🎋11. Orang yang Memberi Rasa Kangen🎋
Ngantuk.
Capek juga.
Namun Chris tak mau melepaskan kesempatan untuk menikmati penampilan Eugene khusus malam itu. Dengan penampilannya yang seadanya, habis nunggu pesawat berjam-jam dan tidur seadanya di lounge, Chris ingin sekali balik ke rumah untuk tidur lagi, tapi rasa kangen untuk bertemu sangat mengganggu. Waktu pergi tugas, pria itu sengaja tak pamit, penasaran dengan perasaannya sendiri. Kini is tahu bagaimana rasanya merindu. Kerja bagai robot dan menunggu hari dia bisa kembali ke darat.
"Kau akan mendiamkan aku selama-lamanya?" tanya Chris ketika keduanya sudah tiba di depan hotel yang mereka tuju. Eugene mendelik kesal.
"Bawa rokok?" tanyanya tanpa menjawab pertanyaan pria itu. Chris menggeleng.
"Tidak. Kami dilarang merokok selama bekerja."
Eugene menggaruk bagian belakang kepalanya.
"Butuh rokok. Aku nervous!" tukas Eugene cemas. Ia menggerak-gerakkan kakinya untuk menenangkan dirinya tapi juga tak bisa tenang.
"Aku heran kenapa kau dan temanmu sibuk dengan pesta ini? Pesta siapa? Kalau kubaca dari papan bunga sepanjang jalan masuk, tampaknya orang tenar. Maafkan aku kalau tak kenal orang tenar."
Eugene mengangguk berkali-kali, ia masih nervous. Mulutnya komat-kamit. "Harusnya aku tak perlu datang. Harusnya aku pura-pura sakit dan nginap saja di rumah sakit. Ngapain aku ada di sini? Bodoh! Tolol!"
"Hei ..." Chris meraih tangan Eugene dan menatap ke dalam matanya, sementara wanita itu masih menghentak-hentakkan kakinya dengan kesal.
"Kenapa kau kesal? Ada aku di sini. Tak perlu takut dengan apa yang ada di dalam sana," tukas Chris lembut. Matanya memancarkan aura yang memberikan ketenangan.
"Aku hanya merasa tidak pantas ada di sini," kata Eugene lemah. Semakin ia tidak ingin justru membuat Chris makin penasaran. Tapi ia juga tak ingin menekan wanita itu. Semuanya akan terkuak bila waktunya tepat tentang siapa yang tak ingin ditemui Eugene tapi juga harus ditemui.
Chris pura-pura memasang wajah cemberut.
"Keberatan dengan penampilanku?" tanyanya. Eugene ikut cemberut dan menggeleng.
"Bukan itu. Kau boleh pakai apapun sesukamu."
Chris menjentikkan jarinya. "Bagus! Sekarang kita masuk, yuk!"
Eugene masih ragu. Chris mengacak rambutnya yang sudah berantakan. Dia harus menemukan cara agar wanita itu mau masuk. Sayang sekali usaha temannya Eugene mendandaninya sampai secantik itu kalau hanya sampai di depan pintu hotel. Seluruh tamu harus melihat maha karya yang akan digandengnya.
"Sayang lho, secakep ini yang lihat cuma aku," pancing Chris. Kalau usahanya yang ini gagal, pria muda itu sudah merencanakan akan membopong Eugene masuk dan mengabaikan pandangan aneh dari orang sekitarnya.
Eugene menggigit bibirnya sendiri. Walau masih ragu awalnya, ia tetap menyambut tangan Chris ketika pria itu mengulurkan tangannya. Lelaki berkaki panjang itu tersenyum hangat padanya, memberinya kekuatan untuk melangkah maju dengan sepatu tingginya.
"Siapa yang berulang tahun?" tanya Chris kemudian. Eugene tampak tersenyum aneh lalu melirik seorang wanita berusia 50an yang sedang bicara dengan beberapa orang. Dilihat dari pakaiannya berupa kebaya yang glamor, ia pasti berasal dari keluarga terpandang.
