🎋5. Filosopi Pop Mie🎋
Dia bilang tak mau makan mie instan, tapi makan juga, sebab tak ada yang bisa dibeli di minimarket, sedangkan rumah makan di sekitaran komplek sudah tutup. Jadi Chris dan Eugene duduk di toko Indomaret sambil menyantap pop mie. Pop mie memang pilihan yang pas di saat gerimis turun menyirami bumi. Baru kali ini, Chris menyadari kalau pop mie itu demikian lezatnya.
"Boleh kuminta bagianmu?"
Eugene mencoba menyembunyikan pop mienya sebelum diambil Chris.
"Tidak boleh!"
"Sedikit saja! Cuma ingin coba rasa yang beda."
"Tidak—"
Eugene menggeleng.
"—kecuali kau memberikan punyamu."
Chris melirik bagiannya. Tadinya ia memilih mie goreng pedas, Eugene membeli rasa kari. Sekarang setelah mencium bau kari, dia menginginkan pop mie rasa kari.
"Ah, baiklah!" Pria itu menggeser cup mie-nya dan mengambil pop mie milik Eugene. Chris makan dengan lahapnya, di anjungan minyak, dia tak pernah makan kari, jadi meskipun hanya pop mie pun membuatnya merasa puas. Dia menghabiskan mienya dalam dua kali sendokan dan meminum kuahnya sampai tetes terakhir. Baru diletakkan cup kosongnya dan dilihatnya Eugene mengupasi mulutnya. Bibirnya merah dan keringatnya bercucuran karena kepedasan. Ekspresinya lucu. Wanita itu memang cute.
"Pedassss!" Eugene masih mengipasi mulutnya yang terbuka. Chris tertawa terbahak-bahak. Baru pertama kali mengetahui fakta kalau ada wanita dewasa yang tak sanggup makan pedas dan orang itu adalah Eugene.
"Ngeprank dengan sengajaaaaa! Hahhhh, pedassss!"
Wanita itu menghapus keringatnya dengan lengan bajunya karena tak punya tisu. Chris tidak tega, ia lari ke mesin pendingin untuk mengambil sebotol air mineral dan membayarnya di kasir. Lalu kembali ke tempatnya. Eugene langsung menyambar air itu dan meminumnya untuk menghilangkan rasa pedas di mulutnya.
"Kau jahattt! Tau!"
Chris menunjukkan ekspresi tak terima karena disalahkan oleh Eugene. "Aku nggak tau kau nggak bisa makan pedas. Sudah setua ini!"
"Jangan bilang aku tua!" raung Eugene sambil memukul bahu pria itu. Chris berusaha mengelak sambil bergerak ke segala arah sampai menimbulkan kehebohan di minimarket yang sudah sepi pengunjung pada jam begini. Kedua orang itu akhirnya mendapat tatapan sinis dari kasir minimarket.
"Minum dulu. Aku mau beli nescafe. Kau mau?"
"Boleh! Kita duduk di depan toko saja. Biar nggak diusir saking ributnya," usul Eugene sambil menunjuk meja yang ada di depan minimarket. Chris mengangguk.
"Tunggu di sana. Sampah makanan kita buang dulu. Sebelum kita diplototi lagi," ujar Chris. Eugene mengiyakan dan membereskan cup-cup kosong serta botol air mineral lalu membuangnya ke tong sampah di depan pintu minimarket sementara Chris pergi ke mesin kopi.
Tak lama kemudian, pria itu membawa dua cup kopi nescafe untuk dirinya sendiri dan Eugene.
"Aku nggak minum kopi susu," ujar wanita itu sambil melirik isi cupnya.
"Ya, aku juga, Beb. Tapi sudah malam, kalo minum americano, susah tidur," jawab Chris santai sambil duduk di samping Eugene dan memandangi jalanan kompleks yang masih basah oleh hujan rintik-rintik. Eugene mengambil cup kopinya dan menyesapnya pelan-pelan.
"Kau sudah menulis naskahmu?" tanya Chris. Eugene menggeleng lemah.
"Setengah harian di rumah teman. Main sama anaknya," jawabnya sambil tersenyum.
Anak, pikir Chris. Tiba-tiba pemikiran tentang Eugene juga punya anak terlintas di otaknya. Wanita itu sudah pernah menikah, jadi mungkin saja Eugene punya anak dari pernikahannya dan sekarang setelah bertemu dengan anak temannya, ia jadi merindukan anaknya.
