🎋3. Our Phones are Down🎋

👆Mulmednya Semesta Ragu - Isyana👆

Pengen minta voted tapi semesta ragu.

Pagi itu, Chris berjanji naik sepeda bersama teman-teman seklubnya. Bertemu di lapangan Merdeka seperti biasanya, tapi tak satu pun dari mereka menghubungi Chris. Namun karena seperti biasanya selalu menjadi agenda anggota klub maka pria itu tetap berada di sana pada jam yang dijanjikan yaitu jam 6 pagi.

Chris adalah orang ketiga yang muncul karena di sana sudah ada Steve dan Joseph. Di antara mereka, Chris tidak tahu siapa dulu yang muncul tapi yang menyapanya adalah Steve.

"Kemarin malam, aku menghubungi ponselmu. Aneh sekali yang jawab adalah suara wanita. Dia tidak bilang padamu?"

Joseph terkekeh mendengar pertanyaan Steve. Chris yakin kalau pria berkulit gelap yang merupakan anggota klub sepeda selama lima tahun terakhir ini pasti berpikir kalau ia tidur dengan wanita. Namun Chris tidak peduli, dia tak bisa mengurusi pikiran negatif orang. Yang dipikirnya sekarang ini adalah siapa yang mengangkat ponselnya pagi ini. Ibunya tidak pernah sekepo itu. Chris jadi curiga. Dikeluarkannya ponselnya dan ditekannya layarnya. Wallpapernya adalah boyband. Lalu muncul pin ponsel. Ini bukan ponselnya.

Jadi ini milik siapa?

Memorinya kembali pada kejadian malam sebelumnya, ke mana dia pergi. Chris ke pesta resepsi pernikahan Jerome, temannya. Dia tidak meninggalkan ponselnya tapi Chris memang duduk di bak tanaman dan meletakkan telepon genggamnya di sana. Eugene juga meletakkan ponsel di sana. Itu artinya ponsel mereka berdua tertukar.

Chris menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemarin sewaktu berpisah dengan wanita semberono itu, ia menyesal karena tak sempat menanyakan nomor kontaknya. Chris baru berpikir akan bertanya pada Jerome. Namun sekarang ia menemukan alasan untuk bertemu dengan wanita lucu itu lagi.

Chris melirik jam olahraganya, masih sangat pagi untuk menghubungi nomor ponselnya. Eugene pasti masih tidur. Pria jangkung itu tak sabar untuk menunggu tiga jam kemudian untuk menghubungi ponselnya sendiri.

Sembilan tahun yang lalu.

Lelaki berusia 17 tahun itu berlari sekencang-kencangnya menuju gerbang sekolah. Dia terpaksa turun dari angkot di persimpangan sebab jalanan macet total sepanjang perjalanan ke sekolah. Kakinya panjang dan kokoh karena digembleng secara keras di sasana wushu. Pada awal bergabung dengan latihan keras, Chris membenci pemaksaan yang dilakukan oleh pamannya yang juga seorang pelatih seni bela diri itu. Namun sekarang melihat dirinya sendiri tumbuh tinggi melebihi tinggi remaja seusianya, Chris merasa harus berterima kasih pada Bryan Lie, pamannya karena telah memaksa mendaftarkannya di seni bela diri wushu.

"Jangan tutup gerbangnya!"

Chris terkejut mendengar teriakan seperti yang ingin disuarakannya. Dia lebih terkejut lagi karena yang berlari sambil berteriak adalah Bu Guru Eugene. Satpam sekolah dikarenakan tahu kalau yang meneriakinya adalah seorang guru, tak berani menutup gerbang dan membiarkan Eugene masuk. Ketika Chris hendak masuk, satpam mencegahnya, remaja jangkung itu tak kehilangan akal segera berkata, "Aku bersama Bu Guru Eugene."

Eugene sudah berjarak sepuluh langkah dan tak menyadari Chris sedang mencari cara masuk dengan menggunakan namanya. Satpam sekolah itu akhirnya mengizinkan Chris masuk karena dia memberikan ekspresi yang cukup meyakinkan kepada Satpam. Segera disusulnya Eugene.

"Pagi, telatkah?"

Eugene tidak menjawab dan terus melangkah menuju ruang kelasnya. Chris terus mengikutinya.

"Jangan ikuti aku. Balik ke kelasmu."

"Kelasku, yah kelasmu."

"Owh! Kalo gitu, sana ke kantor guru, ambil absensi."

"Baik."

Sekarang.

Chris menghempaskan tubuhnya di kursi di gerai kopi setelah menghabiskan tiga jam bersepeda dengan teman-temannya. Dia agak tak sabaran menunggu kegiatan itu selesai, beberapa kali melihat jam tangan sampai dikira temannya, Chris sedang mengecek jantungnya pada layar jam tangan itu.