Eugene menarik napas panjang sebelum berkata, "Bu Vina Tanudjaya, mantan mertuaku."
"Whaaat?!"
Chris masih berusaha menerima kenyataan ketika wanita glamor itu sudah ada di hadapannya dan Eugene malah memasang wajah terbaiknya.
"Anakku, Eugene!" sapanya dengan nada pura-pura ramah.
"Selamat ulang tahun, Ibu," balas Eugene. Bu Vina menyodorkan pipinya untuk ditempel Eugene.
"Lihat dirimu. Cantik sekali," puji wanita yang dipanggil Ibu oleh Eugene. Eugene mundur pelan-pelan agar Vina bisa melihat penampilannya dalam jarak pandangannya.
"Tetapi ... kenapa kau tak mengenakan gaun yang kukirim?" tanyanya dengan kening berkerut. Chris langsung memiliki perasaan tak enak mendengar pertanyaan itu diajukan pada Eugene. Namun Eugene terlalu pintar, memasang wajah mengingat hal yang dilupakan.
"Ah ... ah ... aku tidak ingat kalau Ibu mengirimkan gaun untukku. Mungkin asisten rumah tangga Eugene lupa kasih tahu," jawabnya. Vina Tanudjaya mendecak dan tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya.
"Bukan Ibu pernah bilang kalau kau lebih pas mengenakan warna putih? Lihat ... warna hitam membuat kulitmu suram," tukasnya.
Bohong!
Protes jelas terpampang di wajah tampan milik Chris. Ada juga orang yang pikirannya tak jelas mengatakan Eugene tidak pas mengenakan warna hitam. Dia boleh pakai warna apapun karena wanita itu secantik bidadari.
"Dan ... ini siapa?"
Sekarang wanita kalangan atas itu beralih pada Chris. Alisnya terangkat naik melihat penampilan pria muda yang datang bersama dengan mantan menantunya. Tak ada seorang tamu pun menghadiri acara di hotel mahal dengan gaya seperti lelaki ini. Cuek dan percaya diri dengan baju lusuh dan sepatu keds. Rambutnya berantakan dengan rambut depan hampir menutupi matanya, wajahnya tampak lesu dan ngantuk tapi matanya bersemangat. Beberapa tamu terang-terangan menunjukkan tidak suka dengan penampilannya tapi tindakan tersebut sama sekali tak mengintimidasinya. Chris cukup sopan dengan memberi anggukan sebelum Eugene memperkenalkannya.
"Ibu ... kenalkan ini Christopher ... teman dekat Eugene."
Chris mengulurkan tangannya sambil mengucapkan, "Selamat ulang tahun, Bu."
Kemudian dia sadar kalau seharusnya tak perlu mengulurkan tangan untuk menjabat karena Ibu Mertua sesempurna itu pasti jijik menjabat tangannya. Tetap saja Bu Vina membalasnya dan mengucapkan, "Terima kasih," walaupun dengan setengah hati. Lalu ia melengos dan mengamit lengan mantan menantunya dan berbisik, "Ibu tahu kalo kau kecewa dengan Teguh. Tapi cari teman dekat juga bukan yang seperti ini."
Bisikannya tetap sampai ke telinga Chris. Pria itu cuma menyeringai dan mengusap tengkuknya.
Eugene tampak merasa bersalah, walaupun begitu Chris masih bisa bersikap santai.
"Sudah bertemu Teguh?" tanya Bu Vina yang dengan sengaja menguatkan suaranya agar terdengar oleh Chris. Eugene menggeleng.
"Bentar. Ibu suruh Rita memanggilnya."
