🍀1. Blind Date🍀

By the way! Kalian sombong, mau baca, taruh di library tapi ogah ngefollow. Apa karena Cici bukan penulis femes, ya?
Play multimedia 👆.

Tentang sebuah pertemuan tak disangka.

***


Ethan merasa sangat lelah dengan semua ini. Pertemuan dengan wanita yang dipilih oleh ibunya, yang tak bisa dihitung lagi jumlahnya, sejak dia kembali ke kota kelahirannya. Ibu kandung Ethan, Dewi Wijaya menginginkan putranya segera menikah karena usianya sudah menginjak 33 tahun, sementara Ethan belum punya pacar. Ethan lelah dipaksa terus sampai akhirnya seorang setan yang menjelma dalam bentuk teman bernama Daniel, memberinya saran agar ia menerima saja pertemuan seperti itu. Datang, kenalan, lalu pergi. Sesederhana itu. Begitu terus sampai ibunya bosan dan malas mengurusnya. Dewi Wijaya yang seorang Direktur, pada akhirnya akan menyerah karena keinginan itu tak pernah kesampaian.

Huft.

Ethan berjanji setelah kencan dengan wanita di depannya ini berakhir, dia akan menonjok wajah Daniel sebab membuatnya terjebak duduk berjam-jam dalam keheningan yang membosankan. Dia bingung dengan ibunya yang ingin dirinya segera menikah padahal Dewi Wijaya tahu kalau Ethan masih sibuk mencari uang dan traveling. Bukannya Ethan tidak laku atau punya kelainan seksual, dia pria normal dengan tingkat hasrat seksual tinggi, pernah punya pacar yang sekarang sudah mantan semuanya, tapi tak ada satu pun yang membekas di hatinya.

Ethan belum bisa menemukan wanita yang bisa membuatnya nyaman terikat dalam suatu hubungan saling setia. Yang pasti bukan seperti wanita di depannya yang membuatnya merasa bosan. 

Hani Cahyadi, sebenarnya cukup menarik. Menurut Dewi Wijaya, wanita itu pernah menuntut ilmu bisnis di Singapura. Sedangkan menurut info yang dikumpulkan Daniel, orang tua Hani adalah kenalan lama Dewi Wijaya, jadi sudah pasti seperti kebanyakan keluarga kaya lainnya, ia membosankan, sopan, dan sesuai norma.

Ethan mungkin akan sama membosankannya bila tidak melakukan pemberontakan terhadap ibunya. Setelah ayahnya, Setiawan Dharmajie meninggal, 17 tahun yang lalu, Ethan hidup dalam bayang-bayang Dewi Wijaya. Tiga tahun kemudian, dia lulus SMU dan melakukan pemberontakan pertamanya, pergi ke negeri tetangga dan mengambil kuliah yang tidak disetujui ibunya, yaitu perhotelan, tapi tak lama kemudian Dewi berbalik mendukungnya karena asistennya memberitahukannya kalau di antara bisnis yang ditinggalkan almarhum ayahnya Ethan terdapat hotel yang ada di kawasan pariwisata. Meskipun begitu, Dewi Wijaya mengabaikannya selama beberapa tahun karena hal ini. Ethan harus bekerja part time untuk bisa membayar uang kuliahnya sendiri.

Sehabis kuliah, Dewi Wijaya sempat menawarkannya posisi di perusahaan tapi ditolak Ethan. Dia bilang masih ingin mencari pengalaman di luar. Ibunya masih marah padanya dan bilang, kalau semua anak-anak temannya sudah pada pulang dan mengabdi pada perusahaan sendiri, hanya Ethan yang tidak memiliki tanggung jawab terhadap keluarga. Sebenarnya Ethan tidak mau seperti anak-anak pewaris perusahaan lainnya. Dia tidak ingin sehabis kuliah langsung mendapatkan posisi penting di perusahaan, Ethan ingin merasakan bekerja dari posisi rendah. Ayahnya dulu sebelum memiliki multi bisnis juga seorang pekerja rendahan sampai kemudian dia berhasil mendirikan perusahaan pertamanya di bidang perkebunan kelapa sawit yang booming pada tahun 1990-an.

