🎋6. I Left My Heart in Your Place🎋
👆Kalian tau, mulmed ini pada zamannya top banget. Pas Cici lagi SMA. Bukan SMU ya, kalo dulu. Eh, voted dulu sebelum baca. Sebelum Chris ngegas. 👆
By the way! Kalian sombong, mau baca, taruh di library tapi ogah ngefollow. Apa karena Cici bukan penulis femes, ya? Sedih Cici.
"Pagi, Cantik!"
"Hoamm... Siapa?"
"Tukang listrik paling ganteng sedunia akhirat."
"Aku ngantuk, katakan perlumu..."
"Ponselku ketinggalan di rumahmu. Aku ada di depan. Buka pintunya!"
"Apaaaa!!!" Eugene terkejut tapi sedetik saja. Matanya terpejam lagi.
"Cepat buka pintu. Ini ponsel teman, dia sudah mau pergi."
"Oke."
Aish, apa ini lelaki paling reseh sedunia akhirat? pikir Eugene kesal. Dia baru tidur dua jam karena kemarin setelah Chris pulang, malah tak bisa tidur. Mencoba menulis naskahnya, tapi yang ada di pikirannya hanya pria yang mengaku ganteng sedunia akhirat itu. Eugene menyalahkan dirinya karena menjadi janda jomblo beberapa bulan terakhir, sampai pria yang lebih muda darinya itu yang masih bekas muridnya pun bisa membuatnya sampai susah tidur. Karena susah tidur, ia memutuskan untuk membereskan pakaian kotornya yang memenuhi sofa lalu memasukkan ke mesin cuci dilanjutkan untuk berberes pantry island. Dia baru menyadari hanya punya sepasang sendok garpu dan membuat rencana untuk belanja alat dapur kalau ada waktu.
Dilemparkannya ponselnya ke samping tempat tidur dan bangkit dengan ogah-ogahan. Diseretnya kakinya memakai sandal kamar dengan kepala kelinci dan berjalan ke depan pintu. Chris hanya akan mengambil ponselnya dan kemudian pergi, Eugene tak perlu susah-susah mandi atau menata rambutnya.
Pintu dibuka, dia masih menguap. Mata juga masih sulit terbuka.
"Pagi, Can... kau baru bangun?"
Eugene menggangguk-angguk, belum sadar sepenuhnya. Tetapi dia merasa sayang juga karena ada pemandangan indah di depannya berupa sosok jangkung dengan rambut berantakan dan berbibir tebal, hanya matanya sulit kompromi. Tak mau terbuka.
"Ambil ponselmu dan pergilah. Aku bukan makhluk pagi hari," usir Eugene.
"Bukan makhluk pagi hari, tapi tetap saja manis," tukas Chris sambil mengulurkan tangannya, merapikan rambut Eugene yang mengganggu penglihatan pria itu pada wajahnya.
"Hoammm... gombal..."
"Jam berapa tidur?"
"Baru tidur dua jam..." Kepala Eugene bersandar di pintu dan matanya terpejam.
"Jangan bilang kau memikirkanku sampai nggak bisa tidur," bisiknya dengan nada rendah.
"Oh, bagus. Terus saja berpikir seperti itu. Cepat sana ambil ponselmu."
Chris menepuk pipi Eugene agar wanita itu sadar dan tak lagi bersandar pada pintu. Barulah ketika wanita itu bergeser, Chris melangkah masuk lalu mencari ponselnya di meja, tapi pria itu kemudian heran karena tampak olehnya sofanya sudah bersih tanpa baju bekas. Lalu ia menoleh ke semua sudut ruangan. Semua tampak berbeda. Pantry island tanpa piring kotor, bak cuci piring juga bersih. Lantai bersih mengkilat.
