🎋4. My Blackout🎋
Eugene sebal dengan pemilik kafe yang tampak sok akrab dengan Chris. Baju yang dikenakannya tak cocok dengan usianya yang ditaksir Eugene lebih tua dari Chris dan ukurannya kekecilan untuk menampung dadanya yang oversize. Hal terpenting yang membuatnya harus mengatup rahangnya adalah wanita muda genit itu memanggil Chris dengan Sayang.
"Berapa orang yang kau panggil Sayang selain dia?" tanya Eugene sebal. Pria itu tersenyum dengan sindiran tajam itu. Eugene bukannya cemburu karena sikap Chris yang kelihatannya membalas sikap wanita itu dengan santai, hanya tak bisa terima ada seorang wanita yang bisa bersikap secara terang-terangan merayu pria yang datang ke kafenya bersama wanita lain. Eugene memang bukan siapa-siapanya Chris, hanya tak suka saja, apalagi pria itu mengaku sudah punya pacar.
"Kau juga boleh panggil aku Sayang, kalo kau mau," jawab Chris geli. Mendengarnya membuat Eugene menunjukkan wajah ingin muntah sampai pria itu terkekeh.
"Pacarmu tak marah?"
"Marah? Kenapa?"
"Kau panggil semua cewek yang kau kenal dengan panggilan itu."
"Oh. Nggak!" jawab Chris santai.
Baik, pikir Eugene. Kini dia yang merasa terganggu. Kemarin malam ketika ia bertemu dengan Chris, dirinya memang tak ingat dengan bekas muridnya ini. Sembilan tahun yang lalu muridnya banyak, dengan ingatannya yang payah, Eugene tak bisa mengingat satu-persatu. Namun ketika mencari album foto lamanya yang dibawanya ketika pindah rumah kembali ke kota ini beberapa waktu lalu, Eugene menemukan foto dirinya bersama-sama dengan murid kelas di mana ia pernah menjadi wali kelas. Dia juga menemukan foto berdua dengan Chris. Kenangan lamanya kembali sepotong demi sepotong. Mengajar di kelas itu adalah pengalaman yang menyenangkan buat Eugene. Kelas 12-C, mereka nakal tapi lucu dan cerdas. Ada suatu waktu ketika porseni dan ada pertandingan antar kelas, tarik tambang, Eugene ikut menjadi penonton dan memberi semangat pada murid-muridnya. Pada lomba baca puisinya, Eugene juga mengingat, karena ia mengajar pelajaran Bahasa Indonesia, kelasnya menyapu bersih piala-piala yang diperebutkan, di mana Chris menjadi salah satu pesertanya.
Eugene mendesah pelan, seharusnya ia dulu tetap menjadi guru saja dan tidak pindah ke Jakarta. Dia tak akan bertemu dengan Panji dan jatuh cinta padanya. Menikah usia tergolong muda. Terlalu naif berpikiran kalau cinta saja cukup untuk Panji dan dirinya.
"Hai! Halo!"
Chris melambai-lambai di depan wajah Eugene.
"Ya!"
"Apa kenyang cuma ngaduk-ngaduk sup?"
"Oh! Lupa makan."
Chris tersenyum lebar.
"Tidak heran."
(Ha ha) haru jongil (ni) ni saenggak (ppuniya) ppuniya (ppuniya) ppuniya
(Ha ha) haru jongil (ni) ni saenggak (ppuniya) ppuniya (ppuniya) ppuniya
(All All) all day I think (you) of you (you alone) you alone (you alone) you alone
(All All) all day I think (you) of you (you alone) you alone (you alone) you alone
(A.D.T.O.Y. by 2PM)
Suara ringtone membuat Eugene mencari ponsel di dalam tote bag birunya, tapi yang dicari sama sekali tidak ada sementara ponsel itu terus berbunyi. Dia bingung, di mana tempat meletakkan ponselnya, sebab di tasnya hanya ada ipad air untuk keperluan menulis yang selalu dibawanya.
"Cari ini?" Chris mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan menunjukkannya ke wajah Eugene. Wanita itu langsung merebutnya seketika begitu membaca nama di layar.
"Hai, Win!"
"Sudah selesai novel tentang janda dan brondongnya?"
"Belum mulai."
"Editing naskah yang sebelumnya?"
"Kau ingin aku edit dulu atau nulis yang baru?"
"Kau biasanya selalu bergerak cepat kalo nulis baru. Editing nanti-nanti dulu."
"Kalo begitu, kau ingin aku bikin yang baru?"