Beberapa minggu yang lalu, Ethan dihubungi asisten ibunya yang mengabarkan kalau Dewi Wijaya akan menjual hotel di daerah pariwisata karena tidak menghasilkan keuntungan lagi buat perusahaan. Ethan diminta kembali untuk menandatangi beberapa berkas. Lelaki berkulit gelap itu mencari waktu yang tepat yang disesuaikan dengan masa cutinya yang memang hampir habis karena digunakan untuk traveling seorang diri ke tempat yang belum pernah ia kunjungi daripada kembali ke kota kelahirannya. Akhirnya pada pertengahan tahun, dia pun terpaksa pulang setelah asisten Dewi Wijaya kembali menghubunginya karena sudah tidak bisa melakukan apa pun untuk mencegah ibunya menjual hotel itu. Ethan memiliki ikatan emosi dengan hotel yang ingin dijual ibunya itu. Hotel itu dibangun oleh ayahnya dengan tujuan agar ia dan putranya memiliki tempat tujuan di akhir minggu untuk menghabiskan waktu bersama. Ayahnya bilang kelak kalau dirinya sudah pensiun, ia tidak menganggur dan akan mengurusnya. Dewi Wijaya tidak tahu akan janji suaminya, karena itu ia ingin menjualnya.

Dewi Wijaya gembira sekali karena pada akhirnya Ethan memutuskan menetap di kota kelahirannya, tapi tetap saja ibunya punya niat terselubung yaitu melihat putranya menikah dengan wanita dari kelas sosial yang tinggi.

Ahk, kacau!

Makan malam ini membosankan seperti biasanya. Tanpa kata-kata yang berarti, Ethan dan pasangannya hanya menikmati makan malam dalam hening sampai suara sendok yang beradu dengan piring bisa terdengar. Ini sama saja dengan hubungan Ethan dan wanita-wanita yang pernah mengisi hidupnya dulu. Tanpa kata-kata, sama-sama butuh dan terjadilah.

"Kau suka makanannya?" tanya Ethan berusaha berbasa-basi pada pasangannya, hanya untuk mengisi keheningan, bukan karena peduli.

"Ya, terima kasih."

Ethan mendehem.

Selalu seperti ini, basa-basi yang tidak perlu. Membosankan.

"Andrew Untario, aku sama sekali tidak tertarik padamu. Aku hanya bosan dikejar-kejar oleh ibuku dengan pertanyaan kapan aku akan menikah?"

Terdengar oleh telinga Ethan suara seorang wanita yang duduk di belakangnya dan dipisahkan oleh partisi yang terbuat dari kaca. Ethan tersenyum samar. Ternyata wanita itu juga mengalaminya. Keingintahuannya membuat Ethan melirik ke cermin besar di hadapanku, tepat di dinding di belakang Hani duduk. Bayangan seorang wanita dengan rambut coklat berombak diikat ekor kuda dengan tulang bahu sejajar, duduk membelakanginya, di hadapannya duduk seorang pria tampan yang memiliki mata sayu dan berhidung mancung. Ethan bisa melihat wajah pria itu dengan jelas dari cermin.

"Mengerti, Jasmin! Kita berdua sedang dikejar orang tua."

"Aku masih muda dan belum mau nikah," tukas wanita itu.

Ethan masih mengawasi dari cermin. Rasa penasaran melingkupi hatinya karena masih belum bisa melihat wajah wanita itu. Ethan hanya melihat wanita itu memakai atasan sutra berwarna putih dengan hiasan manik di bahunya.

"Aku juga malas mengikuti segala kencan yang diatur orang tuaku. Kau juga pastinya."

"Ya, aku sangat sibuk hari ini. Pekerjaanku banyak dan ini membuang waktuku."

Ethan pikir kalau ada wanita sombong yang bilang begitu padanya, dia akan langsung meninggalkannya begitu saja. Namun, ia tetap menyimak percakapan mereka karena Hani, pasangannya tampaknya sedang menikmati makan malamnya tanpa mau diusik dengan percakapan ringan.

"Kalau begitu, kenapa kita tidak katakan saja kepada ibumu kita cocok?"

"Kenapa begitu?"

"Kau tidak perlu berkencan dengan orang lain lagi. Aku juga sudah muak dengan semua ini."

