chapter 9

Lee kembali dengan menenteng sebuah kantung kresek berwarna hitam saat melangkah memasuki cafe. Langkahnya tenang. Langkah elegan, seperti yang biasa ia sebut. Bak seorang bintang hallyu papan atas sedang melenggang di atas panggung konser, tapi, tas kresek hitam di dalam genggamannya sungguh membuat geli siapapun yang melihatnya.

"Traktiran kalian sudah datang," ucapnya sembari menyerahkan kantung kresek ditangannya pada Lius.

"Kok cuma dua," gumam Lius setelah memeriksa isi dari kantung kresek yang saat ini telah berpindah ke tangannya. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Lee dengan kedua alis yang nyaris bertaut. Sebuah tanda tanya seolah tercetak di tengah-tengah dahinya.

Lee tidak langsung menjawab. Ia beringsut dan langsung menempati kursinya semula di belakang meja barista.

"Aku bosan makan nasi Padang," ucapnya santai. Seolah tanpa dosa. "aku sudah pesan pizza via online," lanjutnya mengejutkan Lius.

Menyebalkan, desis Lius. Di saat ia sudah berhasil mengerjai Lee, adik sepupunya itu membalas tanpa tanggung-tanggung. Lee pasti sengaja membuatnya kesal kali ini. Tapi, tidak apa-apa. Nasi Padang juga lezat, batinnya kemudian.

"Danisa!" Lius memanggil Danisa dan menyerahkan bungkusan nasi Padang di tangannya kepada gadis itu. "makanlah duluan.  Soalnya habis ini kita akan makan pizza," suruhnya. Ia melirik sekilas ke arah Lee dengan sengaja. Dan kelakuannya sukses membuat adik sepupunya mengerucutkan bibir.

"Kenapa aku yang duluan?" Ia bertanya dengan pelan. Bingung. Tidak seharusnya ia yang makan lebih dulu kan? Gadis itu menatap Lius kemudian Lee bergantian.

"Aku masih kenyang. Lee nggak mau makan, dia diet nasi," sahut Lius cepat dan agak ngawur. Ia mengusap perutnya perlahan."sudah, kamu makan aja dulu sana," perintah Lius setengah memaksa. Ia mendorong tubuh Danisa ke belakang.

Danisa tak bisa menolak perintah Lius. Gadis itu bergegas melangkah ke belakang. Di sana ada sebuah ruangan kecil yang berfungsi sebagai dapur dan tempat mencuci piring. Ada sepasang kursi yang menghadap sebuah meja kecil yang biasa dipergunakan untuk istirahat dan makan. Juga wastafel yang digunakan untuk mencuci tangan dan peralatan makan lain.

Gadis itu mulai melahap makanannya setelah mempersiapkan semua. Mulai dari mencuci tangan, menyiapkan sebuah piring lengkap dengan sendoknya, berdoa, lalu menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.

"Ehem."

Danisa nyaris tersedak mendengar suara deheman keras yang sepertinya disengaja untuk mengganggu acara makan siangnya. Siapakah gerangan yang telah dengan usilnya menganggu Danisa?

Gadis itu serta merta menolehkan kepalanya ke arah pintu dengan gerakan berat. Nasi di dalam mulutnya belum terkunyah dengan sempurna. Dan ia menghentikan gerakan rahangnya beberapa saat, namun, setelah mengetahui siapa gerangan sosok yang berdiri di ambang pintu dapur, gadis itu melanjutkan kunyahannya.

"Lahap banget, seperti nggak makan setahun." Sebuah sunggingan sinis terselip di bibir Lee saat melempar ledekannya pada Danisa. Jelas-jelas ia berdiri di sana hanya untuk melempar ledekan garing dan tidak lucu itu.

Danisa mendengus. Tapi, ia masih bisa menahan diri untuk tidak membalas. Ia harus fokus pada makanan di hadapannya, karena belum tentu sebulan sekali ia bisa menikmati nasi Padang seenak itu. Setahu Danisa harga nasi Padang di seberang jalan itu terkenal mahal. Namun, sesuai dengan rasa tentunya.

"Enak banget, ya?"

Lagi. Sebuah ledekan keluar dari bibir Lee. Entah untuk apa. Mengganggu kenikmatan Danisa makan nasi Padang-nya? Tidak. Hanya karena sebuah ledekan seperti itu, kenikmatan nasi Padang itu tidak berkurang sedikitpun. Gadis itu masih dengan lahap melanjutkan kunyahannya.

Lee tersenyum tipis. Cowok itu menyandarkan sebelah pundaknya pada kusen pintu. Ia mendesah pelan dan hanya bisa tertegun menatap gadis itu makan. Ia sadar telah gagal mengganggu Danisa. Ia sama sekali tidak terpengaruh dengan ledekan Lee dan tetap fokus pada nasi Padangnya.

