chapter 8
"Jangan keterlaluan padanya, Lee," ucap Lius sangat pelan sembari menyuguhkan secangkir hot chocolate ke hadapan Lee. Cowok itu sedang duduk di belakang meja barista, bermain game online favoritnya, yang sampai hari ini belum bosan dimainkannya. Lius mencuri kesempatan untuk bicara pada Lee saat Danisa sedang sibuk mengantar pesanan ke meja pelanggan.
Lee tak menyahut. Wajahnya yang tampak polos saat bermain game, masih menunduk menghayati setiap alur permainan di ponselnya. Seakan tak mempedulikan Lius yang sudah repot-repot menceramahinya.
Lius mendesah. Gerah. Entah ucapannya didengar Lee atau tidak, hanya Tuhan yang tahu menahu. Lius tak melanjutkan kata-katanya. Rasanya percuma bicara pada seseorang yang sedang sibuk bermain gadget. Ia kembali berkutat dengan cangkir-cangkir di hadapannya, sembari mengawasi Danisa sesekali dari ekor matanya. Berjaga-jaga jikalau gadis itu tiba-tiba mendekat ke tempatnya.
"Aish, sial." Sebuah desisan keluar dari bibir Lee. Tak begitu jelas. Tampaknya ia sangat kesal. Memaksa Lius mengalihkan tatapannya kepada Lee. Seolah ingin bertanya, ada apa. "aku kalah lagi," gerutu Lee sejurus kemudian. Dengan mimik wajah yang sedemikian buruk.
Lius bernapas lega. Ia sempat khawatir tadi. Ia hanya menyambut gerutuan Lee dengan senyum tipis. Ya, masa kecil Lee mungkin benar-benar kurang bahagia. Rasanya hanya game yang setia menemaninya sepanjang hidup. Ya, Lee memang tak punya banyak teman sejak kecil. Memangnya siapa yang mau berteman dengan orang angkuh sepertinya? Mungkin hanya gadis-gadis bodoh yang terobsesi dengan cowok ganteng nan jutek seperti dalam drama, yang setia mengejar-ngejarnya.
"Itu salahnya sendiri," lanjut Lee terdengar cuek. Ia menyimpan ponselnya di dalam saku.
"Hm?"
"Karena gadis itu sok keganjenan," ucap Lee sembari melirik ke arah Danisa yang masih belum juga kembali ke meja kasir. Gadis itu mengelap meja lain yang baru saja ditinggalkan oleh pelanggan.
"Keganjenan apaan sih, Lee?" protes Lius tidak terima. Ia tidak setuju dengan kata-kata yang digunakan Lee. Danisa bukanlah gadis seperti yang baru saja disebutkan Lee. "dia itu gadis baik-baik. Aku sudah menganggapnya seperti adik sendiri. Dia juga sudah menganggapku sebagai kakak sendiri," jelas Lius mencoba memberi pengertian pada Lee. Agar ia membuang jauh-jauh prasangka buruk dari kepalanya.
Lee menyunggingkan senyum pahit. Kakak-adik? batinnya menertawakan. Mana ada dua orang berlawanan jenis saling menganggap saudara? Bolehlah, jika di bibir mengucapkan seperti itu, tapi, dalam hati siapa yang tahu?
"Dia bukan tipeku, kamu tahu," ucap Lius menambahi. Tampaknya ia sedang berusaha keras untuk meyakinkan Lee tentang hubungannya dengan Danisa. Agar ia tidak bersikap buruk pada gadis itu. Kasihan Danisa jika harus mendapat perlakuan buruk dari Lee.
"Ok," gumam Lee. Ia menyesap isi cangkirnya dengan perlahan. Sepasang matanya mencari-cari sosok Danisa.
Dia bukan gadis biasa seperti yang dipikirkannya selama ini. Lee membatin sendirian. Selama ini tidak ada satupun yang berani membantah ucapannya. Apapun itu. Meskipun orang itu tahu tidak bersalah, ia akan menutup mulutnya rapat-rapat. Tak ada protes, adu mulut, bahkan tidak ada yang berani menatapnya seperti ia menatap orang lain. Penuh kebencian. Dan gadis itu telah melakukannya! Seolah ingin menantangnya. Huh.
Ini benar-benar gila. Tak masuk akal. Sepertinya gadis itu tidak memiliki rasa takut pada apapun. Bahkan ia tidak takut dipecat sekalipun. Gadis yang mengenakan pakaian obralan dan sebuah tas lusuh yang selalu menggantung di pundaknya, bahkan menatapnya pun orang akan merasa risih. Entah berapa ribu kuman yang ia bawa di tubuhnya dan ia sebarkan di setiap tempat yang ia datangi. Dia, gadis miskin yang tidak punya rasa takut. Sehebat apa dirinya? Kenapa dia bisa setangguh itu?
"Dia cuma seorang gadis biasa yang bekerja keras untuk berjuang hidup, kamu tahu? Di luar sana, masih banyak gadis seperti dia, hanya saja mereka memiliki keberanian yang berbeda-beda, " ucap Lius tak lama kemudian. Tak begitu terdengar.
"Ya, aku sudah tahu kalau dia miskin," sahut Lee acuh tak acuh. "miskin tapi sombong." Di akhir kalimatnya terdengar sedikit menyebalkan. Bukannya dia sendiri yang sombong?
Lius menghela napas berat. Lee seolah mendapat hak paten untuk bicara semaunya sendiri. Seperti tak pernah melihat ke dalam dirinya sendiri. Kapan ia akan sadar jika kelakuannya selama ini 'minus'?
