🎋2. I'll Remember You🎋
By the way! Kalian sombong, mau baca, taruh di library tapi ogah ngefollow. Apa karena Cici bukan penulis femes, ya? Sedih Cici.
Merasa bosan, itu yang dirasakan oleh Chris saat makan malam dengan Vivi. Wanita itu tidak salah apapun, Chris hanya tidak menemukan energi seperti saat dia merancang RIG. Aneh merasakan kalau sebelumnya, dia ingin cuti dari pekerjaannya tapi sekarang di saat bersama pacarnya, Chris malah ingin kembali ke laut. Terlalu lama di anjungan membuatnya tidak waras.
"Kapan kau akan bertemu dengan orang tuaku?" tanya Vivi manja. Chris bingung ditanya begitu. Dia saja ingin minta break dulu, wanita di hadapannya malah menuntut dirinya bertemu orang tuanya.
"Tidak bisa dalam waktu dekat. Aku masih ada beberapa kerjaan meskipun aku sedang cuti," jawab Chris mengelak. Tetapi wanita tetap punya insting yang kuat ketika pacarnya sudah mulai bosan padanya. Vivi yang sudah bersamanya selama setahun ini tapi mereka sudah berteman sebelumnya, juga kenal dengan mantan Chris sebelumnya.
"Chris, kau tidak sedang menghindariku 'kan?" pancingnya. Chris tertawa tapi merasa gerah.
"Ah, siapa bilang," elaknya. "Panas sekali di sini."
Chris mengambil buku menu dan mengipasi dirinya sendiri padahal mereka makan malam di kafe desain outdoor di lantai 40 sebuah gedung hotel. Kenyataannya, dia tak tega mengatakan kalau ingin putus dari Vivi yang telah setia bersamanya.
"Vi..."
"Aku tidak ingin dengar apa pun!"
Chris mendesah, dia pernah mencintai wanita ini, jika sekarang hubungan mereka menjadi hambar, itu pasti salahnya, terlalu lama di laut dan tidak tahu memperhatikan pacarnya.
"Aku tidak bilang apa-apa, Vi. Hanya aku perlu toilet," tukasnya. Chris berdiri, merapikan lengan bajunya dan berjalan ke toilet dengan langkah yang tergesa-gesa. Kafe itu memang sengaja didesain dengan penerangan yang seadanya agar tamu bisa menikmati kota dari tempat yang tinggi di malam hari. Bagi beberapa pasangan, hal ini mungkin romantis, tapi bagi Chris, suasana ini memuakkan. Ia ingin segera pulang dan tidur di kamarnya yang nyaman.
Chris masuk ke toilet dan membasahi wajahnya dengan air. Dia merasa kasihan dengan Vivi karena tak bisa membuatnya nyaman dengan hubungannya. Chris mendesah pelan dan berpikir kalau dia berusaha lagi, mungkin saja perasaannya bisa berubah. Dia memutuskan untuk bertahan untuk melihat kelanjutannya. Lagipula di antara semua hubungannya dengan lawan jenis, Vivi-lah yang bertahan paling lama.
Chris meninggalkan toilet dan menemui pacarnya lagi. Mencoba bersikap hangat kepadanya. Kata break dulu sama sekali tak muncul dalam pembicaraan Chris dengan Vivi.
"Besok, kau mau aku temani bersepeda?" tanya Vivi ketika mereka menunggu lift. Wanita itu tak pernah suka bersepeda, dia hanya berbaik hati bertanya sebab Chris tak pernah memaksanya. Pria itu lebih suka bersepeda dengan teman-teman segrupnya. Chris menggeleng sambil memencet tombol turun pada keempat lift. Salah satunya di sisi kiri terbuka, Vivi menggandeng tangannya masuk, ketika pintu lift bergerak tertutup, lift di hadapannya juga terbuka, seorang wanita berpakaian gaun serba putih selutut dengan rambut sebahu berdiri sambil bernyanyi. Chris terbelalak. Wanita itu, sosok yang dia kenal dulunya. Mata yang bersinar, bibir tipis dan rambut pendek yang agak berantakan.