"Sepertinya kejadian bra kemarin malam membawa berkah tersembunyi," tukas Chris dengan nada lucu. Eugene menghempaskan dirinya ke sofa dan memejamkan matanya lagi dengan kepala bersandar di sandaran sofa. Chris sengaja menggeser bahunya agar dekat dengan kepala Eugene, berjaga-jaga siapa tahu wanita itu membutuhkan sandaran lain.
"Tidak mau ikut sarapan bersamaku?"
Eugene menguap tapi mengelus perutnya. "Lapar, sih. Tapi ngantuk."
"Ya sudah, aku tunggu lima belas menit. Lalu temani aku ke Starbuck di depan kompleks."
"He'em."
Eugene benar-benar tidur, dia tak sadar kalau kepalanya terkulai dan Chris menggeser badannya agar wanita itu bersandar di bahunya. Lima belas menit saja untuk bahu berotot. Kopi dan roti bisa menunggu tapi kenyamanan ini tak bisa menunggu. Waktu sekejap dibandingkan dengan tahun-tahun dalam pernikahannya yang bagaikan neraka. Dia cukup heran dengan Panji, orang yang telah bersamanya selama bertahun-tahun tapi tak pernah memberikan kenyamanan seperti yang dia dapatkan hari ini. Lima belas menit panjang dalam hidupnya dan itu adalah menyandarkan dirinya pada Chris. Eugene bahkan bermimpi kalau ia sedang berada di kebun bunga yang indah, walaupun dirinya bukan penggemar salah satu jenis bunga dengan seorang pria berkaki panjang datang mendekatinya dan mengulurkan tangan kepadanya. Pria yang wajahnya masih samar.
"Bangun, Cantik. Sudah lebih dari lima belas menit," bisik Chris lembut. Perlahan kelopak matanya terbuka. Eugene berusaha mengangkat kepalanya, mendongak menatap wajah yang samar dan kemudian pelan-pelan membentuk senyum dengan bibir lebar.
"Hm... sudah kau temukan yang kau cari?"
"Apa?" Eugene yakin suara milik pria itu bergetar.
"Em... ponselmu," jawabnya sambil mengucek-ngucek matanya.
"Ah! Ponsel!"
Eugene bergeser karena merasa terlalu dekat dengan Chris sehingga membuatnya sesak nafas. Dia masih belum tahu kenapa bisa sampai menyandarkan kepalanya pada Chris dalam tidurnya dengan waktu pendek. Terlalu dekat dengan pria itu membuatnya mengambil oksigen.
"Di mana, ya? Kau ingat di mana aku letakkan ponselku kemarin?"
Eugene menggeleng lemah. Ingatannya yang payah, mana bisa diharapkan untuk membantu Chris.
"Kemarin malam aku di sini menerima telepon dan banyak baju di sini."
"Aku masukkan ke mesin cuci. Ah! Mesin cuci!"
Eugene berdiri lalu lari ke mesin cuci yang terletak di depan kamar mandi. Namun semua pakaian basah sudah dijemur di atas sebelum mencoba tidur dan ia tidak menemukan ponsel.
"Ada?"
"Nggak!"
"Apa kau tinggalkan di tempat lain?"
"Tidak! Aku meninggalkan ponselku di sini."
Chris tampak berpikir kembali tentang kejadian kemarin saat dia menerima panggilan telepon dari Vivi. Sejak itu dia tak melihat ponselnya lagi.
"Pinjam ponselmu, Beib! Nanti aku telepon dari ponselmu," tukasnya menodong.
"Wait! Wait! Ponselku di mana?"
Chris mengusap tengkuknya, sama bingungnya dengan wanita ini. Eugene berjalan ke sofa, berusaha mencari ponselnya di kolong meja dan sofa. Tepat ketika itu, terdengar nada getar. Eugene melongok dan menemukan ponsel di kolong sofa.
"Halo!"
"Halo? Chris?" Ada nada syok terdengar oleh Eugene.
"Siapa?"
"Ini ponselnya pacarku! Di mana Chris?" Sekarang ada nada histeris.
