🎋10. Ketika Kangen Mengalahkan Kantuk.🎋
Mulmed Deep End.
Eugene mengetuk layar ponselnya mulai dari gerak lambat. Ia berharap ada pesan masuk tapi tak pernah ada, lalu mulai tak sabar, diketuknya layarnya lagi, membaca chat terakhirnya dengan nama Tukang Listrik Ganteng. Chat terakhir itu mengucapkan selamat malam tertera tanggal dua hari yang lalu. Selama waktu 2x24 jam, wanita itu bolak-balik mengecek apakah ada yang salah dengan ponselnya sampai terlintas dalam pikirannya kalau ia harus menggantinya dengan yang baru. Ia berada di depan toko ponsel ketika temannya menghubunginya dan saat itu, Eugene sadar kalau ponselnya baik-baik saja.
Ia juga telah menghubungi Chris tapi nomornya tidak aktif. Lalu teringat pada adiknya lelaki itu dan Eugene menyesali diri kenapa tidak meminta nomor ponselnya. Setidaknya ia ingin memastikan kalau tidak terjadi sesuatu pada pria itu.
"Ini ADL Kak Eugene."
Eugene terkejut dari lamunannya dan mendongak memandang barista yang baru saja meletakkan cup kopi yang tak dipesannya. Dia masih lupa membawa dompet, sementara kartu member tersimpan dalam dompet. Sebab itu, dia menghubungi Chris, ingin minta bantuan seperti biasanya, tapi nomornya tidak aktif, wanita itu mengurungkan niatnya untuk memesan kopi dan memutuskan untuk duduk saja.
"Aku tidak pesan. Dompetku ..."
Barista berhidung mancung itu tersenyum lebar sebelum memotong kalimat Eugene, "Ketinggalan. Saya tau, Kak. Ini kopi Kakak biasanya dan dibayar dengan kartu yang Kakak tinggalkan beberapa hari yang lalu. Saya menyimpannya agar dapat dipakai jika Kakak ketinggalan dompet lagi. Berjaga-jaga saja."
Eugene tampak malu dan untuk menutupi kegundahannya, ia berusaha tertawa.
"Te ... rima kasih."
"Sendirian, Kak? Mana pacar Kakak yang sering sama Kakak?"
"Pacar?" Eugene bingung ditodong soal keberadaan pacar oleh barista tampan itu. Lalu teringat kalau yang dimaksudnya adalah Chris, wajahnya langsung menunjukkan tanda sedih.
"Bukan pacarku," jawab Eugene tanpa sadar. Sementara Si Barista tampak tersenyum seolah ingin menyampaikan kalau dia cukup senang mendapatkan informasi ini.
"Aku tinggal, mau tugas dulu."
"Ah ya, thanks!"
Sepeninggalan barista, Eugene kembali menatap ponselnya. Dia bertanya dalam hati apakah Chris memblok nomornya. Kesalahan apa yang diperbuatnya sampai lelaki itu melakukannya. Chris bisa saja terganggu karena dirinya yang suka sekali menghubunginya hanya karena dia ketinggalan dompet dan tidak membawa uang.
Eugene masih terus bengong menatap ponselnya sampai kemudian benda yang dipandanginya itu bergetar dan langsung diangkat olehnya tanpa melihat nama yang tertera.
"Halo!"
"Ibu ingin aku memastikan kau menghadiri pesta ulang tahunnya."
Eugene menjauhkan ponsel ketika menyadari suara Panji yang terdengar di sana. Betapa bodohnya dia tidak melihat nama penelepon sebelum menjawabnya.
"Jangan ganggu aku, Bang!"
"Datanglah ... mengingat hubungan kita yang dulu." Suara Panji terdengar begitu lemah.
Eugene menghela nafas mengingat tak pernah ada hubungan baik yang harus diingatnya bersama lelaki yang menjadi suaminya, terlebih lagi sekarang Panji sudah menjadi milik wanita lain.