"Kau punya anak dari pernikahanmu?" tanya Chris, tak bisa menahan dirinya. Dia bukan orang yang suka basa-basi, jika penasaran, maka Chris akan langsung bertanya daripada membuatnya penasaran dan tak nyenyak tidur. Sebenarnya pria bermulut lebar itu sudah menduga kalau Eugene akan menunjukkan ekspresi sedih, hanya ia tak menyangka kalau wanita itu bisa memperlihatkan luka yang begitu mendalam di matanya dengan jawaban, "Tidak. Aku tidak punya."
Chris yakin kalau dia melihat luka yang dalam di mata indah itu, walaupun hanya sekejap dan Eugene tersenyum lagi.
"Tak ada anak-anak jadi perpisahan kami tidak ribet. Cukup pisah saja," jawabnya santai.
"Mantanmu sudah menikah lagi?"
"Setauku, belum."
"Ah!"
"Tidak penasaran kenapa berpisah?"
"Ya, sih. Kau mau bilang?"
"Nanti, kapan-kapan. Suasana saat ini tidak mendukung. Bukan cengeng cuma... emang kau bersedia pinjam bahumu untuk aku bersandar?"
Chris menegakkan punggungnya lalu menepuk bahunya sendiri, berusaha menunjukkan kalau dia bersedia pundaknya dijadikan sandaran oleh Eugene. Wanita bermata seindah bintang itu tertawa.
"Meskipun bahumu kelihatannya enak dijadikan sandaran, aku tidak mau mengambil resiko dilabrak pacarmu. Selain itu, aku bukan pelakor," katanya dengan nada serius.
"Apa itu pelakor?"
"Kau tidak tau? Kau tau cerita Ahmad Dhani, Maia, dan Mulan?
Chris menggeleng dengan muka songongnya. Eugene mengibaskan tangannya dengan gaya bosan. "Intinya pelakor itu pengambil laki orang. Aku nggak mau punya hubungan istimewa dengan pria yang masih punya hubungan dengan wanita lain."
Chris cemberut. "Ah! Aku kan bukan laki orang. Belum."
"Hanya tidak suka dengan perempuan yang suka bergenit ria dengan pria milik orang lain. Itu saja," tukas Eugene lalu menyesap kopinya sekali. Lalu matanya memandangi jalanan lagi. Chris menduga wanita itu pasti terkenang pada mantan suaminya. Malam bergerimis yang suasananya agak memancing emosi, pasti membuat wanita itu mengingat kembali masa-masa bersama mantannya.
"Berapa lama sudah pisah?" tanya Chris. Eugene berpaling dari jalanan dan menatap pria yang bertanya padanya.
"Dua tahun mungkin, atau lebih. Aku lupa. Tepatnya malas untuk mengingat."
"Ah!"
Malas untuk mengingat, bukan berarti melupakan, pikir Chris dalam hati. Namun, apa yang dipikirkannya tidak tersampaikan karena dia tahu Eugene tak ingin berbicara saat ini. Menikmati kopi dan mencium bau gerimis di atas tanah.
"Pulang, yuk! Kelamaan di sini." Wanita itu juga yang akhirnya berdiri setelah kopi nescafenya habis. Chris ikut berdiri. Keduanya menarik nafas sebelum sama-sama berlari menuju mobil Chris. Sebagai pria, Chris hanya refleks berlari sambil berusaha melindungi kepala Eugene dengan tangannya agar tidak kena gerimis, memastikan wanita itu naik ke mobil, baru dia kembali ke mobilnya.
Ketika Chris naik ke mobil, dia menyadari Eugene sedang menatapnya dan senyum-senyum sendiri. Ia heran dan bertanya, "Kenapa?"
"Apa?"
"Kenapa kau senyum-senyum menatapku?"
Eugene tertawa-tawa sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. "Kau sangat romantis, tau! Nggak perlu segitunya, kita nggak pacaran."
"Oh! Apa? Maksudmu aku romantis?"
"Songong!"
"Aku songong? Kau mau aku tinggalkan di sini? Aku songong, kau sembrono! Mana ada orang yang lupa token listrik habis, kan ada waktunya listriknya kasih kode."
Eugene mendelik sebal karena diingatkan soal kebodohannya sendiri.
"Mana kutau! Aku baru pindah! Pemilik rumah sebelumnya tak mengingatkan aku soal token!"
"Semua rumah sudah pakai token, kau saja yang aneh!"
"Aku, aneh? A-N-E-H? Kau kurang ajar!"