Eugene Daisy Sidharta.
Chris baru ingin memanggil tapi pintu lift-nya tertutup. Otomatis jari tangannya memencet tombol buka tapi terlambat, lift bergerak turun. Chris menunjukkan ketidaksabaran sambil melihat penunjuk lantai. Dia harus menemui bekas gurunya itu. Sekedar memberi salam, menanyakan kabarnya, sudah menikah, punya anak.
Lift berhenti di ground floor, pria itu memarkirkan mobilnya di lower ground, tapi dia melongok melihat ke luar, ke lift di depannya lalu sekitarnya untuk menemukan Eugene.
"Ada apa, Chris?"
Chris masih sibuk mencari sosok itu tapi wanita berwajah manis itu sama sekali tidak ada di ground floor. Pria itu segera memencet tombol tutup dan mengharapkan dirinya beruntung bisa bertemu dengan wanita dari masa lalunya.
"Chris!"
Chris lari keluar ketika pintu lift otomatis terbuka. LG sepi karena hanya lantai tanpa toko, hanya tempat untuk parkiran. Eugene tidak tampak di sana. Pria itu mengacak-acak rambutnya sendiri.
Eugene, where are you?
"Ada apa, Chris?"
Setelah memastikan Eugene memang tidak ada, Chris menoleh pada Vivi dan berkata, "Tadi aku melihat kenalanku. Tapi sekarang dia menghilang. Sekarang, lupakan dia. Ayo, kita pulang."
Vivi melangkah ke luar dari lift dan menggandeng tangan Chris. Pikiran Chris melamun kembali pada masa sekolahnya, sembilan tahun yang lalu.
Sembilan tahun yang lalu.
"Kenapa kau lakukan itu?" tanya Chris pada Debora, gadis yang melemparkan bola mengenai kepala Bu Guru Eugene. Debora memandangi Chris dengan sebal lalu menjawab, "Tak sengaja."
Chris mengernyitkan alis dan dahinya. Ia tahu Debora bohong. Lelaki remaja itu ada di tempat kejadian ketika Debora melempar bola keras itu mengenai Eugene.
"Aku tidak ingin main-main denganmu, Anak Manja. Kalau kau berani mengasari pacarku sekali lagi, aku nggak akan lepasin kamu. Ngerti?"
"Pacarmu? Apa guru boleh pacaran dengan siswa?" tanya Debora. Chris yang awalnya sudah beranjak dari tempatnya semula, kembali lagi.
"Aku pacaran dengan siapapun yang aku suka," balasnya berbisik di telinga gadis itu. Lalu ditinggalkannya Debora sebab ia melihat Eugene baru keluar dari ruang guru sambil membawa banyak buku-buku di kedua tangannya.
"Boleh kubantu?" tanyanya menjejeri langkah Eugene. Chris tak menunggu jawaban dari gurunya, langsung mengambil beban buku dari Eugene.
"Kepalamu sudah baikan?"
"Chris, kenapa tak bisa memanggil gurumu dengan sopan?"
"Kalau jalan berdua begitu, nggak ada yang tau kita pacaran."
"Kita tidak pacaran. Ibu sudah punya pacar."
"Putusin saja!"
"Nanti, kalau sudah bosan."
Chris bengong. Dia masih anak belasan tahun, tapi dia idola banyak anak perempuan, baik di sekolahnya maupun di luar. Sekarang, dia bertemu dengan seorang guru cantik yang membuatnya berdebar dan ingin jalan dengan Eugene tapi wanita muda itu bilang sudah punya pacar dan dengan santainya bilang kalau akan memutuskan pacarnya kalau sudah bosan.
"Berapa lama biasanya?" tanya Chris. Dia menyesal juga mencetuskan pertanyaan tk berguna itu. Eugene mengangkat kedua bahunya.
"Entahlah."
Eugene mempercepat langkahnya menuju kelasnya. Chris masih mematung memandanginya.
"Kau mau masuk kelas? Sudah bel!"
"Ah ya!"