"Ini ponselku. Eh, apa benar ini ponselku? Chris?" Eugene melambaikan tangan pada pria yang masih mencari ponsel di mesin cuci. Melihat kode dari Eugene, pria itu mendekat.
"Ya, Beib?"
Eugene menyodorkan ponsel itu dan masih bingung itu ponselnya atau punya Chris. Pria itu menerimanya tanpa ragu.
"Ya!"
Wajah Chris menunjukkan ekspresi kesal ketika menjawab telepon itu. Eugene merasa tak enak karena telah lancang menerima telepon dari pacarnya Chris. Pria itu pasti akan diomeli pacarnya.
"Kau salah paham. Ponselku ketinggalan di rumah teman."
Chris menatap Eugene. Eugene menunduk.
"Aku sudah bilang, ponselku tertinggal. Kau salah paham"
Chris menghela nafas, kelihatan lelah tapi masih tetap memandangi Eugene.
"Oke, aku salah. Maaf."
Pria itu mengusap tengkuknya. Eugene memutuskan untuk meninggalkannya karena tak mau mendengar Chris yang sedang membujuk pacarnya yang sedang marah, tapi ketika ia ingin pergi, pria itu menarik lengannya. Eugene terkejut menatap mata Chris. Pria itu menggeleng, Eugene tak mengerti apa maksudnya.
"Vi..."
Chris memanggil nama pacarnya, tapi matanya menatap Eugene dalam-dalam.
"Ya, tapi aku bilang lihat nanti. Dan aku tak ingin pergi."
Eugene balas menatap pria itu, matanya menyiratkan sesuatu.
Lepaskan tanganku.
Chris menggeleng padanya.
Lepaskan!
Lagi Chris menggeleng.
"Sudah, aku capek. Nanti kita bicara."
Eugene menghentakkan lengannya, tapi Chris tak juga mau melepaskannya.
"Kenapa kau melakukan ini padaku?"
"Melakukan apa?"
"Kau mempermainkan hatinya! Kenapa kau bicara padanya tapi menahanku? Aku tidak sudi kau perlakukan begitu! Itu tindakan yang sangat tidak jantan!"
"Aku juga tidak tau, Eugene! Yang kutau sejak bertemu denganmu, aku jadi orang bodoh!"
"Pergilah! Aku tidak mau..."
"Menjadi pelakor. Iya, aku mengerti. Aku tak akan menemuimu lagi. Kau tidak ingin jadi orang jahat. Aku yang jahat."
Eugene menunduk menatapi sandal rumahnya yang berkepala kelinci. Tidak mengerti kenapa hatinya ikut sakit mendengar ucapan Chris, tapi daripada nantinya Eugene menyakiti hati wanita lain, lebih baik ditahan rasa sakit itu sekarang dengan mengusir pria yang menyebabkan segala keruwetan ini.
"Aku pergi, Beib."
Eugene tak menyahut, tak juga mau memandang punggung pria itu. Dia tahu Chris berbalik memandangnya ketika sampai di pintu lalu melambaikan tangannya, yang Eugene acuhkan juga.
"Bye, Eugene. Aku pergi."
Eugene menggigit bibirnya sampai terasa perih. Ia menghibur diri kalau ini bukan apa-apa, waktu Panji mengucapkan selamat tinggal, rasanya lebih sakit daripada sekarang ini. Eugene akan melupakan kejadian hari ini seperti dulu ia tidak ingat siapa Christopher Abinaya.
Bye Christopher! Kita tak akan bertemu lagi.
🎋My Pretty Teacher🎋
"Semuanya 58 ribu, Kak Eugene," kata pegawai gerai kopi itu. Eugene mencari kartu member dari tas birunya, tapi dompetnya tidak ketemu. Dicarinya sampai kantong depan tapi juga tidak ada. Eugene merogoh saku celana jeansnya. Tidak ada dompet. Lalu ia mencoba mengingat waktu terakhir kali melihat dompetnya yaitu saat pergi ke minimarket untuk membeli token listrik dan waktu itu Eugene tidak membawa tas. Sekarang ia yakin kalau dompetnya pasti tertinggal di rumah.
