadar kalau seharusnya dia menjauh dari pesona pria itu. Jatuh cinta tentu saja tak termasuk dalam rencananya lagi. Dia pindah ke kota ini lagi setelah melewati banyak hubungan yang kandas. Setelah berpisah dengan Panji, Eugene beberapa kali menjalin hubungan dengan pria lain, tapi tak berani untuk melangkah lebih jauh, dia takut disakiti lagi. Cukup kepada Panji, ia menyerahkan hatinya, yang kemudian diremukkan oleh pria pengecut bermuka dua.

"Beib, Beib," panggil Chris sambil menggerakkan tangannya di depan wajah Eugene.

"Kau kenapa?"

Eugene menunduk kemudian melangkah mundur. "Aku agak kurang enak badan. Naik dulu, ya."

"Sakit? Kok, nggak bilang tadi? Kita pulang saja, ya."

Eugene tak menunggu Chris yang pamit pada kedua temannya, wanita itu langsung naik melalui tangga di pinggir kolam renang. Dia tak peduli, bahkan jika Chris tidak mengantarnya pulang pun, Eugene akan memesan mobil dari aplikasi on-line. Suasana hatinya memburuk karena kekuatirannya sendiri.

"Bukankah kita sudah berjanji untuk berhenti merokok, Beib?" tanya Chris sambil menaikkan alisnya ketika melihat Eugene mengambil sebatang rokok untuk diselipkan di bibirnya, setibanya mereka di rumah Eugene.

"Aku migrain!" jawab wanita itu dengan nada ketus. Chris mengerutkan keningnya lalu berdiri dan berjalan ke arah belakang sofa. Ditariknya bahu Eugene agar bersandar lalu dipijatnya kepala wanita itu pelan. Karena gerakan pijatan membuat Eugene nyaman, dia lupa menyalakan rokoknya.

"Nah, ini cara yang lebih bagus menghilangkan migrain daripada merokok," tukas pria itu pelan dan masih tetap melakukan pijatan. Mata Eugene terpejam karena merasa rileks.

"Bagaimana kau bisa berhenti merokok?" tanya Eugene. Chris tersenyum lebar.

"Tentu bisa. Aku perokok, tapi aku tidak candu. Kapan pun aku ingin berhenti, aku bisa," katanya.

"Caranya?" tanya Eugene sambil membuka matanya. Ia menyadari kalau membuka mata di saat wajah Chris ada di atas wajahnya adalah langkah yang salah. Sekarang, ia bahkan tak berani bergerak karena gerakan kecil saja bisa menimbulkan konsekwensi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

"Aku mengalihkannya kepada hal lain," bisik Chris dengan suara yang rendah dan seksi.

Contohnya?

"Aku..."

Eugene menggigit bibirnya, dia sadar benar kalau ia tetap diam, maka Chris akan bergerak. Akhirnya ia memejamkan matanya kembali untuk memutuskan kontak mata dengan lelaki itu.

"Kau ingat Pak Wira?" tanya Chris.

"Pak Wira siapa?"

"Guru Matematika yang kubenci sampai kau menghukumku sampai aku minta maaf padanya. Aku bertemu dengannya beberapa bulan lalu. Pak Wira sehat-sehat saja waktu itu. Kemarin di grup sekolah, ada yang ngepos kalau dia terkena serangan jantung dan sudah meninggal."

Eugene menegakkan badannya dan membuat Chris menghentikan aktivitas pijatannya. Dia belum ingat siapa Guru Wira ini, masih berusaha menggali kenangannya, tapi kabar kematian seseorang yang dikenalnya tentu saja membuatnya terkejut.

"Ingat?"

Chris mengeluarkan ponselnya dan mencari grup WA yang masih menyimpan foto guru yang mereka bicarakan, kemudian setelah menemukannya, ditunjukkan kepada Eugene.

"Yang ini."

Eugene bergeser untuk melihat layar ponsel yang otomatis mendekatkan dirinya pada Chris. Aroma jantan menguar dari tubuh lelaki jangkung itu sehingga membuat Eugene terhipnotis. Dia tidak sadar kalau ia sudah bersandar di lengan Chris.

"Ah, Pak Wira."

"Terima kasih," bisik Chris pelan. Eugene mendongak menatap pria yang ada di belakangnya, mencari jawaban kenapa Chris mengucapkan terima kasih padanya setelah menunjukkan foto Pak Wira.

