chapter 26

"Aku menyukaimu, Danisa."

Tatapan mata Lee mengarah lurus ke depan. Tanpa berkedip. Wajahnya sangat serius dan cenderung tampak tegang. Ah, kenapa begitu sulit menyusun sebuah kalimat pernyataan cinta kepada gadis itu?

Aishhh. Lee mendengus dengan kasar. Ia tampak bodoh dengan melakukan hal semacam itu. Berdiri di depan cermin toilet hanya untuk berlatih menyatakan cinta kepada seorang gadis. Kenapa juga ia melakukan itu? Kalau ingin menyatakan cinta, katakan saja padanya secara langsung, tidak usah pakai latihan segala. Sesuatu yang spontan akan tampak lebih alami ketimbang memakai latihan terlebih dulu. Dan tampak lebih tulus.

"Eh, maaf." Seorang petugas kebersihan tiba-tiba masuk dan memergoki Lee sedang berdiri di depan cermin. Ia tampak salah tingkah dan menganggukkan kepalanya dengan canggung lalu buru-buru keluar dari toilet. Ia tergopoh-gopoh meninggalkan ruangan itu karena ketakutan setengah mati.

Lee menggerutu sendirian. Untung saja ia sedang diam saat petugas kebersihan itu masuk. Tak terbayangkan betapa malunya Lee jika kepergok sedang bicara dengan cermin toilet seperti orang idiot. Cowok itu mencuci tangan dan membasuh wajahnya sekadar untuk membuatnya kembali segar.

Lee telah selesai dan bergegas menuju ke lantai basement di mana mobilnya terparkir. Ia melirik jam yang melilit di tangan kanannya dan membatin sendirian. Masih jam enam petang dan cuaca cerah. Semoga jalanan lancar hari ini.

Jalanan lancar sesuai harapan. Lee mengemudikan mobilnya dengan perlahan dan hati-hati. Sembari mengatur napas dan menenangkan pikiran. Seumur hidup ia tidak pernah merasa segelisah ini. Biasanya ia yang dikejar-kejar oleh para gadis dan sekarang keadaan berbalik. Ia yang mengejar seorang gadis dan ini adalah hal pertama yang dialaminya.

Danisa berdiri di tempatnya seperti biasa, di belakang meja kasir, berkutat dengan pemesanan dan pembayaran. Gadis itu tampak masih bersemangat, senyum senantiasa berkembang di bibirnya manakala pelanggan datang padanya.

Lee tersenyum tipis saat menatap gadis itu sekilas. Ia tidak berniat mengambil alih pekerjaan Danisa kali ini. Cowok itu lebih memilih duduk di salah satu sudut cafe yang kosong sembari mengawasi keadaan cafe yang tak begitu ramai.

Lius yang sudah tahu kedatangan adik sepupunya itu melambaikan tangan ke arah Lee. Ia tak begitu sibuk, hanya melakukan sedikit pekerjaan. Berkutat dengan cangkir-cangkir kosong di depannya.

Lee tersenyum tawar. Sebentar lagi juga Lius pasti menghampirinya dan membawakan Lee secangkir hot chocolate meski ia tidak menyuruhnya. Lius paling bisa diandalkan soal itu.

Danisa ikut melempar senyum saat keduanya bersitatap. Rasanya perdebatan sengit yang dulu pernah terjadi di antara mereka berdua terlupakan begitu saja. Seolah tidak pernah terjadi. Entahlah. Semuanya kini terasa berbeda dari sebelumnya. Lee juga telah mengubah sudut pandangnya terhadap Danisa. Ia melihat Danisa bukan dari penampilan pakaian dan fisiknya belaka. Tapi, ia cenderung melihat jauh ke dalam hati gadis itu. Kesederhanaan, kepolosan, dan ketegaran gadis itu telah banyak mempengaruhi pemikiran Lee.

"Secangkir hot chocolate spesial."
Lee mengangkat wajahnya saat Lius datang dan menyuguhkan minuman favoritnya. Tepat seperti dugaannya. Pria itu akan datang seperti perkiraannya, membawakan secangkir cokelat panas.

"Sorry, aku nggak bisa menemanimu," ucap Lius memberi kode bahwa ia harus segera kembali ke tempat tugasnya. Ia menepuk pundak Lee pelan sebelum meninggalkan adik sepupunya itu.

Lee tak menyahut. Hanya menganggukkan kepalanya dan melepas kepergian Lius dengan senang hati.

Perhatian Lee berpindah pada Danisa setelah melepas kepergian Lius. Gadis itu tidak terlalu memperhatikan Lee, jadi, cowok itu bisa menatap Danisa dengan leluasa.

Lee masih ingat betul saat pertama kali bertemu dengan gadis itu. Ia memandang gadis itu dengan sebelah mata dan pernah mengatakan sesuatu yang buruk padanya. Yah, ia pernah bertaruh dalam hatinya sendiri jika gadis itu tidak akan bertahan lama bekerja di cafe miliknya. Paling-paling seminggu dan paling lama dua minggu. Tapi, ternyata dugaannya sama sekali meleset. Ia kalah taruhan. Gadis itu masih bertahan di cafe sampai hari ini dan berita bagusnya Danisa tampak sangat menikmati pekerjaannya.