🎋My Pretty Teacher🎋
"Senyum, Chris," bisik Vivi ke telinganya. Chris menarik bibirnya dengan terpaksa. Ia yakin kalau di foto, senyumnya tampak seperti seringai karena memaksakan diri. Lelaki tampan dengan hidung mancung itu menyesali membawa Vivi sebagai pasangannya ke pesta resepsi pernikahan Jerome, teman sekolahnya.
Vivi terlalu terobsesi dengan foto-foto karena dia seorang influencer. Chris kenal Vivi bermula dari media sosial. Pria itu masih pacaran dengan Dionna, teman Vivi sesama influencer. Hubungan mereka masih rumit sampai hari ini karena Dionna menganggap Vivi telah menusuknya dengan merebut Chris. Padahal sewaktu lelaki itu pacaran dengan Vivi, hubungannya dengan Dionna telah selesai. Sebrengsek-brengseknya Chris, dia tidak pernah menjalin hubungan dengan dua wanita pada saat bersamaan.
"Vi, aku mau merokok di luar," ucap Chris, tanpa menunggu jawaban Vivi, pria itu langsung bergegas ke luar dari hall. Ke mana saja asal dia menjauhi Vivi dan obsesi gilanya pada kamera.
Chris duduk pada bak tanaman, mengeluarkan rokok dan lighter dari sakunya lalu menyalakan sebatang rokok. Di anjungan, tidak merokok, dia tahan. Tetapi di sini, tanpa tekanan pekerjaan, ia malah tergantung pada asap nikotin yang sama sekali tidak baik buat kesehatannya.
"Boleh pinjam lighter?"
"Tentu," jawab Chris, mengeluarkan lighter dan berdiri untuk membantu seorang wanita menyalakan rokoknya. Wanita yang mengenakan gaun putih model dewi Yunani.
"Thank you!"
Wanita itu mengangkat kepalanya. Chris langsung syok.
"Eugene?"
Wanita yang baru meminjam lighter dari Chris itu terkejut.
"Kau? Christopher Abinaya? Kau muridku yang tukang bolos itu?" tanya Eugene, wanita cantik dengan mata indah itu sambil memandangi wajah Chris.
"Ya, kau guru wali kelasku. Eugene Daisy Sidharta!"
Eugene tertawa lebar, memandangi mantan muridnya yang dulunya kurus dan ceking, sekarang telah menjadi pria dewasa.
"Aku lupa kalo Jerome adalah teman sekelasmu. Mempelai perempuannya temanku dan aku diminta menjadi pengiring padahal usiaku tidak cocok lagi," katanya sambil tertawa.
"Masih cocok, kok. Makanya dulu aku naksir," aku Chris jujur. Ia sama sekali tak menyangka akan bertemu dengan guru cantik yang pernah dikaguminya dulu, yang masih saja tetap cantik, masih bicara sembarangan, seharusnya masih sembrono. Herannya, Jerome tak pernah memberitahu kalau ia masih berhubungan dengan wali kelas mereka waktu SMU.
"Rokokmu?"
"Apa? Ah ya." Chris menyulut rokoknya panjang agar dia lebih waras menghadapi situasi ini.
"Sudah berapa lama, ya?" desah wanita itu sambil menghembuskan asap rokoknya ke atas.
"Sembilan tahun," jawab Chris tanpa menghitung.
"Sembilan tahun, ya? Aku lupa. Aku memang pelupa."
"Aku tau!"
"Kau tau?"
Eugene mengerjapkan kedua matanya dan mendongak menatap pria jangkung itu.
"Aku tidak ingat kau memang setinggi ini dulu," tukas Eugene. Chris tertawa lebar lalu mengangguk.
"Ya."
"Oh!"
Chris duduk di bak tanaman, Eugene mengikutinya, duduk di samping lelaki jangkung itu dengan santai, tampak nyaman bersamanya. Ponselnya pun ia letakkan di atas bak itu.
"Kapan kau mulai merokok?" tanya Chris.
"Ah, waktu aku mulai jadi penulis."
Chris tahu tentang impian Eugene menjadi penulis, sebab itu dulu ia menjadi guru pengganti pelajaran Bahasa Indonesia dan pembimbing di mading sekolah.