"Kenapa kau mengucapkan terima kasih?" tanyanya. Chris mengecup pipi Eugene lembut.

"Kau lupa kalau pernah melakukan hal yang sangat berarti untukku," bisiknya. Eugene mengerjapkan matanya. "Benarkah?"

Chris mengangguk pelan.

"Kau memaksaku meminta maaf, kalo tak kulakukan akan kusesali hari ini."

"Apa kita masih bisa pergi ke pemakaman Pak Wira?" tanya Eugene. Chris menggeleng dengan muram. "Kami terlambat tahu. Jerome bilang Pak Wira meninggal sebulan yang lalu," sahut Chris dengan nada menyesal.

"Ketika kami bertemu sebelum dia meninggal, kami berenang bersama. Pak Wira mengatakan kalau aku adalah salah seorang murid yang paling dia banggakan," kilahnya sambil memeluk Eugene. Wanita itu merasa nyaman berada dalam Chris, meskipun sadar kalau nyaman itu berbahaya karena menawarkan ketidakberbahayaan.

"Kau orang yang menjadikanku pria yang bisa dibanggakan."

Benarkah? Kenapa ada orang lain yang mengatakan yang sebaliknya?

Pria yang mati-matian ia pertahankan, yang pernah ia serahkan hatinya dan kemudian membuangnya sampai ke dasar lautan. Eugene menggeleng pelan, ia tak ingin kembali terpuruk dalam kenangan itu lagi. Ia tak ingin berada di tempat yang sama.

"Aku mau cari obat!" katanya tiba-tiba. Ia mengatakannya untuk menghindari Chris yang makin masuk ke dalam ruangan pribadinya di dalam hatinya, Eugene takut kalau akan jatuh hati lagi. Tidak ada kesamaan antara suaminya dengan Chris, tapi tak ada yang bisa menjamin kalau lelaki itu juga tak akan menyakitinya.

Eugene kabur ke dapur dan mencari obat di laci, tapi tahu bahwa tidak ada obat penghilang rasa sakit di sana. Dia tidak pernah punya kotak obat, karena satu-satunya sakit yang dialaminya selama ini adalah sakit hati yang tak pernah diobati.

"Mau ke dokter nggak?" tanya Chris ikut ke dapur. Eugene menggeleng tapi tetap pura-pura mencari obat di laci. Chris berdehem keras.

"Tak perlu cari obat di sana. Aku tau kau tak punya obat. Kau perlu obat apa, biar aku beli," tukasnya. Eugene membalikkan badannya dan meringis sambil mengacak poninya.

"Atau kita pergi bersama? Mungkin migrainmu disebabkan karena kau belum makan."

Bagus!

Sekarang Chris bukan hanya bisa membaca pikirannya, tapi juga menolongnya mengembalikan mukanya yang malu akibat ketahuan pura-pura mencari obat yang memang tak pernah ada. Kini, satu-satunya yang bisa dilakukan Eugene adalah mengangguk dan mengikuti Chris pergi makan siang.

🎋My Pretty Teacher🎋

Sembilan tahun yang lalu.

"Ayolah, Ben! Aku benci saat kau bilang tak mau bolos," gerutu Chris sebal. Tristan, remaja berwajah tirus itu tetap menggeleng.

"Sudah mau ujian, Chris. Aku nggak mau nilaiku jelek karena sering membolos. Aku akan ke ITB," tolaknya. Chris mengibaskan tangannya dengan gaya bosan.

"Kau akan tetap ke Bandung meski bolos. Ayo!"

"Pergilah, aku tidak ikut!"

Chris melakukan apa yang bisa dilakukannya agar Tristan ikut bolos, menjanjikan makan all you can eat, traktir nonton, menyeret, bahkan menendang tapi sepupunya tetap tak sudi. Sampai akhirnya Chris kesal dan pergi sendiri ke belakang gedung sekolah. Dia berdiri memandangi tembok itu, tangannya menggapai ke atas, biasanya Tristan membantunya tapi kali ini harus dilakukan sendiri. Chris tetap optimis bisa melakukannya karena dia adalah atlit wushu. Kedua tangannya sudah berhasil memegangi tembok, kakinya menjuntai, satu hentakan saja dia sampai ke atas.

"Christopher Abinaya!"

"Bloody hell!"

"Tukang bolos, mau ke mana kau?"