Wanita itu diam, tampaknya sedang memikirkan usul dari pria tampan itu.

"Kalau ibuku memaksaku menikah?"

"Ulur waktu, Jasmin. Paling tidak, setelah ini kau tak perlu dipaksa bertemu dengan orang asing lagi."

Hm... Boleh juga caranya itu! pikir Ethan sambil melirik Hani yang sedang memotong steak di piringnya sambil membayangkan wajahnya jika ia mengusulkan hal itu. Rasanya tidak semua wanita mau menerima ide ini.

Ethan mengalihkan pandangannya kembali ke cermin. Dia penasaran dengan jawaban wanita yang wajahnya saja masih belum terlihat olehnya. Ethan mulai menggambar wajah seorang wanita dalam imajinasinya.

"Bagaimana?"

Wanita berpakaian putih  itu menghembuskan nafasnya tapi belum menjawab.

"Kau tidak suka makanan di sini?" tanya Ethan pada Hani.

"Ya, baiklah!"

"Suka. Steak-nya enak, kok!"


☘️My Place or Yours?☘️

Andrew Untario mengulurkan tangannya menjabat tangan Jasmin sebagai tanda kesepakatan keduanya. Tak lupa ia tersenyum memamerkan giginya yang rapi.

"Thanks, partner." tukasnya pada Jasmin.

"Kau bukan partner-ku." balas Jasmin sengit membuatnya terkekeh.

"Kalau aku bertemu dengan wanita yang cocok denganku...."

"Kesepakatan kita batal," potong Jasmin cepat. Dia juga tak berharap kesepakatan mereka bertahan untuk waktu yang lama. Ibunya pasti akan mendesaknya untuk segera menikah.

"Senang mengenalmu, Jasmin Tedja."

Jasmin tertawa.

"Kau tahu.... Mungkin aku bisa menyukaimu jika diberi kesempatan tidak bertemu di situasi seperti ini," guraunya.

"Jangan berharap terlalu banyak."

Jasmin berdiri.

"Aku hanya bercanda, mengapa kau mau pergi?" tanya Andrew merasa bersalah.

"Aku mau ke toilet. Aku tidak gampang tersinggung. Permisi."

Jasmin meninggalkan Andrew yang masih saja memamerkan senyum sinisnya yang menawan. Hanya sayangnya, Jasmin tak tertarik dengannya. Jasmin tidak akan tunduk pada keinginan ibunya. Dilewatinya meja di mana duduk pasangan yang seperti kekasih. Si pria  tampak tenang menikmati segelas wine dan wanitanya dengan gaya elegan sedang memotong steak di piringnya.

Jasmin sempat mencuri pandang melalui cermin itu, si pria memiliki wajah yang unik. Alisnya lebat menaungi matanya yang sayu, hidung dan rahangnya seperti pahatan pematung Yunani. Jasmin paling menyukai rambutnya. Rambut kecokelatan dan tebal, tersisir rapi ke belakang.

Argh!

Jasmin merasa jantungnya berdebar kencang hanya dengan melirik pria berkulit gelap itu. Si Kulit Gelap mengangkat kepalanya, menatap lurus pada suatu titik di depannya. Jasmin yakin dia pasti menatap wanita cantik di depannya. Dalam satu detik, Jasmin bisa menjabarkan pasangan pria itu cantik tanpa cela. Wajahnya seperti peri dalam negeri dongeng, kulit wajahnya putih bersinar, gerak-geriknya anggun tanpa cela. Luar biasa serasinya.

Jasmin sampai di toilet dan melihat bayangannya di cermin. Bayangan seorang wanita berusia 27 tahun, punya pekerjaan tetapi tanpa pacar. Ibunya kuatir karena dia tidak punya kehidupan sosial selain bekerja, maka Jasmin akan menjadi perawan tua padahal dirinya suka dengan anak-anak. Erni, ibunya Jasmin suka dengan keributan yang disebabkan anak-anak. Impiannya adalah mengasuh sendiri cucu-cucunya. Jonatan, kakak laki-laki Jasmin satu-satunya sudah punya satu anak. Erni ingin Jasmin segera menyusul.

Huft!