"Kak, harganya 58 ribu."
Eugene menyeringai pada kasir gerai kopi itu, meminta belas kasihan darinya.
"Aku lupa bawa uang tunai. Ada aplikasi di ponsel, tapi aku nggak yakin saldonya cukup," tukasnya dengan ekspresi menyesal.
"Tidak apa-apa, pakai kartuku saja," jawab seorang barista yang sedang bertugas. Eugene mengangkat kepalanya menatap pemilik suara itu. Seorang pria berambut panjang tapi terikat rapi dengan senyuman yang menawan.
Barista (No Min Woo).
Barista itu mengeluarkan kartu dari dalam sakunya dan menyerahkan kepada kasir.
"Ada tambahan lagi?" tanyanya dengan nada simpatik. Eugene terperangah dengan senyum dan nada simpatik itu sampai tak bisa berkata-kata.
"Kak Eugene," panggil kasirnya.
"Tambahkan peanut butter panini untuknya," tukas barista tampan itu. Kasirnya mengangguk.
"Thank you," ucap Eugene. Barista itu memamerkan senyum hangatnya. Eugene membalas senyumannya dengan anggukan.
"Apa kau harus tebar-tebar pesona pada semua lelaki berkaki panjang?"
Sindiran tajam yang berasal dari pria jangkung yang mengantri di belakangnya. Tanpa menoleh pun sebenarnya Eugene tahu kalau pemilik suara itu adalah pria yang beberapa jam lalu baru mengucapkan salam perpisahan padanya. Namun ia tetap menoleh ke belakang dan menunjukkan mimik tak senang. Beberapa jam tak bertemu, tapi rasanya Chris semakin tampan daripada yang diingat Eugene. Eugene menepuk jidatnya sendiri agar sadar dan berlaku normal.
"Kau bilang aku tebar pesona?"
Mata Chris tampak membulat dan bibirnya tampak cemberut. "Apa namanya kalo bukan tebar pesona?"
"Itu... karena aku lupa bawa dompet," ujar Eugene berusaha membela dirinya dan tak mau dituduh merayu barista tampan yang sedang bertugas.
"Lupa?" Chris mendengkus. Kelihatan sekali kalau dia kesal.
"Ya, aku meninggalkan dompetku di rumah karena kemarin—"
Kejadian kemarin malam itu berhubungan dengan Chris, ia tak mau mengingatnya lagi. Semua cerita tentang pria ini harus segera dihapus dan dibuang ke tong sampah, jika Eugene ingin hidup damai.
"—Ah sudahlah."
"Daripada merayu pria itu, bukankah lebih baik kau menghubungi orang yang kau kenal untuk membayar tagihanmu?"
"Siapa yang harus kutelepon?" tanya Eugene sengit. Chris mengangkat kedua bahunya dan menjawab, "Aku."
"Aku tidak mau ber..."
"Hubungan denganmu karena kau punya pacar. Baik Nyonya! Kau memang orang suci, aku yang jahat!" Chris sendiri yang menyempurnakan ucapan Eugene hingga wanita itu terdiam.
"Silakan, Kak!" Suara kasir memberi kode kalau antrian sudah sampai pada Chris membuat keduanya diam untuk beberapa saat. Sadar kalau masih ada orang lain di depan dan belakang. Eugene tak mengucapkan apa-apa lagi untuk membalas Chris. Dia pikir ada baiknya membiarkan pria itu berpikir sesuka hatinya agar hubungan mereka tak berkembang.
"Kak Eugene, americano dan panini peanut butter," panggil barista itu. Eugene tersenyum.
"Terima kasih," ucapnya tulus. Barista itu memang cukup manis. Jarang pria berambut panjang bisa semanis itu, saat tersenyum, bibir tipisnya melengkung, matanya bersinar jenaka.
