chapter 5

"Aku cabut dulu, Lee!" pamit Lius setengah berteriak, usai menyambar jaket abu-abu miliknya dari gantungan di dalam loker. Ia menoleh sekilas pada Lee. Sembari melangkah ke pintu, ia mengenakan benda itu dan berpamitan pada Lee yang sedang sibuk mengutak-atik mesin kasirnya. Menghitung total hasil penjualan hari ini.

Lee mendongakkan dagunya mendengar suara Lius. Ia menatap kakak sepupunya itu dengan dahi berkerut.

"Mau hujan-hujanan?!" seru Lee sebelum langkah Lius mencapai pintu cafe. Beberapa menit yang lalu hujan mendadak turun dan masih mengguyur sampai sekarang. Memang tak begitu deras, tapi, jika nekat menerobos akan basah juga. Entahlah, padahal seharian ini cuaca cerah dan sebelumnya juga tak pernah turun hujan. Cuaca memang sering berubah dengan cepat akhir-akhir ini.

Lius membalikkan tubuh.

"Terpaksa," sahutnya sambil mengedikkan bahu. Tampaknya pria itu tidak suka menunggu hujan. Karena hujan tak bisa ditebak berapa lama ia akan turun, bukan? Ia lebih suka cepat sampai di rumah meski harus kehujanan sekalipun. "oh ya, sebaiknya kamu antar Danisa pulang. Kasihan dia. Kalian kan searah," imbuhnya sembari menunjuk Danisa dengan kepalanya. Meski ia tahu Lee pasti enggan melakukannya. Gadis itu tampak sedang berdiri di teras cafe menunggu hujan reda.

"Kenapa bukan kamu aja?" sahut Lee cepat. Bukankah Lius mengasihani gadis itu, kenapa ia yang harus mengantarnya pulang?

"Aku kan nggak searah dengannya, Lee." Lius menekan suaranya. Apa ucapannya tidak jelas? Alasan hanyalah kalimat yang dibuat saat seseorang enggan melakukan sesuatu.

Lee tak membalas dan membiarkan Lius pergi begitu saja. Namun, ia masih sempat melihat Lius bercakap-cakap sebentar dengan pegawai baru itu. Mereka tampak akrab, bahkan Lius sempat menepuk pundak gadis itu. Apa mereka sudah sedekat itu? batin Lee heran. Setahunya Lius adalah orang yang tidak gampang jatuh cinta. Sampai sekarang pun ia masih belum bisa move on dari mantan kekasihnya. Apa ia sudah membuka hatinya kembali? Mendadak sekali. Tapi, kenapa ia tidak mengantar gadis itu pulang jika ia menaruh hati padanya?

Lius memang tidak terduga. Pria itu tidak mudah ditebak isi hatinya. Apa benar ia jatuh cinta secepat itu pada gadis yang... bisa dikatakan biasa-biasa saja. Setahu Lee, Lius mempunyai selera yang cukup tinggi soal pasangan. Jadi, gadis itu sama sekali tidak masuk dalam kategori tipe pasangan yang diidamkan Lius.

Ekor mata Lee menatap tajam ke depan. Menembus lapisan kaca bening yang terpasang di pintu masuk cafe. Dari tempatnya ia bisa melihat pegawai baru itu sedang berdiri di sana sembari menengadahkan kepalanya ke atas. Salah satu ujung sepatunya bergerak, bermain di atas lantai teras. Mungkin saja ia berharap agar hujan segera berhenti secepatnya.

Dilihat dari penampilannya, gadis itu tampak biasa saja. Nyaris tidak ada yang istimewa pada dirinya. Pakaiannya terlalu biasa, tidak bermerk, dan murahan. Hanya sebuah kemeja polos berwarna merah jambu pucat, mungkin karena sudah terlalu lama dan terlalu sering dicuci. Entahlah. Sebuah celana hitam yang tampak biasa. Lee menduga benda itu hanya dijual di pasar-pasar. Sebuah tas selempang menggantung di pundaknya. Sebuah tas usang yang sama sekali tak layak dipakai. Lee tidak tahu berapa tahun gadis itu memakai tasnya. Tak ada jaket atau scarf yang sedikit membuat penampilannya menarik.

Penampilan gadis itu juga biasa. Riasannya tipis natural dan rambutnya yang panjang sebahu dibiarkan terurai lepas. Hanya sepatunya saja yang tampak agak mahal sementara pakaian yang dikenakan gadis itu sebaliknya. Jika ia bisa membeli sepatu mahal, kenapa tidak bisa membeli tas atau pakaian yang lebih bagus dari yang dikenakannya sekarang. Aneh kan? Gadis itu juga aneh. Apa menariknya gadis itu, sampai Lius memberinya perhatian lebih.

Lee mendesah dan kembali berkutat dengan mesin kasir. Menyelesaikan pekerjaannya yang hampir kelar dan mengabaikan gadis yang masih berdiri di teras cafe menunggu hujan reda. Peduli apa dengannya?

Lee menggeliat pelan. Perutnya mulai menunjukkan gejala lapar. Ia telah menyelesaikan pekerjaannya dan bersiap-siap untuk pulang. Ia bangkit dari kursi lalu beranjak untuk mematikan seluruh lampu dan peralatan listrik lainnya sebelum mengunci pintu cafe.