Mungkin bagi ibunya mengurus satu cucu masih kurang. Ia masih punya banyak waktu lebih untuk mengurus cucu lainnya. Kalau begitu, harusnya ia mengutarakan itu pada Jonatan yang berprofesi sebagai pilot dan istrinya Sonia, seorang pramugari salah satu perusahaan penerbangan terbesar di Indonesia, segera punya anak lagi agar bisa diasuh oleh ibunya. Jasmin merasa kalau dia memang kurang tegas menjelaskan kepada ibunya tentang keengganannya untuk berkeluarga secepatnya. Mengikuti keinginan ibu yang terobesi ingin punya cucu itu benar-benar memusingkan.

Namun sekarang, paling tidak ada Andrew yang dengan kesepakatan mereka akan membuat Jasmin aman untuk beberapa waktu ke depan. Dia akan lebih fokus bekerja pada posisi barunya. Hotel tempatnya bekerja akan menyambut kedatangan GM yang baru karena GM sebelumnya mengajukan pensiun. GM yang baru ini, menurut rumor para staf hotel  akan mengadakan berbagai perombakan dengan list karyawan yang akan dirumahkan.

Jasmin menepuk pipinya berkali-kali di wajah lalu tersenyum melihat pantulan wajahnya di cermin sambil membayangkan wajah ibunya ketika mengetahui kalau pertemuan putrinya dan Andrew sukses. Satu sisi Jasmin merasa lega, tapi di sisi lain, dia merasa berdosa telah membohongi ibunya sendiri.

Huft!

Jasmin tidak tinggal bersama ibunya karena Erni tinggal bersama adiknya di kota Medan, sedangkan dirinya menempati mess karyawan hotel di Brastagi, Tanah Karo, daerah pariwisata di pinggiran kota Medan dan dia hanya pulang sebulan sekali atau dua kali. Jadi Jasmin yakin kalau ibunya tak akan cepat mengetahui kebohongan dirinya dan Andrew.

Dirapikan kemeja sutra dan rok pensil selututnya sebelum meninggalkan toilet dan kembali ke meja yang semula ditempatinya bersama Andrew. Jasmin melewati meja pasangan itu lagi. Meja yang hening tanpa perbincangan. Dia mulai curiga kalau mereka bisa mencuri dengar pembicaraan tentang kesepakatannya dan Andrew dari meja mereka.

Jasmin tak menduga Si Kulit Gelap  mengangkat kepalanya, lalu menoleh padanya. Lurus dan tajam. Jantungnya berdegup kencang lagi sampai rasanya ia sendiri bisa mendengarnya. Ia heran dengan respon tubuhnya sendiri pada pria berwajah kaku itu.

Senyum.

Bibir Jasmin tak bisa terkontrol membentuk seulas senyum. Ia tidak mengerti alasan melakukannya. Mereka itu tak saling kenal. Dia pasti sudah gila karena telah memberikan senyumannya pada orang asing. Ini benar-benar memalukan karena Si Kulit Gelap bahkan tidak membalas senyumannya.

♥My Place or Yours?♥

Ethan tak yakin kalau wanita bermata lebar itu tersenyum padanya. Ketika melempar senyuman, mata lebarnya ikut berbinar dan Ethan mulai bisa membayangkan mencium bibir penuh berbentuk stroberi itu.

Mati! pikirnya.

Ethan menarik bibirnya, membalas senyuman dari wanita itu saat sosok itu sudah berlalu. Suatu tindakan yang telat untuk dilakukan. Hanya wangi parfumnya ringan  tertinggal di indera penciuman Ethan. Dia menduga wangi itu hanya halusinasinya karena terlalu membayangkan stroberi.

Aduh!

Apa yang sedang kupikirkan?

Ethan bingung dengan dirinya sendiri. Ia menyalahkan dirinya karena jarang berolah raga sejak ada di kota ini. Atau dia kurang berkencan. Ethan mulai mengingat nama wanita yang dia kenal yang tinggal di kota ini, tapi tidak ada satu nama pun yang menyangkut di kepalanya.

"Andrew Untario."

"Apa tidak bisa memanggilku lebih akrab?"

Ethan menduga dia masih saja menguping pembicaraan mereka meskipun suara musik lembut dari restoran ini seakan berusaha mencegahnya melakukan perbuatan itu.