"Apa yang kau tulis? Biografi?"
"Uhm, novel."
"Aku dulu tertawa waktu kau bilang mau jadi penulis, karena kau sering salah ingat nama murid."
Eugene tertawa, sama sekali tak tersinggung dengan sindiran Chris.
"Ya, sampai sekarang juga begitu. Aku lupa nama."
"Ah! Jangan bilang kalau kau lupa nama pacarmu. Kau sudah menikah?"
Ada senyum samar dalam wajah perempuan itu yang tak dapat dimengerti oleh Chris.
"Kau sendiri, sudah menikah?" tanya Eugene. Chris tertawa.
"Kau belum menjawab pertanyaanku."
Eugene menghembuskan asap rokoknya ke atas dan mengangkat kedua bahunya.
"Sudah cerai."
"Apa!"
Eugene tertawa lebar melihat Chris mendelik begitu, mata besarnya hampir meloncat ke luar dari kelopaknya, jadi kelihatan songong.
"Pisah tiga tahun lalu. Nggak cocok!"
Chris mengacak-acak rambutnya sampai berantakan tapi begitupun dia masih kelihatan tetap menarik dan tampan. Dia hanya heran, wanita semenarik ini dan bila dilihat dari gaya berdandannya, Eugene cukup sukses sebagai penulis novel. Lalu Chris tidak mengerti alasan Eugene cerai dengan suaminya.
Ddrrtt. Ponsel Chris bergetar, dia mengeluarkannya dari saku dan membaca chat dari Vivi yang menanyakan di mana dirinya. Pria itu membalas kalau dia merokok lalu meletakkan ponselnya di samping ponsel Eugene.
"Kau? Jangan bilang kau juga duda," katanya sambil ngakak. Chris sengaja menunjukkan ekspresi tersinggung walaupun sebenarnya tidak merasa begitu.
"My bad," katanya sambil tertawa lagi.
"Kau ingat kita pernah pacaran dulu."
Eugene mengerjapkan matanya dan menggaruk-garuk kepalanya lalu menggeleng.
"Mantan pacarku banyak. Kau tak termasuk salah satunya."
Iya juga, pikir Chris. Meskipun dulu dia ngaku sebagai pacarnya Eugene, entah berapa kali Chris melihat wanita itu diantar dan dijemput oleh pria yang berbeda yang kalau ditanya dibilang temannya. Semuanya ganteng-ganteng. Seleranya Eugene, tampan, tinggi, rapi. Chris sebenarnya memenuhi persyaratannya.
"Kau menghilang setelah kami lulus. Dengar kabar, kau pindah ke Jakarta."
"Ah, ya. Diwisuda dan pindah ke Jakarta mengejar impianku."
"Aku googling namamu tapi tidak ada di mesin pencari. Tidak ada penulis bernama Eugene Daisy Sidharta."
Eugene tertawa lebar. "Aku pakai nama Yujin Li."
"Tidak nyambung!" raung Chris sambil mematikan rokoknya yang tinggal puntungnya. Eugene tertawa lagi. Wanita ini gampang sekali dibuat tertawa, Chris sangat menyukainya.
"Nyambung ih. Eugene ke Yujin mirip. Li itu dari nama mamaku. Lili."
"Tadinya aku besar kepala mengira itu nama keluargaku," balas Chris dengan ekspresi khasnya, songong. Tetapi Eugene bukanlah wanita yang pemalu, malah ia tertawa keras-keras tanpa memperdulikan orang sekitar memperhatikan dirinya.
"Gila kamu!"
Chris mengangguk-angguk dengan mulut manyun lalu berkata, "Serius, lho. Aku 'kan pernah melamarmu."
Wanita itu memandang wajah Chris dari samping. Chris juga menatapnya dengan salah satu tangannya menopang wajahnya. Eugene mengerjapkan matanya beberapa kali, mengingat masa lalu mereka. Keningnya berkerut.
"Kenapa kau menolakku dulu?" tanya Chris sambil mengusap rahangnya.