"Tulislah. Nanti kau share satu dan dua part untuk followersmu dulu. Kita lihat bagaimana reaksi mereka."
"Baik. Aku butuh waktu buat riset."
"Take your time! Aku tau kau bukan tipe penulis yang bekerja di bawah tekanan hanya tahun ini harus ada satu atau dua, ya."
Edwin, editor penerbitan itu menutup hubungan telepon. Eugene mendesah menatap layar ponsel.
Satu atau dua lagi untuk tahun ini. Itu artinya Eugene harus lembur sampai malam dalam dua sampai tiga bulan ini. Edwin memang keterlaluan.
"Apa yang sedang kau pikirkan?"
"Editorku minta aku segera menyelesaikan naskah baru. Katanya satu atau dua lagi tahun ini padahal aku belum mulai apa-apa sebulan terakhir ini."
"Apa yang sedang kau tulis?"
"Kisah romantis seorang janda dan berondong."
"Ah! Kau bisa tanya padaku. Aku ahli soal itu," tukas Chris serius. Eugene hanya bisa bengong mendengar pengakuan pria itu. Itu artinya Chris pernah berhubungan dengan janda seperti dirinya.
"Hisss! Nggak perlu menunjukkan ekspresi seperti itu. Bukan aku. Sepupuku. Kau ingat Tristan?"
Eugene mengerutkan keningnya mengingat nama yang baru disebut Chris. Tristan. Tak banyak orang yang bernama unik tapi dia tak ingat. Sulit mengingat nama orang, dalam menulis kadang Edwin kesal karena nama di bab satu berbeda dengan nama di bab lima untuk tokoh tambahan yang sama.
"Ah, lupakan!" seru Chris sambil mengibaskan tangannya.
"Nanti akan kulihat di foto lama. Mana tau ingat!"
"Tak perlu. Cukup ingat Christopher Abinaya saja. Okay, Beb!"
Eugene mengerjapkan matanya beberapa kali. Dia menyukai deep voice milik Chris ketika menyebutkan namanya sendiri dan ingin mendengarnya lagi dan lagi. Ketagihan. Sakau. Apapun sebutannya.
"Christopher..."
"Ya, Beb!"
"Coba panggil namaku dengan nada seperti tadi."
Chris berdehem sekali untuk mengatur suaranya, meskipun ia tidak mengerti alasan Eugene memintanya memanggil namanya. Wanita itu tampak sedang menajamkan indera pendengarannya dengan menyelipkan helaian rambutnya di samping telinga.
"Eugene Daisy Sidharta..."
Eugene mengerjap sekali.
"Daisy saja."
Chris mendekatkan bibirnya di telinga Eugene dan berbisik, "Daisy..."
Ini dia, pikir Eugene. Segera dikeluarkannya ipad air-nya dan membuka aplikasi menulisnya. Dia bisa menggambarkan suara seksi tokoh prianya seperti yang diinginkan Edwin, editor cerewetnya. Ia sibuk mengetik beberapa ribu kata dalam waktu beberapa menit dan mendiamkan pria di depannya yang kelihatannya sama sekali tak keberatan.
Eugene menarik nafas lega ketika ia selesai mengetik lalu menutup ipad air-nya. Bibirnya secara otomatis tersenyum karena ia berhasil menulis bab pertama dari cerita barunya. Rencananya nanti akan ia edit dan bagikan di akunnya kalau sudah di rumah.
"Jadi.... aku tetap jadi narasumber kan?"
"Hah?"
"Kisah brondong itu. Aku narasumber yang baik."
"Oh, itu. Aku akan menghubungimu kalo ada hal yang perlu kutanyakan," jawab Eugene.
"Aku juga bisa membantumu editing, berhubung dulu aku punya guru Bahasa Indonesia yang baik."
Eugene tergelak karena pujian atau sindiran Chris. Tetapi pria itu menawarkan bantuan dan sebagai penulis, kadang dia memang membutuhkan narasumber.
"Baik. Aku perlu orang pertama yang membaca tulisan sampahku dan memberiku kritik tapi bukan berasal dari pembacaku," kata Eugene.
"Nah, aku adalah orang yang cocok. Berhubung aku juga sedang cuti," balas Chris.
"Cuti? Kerjaanmu apa, sih?"
"Tukang listrik."
"Oh, PLN?"
Chris tak menjawab atau menggeleng.
"Enak dong jadi PNS."
"Kenapa? Mau jadi istri PNS?"
"Nggak!" jawab Eugene ketus.
Cukup sekali dan tidak lagi baginya.
