chapter 25

"Apa kamu tahu rasanya kesepian?"

Danisa tercekat. Sebaris pertanyaan Lee sanggup mengguncang hatinya. Bukan karena pertanyaan itu tidak ada jawabannya, tapi, Lee pasti memiliki alasan di balik itu semua.

Danisa belum menjawab. Ia masih perlu meyakinkan dirinya tentang kemunculan cowok itu yang tiba-tiba di rumahnya selarut ini. Memang belum terlalu larut, masih jam sepuluh lewat. Dan ia hendak naik ke atas tempat tidur saat terdengar suara ketukan pintu. Apa cowok itu datang menemuinya hanya untuk menanyakan pertanyaan itu? Tidak kan? Ia pasti punya alasan khusus.

"Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu?" Danisa mencoba tersenyum tipis. Ia menatap raut wajah Lee dari samping dan mendapati kegelisahan terlukis di sana. Danisa bisa membaca ketidakberesan yang terpancar dari wajah itu.

Lee menelan ludah. Ia perlu menyusun kalimat sebelum menjawab pertanyaan gadis itu. Yeah, Lee memutuskan pergi ke rumah Danisa sesaat setelah papa pergi. Ia tidak akan bisa tidur dalam kondisi seperti itu. Pikirannya penuh dengan masalah.

"Apa terlalu sulit untuk menjawabnya?" Lee balik melempar pertanyaan  pada gadis itu. Ia balas menatap Danisa tanpa berkedip.

"Bukan," sahut Danisa cepat. Ia membuang pandangannya ke arah jalan kecil yang terbentang di hadapannya. Sepi. Hanya seorang dua orang yang lewat di sana, pulang kerja tampaknya. "hanya saja kedengarannya aneh tiba-tiba kamu datang menemuiku hanya untuk menanyakan hal itu." Danisa tahu jika Lee baik-baik saja saat berkunjung ke cafe sore tadi. Bahkan ia dengan senang hati menggantikan posisinya di belakang meja kasir. Sepertinya tidak ada masalah.

"Papaku akan menikah besok." Akhirnya Lee mengungkapkan apa yang dipendamnya sejak tadi. Meski ia benci mengatakannya, tapi, ia melakukannya juga.

Danisa tercekat. Jadi, itu alasannya? Gadis itu membatin. Pantas saja jika Lee tampak begitu gelisah sejak pertama kali ia datang.

Lee mencoba mengukir senyum getir di bibirnya. Mencoba menutupi perasaannya yang sesungguhnya. Dan Danisa sangat mengerti dengan apa yang menimpa cowok itu. Ia dan Lee nyaris bernasib sama. Ibu Danisa pergi untuk menikah dengan pria lain sementara ayahnya sedang sakit. Dan nasib Lee mungkin lebih buruk darinya.

"Terkadang takdir nggak sesuai dengan apa yang kita harapkan, bukan?" Danisa menerawang ke depan dan mengurai senyum pahit. Ia masih ingat saat ibunya mengemasi  seluruh pakaiannya dan pergi begitu saja, tanpa sepatah katapun. Mungkin dia terlalu kecewa menerima nasib yang menimpa dirinya. Memiliki suami yang sakit-sakitan dan ia tidak mau bersusah payah dengan itu semua. Akhirnya ia memilih pergi dan memulai kehidupan yang baru bersama pria lain.

Lee mengangguk tak kentara. Rasanya ia pergi ke tempat yang tepat. Danisa adalah tempat yang tepat untuknya mencurahkan semua beban yang mendera hatinya sekarang ini.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Lee kemudian.

"Nggak ada."

"Nggak ada? Maksudnya?" Lee mengerutkan kening dengan spontan. Apa mungkin ia telah salah menilai Danisa? Gadis itu bukan tempat yang tepat untuk berbagi masalahnya?

"Hadapi aja semuanya dengan tegar," tandas Danisa mantap. Seolah tanpa beban.