Ketika akhirnya Chris tiba di finish, ia secepatnya membawa sepedanya ke gerai kopi tanpa menunggu teman-temannya, memesan americano panas lalu duduk sambil mengeluarkan ponsel yang bukan kepunyaannya. Dia menghubungi nomornya sendiri, untunglah Eugene tak menggunakan pin atau sidik jari untuk keamanan sebab kalau tidak, Chris tak dapat menghubungi ponselnya.

Ponselnya berdering tiga kali sebelum akhirnya diangkat oleh Eugene dengan suara malasnya.

"Halo."

"Pagi, Cantik! Sudah bangun?"

"Uh!"

"Ponsel kita ketukar."

"Tunggu! Kau siapa?"

"Kau tidak tau? Aku Si Pencuri Ci...."

"Sudah! Aku tau! Tunggu aku. Ke mana aku harus menemuimu."

"Katakan alamatmu, aku ke sana!"

Eugene menyebutkan alamat perumahan sederhana di pinggiran kota. Seketika Chris memutuskan kalau dia akan kembali ke rumah dulu untuk mandi dan mengambil mobilnya daripada harus bersepeda. Mengharapkan Eugene datang segera ke gerai kopi adalah hal yang tidak mungkin. Wanita muda itu mungkin tidak bisa sampai ke sana dua jam lagi.

"Tunggu ya. Jangan ke mana-mana!"

"Ya, hoam!"

Ponsel ditutup. Chris yakin wanita yang baru bicara dengannya itu pasti melanjutkan tidur.

Siangnya sekitar jam sebelas, Chris sudah berdiri di depan rumah mungil yang disebutkan Eugene. Rumah bercat abu-abu. Semua rumah di cluster ini tampak sama semua baik warna maupun style-nya. Chris berharap wanita itu tak salah menyebutkan nomornya. Bisa-bisa dia salah memencet bel rumah orang karena kesalahan Eugene. Chris mengeluarkan ponselnya, ia berpikir kalau lebih baik mengabarkan kedatangannya pada wanita itu.

"Halo."

"Keluarlah, aku sudah sampai di depan rumahmu."

"Okay."

Chris telah berprasangka buruk, Eugene memberikan nomor rumah yang benar padanya. Wanita muda yang mengenakan pakaian santai berupa kaus longgar warna putih dan celana jeans pendek lusuh keluar dari rumah dan melongok mencari Chris. Rambutnya berantakan tapi dicepol ke atas dan menyisakan beberapa helai pendek menjuntai ke lehernya.

"Oiii, mana ponselku? Aku heran, kenapa ponselku tidak bunyi, ternyata tertukar. Kok, ponsel kita bisa tertukar, ya?"

Karena kita punya selera yang sama.

Chris melangkah mendekati Eugene. Kalau wanita itu mengira Chris akan pulang setelah mengambil ponselnya, dia salah. Setelah tak pernah bertemu selama sembilan tahun, Christopher Abinaya tak akan semudah itu melepaskan satu kesempatan ini, apalagi dulunya Eugene pernah lepas dalam genggamannya.

"Nih, aku kembalikan ponselmu," kata Eugene sambil menyerahkan ponsel ke tangan Chris. Dia mengira Chris akan melakukan hal yang sama, tangannya terbuka untuk menerima ponselnya.

"Aduh, aku haus sekali. Bisa minta minum dulu?"

Eugene meringis. Kelihatan dari mimik wajahnya kalau dia tidak suka menerima tamu, tapi Chris tak ingin ditolak, sengaja menunjukkan wajah minta dikasihani.

"Rumahku berantakan kalo kau keberatan..."

"Terima kasih," jawab Chris manis lalu dengan cueknya seakan dialah pemilik rumah, berjalan mendahului Eugene dan masuk ke dalam rumah. Eugene tidak berbohong soal rumah yang berantakan. Chris tidak bisa menemukan sofa yang ternyata sofanya tertutup dengan pakaian kotor. Gaun, bra, jeans, semuanya bertumpuk di atas menutupi sofa.

"Ak..ku sudah bilang kalo rumahku berantakan. Baru pindah bulan lalu."

"Okay!"

Chris tahu kalau memang beginilah Eugene. Dia guru Chris tapi Eugene memang tidak cocok jadi guru. Eugene yang sembrono, pelupa, cute, seksi, itulah yang diingat Chris tentang dirinya. Dia selalu lupa di mana meletakkan buku-bukunya, lupa pelajaran sampai di mana, lupa nama muridnya. Namun, Chris menyukainya, begitu juga murid-murid lainnya, karena Eugene tidak galak seperti guru sebelumnya, guru yang manis dan ramah pada semua orang bahkan pada satpam sekolah. Dia membuat orang-orang sekitarnya nyaman tanpa harus menjaga image-nya.