Chris melihat ke belakangnya, Pak Ole, guru olah raga merangkap guru BK, berada di belakangnya sambil memegangi rotan panjang.

"Turun!" perintahnya dengan nada otoriter. Chris menyeringai. Dia memang berniat turun, tapi tidak turun ke dalam sekolah. Sudah ketahuan, yang harus dilakukan hanyalah kabur, soal hukuman itu bisa diatur besok. Chris mengambil ancang-ancang untuk melompat sampai ia mendengar namanya dipanggil oleh suara merdu.

"Turunlah, Christopher."

Mau tak mau, remaja yang baru berusia 17 tahun itu menoleh. Bu Eugene berada bersama Pak Ole. Kelihatannya ia baru saja hendak masuk kelas karena tangannya penuh buku-buku. Ketahuan ingin bolos oleh wali kelasnya sama sekali tak pernah ada dalam rencana Chris, tapi sekarang ia ragu harus tetap bolos atau masuk kelas dan menerima hukuman dari guru BK.

"Ayo, turun. Ibu janji tak akan menghukummu," janji Bu Eugene. Pak Ole mendelik karena merasa guru wali kelas 12-C terlalu lembek pada tukang bolos seperti Chris.

"Turun Anak Nakal!" bentak Pak Ole. Bu Eugene menyerahkan buku-bukunya kepada Pak Ole yang  menerimanya dengan terpaksa. Lalu ia mengulurkan tangannya pada Chris.

"Turunlah, Chris. Ibu perlu bantuanmu melakukan sesuatu."

Chris menatap lurus pemilik mata indah yang sedang menunggunya di bawah sana. Ia terhipnotis oleh pusaran air dalam pupil mata itu. Bu Eugene tersenyum dan mengangguk padanya.

Turunlah.

Chris menggapai tangan Eugene dan ketika kedua tangan bertautan, ia meloncat turun. Dia tahu kalau Pak Ole ingin memukul bokongnya dengan rotan, tapi tidak bisa karena Bu Eugene memintanya mengangkat buku-bukunya.

"Pak Ole, Chris saya bawa ke ruang ekskul mading. Saya ada perlu dengannya," tukas Eugene. Tangannya masih ada di genggaman Chris. Eugene buru-buru menarik muridnya itu meninggalkan guru BK sebelum Chris diseret ke ruang BK.

"Bu Eugene! Buku-bukunya?" teriak Pak Ole. Wali kelas 12-C itu masih berlari di sepanjang koridor sambil menyeret Chris, "Terima kasih untuk mengantarnya ke meja saya, Pak!"

Bu Eugene masih tergesa-gesa meninggalkan Pak Ole dan tidak menyadari kalau masih menggandeng tangan Chris.

"Beib, kita aman. Kalo boleh tau mau ke mana?" tanya Chris.

"Apa cita-citamu, Chris?" tanya Eugene melambatkan langkahnya dan ritmenya diikuti oleh Chris. Remaja itu bingung ditanya soal cita-cita oleh wali kelasnya.

"Kenapa Beib?"

"Panggil Bu Eugene!"

"Kita sedang berdua dan kau sedang menggandeng tanganku!" seru Chris sambil tertawa dengan riang. Tangannya kemudian segera dilepaskan oleh Bu Eugene.

"Kenapa kau melepaskanku?"

Wali kelas 12-C itu pura-pura tak mendengar.

"Apa cita-citamu, Chris?" tanyanya lagi sambil tetap berjalan. Chris mengangkat kedua bahunya seakan tak peduli.

"Tidak tau. Belum berpikir sejauh itu," jawabnya santai. Bu Eugene menyelipkan rambutnya di belakang telinga.

"Ibu bertanya karena ingin tahu, fakultas apa yang akan kamu ambil nantinya," katanya. Chris masih menunjukkan ekpresi tak pedulinya.

"Ben bilang dia mau ke ITB, mungkin aku juga mau ke sana," jawabnya.

"Sepupumu yang kurus itu? Ah, kalau dia, Ibu tak kuatir. Dia tahu apa yang dia inginkan. Kamu yang belum tahu tujuan."

"Tujuan? Aku tau tujuanku mau nikahin kamu sepuluh tahun lagi!"

Bu Eugene melipat tangannya dan tak mau menatap Chris karena merasa gurauannya sama sekali tidak lucu.

