chapter 7

"Jadi, Lee mengantarmu pulang kemarin?" tanya Lius dengan mimik serius. Ia sampai menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengelap cangkir. Dahinya berkerut saking tak percaya. Seorang Lee yang punya harga diri tinggi mau mengantar seorang pegawai pulang. Benar-benar hal yang luar biasa.

"Ya," angguk Danisa mantap dan penuh percaya diri. Meski ia sendiri sulit mempercayai hal itu. Karena setahunya, Lee adalah orang yang angkuh.

"Tumben," gumam Lius pelan dan tidak sampai ke telinga Danisa. Apa karena ia yang meminta agar Lee mengantar Danisa pulang? Ya, pasti begitu. Lius membatin sendiri.

"Dia balik lagi ke cafe semalam," ungkap Danisa memberitahu.

"Oh." Lius menggumam kecil seraya menyembunyikan senyumnya. Entah apa yang dipikirkan anak itu, batinnya. Tapi, kabar baiknya ternyata di balik sikap angkuhnya Lee masih punya hati nurani.

"Apa sejak kecil dia memang seangkuh itu?" tanya Danisa ceplas-ceplos. Ia sama sekali tidak khawatir Lius akan tersinggung dengan pertanyaannya, meski Danisa tahu jika mereka adalah saudara sepupu.

"Hmm." Lius berpikir sejenak. Mencoba mengingat Lee saat kanak-kanak. "begitulah. Dia memang bersikap sedikit angkuh pada semua orang. Dia itu orang yang memiliki gengsi tinggi dan merasa dirinya lebih segalanya dari orang lain. Kamu tahu, sebagian orang kaya memang bersikap seperti itu. Tapi, satu-satunya hal yang baik darinya hanya satu, dia sangat menyayangi mamanya. Terlebih setelah mamanya mengalami kecelakaan dan menyebabkan kedua kakinya lumpuh," urai Lius mengungkapkan sekelumit latar belakang hidup Lee.

Danisa mendengarkan dengan penuh perhatian tanpa menyela. Tanpa bertanya. Ia merasa iba mendengar cerita tentang mama Lee, tapi, kenapa sikapnya buruk pada orang lain?

"Jadi," lanjut Lius. "jangan diambil hati semua perkataan Lee. Anggap aja angin yang lewat. Ok?"

"Ya," sahut Danisa. Gadis itu mengembangkan senyumnya. Paling tidak Lius sudah bersikap sangat baik padanya dan pria itu seperti kakaknya sendiri. Mungkin karena alasan itu ia bisa bertahan di tempat ini.

"Bagus," ucap Lius sembari tergelak. Tangan kanannya terulur ke atas kepala Danisa dan bergerak mengacak rambutnya pelan. "kamu seperti anak anjing yang tersesat, tahu nggak?" lanjutnya masih dengan tawa.

Danisa memasang wajah cemberut seketika. Ia mengerutkan bibir dan pipinya menggembung.

"Masa aku dibilang anak anjing, sih?" gerutu Danisa kesal. Ia berusaha memperbaiki tatanan rambutnya yang sudah diacak Lius.

"Iya, adikku punya anak anjing di rumah. Dan dia mirip kamu," ucap Lius sembari memasang wajah serius.

"Dasar," desis Danisa sembari menimpuk pundak Lius keras-keras. Membuatnya meringis kesakitan.

"Sakit, tahu?" ringisnya. Sebelah tangannya mengelus pundak yang baru saja ditimpuk Danisa. Tempat itu masih terasa sakit untuk beberapa saat.

Danisa mencibir lucu.

"Apa kalian sudah selesai bercandanya?"

Danisa dan Lius menoleh serempak. Jelas-jelas yang baru saja didengar mereka adalah suara Lee. Apa? Lee?! Dia sudah datang? Kenapa ia datang tanpa suara? Seperti angin?

Keduanya melongo. Kompak. Seolah baru saja melihat makhluk luar angkasa. Mungkin, makhluk luar angkasa malah tidak semenakutkan sosok Lee. Cowok itu berdiri kaku dan melipat kedua tangan di depan dada, pamer wibawa. Sorot yang terpancar dari kedua matanya yang tak begitu lebar, tajam dan seolah ingin menghukum. Selebihnya ia masih tampan seperti biasa dengan rambut yang dicat merah pekat, sepasang anting magnet yang menghias kedua telinganya, dan perpaduan sweater biru navy serta celana putih. Eh, tumben dia memakai celana putih.

"Hei, kamu sudah datang, Lee?" tegur Lius mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba menegang saat Lee datang. Pria itu mencoba bersikap sesantai mungkin menghadapi Lee. Bisa-bisa Danisa ketakutan melihat kemarahan Lee.

"Hmm." Lee mendehem. Ia melempar tatapan pada Lius, namun, hanya sekilas. Lalu pada Danisa. "apa kamu dibayar untuk bercanda, heh?" hardiknya kasar. Sebal. Lius juga keganjenan. Genit. Seperti tak punya harga diri!

Danisa tidak menyahut. Ia memang salah. Seandainya jika ia dan Lius bercanda, jangan sampai Lee tahu.

"Bersihkan teras!" suruh Lee sejurus kemudian. Dengan nada keras. "aku lihat tadi masih ada kotoran di sana."

Danisa melempar tatapan penuh tanda tanya pada Lius. Seolah ingin bertanya, bagaimana bisa di teras masih ada kotoran sedangkan baru beberapa menit yang lalu ia baru saja menyapu dan mengepelnya. Apa angin yang membawa kotoran ke atas lantai teras?

