chapter 27
"Trims."
Danisa menoleh ke samping kanan. Ia mendapati wajah Lee masih menatap lurus ke depan. Bukankah ia baru saja mengucapkan terima kasih? kernyit gadis itu.
"Untuk apa?" tanya Danisa bingung. Ia mengalihkan pandangannya ke depan setelahnya. Mobil yang mereka berdua tumpangi berhenti di perempatan lampu merah.
"Terima kasih telah memakai baju dan tas pemberianku," tandas Lee menatap ke samping. Ke arah gadis yang sanggup membuat jantungnya berdegup lebih kencang dari kecepatan normal. Ia sangat puas melihat Danisa mengenakan pilihannya. Padahal semula ia tak yakin Danisa mau memakai pakaian dan tas yang ia belikan. Lee sangat bersyukur ia tidak perlu lagi melihat tas lusuh yang ia benci itu menggantung di pundak gadis yang disukainya.
Oh. Gadis itu tersenyum tipis.
"Aku memakainya karena bajuku habis," ucap Danisa setengah bergumam. "maksudku aku belum sempat mencuci baju kotor dan hanya ada ini yang tersisa," lanjut gadis itu seraya menarik salah satu ujung pakaiannya. Mempertegas kalimatnya.
Ho? Lee tertegun setelah mendapat jawaban paling menyakitkan dari Danisa. Barulah setelah mobil di belakangnya membunyikan klakson dengan keras Lee tersadar dan buru-buru tancap gas karena lampu lalu lintas telah berganti warna hijau.
"Aku sudah lama nggak beli baju," ujar Danisa beberapa detik kemudian. Melanjutkan pemaparannya. "mungkin setahun yang lalu. Dan saat aku melihat baju pemberianmu ini, aku langsung menyukainya. Dan tas ini juga."
Lee tersentak. Nyaris saja ia menginjak rem tiba-tiba jika ia sedang tidak waras. Pengakuan Danisa langsung menjadi obat untuk sakit hati yang baru saja ia derita. Ternyata gadis itu menyukai pilihannya.
"Benar kamu menyukainya?" tegur Lee setengah tak percaya sedang setengahnya lagi sangat bahagia. Jika Danisa menyukai pemberiannya, apa itu bisa diartikan bahwa gadis itu juga menyukainya?
"Iya," sahut gadis itu tegas. "aku tahu pasti baju ini mahal dan aku nggak bisa membelinya. Kamu tahu, baju mahal selalu nyaman dipakai," lanjut Danisa seraya tersipu.
Lee nyaris tergelak melihat ekspresi yang terlukis di wajah Danisa. Pipi gadis itu bersemu merah saat mengucapkan kalimatnya. Gadis yang polos! Tapi, ia tampak bahagia saat mengucapkan kalimatnya.
"Senang bisa mendengar kalimat itu darimu," ucap Lee sumringah. Rasanya semua pintu menuju kebahagiaan sudah terbuka di hadapannya dan tinggal selangkah lagi menuju ke sana.
"Apa kamu menyukaiku?"
Jleb.
Jantung Lee terasa seperti membeku dalam sekejap. Pertanyaan gadis itu menancap tepat di jantung Lee seketika. Apa gadis itu memiliki indera ke enam? Atau diam-diam ia memiliki bakat terpendam sebagai seorang peramal? Paranormal? Cenayang? Apa lagi istilahnya?
Atau sikap Lee yang sangat mudah tertebak oleh Danisa? Atau Danisa yang terlalu bodoh hingga begitu berani mengajukan pertanyaan yang terus terang seperti itu? Ia benar-benar menghadapkan Lee pada satu jebakan bernama grogi!
"Apa aku tampak seperti itu?" tanya Lee sengawur-ngawurnya. Sebelah hatinya yang masih sekeras batu mengambil alih kali ini. Sikap angkuhnya mulai tampak lagi. Gengsi untuk mengakui perasaannya sendiri. "aku tampak menyukaimu?" tanya cowok itu kembali. Memperbaiki kalimat tanya yang sebelumnya kedengaran kurang pas.
Danisa melenguh pelan.
"Aku hanya bertanya," tandasnya pelan. Sepasang matanya menatap ke depan. Cuek. Seolah tidak peduli Lee mau menjawab pertanyaannya atau tidak.
Oh, gadis ini bodoh atau pura-pura bodoh? keluh Lee kesal. Apa ia ingin memastikan perasaan Lee yang sesungguhnya? Ia ngomel sendiri dalam hati.