"Jangan terlalu memaksa. Kita sama sekali tidak akrab," jawab wanita itu. Ethan menyembunyikan senyum. Entah mengapa hatinya merasa menang dan dia sendiri tidak mengerti menang dari pihak mana.

"Terserah padamu. Tapi itu berguna untuk kesepakatan kita. Panggil And saja juga boleh."

Dia bohong.

Dia sedang merayumu, Cutie Strawberry!

"Akan kucoba."

Tidak boleh!

Ethan mengepalkan tangan kirinya yang berada di bawah meja sementara pikirannya sedang bergumul, meminta telinganya untuk tidak mendengarkan percakapan mereka lagi.

"Kak Ethan."

"Ya?"

"Terima kasih atas makan malamnya."

Ethan hanya mengangguk dan berusaha tersenyum di balik wajah kakunya.

"Sebenarnya aku mengerti kalau aku tampak membosankan," tukas Hani sambil tersenyum.

"Uh?" Ethan kebingungan dengan apa yang baru dikatakan Hani.

"Aku tahu kau terpaksa kencan denganku. Ya, paling tidak, kau yang paling jujur. Biasanya di setiap pertemuan seperti ini, kaum pria demi menyenangkan orang tuanya akan pura-pura tertarik padaku. Tapi kau tidak," tukas Hani jujur.

"Hm, jika kita tak bertemu dalam situasi ini, kita mungkin bisa jadi pasangan."

Terdengar suara cekikikan di belakang Ethan. Yang jelas bukan suara Andrew. Ethan curiga wanita itu sedang menertawakannya.

Bodoh!

Ethan yakin kalau dia bisa mendengar pembicaraan mereka, sebaliknya mereka juga bisa mendengar pembicarannya dengan Hani. Kata-kata yang dicontek dari Andrew.

"Andrew, aku ada janji. Aku pergi dulu."

Ethan melihat dari cermin kalau pria bernama Andrew itu tertegun.

"Aku bayar bagianku sendiri," tukas si wanita itu. Khas wanita karir yang selalu berpikir kalau di setiap kencan harus bayar masing-masing.

"Tak perlu begitu, Jasmin Tedja. Siapkan saja kartu kreditmu di kencan yang akan datang karena aku akan memilih tempat yang lebih bagus dari ini."

"Okay!" jawab wanita itu menyanggupi.

Ternyata Hani juga berdiri. Sebagai pria yang dibesarkan dalam keluarga yang penuh dengan tata krama, Ethan terbiasa memperlakukan wanita dengan hormat, ia pun ikut bangkit.

"Terima kasih dan sampai jumpa, Kak Ethan!"

"Kuantar?"

Hani tersenyum sopan sambil mengibaskan tangannya.

"Tidak perlu. Terima kasih."

Lagi-lagi penuh basa-basi. Namun, Ethan merasa lega karena terbebas dari kewajiban untuk mengantarkannya. Hani beranjak meninggalkan Ethan. Pria dengan rahang kokoh itu langsung meminta pelayan mengambil tagihannya.

"Kau sudah tahu nomor ponselku?" tanya pria di belakang Ethan.

"Kurasa Mama tahu."

"Ponselmu?"

"Apa?"

"Kemarikan ponselmu."

"Nih."

Kulirik dari cermin, si pria sedang memencet ponsel yang diserahkan wanita berbibir stoberi itu. Mungkin sedang memasukkan nomor ponselnya di ponsel milik wanita itu . Lalu beberapa detik kemudian, pria itu mengembalikan ponsel itu pada wanita di depannya.

Pelayan mendatangi meja Ethan dan pria itu menandatangani slip kartu kredit tetapi ia menajamkan indera pendengarannya agar bisa menguping pembicaraan mereka. Pelayan itu mengucapkan terima kasih ketika Ethan memberikan tip yang cukup besar padanya. Namun, Ethan masih belum mau beranjak dari tempat itu.

"Nomor satu?"

"Mengapa harus nomor satu?" protes wanita itu.

"Gampang diingat," jawab pria itu sambil tersenyum.

Ethan mulai kesal karena tak suka dengan cara pria itu meruntuhkan hati wanita stroberi.

"Sudahlah, terserah padamu. Lagipula, angka satu tetap tidak ada artinya."