Ah. Tiba-tiba saja Lee merasa jengah saat mendapati pegawai baru itu masih berdiri di tempatnya semula. Teras cafe. Menunggu hujan yang tak kunjung reda meski hanya berupa titik-titik gerimis dengan intensitas sedang. Entah kenapa saat melihat gadis itu ia merasa suasana hatinya menurun dengan tiba-tiba. Apa karena penampilannya yang terlalu biasa dan benda-benda yang dipakainya? Terutama tas lusuh yang membuat Lee ingin sekali membuangnya ke tempat sampah. Atau karena Lius? Karena mereka dekat dan Lius memberi perhatian lebih padanya. Bukankah ia sedang mendekati 'gadis biasa' itu?

"Belum pulang?" Meski tampak enggan, akhirnya Lee bersedia menegur Danisa juga. Tapi, ia tak sepenuhnya ingin menatap mata gadis itu saat berbicara dengannya.

"Masih hujan," sahut Danisa datar. Jari telunjuknya menunjuk ke arah langit. Ke arah hujan yang tak bisa disebut gerimis meski hanya berupa titik-titik air yang jatuh.

"Oh." Cowok itu hanya menggumam kecil. Tak berkomentar lebih lanjut. "aku duluan," pamitnya kemudian. Tanpa menunggu jawaban Danisa, ia segera melangkah turun dari lantai teras dan menerobos titik-titik hujan yang tidak terlalu deras. Mengabaikan permintaan Lius untuk mengantarkan Danisa pulang dan membiarkan gadis itu sendirian di sana menunggu hujan reda.

Lee tak menggubris hujan. Toh, ia bisa melindungi kepalanya dengan helm. Setidaknya jaket kulit yang membungkus tubuhnya bisa menjaga agar kausnya tidak basah. Ia tetap bersikukuh memilih untuk pulang  daripada tinggal di sana bersama gadis itu menunggu hujan seperti orang bodoh. Ia melajukan motornya perlahan keluar dari pelataran cafe.

Sebaiknya kamu antar Danisa pulang...

Sial. Kenapa ucapan Lius kembali terngiang di telinganya saat ia sudah meluncur di jalan raya? Peduli apa dia dengan gadis itu? Itu kan bukan urusannya. Masa bodoh!

Tapi, belum sampai dua menit perjalanan, cowok itu berinisiatif memutar balik arah motornya kembali ke cafe dengan tiba-tiba. Gadis itu masih berdiri dengan bodohnya di teras cafe, menundukkan wajah dan menatap ujung sepatu merah jambunya yang bermain di atas lantai teras.

"Hei, pegawai baru!" Lee berteriak di sela-sela hujan setelah berhasil membuka kaca helmnya. Ia menghentikan motornya tepat di hadapan Danisa.

Gadis itu mengangkat wajahnya dan tertegun menatap seseorang yang kini tepat berada di hadapannya. Lee? Dia kembali lagi? Kenapa? Pertanyaan itu berputar cepat di kepalanya.

"Ayo naik!" suruh Lee kembali berteriak. Ia memberi kode pada gadis itu untuk segera naik ke boncengannya yang basah menggunakan gerakan kepala. Ia tampak tak sabar menatap gadis itu yang tampak terkejut melihatnya kembali ke cafe.

Danisa mematung untuk beberapa detik lamanya. Ia setengah tak percaya cowok itu kembali lagi dan menawari tumpangan untuknya. Setahu gadis itu, Lee adalah tipe orang yang angkuh dan memiliki gengsi tinggi. Bicaranya juga kasar dan seperti memiliki kepribadian ganda. Bagaimana tidak, ia bisa bersikap sangat manis pada anak-anak SMP itu, tapi, bersikap kasar pada pegawainya sendiri.

"Benar kamu mau mengantarku pulang?" Danisa menunjuk hidungnya sendiri. Setengah tak yakin.

"Bodoh," desis Lee kesal. "kamu mau atau nggak?!" Ia mendengus sebal.

Danisa terloncat dari tempatnya berdiri sebelum Lee berteriak lebih keras lagi. Ia tidak mau bosnya itu marah dan berubah pikiran, meski sebenarnya ia tidak mengharap bantuan dari seseorang seperti Lee. Gadis itu bergegas naik ke atas boncengan motor Lee yang lumayan tinggi untuk ukuran tubuhnya.

"Pegangan!" Lee setengah menoleh ke belakang. "rumahmu di mana?"

Danisa mencengkeram ujung jaket milik Lee sembari menyebut alamat rumahnya. Tapi, gadis itu hanya minta untuk diturunkan di depan gang.
Hujan kian mereda saat motor yang mereka tumpangi melaju ke arah rumah Danisa. Lee melajukan motornya dengan kecepatan sedang karena ia membawa seseorang di boncengannya. Terlebih lagi jalanan yang basah membuatnya harus hati-hati.

Danisa bergerak turun begitu motor Lee menepi dan berhenti persis di depan gang menuju rumahnya. Gadis itu mengucapkan terima kasih meski masih diliputi beberapa pertanyaan. Ia tak ingin menatap kepergian cowok itu lebih lama dan bergegas berjalan menuju rumahnya.

Lee meneruskan perjalanannya kembali usai menurunkan Danisa. Ia menambah kecepatan laju motornya karena jalanan lumayan sepi. Ia ingin segera sampai di rumah dan mengganti pakaiannya yang basah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top