Lagi, Chris dan Eugene bertengkar lagi untuk ketiga kalinya dalam waktu kurang dari dua jam. Namun biarpun mereka ribut, bertengkar, Eugene memukulnya, pria itu merasa asyik saja. Bersama Eugene membuatnya nyaman dan menjadi diri sendiri.
Ketika mereka kembali ke rumah Eugene, Chris merasa ingin lagi mengetok kepala mantan gurunya itu, karena dia baru sadar tidak mengunci pintu rumahnya sewaktu meninggalkan rumah.
"Aku tak ingat kalo dulu kau memang setolol ini," gerutu Chris. Dia secepatnya mengisi token listrik, begitu lampu menyala, Chris masuk ke rumah untuk memeriksa keadaan. Wanita sembrono itu malah tenang-tenang saja, membuka kulkas dan menyimpan cokelat dan es krim yang baru dibelinya di minimarket, sementara Chris memeriksa sampai ke sudut-sudut ruangan. Pria itu mengusir Eugene yang berdiri di bak cuci piring hanya untuk memeriksa lemari bagian bawah.
"Apa, sih?"
"Kau tak takut rumahku kemasukan maling apa? Aku hanya mencoba membantu," tukas Chris sambil membuka pintu lemari. Eugene menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tak ada yang perlu kau kuatirkan. Rumahku nggak ada apa-apanya. Apa yang mau diambil maling. Malingnya terlalu bodoh sampai memilih rumahku sebagai sasaran," tukasnya sambil tertawa lucu. Chris melotot kesal.
"Bukan soal barang. Barang bisa dibeli lagi tapi bagaimana kalau ada penjahat yang mencoba memperk....."
Eugene mendongak menatap Chris, pria itu tak sanggup melanjutkan kata-katanya, hanya bibirnya saja tampak cemberut.
"Maaf, seharusnya aku nggak ngomong gitu."
"Kenapa harus minta maaf? Kau kira ini Lebaran?"
"Oii!"
"Apa!"
"Ah, sudahlah! Tidak ada orang di sini. Aku mau lihat tempat lain dulu."
"Pulang saja sana. Sudah malam," usir Eugene.
"Ah, begini cara berterima kasih."
Ddrrtt.
Chris mengeluarkan ponselnya dari saku celana dan nama yang tertera di layar membuatnya terkesiap.
Vivi darling calling...
"Sebentar."
Chris menempelkan ponsel di telinga dan berjalan menuju sofa. "Halo."
"Kau di mana?"
"Em, di rumah teman."
"Selarut ini?"
"Kau telepon hanya ingin ngecek aku di mana?"
"Tidak, sih. Hanya mau mengingatkan, besok kita ke pesta lajangnya Diandra. Bajumu dari endorse aku kirimkan besok pagi."
"Ah, pesta. Aku tidak ingat harus ke pesta."
"Aku bilang padamu beberapa hari lalu. Atau aku chat di WA, coba deh, baca."
Chris bisa membayangkan wajah Vivi yang cemberut karena ia tak ingat pesta yang dimaksud wanita itu.
"Dunno, aku tidak pergi, Vi. Aku bahkan tidak kenal siapa Diandra itu."
Terdengar Vivi menarik nafas panjang sebelum berkata, "Anggap saja aku bilang sekarang. Besok kita pergi ke pesta."
"Kita lihat besok, Vi. Selamat malam."
Chris melempar ponsel itu ke meja. Meja yang penuh dengan snack, ada yang sudah kosong, tapi ada juga snack yang baru habis setengah. Disingkirkannya baju kotor milik Eugene agar ia bisa duduk sejenak di sofa itu, tapi malah bra warna hijau lemon itu tersangkut di tangannya. Chris yang awalnya kesal karena Vivi yang suka seenaknya mengatur jadwalnya jadi tertawa terbahak-bahak. Diangkatnya tali bra warna terang itu sambil melambai-lambaikannya ke atas.
"Apa kau berpikiran segitu polosnya kalo tak ada cowok di rumahmu maka bra pun kau letakkan begitu saja?"
"Christopher! Lepaskan itu!" teriak Eugene histeris. Dia sangat malu, wajahnya bersemu merah. Chris tak menduga kalau wanita itu bisa malu juga.
"Ambil sendiri!"
"Christopher! Aku ingatkan kau!"
Eugene mengambil langkah lebar, memburu Chris untuk merebut bra dari tangannya. Namun pria itu cukup meninggikan tangannya, Eugene tak akan bisa mencapainya meskipun dia mencoba melompat untuk mendapatkannya.