"Tahun terakhirmu, Chris. Belajarlah dengan baik. Jangan suka bolos. Terutama kelas Pak Wira," tukas Bu Eugene pelan. Chris menghentikan langkahnya, memandangi punggung wali kelasnya dengan heran.

"Bagaimana kau tau, aku hanya bolos pada kelasnya?" tanyanya sambil menjejeri langkah Bu Eugene. Wanita yang memakai kacamata berbentuk bulat itu tersenyum.

"Ibu tau masalahmu dengan Pak Wira. Kau anak cerdas, Chris. Tapi bukan berarti kau bebas melakukan sesuka hatimu. Kau tidak suka caranya mengajar, juga bukan berarti kau boleh melawannya," tukas wanita itu pelan tapi nadanya tegas.

"Dia terlalu kaku. Pelajaran Matematika harusnya tak sekaku itu!" seru Chris keras.

"Ibu tidak bilang kamu salah soal ini."

"Aku memang tidak salah!"

"Tapi Ibu juga tidak bilang kamu benar!"

"Maksudmu apa?"

"Chris dengarkan Ibu baik-baik. Jangan dipotong dulu!" Bu Eugene buru-buru mengingatkan muridnya karena dilihatnya Chris ingin membuka mulutnya lagi.

"Pak Wira usianya sudah 50, Beliau mungkin sudah lebih tua dari papamu. Ibu tidak minta apa-apa darimu, cukup hormati dia sebagai orang yang lebih tua. Kau murid cerdas, Chris. Jangan karena bolos, nilai matematika hancur. Stop! Dengarkan Ibu! Ya, Ibu tau tanpa guru, kau bisa mengerjakan soal-soal ujian. Sebagai orang yang lebih muda, kau tidak boleh bersikap sombong meski kau pintar. Tak ada gunanya pintar tapi sombong!"

Chris kelihatan kesal, tapi dia malas untuk melawan perkataan Eugene. Remaja itu memilih meninggalkan wali kelasnya tanpa mengatakan apa-apa.

"Chris! Christopher Abinaya! Berhenti!"

Chris tetap berjalan tanpa menoleh pada Bu Eugene.

"Kalau kau masih bolos, Ibu akan menghukummu! Christopher Abinaya Lie! Kau dihukum menjadi pengurus mading selama satu semester!"

Chris menghentikan langkahnya dan menoleh pada wali kelas cantik itu. "Apa?"

Chris benci Pak Wira, oleh karena cara mengajarnya yang tidak asyik menurutnya. Namun pelajaran Bahasa Indonesia, buat Chris itu tak ada manfaatnya untuk dipelajari. Ia berusaha mengikutinya karena Ibu Eugene. Dihukum menjadi pengurus majalah dinding sekolah hanya akan menjadi siksaan baginya.

"Mengapa kau lakukan ini padaku?" raungnya.

Bu Eugene menggigit bibirnya.

"Ibu melakukannya untuk kebaikanmu. Kalau kau sudah sadar, kau boleh meminta maaf padanya lalu berjanji untuk tidak bolos lagi. Dengar, Chris! kau mungkin murid paling cerdas di kelasku, tapi sebagai manusia selain cerdas juga harus memiliki attitude."

Chris, memasukkan kedua lengannya ke dalam saku dan berjalan bolak-balik untuk menghilangkan rasa kesalnya pada hukuman Bu Eugene.

"Kau selalu menjadi guru favoritku! Aku tidak mengerti mengapa kau harus membela guru itu!"

"Satu semester, Chris. Kalau kau ingin minta maaf, kau boleh melakukannya sekarang. Pak Wira ada di kantornya!"

Chris meninggalkan Bu Eugene tanpa menoleh lagi. Dia tidak sudi meminta maaf kepada guru tua yang tidak asyik itu.

Christopher, pada suatu saat nanti, kau akan menyadari kalau sewaktu muda kita banyak melakukan banyak kesalahan yang kemudian akan kita sesali. Aku memaksamu meminta maaf pada Pak Wira untuk menghindari salah satu kesalahan yang akan kau lakukan.

🎋My Pretty Teacher🎋

Tbc

🎋Author's Noted :

Cici seneng nulis backstory. Kalau kalian perhatikan selalu ada backstory dalam kisah yang Cici tulis. Semuanya kecuali Wind at the Island karena Jayden dan Julia memang tak pernah bertemu in the past. Sedangkan Cinderella Janda, backstory tentang Lily dan Bima.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top