Ya, karena dia miskin. Sebaris kalimat itu melintas di dalam batin Lee dalam sekejap saat menyimpulkan pemandangan di hadapannya. Bayangkan saja, seseorang yang terbatas kemampuan ekonominya pasti jarang makan makanan enak. Lihat saja, gadis itu begitu lahap menyantap makanannya. Seolah tidak makan selama tiga hari. Padahal itu hanya nasi Padang, bukan makanan dari restoran bintang lima.

Bagaimana rasanya menjadi sepertinya? Menjadi orang yang tidak punya apa-apa, dari kelas sosial rendah, ekonomi yang kurang, sedang selama hidupnya Lee serba berkecukupan. Apapun yang ia inginkan pasti terpenuhi. Semua fasilitas yang nyaman bisa ia dapatkan dengan cuma-cuma alias gratis. Bagaimana jika semua itu tiba-tiba menghilang dan ia tidak punya apa-apa? Apa yang akan terjadi dengan hidupnya? Apa yang akan dilakukannya? Apa ia akan baik-baik saja?

"Ada apa? Kamu membutuhkan sesuatu?"

Lee tersentak. Lamunan yang sesaat tadi menghuni kepalanya menguap satu per satu ke udara. Tak bersisa. Danisa telah berdiri di hadapannya dan melontarkan pertanyaan hanya untuk membuyarkan baris-baris lamunan yang ia tata dengan rapi di dalam kepalanya. Gadis itu telah menyelesaikan makannya dan sudah mencuci tangan.

"Sudah habis?" tanya Lee setelah cukup bisa mengumpulkan kesadaran dan berhasil mengatasi keterkejutannya. Ia melongok ke belakang tubuh Danisa. Bersih. Di atas meja tidak tersisa apapun kecuali bungkusan nasi jatah Lius. Selama ia sibuk melamun, gadis itu telah menyelesaikan makan siangnya tanpa Lee sadari.

"Ya." Danisa menyahut datar. "kamu butuh sesuatu?"

"Ah, nggak." Lee tergagap. Salah tingkah. Pertanyaan Danisa seolah memojokkannya meski terdengar wajar. Sebenarnya untuk apa ia menyusul Danisa ke dapur? Apa ia sudah linglung dan melupakan tujuan semula? Tidak, tidak. Ia tadi hanya ingin melihat gadis itu makan dan tidak ada tujuan lain. Tapi, untuk apa melihat seseorang sedang makan? Bukan sebuah hal penting kan?

Danisa mengerutkan dahi. Gadis itu terdiam dan hanya memperhatikan setiap inchi wajah Lee yang memancarkan ekspresi aneh.

"Oh, pizza-ku pasti sebentar lagi sampai," ucap Lee setelah teringat sesuatu. Tiba-tiba ia memutar tubuh dan meninggalkan Danisa yang masih bengong di tempatnya begitu saja. Gadis itu tak bisa memahami bahasa tubuh Lee yang khusus hari ini, aneh. Kenapa?

"Apa pizza-ku sudah datang?" tegur Lee seraya mendekat pada Lius. Ia meneliti meja-meja yang tersebar di dalam ruangan itu. Pengunjung masih belum bertambah semenjak beberapa menit yang lalu.

"Belum." Lius menyahut dengan cuek. "kamu lapar?"

Lee menggeleng. Tidak. Lee tidak begitu lapar. Pertanyaan tadi hanya sebuah basa basi pengalihan dari Danisa. Karena kepalanya seperti dipenuhi pikiran tentang gadis itu. Apa karena dia miskin? Karena Lee tidak pernah memiliki teman dari kalangan sosial rendah? Lee bingung menentukan jawaban yang benar. Andai saja ini sebuah ujian akhir sekolah.

"Pesanan pizza datang!"

Seorang kurir pizza datang dua menit kemudian. Lee senang akhirnya ia terselamatkan.

"Kamu nggak bermaksud menghabiskan pizza itu sendiri, kan?"

Lee mendengus seraya melirik ketus ke arah Lius yang sedang tersenyum padanya usai melempar sebaris teguran. Kurir pizza baru saja pergi setelah transaksi mereka selesai. Dan Lius dengan wajah tak berdosanya, meminta bagian pizza miliknya. Keterlaluan!

"Aku mau makan dulu," pamit Lee sembari menenteng kotak pizzanya ke belakang. Tak lupa ia membawa cangkir hot chocolate-nya. Mengacuhkan Lius yang cengar-cengir sendirian. Huh.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top