"Aku kirim driver, kau hanya perlu datang sebentar," tukas Panji dan seperti yang lalu, ia tak perlu sudi mendengar bantahan apapun. Eugene melemparkan ponsel dengan kesal ke meja. Ia tak ingin berhubungan dengan Panji lagi walaupun dengan alasan ibu mertuanya yang meskipun selama menjadi menantunya selalu bersikap baik dan menyayanginya, tapi wanita itu juga sama manipulatifnya.
Eugene memijat kepalanya yang tiba-tiba sakit. Telepon dari mantan suami yang mengabarkan kalau mertuanya akan melaksanakan pesta ulang tahun membuatnya ingin melarikan diri. Disesalinya kalau seharusnya ia tidak semestinya kembali ke kota kelahirannya, Eugene harus pergi lebih jauh untuk menghindari keluarga itu.
Pesan masuk.
Diraihnya ponsel yang sedang bergetar itu dengan wajah cemberut.
Andrea : Mau ke sini nggak? Aku lagi bikin roti, perlu tangan buat membantu.
Balasan Eugene cukup huruf 'Y'. Sejam kemudian, ia sudah berada di rumah sahabatnya, tempat pelarian yang terbaik. Eugene sadar kalau dirinya bukanlah asisten yang baik dalam mengaduk adonan, Andrea hanya membutuhkan dirinya untuk sekedar ngobrol ketika tangannya sedang sibuk. Atau wanita yang telah menjadi sahabatnya selama puluhan tahun itu menyadari kalau Panji baru saja menghubunginya.
"Andai waktu itu tidak terjadi peristiwa itu, dia pasti sudah sebesar Gavin," tanya Andrea sambil tangannya tetap sibuk dengan adonan tepung dan telurnya. Eugene yang sedang duduk dan menemani anaknya Andrea menyusun balok, menghentikan gerak tangannya. Wajahnya tampak tertegun tapi berusaha tidak terlalu terganggu oleh perkataan temannya.
"Apakah ini waktu yang tepat untuk kembali membicarakannya?" tanya Eugene pelan dan melanjutkan kegiatannya menyusun balok berwarna kuning. Andrea masih belum terlihat terlalu serius dengan mengungkit soal anak dengan temannya, dia tetap memprioritaskan tangannya bekerja ketimbang langsung mencecar Eugene.
"Aku mengungkitnya karena ...."
Andrea sama sekali tak melanjutkan isi hatinya, dagunya terangkat menunjukkan ke arah kalender yang tergantung di ruang keluarga rumahnya.
"Aku selalu ingat tanggal itu, setiap tahunnya. Kau selalu bertanya padaku, apa yang harus kaupakai, agar sesuai dengan keinginannya."
"Aku bukan lagi menantu keluarga terhormat, untuk apa aku menampilkan kesan bagus?" potong Eugene cepat. Andrea menggigit bibirnya lalu mengangguk.
"Ya, benar."
Ia beralih pada anaknya dan bicara dengan lembut pada anak berusia lima tahun itu.
"Gavin sekarang bisa bantu Mommy?"
Gavin yang baru berusia 5 tahun menatap ibunya dan bertanya, "Mommy perlu apa?"
Andrea tersenyum lembut menatap anaknya yang berwajah tampan seperti ayahnya. Seperti kebanyakan anak-anak berdarah campuran western, Gavin memiliki rambut cokelat, hidungnya mancung dan matanya berwarna abu-abu. Dia kelihatan menarik di usianya yang masih kecil.
"Mommy ingat tadi belum membereskan kamar tidur Gavin. Bisa tidak Gavin bantu Mommy merapikannya?"
Gavin mengangguk patuh dan pamit pada Eugene, "Nanti kita main lagi, ya, Aunty." Eugene mengeluarkan jari kelingkingnya dan menautkannya pada kelingking Gavin.
"Nah, sekarang ... bicaralah ... Panji sudah menghubungimu 'kan?"