"Tunggu apa lagi?" sentak Lee. Cowok itu belum beringsut dari tempatnya berdiri. Tapi, ia sudah menurunkan tangannya.

Danisa menurut. Tanpa sepatahpun kalimat untuk membela diri. Mungkin sekadar untuk meyakinkan bosnya itu jika ia baru saja membersihkan tempat itu dengan sebersih-bersihnya.

Danisa bergegas mengambil alat pel dari samping kamar mandi dan melangkah keluar untuk melaksanakan perintah Lee. Tapi, gadis itu masuk kembali ke dalam ruangan beberapa detik kemudian. Dengan wajah bersungut-sungut.

"Kamu mau mengerjaiku?" Danisa melotot tajam ke arah Lee yang bergegas memutar balik tubuhnya setelah mendengar suara gadis itu. Dahinya seketika berkerut saat menatap gadis yang kini berdiri kaku di hadapannya. Sorot matanya tajam seolah ingin menusuk jantung Lee hidup-hidup.

"Mengerjai apa?" kilah Lee.

"Masih bertanya mengerjai apa," desis Danisa sembari menghembuskan napas kuat-kuat. Melampiaskan kekesalannya. "kenapa bilang ada kotoran di luar padahal nggak ada?" sentak Danisa geram. Giginya gemelutuk menahan amarah.

"Ada kok," timpal Lee ikut-ikutan kesal melihat tingkah Danisa. "memangnya kamu nggak lihat?" tanya Lee tampak memaksa.

"Mana?! Nggak ada kok!" Danisa berteriak keras sampai urat di lehernya menyembul keluar.

"Ada!" Lee tak mau kalah. Ia mendebat dengan sengit.

"Nggak ada!"

"Ada!"

Sepasang mata Danisa melotot tajam ke arah Lee yang juga melempar tatapan yang sama. Berdebat lewat pandangan. Uh, seandainya Danisa seorang cowok mungkin ia sudah melayangkan tinjunya ke wajah Lee yang sok kegantengan itu.

Gadis ini benar-benar... Lee hanya membatin dengan geram. Untuk pertama kalinya, seumur hidup, baru sekali ini seorang gadis biasa sekaligus pegawainya, menantang dirinya. Bahkan ia bisa menghardiknya, melawan ucapannya, dan melotot ke arahnya seolah kedua bola matanya ingin melompat keluar. Berani-beraninya dia melakukan itu pada dirinya. Apa dia tidak takut jika dipecat? Kalau saja dia cowok, pasti Lee sudah menghajarnya habis-habisan.

"Hei, hei, kalian apa-apaan sih?" Lius menghampiri keduanya dan berinisiatif untuk melerai.

"Kamu berani melawanku?" Lee melanjutkan perdebatan mereka dan mengabaikan keberadaan Lius.

"Kenapa nggak? Memangnya aku salah apa?" tantang Danisa mengerahkan segala keberaniannya. Sedikitpun ia tak merasa gentar menghadapi Lee. "kamu yang sengaja mengerjaiku, kan?"

"Kamu mau dipecat?!"

"Pecat aja!"

Suasana semakin panas. Dua orang itu sama-sama tidak beringsut dari tempatnya dan masih menatap satu sama lain dengan pandangan penuh kebencian.

"Kalian ini." Lius buru-buru menarik lengan Danisa dan mendudukkan gadis itu di atas kursi yang biasa digunakan pelanggan. Kebetulan cafe belum dibuka, jadi, tempat itu masih sepi. Hanya mereka bertiga yang ada di sana. "kalian ini seperti anak-anak, tahu nggak? Memangnya masa kecil kalian nggak bahagia? Kalian nggak pernah bermain, bertengkar, atau apalah. Masa sudah sebesar ini kalian masih berantem seperti itu. Nggak lucu tahu?" Kali ini Lius yang ganti geram. Ia menatap Danisa dan Lee bergantian.

Lee membuang muka dan Danisa bertindak sama. Pantas saja tidak ada yang betah bekerja di tempat itu, batinnya. Sikap bosnya saja seperti itu. Ya, jika dipikir-pikir sifatnya mirip dengan Liam meski banyak sekali perbedaan di antara keduanya.

"Cafe mau dibuka nih," ucap Lius memberitahu. Harusnya cafe dibuka semenit yang lalu, tapi, gara-gara dua orang yang sama-sama keras kepala itu bertengkar, Lius belum melaksanakan kewajibannya membuka cafe. "kalian harus baikan sebelum cafe buka," sarannya.

"Dia yang harus minta maaf, kan dia yang salah," gumam Danisa menggerutu kesal.

Lius mendesah. Tenang, batinnya. Ia harus ekstra sabar menghadapi kedua orang itu. Lee memang salah, tapi, mustahil jika dia mau meminta maaf.

"Baiklah," ucap Lius akhirnya. Setelah mengambil napas panjang. "atas nama Lee, aku meminta maaf dengan hormat," putusnya untuk mewakili adik sepupunya itu. Aksinya mendapat teguran keras dari sorot mata Lee.

Danisa juga tak kalah kaget mendengar permintaan maaf Lius. Tapi, ia tak bisa berkomentar apapun karena ia sangat menghormati Lius dan sudah menganggapnya seperti kakak sendiri. Akhirnya gadis itu menganggukkan kepalanya juga pertanda ia menerima permintaan maaf Lee lewat Lius.

"Baiklah, cafe akan dibuka dan semoga kita mendapatkan banyak pelanggan hari ini," ucap Lius dengan penuh harapan. Ia sudah menganggap persoalan di antara Lee dan Danisa sudah selesai. Cafe segera dibuka dan saatnya mencari uang sebanyak-banyaknya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top