chapter 31
Lee duduk di atas kursi tunggu bandara dengan resah. Tangan kanannya sibuk menimang tiket penerbangan, paspor, dan surat-surat lain. Sedang matanya bergerak ke sana kemari mengawasi para petugas bandara yang sedang sibuk dengan pekerjaannya dan orang-orang yang lalu lalang di hadapannya. Semua sibuk terkecuali dirinya.
Lee harus menunggu. Pasalnya penerbangan ke New York terpaksa ditunda selama dua jam karena masalah teknis. Tak ada yang bisa dilakukannya kecuali duduk menunggu sampai ada pemberitahuan dari pihak bandara.
Lee sedikit merasa risih saat seorang wanita paruh baya yang duduk tak jauh darinya melempar senyum. Lee memperkirakan usianya sekitar empat puluhan. Ia terbilang cukup cantik untuk wanita seumurannya. Kulitnya bersih dan penampilannya mencerminkan kelas sosial yang tinggi.
Huft. Lee melenguh pelan. Cowok itu berusaha mengalihkan tatapannya ke arah lain. Mencari kesibukan lain selain menatap wanita itu. Dan untung saja ponselnya tiba-tiba bergetar. Ia belum sempat mematikannya tadi, lagipula penerbangannya ditunda.
"Halo... "
"Hai." Suara Lius menyahut dari ujung telepon. Bernada ceria seperti biasa. "sibuk Lee?" tanyanya lebih lanjut.
"Nggak. Aku sedang di airport," jawab Lee santai. "ada apa?"
"Apa?! Kamu di mana?!"
Lee menjauhkan ponselnya dari telinga karena volume suara Lius cukup keras. Nyaris memekakkan pendengarannya.
"Airport."
"Airport?" ulang Lius masih dengan nada lumayan tinggi. "memang kamu mau pergi ke mana?"
"New York."
"New York?" Lagi-lagi Lius mengulangi ucapan Lee. Kedengarannya ia cukup kaget dengan pemberitahuan Lee. "ada urusan bisnis di sana? Kok tumben?"
"Nggak." Lee menjawab dengan nada datar. "aku mau studi di sana."
"Hah? Studi? Bodoh!"
Lee tertegun mendengar makian Lius. Berani-beraninya ia memaki Lee seenak jidat sendiri.
"Kenapa nggak bilang? Nggak pamit. Memangnya kamu mau kabur, hah?!" Lius masih memaki dengan kasar. "jangan naik pesawat dulu, tunggu aku. Aku ke sana!"
Sial, desis Lee dalam hati. Cowok itu kesal bukan kepalang saat Lius berteriak kembali lalu menutup telepon dengan tiba-tiba. Tanpa salam atau permisi. Dasar!
"Telepon dari siapa?"
Aish! Lee nyaris terloncat dari kursinya saat mendengar sebuah suara yang menyapanya dengan nada halus. Cowok itu mendongakkan wajahnya dan mendapati wanita paruh baya itu menghampirinya. Ia melempar senyum dan tanpa minta izin terlebih dulu pada Lee, wanita itu meletakkan pantatnya di samping Lee.
"Oh." Lee berusaha tersadar dari keterkejutannya. "ah, telepon dari pacar," ucap Lee sekenanya seraya tersenyum semanis mungkin.
"Pacar?" gumam wanita itu sedikit kecewa. "kalian bertengkar?" tanya wanita itu lagi. Rupanya ia memiliki rasa ingin tahu yang cukup tinggi, mirip Lius.
"Ah, iya. Itulah kenapa aku mau kabur ke Amerika. Tapi, dia bilang dia sedang dalam perjalanan ke sini kok," ujar Lee memulai drama kecilnya. Sebuah jurus jitu untuk menghalau wanita penggoda.
"Benarkah?" Wanita itu masih ingin tahu lebih banyak tentang cowok asing yang belum ia ketahui namanya. "pacarmu pasti orang yang sangat pencemburu, ya?"
"Anda benar, Nyonya," sahut Lee cepat dan bersemangat. "dia memang orang yang sangat pencemburu." Lagi-lagi Lee memamerkan senyum manisnya sebagai pelengkap kebohongan.
"Pasti dia gadis yang sangat cantik," tebak wanita itu kemudian.
Lee menggelengkan kepalanya dengan tegas.