Eh, Lee jadi tersadar setelah mengawasi gadis itu selama beberapa lama. Lihatlah sikap Danisa pada para pelanggan. Ia ramah dan terkesan baik di mata pelanggan. Saat berbincang dengan Lius dan pegawai baru itu, yang sampai sekarang Lee belum tahu namanya, Danisa tampak ramah dan akrab. Apakah ia bersikap baik pada semua orang? Termasuk pada Lee juga?

Lee menyesap cokelat panasnya sedetik kemudian. Untuk meredam rasa galau yang mulai menjalari hatinya perlahan.

Jika Danisa bersikap baik pada semua orang tanpa terkecuali, lalu apa arti perbincangan di depan rumah gadis itu semalam. Apa Danisa menganggap Lee sekadar teman yang datang dan sedang butuh bantuan? Apa tidak ada rasa ketertarikan Danisa pada Lee walau secuil? Apa gadis itu tidak menyadari jika Lee tampan bak bintang Kpop? Gadis manapun akan mengakui jika Lee memiliki kharisma seorang bintang. Ia tampan. Titik.

"Tumben nggak ikut membantu," tegur Lius. Pria itu datang dan menepuk pundak Lee hanya untuk mengobrak-abrik lamunan yang mendera kepalanya. Lius mengambil tempat duduk di depan Lee. Pekerjaannya telah selesai dan cafe akan ditutup sebentar lagi. Hanya perlu menunggu cafe dibersihkan juga penghitungan hasil penjualan hari ini.

Lee mendehem sekadar untuk menjernihkan tenggorokannya sebelum bicara.

"Papa menikah hari ini," ucap Lee tak begitu terdengar. Ia menyesap isi cangkir di hadapannya sejurus kemudian.

"Oh." Lius cukup kaget mendengar pengakuan Lee barusan. Ia seperti kehilangan kata-kata seketika itu juga. Tak bisa berkomentar dan hanya menggumam pelan. Mencoba memahami situasi yang dialami Lee.

"Aku baik-baik aja." Lee menoleh ke arah Lius dan mengukir sebuah senyum tipis. Ia hanya tidak ingin tampak rapuh di mata kakak sepupunya. Padahal Lius tidak keberatan jika Lee mengeluhkan semua persoalan padanya.

"Ya, aku tahu," sahut Lius pelan. "aku yakin kamu bisa menghadapi semua ini. Kapanpun kamu butuh sesuatu, teman curhat misalnya, aku selalu siap, Lee."

Lee mengangguk menanggapi tawaran Lius. Ya, kakak sepupunya itu memang sangat dewasa dalam menghadapi sebuah persoalan. Dan ia juga bisa diandalkan.

"Kamu mau mengantar dia pulang lagi?" Kepala Lius menggeleng ke arah Danisa yang sedang sibuk menekan tombol-tombol di mesin kasir. "sudah berapa jauh hubungan kalian?"

Lee mengernyit. Lius sudah menunjukkan kecurigaannya dari awal. Kakak sepupunya itu terlalu peka rupanya.

"Kamu benar-benar ingin tahu?" tanya Lee.

"Kalau kamu mau cerita ya syukur, kalau nggak, juga nggak masalah." Lius mengedikkan bahunya. Terkesan cuek padahal ia benar-benar ingin tahu tentang hubungan Lee dan Danisa.

Lee mendesah panjang. Kalau bukan Lius tempatnya mencurahkan segenap perasaannya, lalu siapa lagi?

"Aku memang menyukainya," ungkap Lee akhirnya berterus terang. "tapi, aku nggak tahu perasaannya padaku."

"Kamu takut ditolak?" Lius setengah tergelak mendengar ungkapan hati Lee. Setahunya Lee selalu dikejar para gadis, tapi, sekarang keadaan berbanding terbalik. "kenapa nggak mencoba menyatakan perasaanmu padanya? Tuh, dia di sana. Tunggu apa lagi?"

Lee mendengus kesal. Lalu menyesap hot chocolate-nya sampai tak bersisa.

"Aku nggak yakin dia mau menerimaku, mengingat sikapku yang buruk padanya dulu."

"Kita tutup sekarang?" tegur Danisa memutus percakapan antara kedua orang itu. Gadis itu tersenyum dan membuat Lee terperangah. Danisa sudah melepaskan seragam cafe dan tampaklah pakaian yang dikenakannya, pakaian yang dibelikan Lee beberapa waktu yang lalu. Apa itu pertanda bahwa Danisa sedang membuka hatinya untuk Lee? 

Hati Lee berguncang hebat. Apa gadis itu mendengar percakapannya dengan Lius barusan? batin Lee gelagapan.

"Iya, Nis." Lius yang menyahut. "Lee sudah siap mengantarmu pulang, nih," kekehnya sengaja menggoda.

Lee mendengus. Kakak sepupunya benar-benar penggoda kelas berat.

Danisa hanya tersenyum tanpa komentar apapun.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top