Wanita itu bangkit diikuti oleh pria itu.

"Permisi, aku masih ada janji."

"Janji? Maksudmu kencan? Wow, dalam satu malam!"

"Aku rasa itu bukan urusanmu!" semburnya

Ethan tersenyum sinis. Benar-benar semaunya wanita itu. Lalu ia menjinjing tas kerjanya di bahu.

"Selamat malam dan sampai jumpa!"

Pria itu itu mengangguk dan wanita berbibir stroberi itu pun beranjak meninggalkan kafe itu.

Ethan ikut berdiri mengabaikan otaknya yang memerintahkan tetap tenang, diikutinya kata hatinya untuk mengikuti wanita cantik bermata lebar itu.

Apa yang kulakukan dengan mengikutinya?

Apa saja? Ajak saja dia kenalan, berikan nomor ponsel, ajak dia kencan, apa pun itu. Jangan sampai ia lepas!

Di luar kafe, Ethan melihat sosok wanita itu memandang ke jalanan. Hujan gerimis membasahi trotoar. Ia tampak menggigit bibirnya dan berpikir. Ethan benar-benar menyesali ia meninggalkan mobilnya di rumah Derek. Wanita itu terlihat tidak mengendarai mobil karena tak ada lagi mobil yang diparkir di depan kafe.

Ethan memutuskan melepaskan jaket kulit aslinya tanpa ragu. Ini akan cukup melindungi kepalanya. Lalu Ethan melangkah mendekatinya. Pria berkaki panjang itu belum tiba di sampingnya dan dilihatnya, wanita itu tersenyum kecil dan mulai melangkah dalam gerimis. Ia tak peduli dengan riasannya luntur dan tatanan rambutnya yang rusak oleh hujan. Namun, Ethan mungkin salah lihat, wanita itu tidak memakai riasan jadi dia tak terlalu peduli dengan riasan.

Dipakainya kembali jaket kulitnya dan mengikuti wanita berbibir stoberi. Rambut Ethan juga sudah mulai basah oleh gerimis. Tetapi sungguh ia menikmati setiap kegembiraan yang terpancar di wajah wanita itu. Wanita bermata besar itu pasti menyukai hujan. Raut wajahnya memancarkan kegembiraan yang luar biasa. Ia menikmati setiap tetesan air yang jatuh di wajahnya, tangannya. Ia bahkan melangkah dengan pelan.

Ngajak kenalan? Nanti saja, pikir Ethan. Dia menyukai sensasi mengikuti wanita itu. Penasaran dengan gesture wanita itu yang nyaman saja berjalan dalam gerimis. Dia berusaha mempertahankan jarak tidak terlalu dekat agar tidak dicurigai memiliki niat yang tidak baik terhadap wanita itu. Wanita itu berhenti di depan sebuah rumah mungil bercat putih dengan taman mungil terisi dengan bermacam jenis bunga.

"Mami!"

Seorang bocah laki-laki yang berusia kira-kira lima tahun membuka pintu dan langsung disambut oleh pelukan wanita cantik berambut panjang itu. Dia tersenyum lebar. Kelihatannya ia sangat bahagia.

Mami?

Mami!

MAMI!

Ia punya anak!

Tidak!

Ethan terhenyak, mundur beberapa langkah sampai bersandar ke tembok rumah lain.

Cutie Strawberry memiliki anak!

Kenyataan ini menghantamnya, ketertarikan Ethan padanya dimulai bahkan sebelum ia melihat wajah wanita itu, tapi sekarang kenyataan dirinya memiliki seorang anak menghantamnya.

Ethan menjedotkan kepalanya beberapa kali ke tembok.

Menyerahlah Ethan! Kadang-kadang kenyataan tak seindah harapan.

Dirapatkannya jaket kulitnya kembali dan memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Ethan menarik nafas, menoleh sekali lagi pada wanita yang sedang berbicara pelan dengan bocah laki-lakinya.

Good bye, Cutie Strawberry!

Ethan pun melangkah meninggalkan tempat itu tanpa menunggu lebih lama lagi.

🍀My Place or Yours🍀

🍀Author's Noted :

Ini tulisan lamaku yang kuedit ulang dengan visual dan alur berbeda. Langsung 2 parts, ya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top