"Kau terlalu kepo!"
"Sudah kebiasaan Gene! Seperti dia juga masih terus saja merecokimu meskipun hubungan kalian bukan lagi suami-istri."
Eugene mendesah pelan. Mulanya ia tak menyangka, pada tahun pertama setelah berpisah dengan Panji, mantan suaminya menghubunginya karena ingin ia menghadiri pesta ulang tahun ibunya. Demi hubungan baiknya dengan sang mertua, ia datang, dan kemudian hanya untuk membuat hatinya kembali tertusuk untuk kedua kalinya. Panji benar-benar telah bersama dengan wanita yang telah masuk dalam kehidupan rumah tangga mereka.
Setelah itu, Eugene berjanji kalau ia akan memutuskan hubungan dalam bentuk apapun dengan Panji dan keluarga besarnya. Tidak ada gunanya lagi menjaga hubungan yang memang sudah rusak. Sampai kemudian, setahun berlalu, mantan suaminya masih menghubunginya dengan alasan yang sama, wanita itu menolak. Namun kemudian, mertuanya yang menghubunginya dan mengatakan kalau ia ingin bertemu dengan mantan menantunya.
Jika kau tidak datang, masyarakat akan berpikir kalau hubungan kita tidak baik. Tolong Ibu agar mereka tak berpikiran yang negatif tentang keluarga kita.
Kita?
Lebih tepatnya adalah untuk keluarga mereka. Ayah Panji adalah seorang pensiunan pejabat daerah, ibunya adalah seorang artis yang kemudian menjadi anggota dewan, Panji juga seorang pegawai negeri, begitu juga keempat saudari dan suami mereka. Belakangan, Eugene baru sadar kalau Panji mendekatinya karena ayahnya adalah seorang pejabat. Panji dipaksa menikah secepatnya oleh orang tuanya karena mengetahui latar belakang keluarga Eugene.
"Masih haruskah kau pergi?"
Eugene mengerlingkan matanya, menatap Andrea.
"Aku sendiri pernah berpikir, bagaimana kalau aku tidak pergi. Tapi ... kurasa ibunya Panji benar. Bukan keluarganya saja yang menjadi sorotan, Papaku juga. Jadi ... And ..." Eugene mengangguk yakin sebelum menyelesaikan kalimatnya. "... aku akan pergi dan sekali lagi membuat rasa sakit di hatiku karena kebodohanku sendiri."
Andre menarik nafas panjang. Ia berpikir, seandainya bisa mengurangi penderitaan sahabatnya sedikit saja, apapun akan dicobanya.
"Apa yang bisa kulakukan untukmu? Ah ... selain mendadani kamu." Buru-buru Andrea menambahkan ketika dilihatnya Eugene membuka mulutnya. Kedua wanita itu tertawa bersama-sama kemudian.
"Kau tau, Gene. Akan tiba waktunya bagimu untuk menemukan kebahagiaanmu sendiri. Aku yakin sekali kalau kau tidak terlahir untuk tidak bahagia. Orang baik pasti akan bertemu dengan orang baik. Jika kau tidak menemukannya, maka ia yang akan menemukanmu."
Eugene tidak berani menatap sahabatnya, ia hanya memandangi kalender di dinding rumah Andrea dengan pandangan kosong. Kata-kata Andrea memang menghibur dirinya, tapi hari itu akan tiba, hari di mana dirinya perlu hati yang tegar.
Hari demi hari menjelang waktunya tiba, ia merasa tidak enak. Tidur tak enak, makan juga tak enak. Eugene ingin beralasan kalau semua hal itu karena ia masih merasa tak nyaman untuk bertemu dengan keluarga mantan suaminya. Namun di lubuk hatinya, ia yang tahu bahwa dirinya kehilangan teman bicara.
Christopher, tukang listrik tampan itu. Teleponnya masih tidak aktif. Entah di mana pria itu berada.