"Maaf, Nyonya. Tapi, dia bukan seorang gadis," beritahu Lee.
"Maksudnya?" Dahi wanita itu berkerut seketika. Menunjukkan usia sebenarnya.
"Saya seorang gay," bisik Lee seraya mendekat ke telinga wanita itu. Ia menahan diri untuk tidak meledakkan tawa atau kebohongannya akan terbongkar.
Wanita itu terbelalak mendengar pengakuan cowok asing yang belum ia ketahui namanya itu. Ia seketika menggeser tempat duduknya sedikit menjauh dari Lee. Dan setelahnya ia tidak mau mengajak cowok asing itu untuk berbicara. Selamanya!
Berhasil! Jurus lamanya sangat manjur untuk menyingkirkan wanita penggoda itu. Yeah, Lee sudah terlalu sering didekati gadis-gadis atau kaum gay. Dan jurus semacam ini sangat ampuh untuk mengatasinya. Tapi, Lee hanya bisa menahan tawa dalam hati melihat wanita itu kecewa luar biasa.
"Lee!"
Setengah jam kemudian teriakan itu harus menyapa telinga Lee. Lius datang dengan tergopoh-gopoh, napas ngos-ngosan, dan tampaknya ia baru saja kelimpungan mencari tempat Lee berada. Bandara terlalu luas untuk mencari segelintir manusia bernama Jonathan Lee.
Lee hanya memasang wajah datar dan enggan bangkit dari kursinya. Ia masih bergaya santai dengan duduk melipat kaki. Sementara wanita yang sempat menggoda Lee tadi, lenyap tak berbekas entah pergi ke mana.
"Mau pergi kok nggak bilang sih?" Lius mencecar Lee dengan antusias. Ia sangat kesal dengan sikap Lee yang menurutnya sangat kekanakan. "katakan, sejak kapan kamu berminat kuliah di luar negeri? Kemarin? Kemarin lusa?" Lius mengoceh tak keruan.
Lee belum sempat menjawab, namun cowok itu bergegas bangkit dari kursinya manakala indera penglihatannya menangkap bayangan tubuh seorang gadis yang begitu akrab di matanya. Danisa! Gadis itu tampak berlarian mengejar Lius dan ia tidak sendiri. Pegawai baru yang bahkan namanya tidak diketahui Lee itu juga ikut bersama mereka.
"Kalian datang bertiga? Kalian menutup cafe?" Giliran Lee yang mengajukan protes. Ia berkacak pinggang dan melotot ke arah Lius dengan mata kesal. Bisa-bisanya mereka menutup cafe di jam kerja seperti ini. Apa mereka semua ingin dipecat?
"Iya," sahut Lius cepat dan berani. "karena kamu hampir membuatku sakit jantung, tahu nggak? Kenapa mau pergi ke Amerika nggak bilang-bilang, hah?" lanjut Lius mendebat protes yang diajukan Lee barusan. Ia tidak peduli dengan status Lee yang notabene adalah bos mereka. Yang dipikirkannya sekarang hanyalah Lee sebagai adik sepupunya bukan bosnya.
Lee menggaruk tengkuknya. Ia sedikit bingung untuk memulai penjelasannya.
"Aku mau pergi kuliah dan ini sangat mendadak. Jadi, aku nggak sempat memberitahu kalian," jelas Lee agak tersendat. Ia berbicara sedikit lambat dari biasanya. Sepasang matanya seakan ingin bicara memohon kemakluman.
"Hei, mana ada alasan seperti itu?" timpal Lius menimpuk pundak adik sepupunya dengan kepalan tinjunya.
Lee tersenyum getir. Ia sempat mencuri pandang pada Danisa yang berdiri kaku di samping Lius. Gadis itu masih sama seperti kemarin-kemarin. Polos dan sederhana. Juga masih mendebarkan jantung Lee setiap cowok itu menatapnya lekat-lekat.
"Memang mau alasan apa lagi?" tanya Lee ogah-ogahan.
Lius menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia mencurigai sesuatu yang tidak beres pada adik sepupunya itu. Setahu Lius, Lee adalah salah satu orang yang pantang masuk universitas karena ia paling malas jika disuruh belajar. Sesuatu yang sangat aneh jika ia tiba-tiba tertarik kuliah di luar negeri tanpa mengabari Lius pula.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top