"Bu tak perlu repot. Nanti kami pasti ketemu. Ibu masih harus menerima tamu lain. Tak apa-apa, Bu," potong Eugene cepat. Vina memandangi mantan menantunya yang dulu pernah ia sayangi. Ada sedikit rasa penyesalan mengapa Eugene dan putranya memutuskan bercerai. Bukannya ia tak menyukai istri Teguh yang sekarang, lagipula putranya sudah memiliki seorang anak dari perkawinannya yang kedua.
"Selamat ulang tahun, Bu Vina Tanudjaya," ucap seorang tamu. Vina dengan terpaksa melayaninya. Eugene mengambil kesempatan baik ini, menarik lengan Chris lalu meninggalkan Vina.
"Langkah bagus membawaku pergi. Aku lapar," bisik Chris. Eugene cekikikan.
"Aku malah ingin merokok. Di mana aku harus cari rokok."
"Jangan! Lupakan barang itu sejenak. Makan saja," pinta Chris sambil memegangi perutnya yang rata. Dirinya belum makan sejak makanan terakhirnya yang dilahapnya waktu menunggu pesawat. Waktu di pesawat ia melewatkan makanan yang dibagikan pramugari karena tertidur.
"Ah, okay! Kita ambil makanan dulu," tukas Eugene. Chris yang menggandengnya menuju meja panjang, mengambil hidangan pertama yang dilihatnya lalu mencari tempat yang kosong.
"Benar-benar kelaparan," komentar Eugene melihat pria di sampingnya makan dengan lahap.
"Hm ... gara-gara seseorang, aku jadi tahu arti merindu," jawab Chris. Ia mengucapkannya dengan nada biasa tapi sanggup membuat wajah Eugene bersemu merah.
"Gadis beruntung," kilahnya berpura-pura santai. Chris mengiyakan sambil menegak minumannya.
"Kau mau bicara kenapa kau harus menghadiri pesta yang sebenarnya tak ingin kau hadiri?" tanya Chris setelah minuman sirupnya habis. Wanita di sisinya pura-pura melihat ke arah lain. Chris melihatnya sebagai suatu pertanda kalau masalah tersebut tabu untuk dibicarakan.
"Aku mau ambil minum lagi," kata Eugene sambil berdiri. Tindakan ini dilakukan agar Chris tak mencercanya dengan pertanyaan yang sama. Namun pria itu ikut berdiri.
"Ayo!" Chris menggenggam tangan wanita cantik itu menuju meja panjang minuman sambil berbincang ringan.
"Hei, lihat! Kok Bu Vina bisa punya tamu gembel gini, ya?" bisik salah seorang tamu ketika Eugene dan Chris berada di sana.
"Iya. Padahal Bu Vina 'kan bukan orang sembarangan. Suaminya pejabat. Dia sendiri artis pada masa mudanya. Anak-anaknya semua duduk di pemerintahan."
"Ssttt! Itu istri baru Teguh ..."
Eugene membalikkan badannya ingin menegur para tamu yang hobi bergosip, tapi dicegah oleh Chris. Pria berwajah tirus itu memberi kode dengan menggelengkan kepalanya. Eugene mendelik tapi lelaki itu malah menepuk-nepuk punggung tangannya lalu mendekatkan wajahnya serta berbisik, "Tak perlu buang energi, Beib."
Eugene menggertakkan giginya untuk menahan diri agar tidak melabrak orang-orang itu.
"Pergi saja, yuk. Cari udara segar," bisik Chris sambil mengedipkan sebelah matanya.
"Rokok!" tukas Eugene. Kali ini dia bisa tersenyum riang.
"Ehm ... Ehm ..." Chris menggeleng tidak setuju membuat Eugene cemberut.
"Satu saja," pintanya merengek. Chris tetap menggeleng.
"Eugene ...."
Suara di belakang Eugene membuat wanita itu tersentak dan bahasa tubuhnya menjadi kaku. Namun sebelum ia membalikkan badannya, ia berusaha membuat wajahnya semanis mungkin.
"Hai, Bang Teguh. Apa kabarmu?"