"Kembalikan!"
"Ambil sendiri!"
Eugene naik ke sofa masih berusaha merebut branya, Chris ikut naik dan tangannya terangkat ke atas. Tangan kanan Eugene menjangkau lengan Chris, tak sadar mendorong pria bermulut lebar itu hingga hampir jatuh dari kursi dan berusaha mencari keseimbangan dengan meraih pinggang wanita di depannya. Eugene sama sekali tidak menduga kalau dirinya akan dipeluk, keduanya akhirnya terjatuh di sofa dengan posisi Chris di bawah.
Cukup lama berada di posisi ditindih Eugene, Chris senang-senang saja. Kalau tak salah mengartikan, wanita itu membeku memandangi bibirnya dan menelan ludah. Dia menyukai ekspresi Eugene, seandainya tak ingat baru saja wanita itu baru mengatakan secara eksplisit, tak ingin memiliki hubungan spesial dengan pria yang masih menjalin hubungan dengan wanita lain.
"Sampai kapan kau terus rebah di atas tubuhku?" bisik Chris dengan nada rendah. Eugene tampak kikuk.
"Anu..."
Dia cepat-cepat beringsut dari dada bidang itu dan langsung berdiri, tak berani menatap wajah Chris.
"Sebaiknya kau pulang. Sudah malam," katanya sambil merebut bra dari tangan Chris. Pria itu mengusap tengkuknya sendiri untuk menenangkan jantungnya yang berdegup-degup tak karuan. Ia tak mengerti mengapa ini bisa terjadi kalau jantungnya merasa biasa-biasa saja saat mencium Vivi, tapi memeluk Eugene beda rasanya. Bila diibaratkan seperti membawa sepeda menaiki bukit, berat dan membuat jantungnya berpacu.
"Pulang, ya. Tidur yang nyenyak."
Semoga kau tidak bisa tidur memikirkan diriku!
Sebelum beranjak dari tempatnya, Chris menyentuh pucuk kepala wanita itu dan menghirup wangi sampo lidah buaya dari rambutnya. Dia yakin wangi itu akan terus tertinggal dalam pikirannya sepanjang malam dan ujung-ujungnya, Chris akan menyalahkan kopi nescafe yang diminumnya tadi karena telah membuatnya tak bisa tidur. Padahal satu-satunya alasan yang membuatnya tak bisa tidur adalah Eugene Daisy Sidharta.
Chris meninggalkan Eugene, yang bahkan tak mau juga menatapnya meskipun ia sudah pergi meninggalkan rumahnya.
Sembilan tahun yang lalu.
"Chris, ada dua murid berkelahi dari kelasmu. Ayo, lihat!"
"Di mana?"
"Kelas!"
Dua remaja tinggi dan kurus, Tristan dan Chris berlari menuju kelas 12-C untuk melihat perkelahian itu.
"Tunggu aku, aku suka keributan!" seru Chris senang. Tristan tidak bilan apa-apa, hanya mengikuti sepupunya saja.
Sampai di kelas 12-C sudah ramai, murid-murid lain mengerubungi kelas itu. Chris mengintip dari jendela kaca bersama Tristan. Ada dua orang temannya sedang berkelahi di kelas. Suasana kelas berantakan, kursi dan meja tak beraturan lagi letaknya. Murid-murid perempuan yang kebetulan ada di dalam teriak dan berusaha keluar dari sana karena takut terkena pukulan dan tendangan.
"Keparat! Kan kau sudah kuingatkan untuk tidak mendekati Jenny!"
"Jenny bilang dia tidak pacaran denganmu!"
"Bangkeee!!!"
Tendangan dan pukulan lagi.
"Dasar bodoh!" maki Chris.
"Hei, kalian berhenti!"
Chris baru berpikir tentang siapa pemilik suara yang dengan arogannya melerai perkelahian dua murid tolol itu dan ia melotot melihat Bu Guru yang cantik itu secara tak sengaja terdorong jatuh ke belakang karena salah satu murid itu melepaskan pukulannya.
"Aduh!"
"Bu Guru!!!!"
"Ibu Eugene!"
Chris langsung menerobos kerumunan teman-temannya dan menghampiri Eugene. Bu Guru wali kelas 12-C itu jatuh sampai terduduk di lantai, wajahnya agak syok. Kedua murid yang berkelahi itu juga terkejut dan menghentikan perkelahian, sama-sama memandangi Bu Guru Eugene.