"Ah, syukurlah! Aku bukan PNS, kok."
Eugene mengerjapkan matanya dan berpikir kenapa pria itu mengucapkan kalimat itu. Chris malah tertawa.
"Kalo ekspresimu begini, aku bisa berpikir kau serius ingin nikah sama aku!" katanya sambil menjentik kening Eugene. Lagi-lagi wanita itu menunjukkan wajah ingin muntah mendengar ucapan Chris yang over pede.
"Pacarmu mau dikemanain?" tanya Eugene dengan nada menyindir.
"Kan masih pacar. Kalo sudah nikah baru nggak boleh lagi."
Eugene mencibir.
"Maaf, kalo aku tidak percaya," tukasnya.
"Kau trauma pada mantan suamimu?" tanya Chris langsung pada sasaran. Eugene diam lama, tapi kemudian tertawa, berusaha agar suaranya tidak terdengar getir.
"Ya, awalnya. Sekarang, tidak lagi. Aku sudah move on darinya dan pernah punya pacar setelah pisah darinya," jawab Eugene. Wanita bermata indah itu tidak berdusta, beberapa kali dia menjalin hubungan dengan pria lain setelah berpisah dengan suaminya. Pernikahannya dengan Panji tidak memiliki anak, jadi pria yang hadir dalam hidupnya setelah itu tak merasa keberatan dengan status jandanya.
"Tidak heran. Pastinya semua pacarmu memiliki kaki panjang," bisik Chris dengan nada rendah. Eugene memandangi pria itu dengan heran.
"Apa maksudmu?"
Chris menyeringai lalu menjawab, "Aku pernah dengar dulu kau menyukai pria berkaki panjang."
"Kurang ajar!" desis Eugene sebal. Chris terkekeh. Namun Chris benar soal lelaki berkaki panjang, mantan suami dan para mantan pacarnya berkaki panjang. Tidak ada alasan khusus kenapa Eugene menyukai kaki panjang, hanya suka dan kebetulan bertemu saja. Kalau begitu, Chris juga termasuk. Tingginya di atas 180 cm. Dulu waktu SMU, dia kurus dan tinggi, sekarang dia semakin tinggi dan berotot.
Ddrrtt.
Chat masuk dari Andrea sahabat Eugene.
Andrea : Hei, Tante EDS katanya mau datang ke rumah. Datang sekarang, dong.
Eugene tersenyum sambil membayangkan wanita cerewet itu sedang mengomel di dapurnya sambil mengenakan apron dan menggendong anaknya.
Eugene : Sejam lagi, ya. Aku lagi makan siang sama teman.
Tak lama kemudian, chatnya dibalas.
Andrea : Pacar baru, ya? Pacar polisimu dah putus?
Eugene tak membalas lagi karena disadarinya kalau Chris sudah membayar bill makan siang. Sebenarnya dia ingin membayar tapi karena sibuk membalas chat dari temannya, akhirnya niatnya tak kesampaian.
"Kau mau ke mana setelah ini? Aku boleh minta tumpangan ke rumah teman?" tanya Eugene ketika mereka sama-sama berdiri.
"Okay!"
"And by the way, lain waktu, biarkan aku yang bayar bill-nya."
Chris tersenyum lebar. "Oh, jangan kuatir. Aku harus banyak makan kalo dijadikan narasumber."
Eugene ikut tertawa mendengar candaan pria itu.
Tiga puluh menit kemudian, mobil Land Rover putih yang dikendarai Chris berhenti di depan rumah mungil milik teman Eugene. Wanita itu mengucapkan terima kasih pada Chris yang sudah mengajaknya makan siang dan mengantarkannya ke rumah temannya. Chris ikut turun ketika Eugene menunggu temannya membuka pintu.
"Pacar baru?" tanya Andrea sambil menyikut lengan Eugene ketika Chris sudah masuk lagi ke mobilnya. Eugene menggeleng.
"Bukan. Dia mantan muridku dulu."
"Kalau nanti?"
"Jangan macam-macam, An!"
Andrea terkekeh geli.
"Mana Gavin? Pengen toel-toel."
🎋My Pretty Teacher🎋
"Halo."
Eugene menghembuskan nafas begitu mendengar suara Chris di ponselnya.
"Maaf, aku meneleponmu malam-malam. Teringat kau tukang listrik. Bisakah kau ke rumahku? Listriknya tak mau hidup."
"Mungkin memang pemadaman."
"Aku lihat tetangga tidak padam."
"Genset?"
"Tidak ada suara genset dan lampu jalan hidup."