"Kau datang juga akhirnya. Dan siapa ini?" tanya pria tampan itu sambil menatap lurus pada Chris yang berada di belakang Eugene.
"Ah ..."
"Christopher. Aku teman dekat Eugene," tukas Chris dengan cepat memotong kalimat Eugene. Dia mempunyai firasat kuat harus memiliki inisiatif dalam hal perkenalan ini. Dengan percaya diri mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan pria yang baru bertanya siapa dirinya. Pria itu meninggikan alis memandangi Chris dengan tatapan menghina tanpa membalas jabatan tangannya.
Diperlakukan demikian, Chris malah menyeringai. Dia bisa mengerti karena penampilannya tak cukup bagus dibandingkan dengan pria kenalan Eugene itu. Chris menarik tangannya kembali dan memasukkannya ke dalam saku celananya. Namun ia mengangkat wajahnya dengan sikap yang jantan, sama sekali tak terintimidasi oleh pria tinggi di depannya.
"Kau datang bersamanya untuk menyiksaku?"
"Apa maksudmu, Bang?"
"Kau ingin aku merasa bersalah 'kan? Kalau kau tidak bahagia, kenapa aku harus turut serta menderita?"
Eugene menelan ludah. Wajahnya pucat seputih kertas. Chris maju selangkah ingin melindungi wanita itu walau hanya menggenggam tangannya. Di dalam hati telah menebak siapa lelaki di hadapannya ini. Pasti pernah menorehkan luka yang mendalam pada Eugene.
"Bang Teguh. Ibu mencarimu, katanya ..."
Seorang wanita memanggil Teguh dan ketika pandangannya tertuju pada Eugene, dia jadi terkejut.
"... Kau ..."
"Oh hai, Linda! Tak perlu terkejut melihatku. Tahun lalu kita juga bertemu dalam situasi kau sedang hamil," ujar Eugene dengan nada seriang mungkin.
Hamil?
Sementara Chris bingung tentang situasinya. Otak pintarnya belum bisa mencerna apa yang sedang terjadi, hubungan antara ketiga orang ini.
"Apa ... kabarmu, Kak," sapa wanita muda yang dipanggil Linda oleh Eugene.
Dia pasti istri pria bernama Teguh ini, pikir Chris, sebab Linda menggandeng lengan pria itu dengan posesif seakan merasa ada sesuatu yang mengancam dirinya dan pasangannya.
"Beib, kau pasti bingung dengan hubungan kami, ya. Ini Linda, istrinya Teguh dan Teguh adalah ... mantan suamiku."
Diucapkan dengan santai oleh Eugene tapi mengandung sindiran tajam buat dua orang itu.
"Eugene ..."
"Kak ..."
Eugene dengan tenangnya, tersenyum.
"Jangan kuatir, aku nggak minum dan tak akan merusak pestanya. Suamimu sendiri yang minta aku datang," ucapnya membuat Linda mendelik pada Teguh.
"Bang Teguh bohong!"
"Aku terpaksa. Kau tau gimana Ibu yang minta," balas Teguh.
Chris menyembunyikan senyumannya. Ia mendehem sejenak lalu bilang, "Beib, kita menjauh, yuk. Urusan keluarga."
"Yuk. Sampai jumpa, Bang!"
Digandengnya lengan Chris dengan penuh percaya diri dengan kepala hampir bersandar pada lengan kuat itu. Namun baru beberapa langkah, Teguh sengaja teriak, "Telepon aku besok. Aku carikan kerjaan buat pacarmu."
Eugene tampak kesal, hampir membalikkan badannya tapi lagi-lagi Chris mencegahnya berbuat semaunya yang bisa membuat dirinya sendiri malu.
"Biarkan saja. Kau tak perlu ambil pusing tentang apa yang dia katakan."
"Tetapi ..."
"Terus saja. Jangan menoleh. Dulu kala, ada seorang guru yang mengajariku attitude."