"Bu Guru!"
"Bu Eugene, tidak apa-apa?"
"Kau tidak apa-apa?"
Wajah Chris menunjukkan ekspresi marah kepada dua orang temannya yang menyebabkan guru mereka jatuh, tangannya sudah terkepal, gatal ingin menghajar kedua siswa kurang ajar itu, tapi Tristan sudah ada di sampingnya dan mencoba menahannya.
"Bangsat kalian!"
Sebelum Chris maju dan memberi pelajaran pada dua temannya, Bu Guru Eugene sudah berdiri dan mendekati dua muridnya yang berkelahi sampai wajah mereka lebam dan berdarah.
"Ada yang mau bilang ini soal apa?" tanyanya datar. Dua-duanya bungkam dan menunduk, tak berani menatap wajah Bu Guru Eugene yang tampak tenang karena perasaan bersalah telah mendorong wali kelas mereka sampai jatuh.
"Hei, kalo pacarku tanya, dijawab! Kalian mau kutendang ke parit busuk!"
Tristan meletakkan telunjuk di depan bibirnya agar Chris diam dan membiarkan wali kelas 12-C menyelesaikan kejadian itu. Bagaimanapun, Bu Eugene seorang guru dan pasti kompeten menangani kasus perkelahian murid.
"Ridha, Suji, sampai kapan kalian diam?"
"Tadi mereka adu mulut ada nama Jenny disebut," jawab Gisel tapi agak takut. Eugene menatap murid kelasnya itu. Gisel menunduk.
"Jenny anak kelas 12-B, Bu," tambah Tristan. Jenny sekelas dengannya.
"Kenapa dengan Jenny?" tanya Eugene pada dua anak lelaki itu. Ridha dan Suji sama-sama menunduk memandangi lantai.
"Gisel, kau dengar apa dari pertengkaran mereka?"
Suji menatap Gisel dengan mata mengancam agar anak itu tak perlu menjawab apa pun pertanyaan Bu Eugene.
"Panggil Jenny kemari!" perintah Eugene pada Tristan. Tristan baru akan pergi tapi terdengar suara bosan dari Chris. "Kelihatannya Jenny tak perlu dipanggil. Aku tau masalahnya. Mereka berdua rebutan cewek. Membosankan. Pergi, yuk, Ben! Aku suka keributan tapi bukan yang begini."
Tristan Benedict Lie, sepupu Chris itu mengulum senyumnya. Seisi sekolah, siapa tak kenal Christopher Abinaya Lie. Bersama Tristan, berdua adalah atlit wushu, tukang berkelahi, tapi tak sekalipun perkelahian yang disebabkan karena rebutan perempuan.
"Kalian berdua? Berkelahi karena cewek?" tanya Eugene sambil menunjukkan telunjuknya ke pundak kedua murid yang ribut itu. Ridha dan Suji mundur beberapa langkah ke belakang. Eugene menunjukkan ekspresi kesal pada keduanya.
"Dasar bodoh! Kalian tau berapa perbandingan laki-laki dan perempuan? Tau?"
Kedua murid itu menggeleng pelan.
"Ibu tau?" tanya Chris. Eugene berpaling pada Chris.
"Tidak. Kau tau?"
"Tidak. Tapi Ben tau. Ben?"
"Berdasarkan data kependudukan kota Medan, seks rasio masih menunjukkan angka berimbang, Bu," jawab Tristan.
"Nah itu!" Eugene berbalik menghadap dua murid tolol itu.
"Ngapain kalian berebut cewek? Cewek masih belum langka. Masih available! Baik-baik belajar, nanti akan datang waktunya jodoh menghampiri. Memalukan, tau! Kalian sama-sama sekelas, ribut gara-gara perempuan, aduh!" Eugene menepuk jidatnya sendiri. Chris melipat kedua tangannya memandangi Suji dan Ridha dari belakang Eugene dengan gaya angkuhnya.
"Pacar, bukankah sebaiknya kau tepuk jidat mereka saja?" tanya Chris berbisik. Eugene berbalik sambil berkacak pinggang.
"Kau juga, Christopher. Ngapain ikut campur urusan orang. Pergi sana!"
🎋My Pretty Teacher🎋
🎋Author's Noted :
Cici dikasih julukan author bucin. Entahlah.... menurut kalian gimana? Chris bucin nggak, ya? Bucin lho ya.
Nih, Ci kasih gift yang kangen Ethan. Komen, ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top