"Aku menganggap itu hanya perasaan remaja."
Chris mengangguk. Eugene menyeringai tajam.
"Cuma karena aku lebih muda aku ditolak?" tanya Chris dengan nada memaksa. Didesak membuat wanita itu spontan menutup mulutnya dengan tangannya dan itu membuat Chris yakin Eugene pasti masih mengingat kejadian di ruang UKS. Dengan sinar mata jenaka ditatapnya wanita itu. Eugene masih menutup mulutnya, lama-kelamaan tangannya menutupi seluruh wajahnya.
"Sampai kapan kau akan bersembunyi di balik tanganmu?" tanya Chris dengan suara rendah. Eugene komat-kamit di balik tangannya sampai Chris harus mendekatkan telinganya untuk menangkap apa yang sedang diucapkan wanita cantik itu.
"Dari semua orang yang tidak ingin kutemui, kau berada di tingkat paling atas."
"Benarkah? Aku tersanjung, lho. Sebab Eugene Daisy Sidharta, bukanlah tipe wanita pemalu. Luar biasa kalau aku sampai bisa membuatmu merasa begitu," tukas Chris memuji dirinya sendiri. Eugene menggeleng-gelengkan kepalanya, tapi seperti Chris bilang kalau dia bukan wanita pemalu, begitu kepercayaan dirinya kembali, habislah pria itu dipukul lengannya berkali-kali.
"Apa aku harus diingatkan dengan cara demikian memalukan?"
"Aduh! Eugene, jangan main pukul saja!"
Eugene malah mencubit lengan Chris.
"Stop! Kau akan kulaporkan karena KDRT!" raung Chris. Eugene makin keras memukul lengan kokoh itu sambil tertawa-tawa, sedangkan Chris berusaha menghindari pukulan dengan menangkap tangan wanita itu.
"Ehem!"
Eugene berhenti memukuli Chris, lelaki tampan itu juga memandangi asal suara itu. Vivi berdiri di depan mereka sambil melipat tangannya dengan wajah marah.
"Istrimu?"
"Pacarku," jawab Chris. Eugene menyambar ponsel di sampingnya dan berdiri saling berhadapan dengan Vivi.
"Hai, aku Eugene," sapanya ramah. Sepanjang pengetahuan Chris, Eugene memang wanita yang memiliki sikap ramah kepada siapa saja, termasuk terhadap orang yang menunjukkan sikap tidak ramah padanya. Vivi, seperti dugaan Chris, mengabaikan sapaan Eugene, tapi biar begitu, wanita itu tidak kehilangan kepercayaan dirinya. Dia tersenyum lebar dan berkata kepada Chris, "Oh ow, pacarmu marah. Aku kabur, ah!"
Dengan santainya wanita bertubuh mungil itu meninggalkan Chris dan Vivi, bahkan sebelum pria itu bereaksi.
"Jadi... kau menghilang karena bersama wanita lain?" tanya Vivi dengan nada dingin. Chris mengambil ponselnya lalu memasukkan kedua tangannya ke saku.
"Aku tidak menghilang, Vivi. Kau tak perlu berkata begitu padaku."
Vivi menghentakkan kakinya.
"Aku mau pulang sekarang."
Chris merasa setuju dengannya. Dia ingin pulang, sebab malas meladeni kemarahan wanita ini yang bila sedang merajuk bisa bermuka masam selama berjam-jam.
"Ayo."
🎋My Pretty Teacher🎋
🎋Author's Noted :
Apa lu? Wkwkwkwk.
Biasanya tokoh wanitanya, dewasa, baik, rajin menabung, harum mewangi sepanjang hari.
Sekarang muncul yang agak beda. Bingung kan? Belum seberapa ini. Tetapi Cici suka Eugene. Nggak semua wanita harus baik kan? Eugene belum tentu jahat, kok.
Komen, yuk! Mulmednya itu waktu Cici sekolah SMA. Manis tapi sedih. Di mana semua cowok ganteng ketika Cici sekolah SMA? Nggak ada yang kayak Chris atau Tristan. Hiks.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top