Ketika akhirnya mereka berhasil menjauh, Eugene tetap bertanya.
"Kenapa kau mencegahku? Aku tak akan membiarkan dia menghinamu!"
Chris tertawa lebar. Keduanya kini berdiri di dekat piano.
"Untuk apa kau peduli? Biarkan dia senang dengan pemikirannya sendiri," jawabnya ringan. "Aku bukan pengangguran," lanjutnya sambil menutup wajahnya dengan gaya kocak.
"Ya, aku tau. Kau bilang duitmu banyak walaupun bukan PNS. Apa sih kerjaanmu sampai bisa menghilang selama berminggu-minggu?" tanya Eugene. Chris menjentik hidungnya.
"Sampai sekarang baru penasaran. Kerja di pengeboran minyak. Sistem shift. Kau pasti tak ingin tau detilnya, ribet. Aku bagian electric."
"Kukira kerja di pengeboran cuma ada di film-film," ujar Eugene. Chris tertawa lagi.
"Jadi kalau lain kali aku menghilang, tolong jangan curiga. Aku pasti sedang ada di RIG dan tak bisa menghubungimu. Tapi aku pasti akan muncul dua minggu kemudian," tukas pria itu pelan. Eugene menunduk malu-malu.
"Kapan aku merasa kehilangan?" tanyanya kikuk. Chris melipat tangannya di depan dada.
"Baiklah kalo tidak kehilangan. Aku saja yang terlalu berharap," balasnya. Tangannya menyentuh tuts piano. Menekan salah satu tuts sampai mengeluarkan nada tapi orang di sekitarnya tak merasa terganggu.
"Awas saja kalo pergi nggak bilang-bilang. Aku akan ..."
Chris mengangkat wajahnya tinggi-tinggi menanti kelanjutan ancaman wanita bermata lebar itu.
"... aku akan ..."
"Jangan suruh orang lain bayar minumanmu kalo kau ketinggalan dompet! Kau bisa pakai aplikasi. Jangan suruh orang lain jika listrik rumahmu mati. Akan kuurus semuanya sebelum aku bertugas," sahut Chris cepat.
Eugene menatap Chris sambil menutup mulutnya dengan tangan. Di tengah-tengah pesta, di tengah ramainya tamu pesta ulang tahun mantan mertuanya, Chris baru saja mengungkapkan perasaannya.
"Begini bisa 'kan?"
Eugene masih menutup mulutnya tapi tatapan matanya berbinar menatap Chris sebelum akhirnya ia mengangguk.
Tangan panjang pria itu kemudian menekan tuts lagi. Lirih ia berkata, "Aku ingin memelukmu sekarang, tetapi tidak bisa."
Tangannya menekan tuts lagi sampai menyerupai sebuah irama.
"Nanti ingatkan aku bahwa aku berhutang satu makan malam padamu dengan penampilan yang pantas," tukasnya.
"Lagu apa ini?" tanya Eugene penasaran.
Tangannya mulai bergerak dan sekarang ia duduk di depan piano.
"Ini?"
Eugene yakin pria itu bukan sekedar acak menekan tuts. Suara yang dihasilkan membentuk melodi yang indah untuk didengar. Bukan ia saja yang tertarik, tapi tamu yang lain juga sudah mulai mengelilinginya dan mendengarkan irama piano.
"Judulnya Walking on Air."
Di antara orang yang mendengarkan kepiawaian Chris, ada Teguh dan istrinya. Juga Bu Vina Tanudjaya.
🎋My Pretty Teacher🎋
Sesuai permintaan kalian, ya.
Maafkanlah aku bila ada nama yang kulupakan saking lamanya tak update. Hahahaha. Maafkan aku juga kalau ada salah ketik. Pas ngantuk-ngantuknya.
Komenlah sesukamu, yang penting sopan. Hahaha. Terima kasih telah membaca.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top