Chris tersenyum mengingat segala sifat Eugene, lalu dengan ringannya bertanya, "Lalu di mana aku harus duduk?"

Eugene mengedarkan pandangan di sekelilingnya. Sofa penuh dengan baju kotor, tidak punya meja makan, pantry island berantakan dengan piring bekas, satu-satunya tempat yang bersih adalah meja kerjanya, tempat yang mendapat penerangan paling bagus karena dekat dengan jendela.

"Ah! Di sana! Di meja kerjaku," tukas Eugene sambil bernafas lega karena masih ada tempat yang layak di rumahnya. Chris berjalan ke meja kerja Eugene, tempat yang paling melukiskan siapa wanita itu. Ada beberapa buku berantakan di sana, mungkin dipakai wanita itu sebagai bahan riset untuk novelnya sendiri. Lalu ada foto Eugene dipeluk oleh seorang pria yang berusia lima puluhan. Chris cemberut menemukan foto yang ada di meja itu. Seingatnya, Eugene bilang sudah cerai tapi masih memasang fotonya di meja.

"Aku hanya punya kopi dan air mineral. Kau mau yang mana?" tanya Eugene dari dapur.

"Air saja."

Eugene datang sambil membawa sebotol air mineral untuk pria yang masih saja cemberut. Chris menegak botol berisi air itu sampai isinya tinggal setengah.

"Itu suamimu?"

Di luar dugaan pria dengan wajah tampan bagai pahatan itu, Eugene tertawa terbahak-bahak sampai berjongkok di samping mejanya.

"Itu Papaku."

"Apa?"

"Papa. Suami orang yang melahirkan aku!"

"Oh ya, Ibu Guruku yang cantik, aku juga tau kalau Papa itu adalah suami orang yang melahirkanmu," tukas Chris gusar tapi cemberut di wajahnya sudah hilang. Dia menyadari betapa tololnya dirinya karena beranggapan kalau ayah Eugene sebagai mantan suami Eugene.

"Kau sama sekali tak mirip Papamu!" kata Chris sambil melihat foto itu. Ayahnya Eugene memiliki mata tajam, tulang pipi tinggi, rambutnya pendek beruban. Pria itu tersenyum lebar dalam foto dan duduk sambil dipeluk oleh Eugene dengan latar belakang sebuah taman.

"Ya. Kata orang, aku mirip Mama."

"Mana foto Mamamu, biar aku yang nilai."

Eugene tersenyum kecut.

"Mama sudah meninggal lama sejak aku kecil."

Chris mendesah pelan dan berkata, "Maaf."

Eugene menggeleng dan duduk di atas meja. "Sudah berlalu. Sudah lama sekali kejadiannya. Tak perlu minta maaf."

"Kau tak pernah bilang tentang hal ini, dulu," ucap Chris sambil bersandar santai. Kedua kakinya berselonjor ke lantai demi kenyamanannya.

"Aku kira kita tak sedekat itu sampai harus bilang tentang Mamaku."

Chris manyun. "Kita memang tak dekat itu, sih. Tapi..."

Eugene setuju dengan mengangguk-angguk. "Kemarin malam aku sulit tidur dan berusaha mengingat kau di masa lalu."

"Kukira kemarin kau sudah ingat!"

"Iya, bagian Si Pencuri Ciuman. Yang lain-lainnya baru teringat setelah aku kembali mengingatnya."

"Kau memang suka melupakan segala hal. Contohnya kunci rumah, absensi, buku. Kau juga lupa tanggal bulananmu."

Pipi Eugene memerah ketika mendengar Chris mengatakan kalau dia melupakan tanggal menstruasinya. Dia membuka mulutnya.

"Aku tidak..."

Chris tersenyum lebar, mulutnya tampak melebar ketika ia tersenyum atau tertawa dan biasanya itu menjadi daya tariknya untuk memikat wanita, tanpa disadari.

"Ya, kau lupa."

"Masa aku begitu?"

Chris mengangguk untuk meyakinkan wanita yang masih duduk di meja sambil mengayun-ayunkan kakinya.

"Kata adikku laki-lakiku, aku sembrono."

"Pasti dia bisa jadi temanku karena pendapat kami sama," balas Chris. Eugene mendelik sebal pada pria jangkung itu.

"Sekarang, kembalikan ponselku. Ada yang mencariku?"

Chris angkat bahu dengan santai. "Tidak ada."

"Mana?"