"Otakku sangat kuat bila mengingat nama orang," katanya masih saja dengan nada simpatiknya.
"Kau orang baru di sini?" tanya Eugene.
"Kukira kau yang pengunjung baru."
"Ah ya, baru pindah ke kompleks itu," balas Eugene sambil menunjuk kompleks yang ada di samping gerai kopi.
"Sering-sering datang, ya," pesannya.
"Ya, aku harus membayar hutangku padamu," tukas Eugene sambil tertawa. Barista itu ikut tertawa. Lalu wanita itu membawa kopi americano dan rotinya mencari meja.
"Situasi apa itu tadi?"
Eugene menghela nafas. Chris mengikutinya di belakang sambil membawa kopi dan cup air putih. Dia meminum kopi americano juga, baunya tercium sampai ke hidung Eugene.
"Bukan urusanmu!"
"Ya, memang bukan," balasnya tak kalah judes.
Eugene mencari meja di smoking area yang ada di luar, selain karena ingin merokok, ia ingin menghindar dari Chris. Namun dia lupa, Chris juga perokok. Pria itu meletakkan kopi dan air putih di meja tepat di belakangnya.
"Kenapa kau mengikutiku?" tanya Eugene tak senang. Chris yang masih berdiri, mendengkus jengkel lalu menjawab, "Aku tak mengikutimu. Aku sedang menunggu pacarku. Dengar baik-baik! Aku lagi mau pacaran. P-A-C-A-R-A-N!"
Eugene mendongak memandang pria jangkung itu dengan emosi.
"Hi, Chris Darling!"
Suara manja memanggil Chris membuat Eugene merinding dan menoleh pada asal suara. Pemiliknya adalah seorang wanita muda, mungkin seusia Chris dengan mata seperti boneka barbie. Penampilannya yang anggun dan manis dengan dress putih dan sepatu high heel senada membuat Eugene malu dengan dirinya sendiri yang hanya berkaus lusuh leher sabrina dan celana adidas hitam yang biasa dipakai tidur. Wanita yang baru tiba itu membuat Eugene berusaha mengingat di mana ia pernah bertemu dengannya.
Eugene mengerutkan keningnya kemudian duduk diam sambil membelakangi Chris.
"Kau datang, Vivi."
Dua orang itu duduk bersama di belakang Eugene. Wanita itu mulai merasa tak enak, bila duduk di dekat Chris, ia bisa mendengar percakapan mereka. Eugene baru ingin pindah ketika wanita berbaju putih itu bersuara.
"Ini bajumu, sebentar lagi kita pergi ke pesta lajang Diandra."
"Aku sudah bilang, Vi. Aku tidak pergi. Aku tak kenal siapa orang itu," jawab Chris.
"Kita harus pergi. Anggap saja itu sebagai permintaan maafmu karena bersama wanita lain tadi pagi."
Eugene mendelik. Ia baru sadar kalau wanita ini adalah pacarnya Chris, yang tadi pagi marah-marah karena Eugene mengangkat teleponnya. Ia benar-benar harus pergi sekarang. Eugene tak ingin terlibat dalam hubungan rumit ini.
"Aku tidak wajib meminta maaf karena ini salah paham," kata Chris berkeras. Pacarnya Chris memukul meja.
"Salah paham? Ponselmu dijawab seorang perempuan kau bilang salah paham? Setidaknya minta maaf!" teriaknya dengan nada keras.
"Jangan mulai drama, Vi. Kita bukan dari kalangan artis," tukas Chris dengan nada sabar.
"Aku belum memaafkanmu kecuali—"
Chris menelengkan kepalanya ke samping, menunggu.
"—kau pergi ke acara ini."
"Tidak mau."
"Ayolah, Darling..."