Ketika waktu yang ditunggu tiba, Andrea menyediakan waktu untuk mendadani Eugene, sebab ia tahu kalau temannya itu bisa saja pergi dengan tampilan sederhana untuk mempermalukan dirinya. Sebagai sahabatnya, Andrea tak rela.
"Ibu itu masih mengirimkan baju yang harus kau pakai pada malam ini?" tanya Andrea tanpa bisa menyembunyikan rasa sebalnya. Ia berpikir bagaimana bisa Eugene menjalani kehidupan sebagai seorang istri dari Panji jika pakaian saja harus diatur oleh mertuanya.
Eugene menunjuk gaun hitam lengan panjang yang tergantung di pintu kamarnya. Andrea hanya meliriknya sekilas.
"Kalau aku jadi kau ... akan kupakai gaun merah menyala supaya dia tak akan mengundangku datang lagi."
Eugene menepuk bahu Andrea dengan lembut.
"Sudahlah ... aku nggak akan di sana untuk waktu yang lama. Abis setor muka, aku pulang. Kalau belum jam 9, aku singgah. Tadi Gavin bilang kalian mau pesta pizza."
Andrea mencibir dan berkata, "Kau tak diundang. Ini khusus keluarga."
"Hei! Aku diundang Gavin!"
"Oh gitu, ya?"
"Ke mana anak itu tadi sama papanya sehabis antar kamu ke sini? Pergi buru-buru sampai lupa meluk Auntie Gene."
Andrea terkekeh sambil memulas bibir Eugene dengan tangannya yang cekatan. Dia memang sudah tidak hidup dengan menjadi make-up artist lagi karena suaminya Steven, pria berdarah Thailand itu tak lagi mengijinkannya. Menjadi seorang make-up artist memang melelahkan, apalagi kalau sedang musim nikah, dia harus siap bekerja jam tiga pagi. Steven keberatan dengan jam kerja gila-gilaan begitu. Namun khusus untuk Eugene, Andrea bersedia setiap saat. Secara khusus mencari apa yang sedang trendi untuk diaplikasikan pada wajah sahabatnya itu. Dulu, pada saat pernikahan Eugene dan Panji, Andrea juga yang membuat wanita itu tampak cantik luar biasa di hari istimewanya. Walaupun kecantikannya itu tak membuat Panji mencintai istrinya.
"Anak itu mirip dengan Steven. Cool. Nanti kalau sudah remaja, aku ajak pacaran saja," canda Eugene. Keduanya cekikikan.
"Bagus! Kau jadi mantuku, biar kusiksa dirimu lahir batin." Lagi-lagi keduanya tertawa.
Ting tong!
"Eh! Apa Gavin dan Steven ketinggalan sesuatu? Kok, balik lagi?" Andrea meletakkan kuas bibirnya.
"Aku aja yang buka. Mungkin Steven ketularan penyakit lupa dompet."
Andrea buru-buru menuju pintu depan dan membuka kuncinya. Namun begitu terkejutnya ia karena yang dilihatnya di depan pintu bukanlah suami dan anaknya, tapi seorang pria tampan berkaki panjang yang pernah dilihatnya mengantar Eugene ke rumahnya beberapa waktu lalu.
"Oh hai! Halo!" sapanya agak gugup. Pria tampan itu menguap tapi berusaha untuk tetap sadar ketika ia bertanya, "Eugene ada?"
Andrea tersenyum lebar. Tiba-tiba di benaknya terlintas sebuah ide gila. Ia menyukai penampilan tamu pria ini, yang meskipun tampak lusuh dengan baju kemeja santai dan celana selutut, ia tetap menarik dan tampan.
"Siapa, And?" Sosok Eugene muncul dan Andrea langsung bertanya pada tamu pria itu.
"Maukah kau menemani Eugene ke pesta? Pestanya tidak terlalu resmi dan kau tak perlu ganti baju?"