"Baik. Aku ke sana. Pastikan rumahmu terkunci. Tetap bawa ponselmu."
"Kenapa?"
"Karena di ponsel ada aplikasi senter, Beb."
"Ah iya!"
Tiga puluh menit kemudian, lelaki jangkung itu tiba di rumah Eugene hanya dengan baju tidurnya berupa kaus lengan buntung yang dulunya baju olah raga yang sudah beralih fungsi dan celana training hitam. Chris meninggalkan rumah dengan buru-buru karena kuatir Eugene ketakutan sampai tak sempat ganti baju. Namun ketika sampai di rumah Eugene, wanita itu dengan santainya duduk di teras rumahnya sambil merokok. Eugene melambaikan tangannya yang masih memegang ponsel, seperti yang dipesan oleh Chris.
Antara mau tertawa atau mengomel, Chris bingung. Dia begitu kuatir wanita cantik bermata indah itu akan ketakutan karena listrik rumahnya padam, sehingga lupa kalau Eugene juga bukan orang yang gampang panik.
"Sini, bawa ponselmu dan kasih cahaya ke meteran. Ayo!" perintah Chris. Eugene membuang puntung rokoknya dan mendekati pria itu yang berdiri di depan kotak meteran PLN. Sebagaimana rumah di komplek perumahan, kotak meteran selalu berada di taman, bukannya di dekat pintu utama.
"Cahaya, Beb!"
"Ya, ya, lagi cari!"
Chris merebut ponsel Eugene lalu menghidupkan senter di iphone-nya.
"Nih, pegang!" perintahnya sambil menyodorkan kembali ponsel ke tangan Eugene. Begitu cahaya dari ponsel diarahkan, Chris membuka kotak PLN dan mengecek alasan di balik listrik di rumah itu padam.
"Arahkan ke meteran, Beb. Jangan diarahkan ke wajahku. Sini, mendekat."
Eugene mengambil langkah mendekat ke meteran yang secara otomatis merapat pada Chris.
"Di sini?"
"Agak dekat."
Berdiri sedekat itu dengan Chris, merasakan bau maskulin menguar dari tubuh pria itu, membuat jantung Eugene berdegup kencang, dia menatap wajah tampan dengan bibir tipis menggoda dengan perasaan tak tenang.
"Ya, ampun!"
"Kenapa? Kenapa?" tanya Eugene kaget, hampir menjatuhkan ponsel. Kaget bukan karena pekikan Chris, tapi disebabkan pria itu tiba-tiba memalingkan wajahnya menatap Eugene. Jarak wajah mereka sangat dekat, Eugene tak perlu cahaya dari ponsel untuk mengakui betapa mancung hidung dan menggodanya bibir tipis itu.
Chris menjentik dahi Eugene.
"Apa?"
"Listrikmu padam karena kau tidak mengisi token. Dasar!"
"Hah? Aku baru pindah ke sini. Tidak tau pakai token!"
"Ayo!" Chris menarik lengan Eugene menuju mobilnya. Wanita itu kebingungan mengikuti lelaki berkaki panjang itu.
"Mau ke mana?"
"Minimarket. Beli token listrik. Rumahmu kan tidak mungkin terus dalam keadaan gelap. Bisa pakai m-banking tapi kebetulan aku lapar. Sekalian belikan aku makan malam."
Eugene dipaksa masuk ke mobil putih itu, malah Chris yang memasangkan seat belt-nya.
"Mau makan apa?"
"Apa pun, asal jangan mie instan. Kau pasti tak punya panci buat masak," jawab Chris sambil tersenyum. Eugene meringis, sebab pria itu benar soal dia tak punya peralatan masak. Cangkir saja tak punya. Biasa minum dengan tumbler dari gerai kopi. Itu pun terpaksa dibeli agar bisa mendapatkan potongan harga di gerai kopi favoritnya. Seumur hidup tak pernah memasak karena dirinya tak punya seseorang ibu yang mengajarinya. Dulu, Panji juga pernah memintanya untuk belajar memasak, Eugene pernah berusaha demi mantan suaminya itu, sampai pria itu akhirnya lebih memilih untuk memakan masakan selingkuhannya.
🎋My Pretty Teacher🎋
🎋Author's Noted :
Kemarin Cici ngetik ini, writer blocked. Ingat-ingat fanfic lama. Tadi ngetik lagi dan dapat satu part. Lumayan.
Christopher bakal ngegas, kok. Maklumi, ya. Dia kan masih muda, bila dibandingkan dengan Max dan Ethan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top