Ketika cara keras tidak berhasil, maka wanita itu melakukannya dengan cara manja. Digesernya kursinya sampai ke samping Chris, mengamit lengan pria itu dan bersandar di bahunya.
"Kau tidak mau aku pergi sendiri 'kan? Kau suka cemburu kalau aku dirayu cowok lain 'kan?"
"Vi, ada yang harus aku bicarakan," ucap Chris. Ada tanda hati-hati dalam nada suaranya. Wanita yang sedang menyandarkan kepalanya di bahu Chris itu tampak waspada. Ia mencium gelagat aneh dalam keseriusan wajah pacarnya.
"Aku tak mau dengar!" Wanita itu menutup telinganya dengan kedua tangannya dan bernyanyi-nyanyi dengan kuat.
"Vivi, dengar!"
"Tidak mau! Tidak mau! Aku tidak mau putus!"
"Kau sudah tau. Kau tau kalo hubungan kita tak bisa dilanjutkan. Kau tau kita sudah pada tahap hambar."
Wanita itu terisak, mengeluarkan tisu dari dalam tas mungilnya lalu menghapus airmata yang berderai di wajahnya. Eugene menyayangkan ia tak bisa melihat ekspresi wanita barbie itu secara langsung karena posisi duduknya yang tak memungkinkan. Bila tadinya ia ingin pergi meninggalkan tempat itu, kini ia ingin pindah tempat duduk agar bisa melihat ekspresi Chris. Apa yang sedang dipikirkan pria berbibir lebar itu?
"Kenapa kau ingin putus dariku? Banyak yang ingin aku jadi pacar. Aku cantik dan tenar!"
Chris menarik nafas panjang dan menjawab, "Itu salah satunya. Kau tenar. Aku tidak bisa mengimbangimu."
"Kau cukup menjadi Christopher Abinaya saja, pacarku!"
"Aku bukan barang pajangan, Vi," tukas Chris lemah.
"Jadi, kau ingin putus karena merasa hubungan kita hambar?"
Chris mengangguk.
"Setahun ini, hatimu tak pernah tergerak untuk mencintaiku? Tidak ada satupun mantanmu yang pernah bertahan sampai setahun."
Chris mengangguk lagi.
"Kau tertarik pada perempuan lain 'kan?"
Chris mengangguk saja, dia tak menyimak pertanyaannya. Mengangguk supaya Vivi tenang tapi ia tak menyangka kalau wanita itu mengambil cup berisi air dan menyiramkannya ke wajah pria itu.
"Kau bajingan!"
Chris diam meskipun beberapa orang mulai melihatnya dan berbisik-bisik karena kejadian itu. Namun Vivi tak puas, dia berdiri dan berbalik ke belakang.
"Kau kira aku lupa bagaimana paras perempuan yang membuat pacarku berpaling, kau salah! Kau yang ada di pesta itu, kau juga kan yang menjawab teleponku tadi lagi?"
Eugene yang tak mengantisipasi kalau Vivi mengenali wajahnya hanya bisa mematung. Vivi menyambar kopi americano panas milik Chris dan bermaksud menyiram wajah Eugene, tapi belum sempat terjadi, Chris berhasil menahan tangan wanita yang sedang marah itu dan kopi tumpah ke lantai.
"Aku membiarkan kau menyalahkan diriku tapi... aku tak akan membiarkan dirimu menyakitinya. Ini salahku, sama sekali tak ada hubungan dengannya."
Vivi menatap Chris dengan mata merah. Ingin menangis meraung-raung tapi terlalu kuatir kalau dandanannya rusak dan itu merusak imagenya sebagai influencer kota Medan.
"Kau akan menerima balasannya!" ancamnya. Dihentakkannya kakinya lalu menyambar tasnya dan meninggalkan Chris dan Eugene.
"Aku menyesal kau harus menyaksikan ini."
🎋My Pretty Teacher🎋
🎋Author's Noted :
Komen, ya. Kan udah nggak ngerem lagi Chris.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top