"Berbaikanlah dengannya," saran Lius merendahkan dirinya sendiri. Menurunkan harga diri demi kebaikan mereka semua. "kita butuh seorang pegawai seperti Danisa, Lee. Dia seorang pekerja keras dan nggak gampang mencari orang seperti dia. Jadi, sebaiknya kamu bersikap baik dengannya. Kamu tahu kan, betapa sulitnya mencari pegawai yang betah bekerja di sini." Lius mencoba berbicara panjang dan lebar demi membuka hati nurani Lee. Meski persentase keberhasilannya sangat diragukan. Tapi, setidaknya Lius harus mencobanya.
"Gadis itu benar-benar berani," ucap Lee setengah sadar. Ia sama sekali menyimpang dari obrolan yang ditawarkan Lius. Pandangan matanya menerawang ke tempat Danisa berada dan masih ke satu arah di sana meski gadis itu sudah berpindah ke tempat lain. "kamu tahu kan, selama ini nggak ada yang berani seperti itu padaku. Dia berani menjawab ucapanku dan kamu lihat sendiri, dia melotot ke arahku. Gila," desis Lee seperti orang linglung.
Lius melongo melihat tatapan Lee yang kosong seperti orang yang terkena hipnotis. Apa benar keangkuhan Lee jatuh oleh keberanian Danisa?
"Kamu baru sadar sekarang?" ledek Lius akhirnya. Ia menepuk pundak Lee pelan. "selalu ada orang berani di antara orang-orang penakut. Dan selalu ada perlawanan di balik keberanian itu. Kamu mengerti?"
"Ngomong apaan sih?" gerutu Lee kesal. Ia merasa risih dan segeras menyingkirkan tangan Lius yang masih menempel di atas pundaknya.
Danisa datang dan berhasil membungkam mulut Lee rapat-rapat. Ia berpura-pura menyesap kembali hot chocolate dari cangkir dan tidak terlalu menghiraukan keberadaan gadis itu.
"Eh, Danisa!" Lius setengah berteriak saat menyebut nama gadis itu. "ada berita bagus, nih. Lee mau nraktir kita nasi Padang sebagai tanda permintaan maafnya. Benar, kan, Lee?" Lius menoleh ke arah Lee dan mengedipkan sebelah matanya. Ia mengembangkan senyum semanis mungkin dan memasang wajah sumringah untuk melengkapi kebohongannya. Entah dari mana ide gila itu muncul di kepalanya.
Lee tersedak mendengar ucapan Lius. Seketika matanya melotot tajam kepada Lius. Kepalanya penuh dengan kalimat protes, tapi, bibirnya terkunci rapat tak bisa berkata apa-apa. Memangnya kapan ia pernah bilang seperti itu? Lius benar-benar keterlaluan! Awas nanti!
"Benarkah?" tanya Danisa ganti menoleh ke arah Lee. Dahinya berkerut. Seolah tanda tanya besar sedang menggantung di sana. Sepertinya ada sesuatu yang ganjil dan tidak bisa dipercaya begitu saja.
Lius memainkan bola matanya seolah ingin memberi kode pada Lee agar ikut mendukung idenya.
Lee masih belum memberikan reaksi apapun meski Lius sudah bersusah payah mengirimkan sinyal-sinyal kepadanya. Lius benar-benar sudah tidak waras. Hanya demi gadis miskin itu ia sanggup memainkan sandiwara gilanya. Apa ia benar-benar jatuh cinta pada gadis biasa itu? (Ralat: dia bukan gadis biasa!)
Ok, fine!
"Ya, aku mau nraktir kalian berdua," sahut Lee akhirnya. Meski dengan sangat terpaksa dan berat hati.
Dan segenap batin Lius bersorak girang bukan kepalang. Yes! Kena kamu, Lee! batinnya.
Tunggu pembalasanku, Lius! Dasar kurang ajar! Makian itu setengah mati dicoba Lee untuk disampaikan lewat gerakan bola matanya yang berputar ke sana kemari.
"Jadi, kalian mau lauk apa?" Lee bangkit dari tempat duduknya beberapa saat kemudian. Ia menatap Danisa dan melempar pertanyaan. "biar aku yang beli di depan."
Ya, Tuhan! Lius hanya bisa memekik dalam hati. Sungguhkah itu dirimu, Lee? Berkali-kali Lius harus memastikan jika sosok itu Lee, tapi, mungkin ia sedang kerasukan jin baik hati sekarang. Tidak biasanya ia bersikap seperti ini. Jangan-jangan ia punya maksud tersembunyi di balik ini semua.
"Aku mau ayam goreng dan perkedel kentang," ucap Danisa setelah menentukan pilihannya.
"Aku juga!" Lius menyahut dengan sigap.
"Baiklah," sahut Lee kalem. Menahan gejolak di dalam dadanya yang siap meledak detik itu juga. Kalau saja tidak ada gadis itu, ia pasti sudah menghajar si sialan, Lius! "aku pergi dulu, kalian tunggu sebentar," pamit Lee. Ia mulai menapakkan kakinya di atas lantai dan melangkah ke pintu cafe.
Danisa masih tak mengerti dengan sikap Lee. Benarkah cowok itu memiliki hati yang baik di balik sikap arogannya? Tapi, kenapa ada sesuatu yang aneh dari sikap Lee dan Danisa belum menemukannya? Apa Lee ikhlas menraktir Lius dan dirinya? Jangan-jangan Lius yang memaksa Lee...
"Ada pelanggan, tuh."
Danisa terkesiap mendengar pemberitahuan Lius. Segala pemikirannya tentang Lee menguap tak berbekas. Pelanggan sedang menunggunya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top