"Eh, bukankah hari ini papamu menikah?" Danisa menoleh setelah teringat ucapan Lee semalam. Mengalihkan pokok pembahasan. Mereka sempat berbincang hal itu sedikit. "kamu nggak datang ke pernikahan papamu?" tanya Danisa hati-hati. Ia harus menjaga perasaan Lee agar cowok itu tidak tersinggung atau terluka hatinya.
Lee mendesah berat. Untuk sesaat tadi ia lupa sama sekali tentang papa sampai Danisa menyinggung tentang pria itu. Dan gadis itu berhasil menodai kebahagiaannya, tapi, sejauh ini ia baik-baik saja.
"Untuk apa aku datang?" Lee menggumam kecil. Raut wajahnya tidak senang. Nada suaranya datar.
Danisa tak menyahut. Gadis itu tidak melanjutkan percakapan tentang papa Lee. Ia hanya akan merusak suasana hati cowok itu jika terus bertanya. Ia tidak mau terlalu ingin tahu soal pribadi Lee dengan papanya. Kecuali jika Lee sendiri yang berinisiatif menceritakan hal pribadinya.
Lee menghentikan mobilnya di depan gang menuju rumah gadis itu.
"Aku pulang dulu," pamit Danisa sejurus kemudian.
Lee mengembangkan senyum seraya menganggukkan kepalanya pelan. Tanpa suara.
"Makasih sudah mengantarku... "
"Danisa!" Lee berteriak tepat di saat Danisa hendak turun dari jok. Tangannya terulur hendak menjangkau pundak gadis itu, tapi, tak sampai. Hanya mengambang di udara tanpa kepastian.
Gadis itu tercekat kaget mendengar teriakan Lee yang tiba-tiba. Tidak berteriakpun ia mendengar suara Lee.
"Apa?" tanya Danisa datar. Ia memutar kepalanya dan memasang ekspresi cemberut.
Lee menarik napas dalam-dalam. Untuk tiga detik lamanya ia tenggelam dalam rasa bimbang.
"Bagaimana jika aku menyukaimu?"
Rasanya dada Lee lega setelah melempar pertanyaan itu. Meski itu bukan sebuah pengakuan dan hanya sekadar pancingan untuk Danisa.
"Hah?" Gadis itu tampak bodoh saat mengerucutkan bibirnya. Padahal ia mendengar pertanyaan Lee dengan sangat jelas.
"Sudahlah. Lupakan ucapanku," timpal Lee cepat. "pulang dan istirahatlah," ucapnya kemudian. Ia mengurai sebuah senyum kaku yang tampak dipaksakan.
Danisa bengong. Ia diam dan tidak tahu harus bagaimana, mengucapkan apa untuk membalas ucapan Lee.
"Hmm." Danisa mengangguk. Tampangnya masih tampak bodoh dan bingung. "aku pulang dulu," pamitnya kemudian.
Lee hanya diam di tempat menunggu gadis itu keluar dari mobilnya, menutup pintu, dan melambaikan tangan kanannya. Sampai gadis itu melangkah di jalan kecil menuju ke rumahnya.
Lee melajukan mobilnya kembali ke jalan raya setelah punggung Danisa bergerak menjauh. Ia tidak menunggu gadis itu sampai menghilang di depan rumahnya.
Sekarang siapa yang merasa bodoh dan canggung? Cowok itu mengeluh terus dalam hati. Seperti kata Lius, kenapa tidak menyatakan langsung perasaannya? Kesempatan sudah datang tadi, tinggal bilang pada Danisa. Lalu apa susahnya?
Ya, memang tidak susah. Tinggal bilang, Danisa aku menyukaimu, apa kamu mau menerimaku? Begitu saja. Tapi, sayangnya saat kesempatan itu datang, keberanian Lee seolah menguap. Karena ia masih ragu dengan gadis itu. Berbagai macam kemungkinan buruk selalu menghantuinya saat ia ingin menyatakan perasaannya, bagaimana kalau Danisa menolaknya? Mengingat mereka sempat berantem sebelum ini.
Ah. Lee mendengus keras. Kepalanya serasa berdenyut-denyut. Sudahlah. Soal Danisa sebaiknya ia tunda sampai besok. Malam ini ia ingin cepat tidur, mengistirahatkan tubuh dan pikirannya agar besok ia kembali bugar. Ada beberapa hal yang harus ia kerjakan di kantor esok hari.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top