Pria bermulut lebar itu tidak berniat menyerahkan ponsel Eugene, malah melihat jam di pergelangan tangan kirinya.

"Eh, sudah jam makan. Makan siang, yuk. Aku lapar."

"Lapar? Oh, aku juga. Tunggu ya. Aku ganti baju," tukas Eugene sambil melompat turun dari meja. Chris tersenyum riang, Eugene begitu mudah teralihkan perhatiannya. Dia lupa kalau baru saja menagih ponselnya setelah Chris mengajaknya makan siang.

"Jangan kelamaan, aku lapar."

"Iya, lima menit," jawab Eugene buru-buru ke kamar.

"Lima menit dihitung mandi atau sesudah mandi? Setauku kau belum mandi sejak bangun, ya kan?"

"Darimana kau tau aku belum mandi?" pekik Eugene dari kamarnya.

"Karena baumu enak seperti baru bangun!" jawab Chris. Eugene tak menjawab tapi pria itu menduga wanita sembrono itu pasti sedang tersipu-sipu mendengar rayuannya.

Dalam hati Chris mulai menghitung mundur, lima menit. Memang ditunggu oleh pria adalah hak prerogatif wanita, tapi kalau kelamaan juga keterlaluan namanya. Chris mencoba membuat dirinya senyaman mungkin sambil menunggu, bersandar di kursi dan memejamkan matanya. Berharap Eugene tak perlu selama itu bersolek. Ini hanya makan siang, bukan kencan. Chris tidak sudi menggandeng dua wanita dalam waktu yang sama.

Tiba-tiba ia teringat lagi dengan Vivi, pacarnya. Sejak kemarin malam, wanita itu tak senang karena Chris menghilang dari sesi foto-fotonya dan ditemukan bersama dengan Eugene. Chris tidak suka Vivi terlalu mengekpos hubungan mereka di media sosial, tidak suka waktu pacaran mereka disibukkan dengan foto tapi pacarnya itu menikmatinya. Vivi bahkan pernah menyewa jasa photografer profesional pada hari ulang tahun Chris untuk mendapatkan foto yang dapat dibagikan di media sosial. Hidup begitu ribetnya. Chris tak nyaman dengan semua itu.

"Hei! Kau tidur?"

Chris membuka matanya. Yang dilihatnya adalah wajah Eugene dengan dengan posisi berlawanan, mata Chris tertuju di bibir wanita itu dan begitu juga sebaliknya. Hembusan nafas Eugene mengenai wajahnya. Chris menelan ludah, menahan keinginan untuk menangkup wajah Eugene dengan kedua tangannya dan melumatkan bibir merah mudanya.

Wanita ini apakah dia tak sadar betapa menariknya dirinya? pikir Chris. Ia tersenyum lalu memejamkan matanya agar tidak sampai melakukan hal impulsif.

"Menyingkirlah," pintanya pelan. Suaranya serak dan ia berharap Eugene tak menyadarinya.

"Iya, baik, Tuan!"

Chris baru bisa bernafas normal ketika tidak merasakan nafas Eugene lagi di wajahnya. Ia baru membuka matanya pelan-pelan.

"Sudah siap?" tanyanya masih berusaha menenangkan degup jantungnya. Dilihatnya jam. Eugene sungguh hanya menghabiskan waktu lima menit untuk ganti baju. Juga mandi karena baunya harum bunga-bunga. Berbeda dengan tadi sewaktu dia duduk di atas meja, itu bau seperti minta ditiduri.

Auw!

"Aku lapar juga. Ayo kita pergi! Mau makan apa kita?"

Eugene berbalik ingin meninggalkan tempat itu tapi Chris menarik krah bajunya dan terpaksa wanita itu balik lagi menghadapnya.

"Apa?"

"Ini!"

Chris menunjuk kemeja putih longgar yang dipakai Eugene tepat di kancingnya. Kancing-kancingnya tak beraturan. Eugene melihat bajunya sendiri.

"Ah ya, maaf!"

Dia tidak canggung melepaskan kancingnya satu persatu dan memasukkan ke lubang yang benar, seolah Chris bukanlah suatu masalah baginya. Pria jangkung itu menepuk jidatnya sendiri sambil berpikir dalam hati, dia ini perempuan atau bukan, sih?

Namun, ia tetap tersenyum dengan kesembronoan Eugene. Dia tetap merasa nyaman.

Tbc.
🎋My Pretty Teacher🎋

Author's Noted :

Pengen ngakak takut dijambak. Tetapi, ngakak aja lha. 🤣🤣🤣🤣🤣

Dapet feel-nya? Ini juga tulisan lama. Dulu pakai detektif-detektifan, sekarang tulis ulang.

Komen, ya. Kadang komen bikin aku ada ide.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top