"Hai, Cantik!"
"Chris!" pekik Eugene. Dia sama sekali tak menyangka kalau pria yang sedang dirindukannya akan muncul malam ini.
"Aku kangen! Baru nyampe ke kota dan langsung minta diantar ke sini. Boleh peluk sebentar?"
Andrea hampir memekik tapi langsung menutup mulut dengan tangannya, sedangkan Eugene tampak tersipu.
"Eh, ada tamu."
Seketika rasa kantuk Chris hilang.
"Bagus, sekarang aku yang tamu," sindir Andrea tapi sambil tersenyum. Mendengar sindiran itu, Chris hanya menyeringai dan mengacak-acak rambutnya yang memang sudah berantakan.
"Kau mau pergi, Beib?"
"Nanti saja kalian melepas rindu. Sekarang, aku harus mendadani Gene dan kau ... Pria Tampan tunggu di sana. Nanti kau pergi bersama Gene. Beri aku lima belas menit, kay!"
Chris menggaruk-garuk kepalanya dan mengangguk. Dilihatnya Andrea menyeret Eugene masuk ke kamar, Chris menyeret langkahnya dan duduk menunggu di sofa selama tidak lebih dari lima belas menit.
Lima belas menit kemudian.
"Kau yakin dengan rencana ini?" tanya Eugene pelan. Andrea tersenyum lebar. Dia pernah meyakini instingnya ketika menerima lamaran Steven suaminya. Sekarang, instingnya juga sekuat waktu dulu.
"Aku bisa pulang ganti baju kalau per ..."
"Ah, tidak! Jangan! Cukup begini saja," potong Andrea cepat. Jangan sampai Chris ganti baju dengan setelan jas resmi, hadiah kejutan buat ibundanya Panji akan berkurang gregetnya.
"Pergilah ..." ucap Andrea sambil menepuk bahu Eugene. Gaun hitam panjang itu sangat cocok dikenakan oleh wanita cantik yang sudah menyandang status janda. Dipoles oleh make-up artist bertangan dingin, Eugene Daisy Sidharta tampak memukau. Yang membuatnya makin bersinar adalah pria tampan di sampingnya.
Pria yang menurut Eugene bernama Christopher itu, mantan muridnya akan menemani wanita itu ke pesta ulang tahun mantan mertuanya hanya dengan pakaian ala kadarnya, kemeja kotak-kotak biru putih yang tidak dimasukkan ke dalam celana selututnya. Andrea yakin, lelaki itu menawarkan diri buat ganti baju bukanlah karena tidak percaya diri dan merasa terbanting dengan penampilan
Eugene. Dia bertanya hanya untuk memastikan kalau tuan rumahnya tak akan merasa terganggu dengannya.
Aish, tentu saja, ibunya Panji akan melotot, pikir Andrea dengan wajah terukir senyum kemenangan.
Namun Si Ibu itu tak akan bisa melakukan apa-apa di pestanya sendiri. Dia tak akan bisa mengusir Eugene untuk mempermalukan diri sendiri.
Ah, Eugene akan menjadi sorotan malam ini. Padahal pestanya bukan pesta ulang tahunnya.
"Andai bisa live instagram pas kamu berhadapan dengannya," bisik Andrea di telinga sahabatnya.
"Tak perlu buru-buru pulang, Say. Nikmati pestanya," pesannya sebelum pintu mobil yang dikirim Panji itu tertutup rapat dan membawa Eugene dan Chris menuju hotel tempat pesta ulang tahun diselenggarakan.
"Beib ... kau cantik sekali malam ini," bisik Chris dan mengecup kening Eugene dengan ringan.
🎋Bersambung ...
Maaf lama tidak update. Cici pindahan rumah. Masih berantakan rumah dan mood. Sekarang baru sempat pegang wattpad lagi. Maaf yang sudah lama tanya.
Cici gemas sama Chris. Penampilannya dan gayanya sok ngilang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top