Lee tak merespon. Bicara memang mudah. Melontarkan kalimat-kalimat motivasi segampang menggoreng telur mata sapi, tinggal ceplok, lalu angkat. Tapi, menjalani kenyataan di dunia nyata jauh lebih sulit dari sekadar mengucapkan kata-kata. Orang yang pandai mengucapkan kalimat-kalimat super dengan dalih motivasipun belum tentu bisa menjalani hidup setegar batu di atas gunung. Untuk menjadi tegar tidak perlu kata-kata yang mirip puisi, cukup hati yang tangguh dan tidak terkalahkan. Itu saja. Tapi, apa segampang itu untuk menjadi tegar.

"Terkadang kita nggak yakin bahwa kita bisa melewati semua cobaan berat yang menimpa kita," lanjut Danisa. Kali ini ia menoleh dan melempar senyum tipis pada cowok yang sedang tertegun menatapnya. "karena kita nggak yakin pada diri kita sendiri. Kita, bukan satu-satunya orang yang mengalami hal semacam ini. Kamu tahu, kita nggak akan mati hanya karena patah hati, kecewa, atau sakit hati. Meski kadang kita ingin berhenti di sini, tapi, Tuhan selalu menuntun langkah kita. Mereka yang putus asa dan menyerah pada keadaan hanyalah orang-orang yang menutup mata hati mereka atas jalan yang ditunjukkan Tuhan. Bukan karena nggak ada jalan, tapi, mereka yang nggak mau menempuh jalan itu dan memilih menyerah, putus asa, bahkan bunuh diri. Dan kamu bukan bagian dari mereka, bukan?" tutur Danisa panjang dan lebar. Ia mencoba merasuk ke dalam hati Lee dan menyentuh perasaan lewat kata-katanya.

Lee terpaku menatap gadis itu. Sungguh, selama ini penilaiannya terhadap Danisa salah besar. Gadis itu adalah gadis luar biasa yang pernah ia kenal dalam hidupnya. Ia memiliki sesuatu dalam dirinya yang begitu istimewa. Ya Tuhan, kapan lagi aku bisa menjumpai gadis seperti ini? batin Lee bergeming.

"Apa kamu juga setangguh itu?" Lee mencoba menguji gadis itu.

Danisa tersenyum dan bahkan tergelak sekarang.

"Aku nggak setangguh itu," ucapnya sembari tergelak. Bahunya sampai terguncang. "aku hanya menjalani hari-hariku dengan baik, seperti biasa. Seperti nggak ada masalah. Karena aku harus tetap hidup dengan baik, menjalani hari-hariku dengan bahagia, ya seperti itulah. Sampai Tuhan mengatakan padaku, bahwa tugasku telah selesai. Begitulah," jelas Danisa masih dengan sisa senyum di bibirnya.

Wow! Lee berdecak kagum dalam hati. Gadis itu benar-benar telah merontokkan segenap keangkuhan dalam dirinya. Selama ini ia tidak pernah memahami arti hidup dengan baik. Ia hanya tahu bahwa hidup harus egois dan tunduk di bawah kakinya. Tapi, baru saja Danisa mengajarinya tentang hidup.

"Aku baru tahu kalau kamu istimewa," gumam Lee sengaja dibuat tidak jelas.

"Apa?" Danisa bertanya cepat.

"Aku bilang apa tadi?" balas Lee sengaja berpura-pura bodoh. "aku lupa."

Danisa mendengus. Kesal dan ingin menjitak kepala Lee sampai ia menjerit kesakitan.

Lee menarik napas dalam-dalam. Dadanya terasa lega sekarang. Berkat Danisa. Dan ia merasa nyaman berada di sisi gadis itu. Andai saja ia bisa berada di samping Danisa selamanya.

"Malam ini cerah ya," ucap Lee. Ia mengalihkan tatapan matanya ke atas. Ke arah langit yang bersih tanpa awan. Bulan yang tidak utuh mengambang di angkasa dan hanya berteman sebuah bintang kecil. Di kota besar seperti ini, ingin melihat bintang pun susah. "apa kamu suka melihat bintang?"

Lee menoleh ke arah Danisa dan terperangah melihat gadis itu sudah terpejam di sebelahnya. Kepalanya nyaris jatuh saking tak kuat menahan kantuk.

"Yah, tidur deh," gerutu Lee kesal. Tapi, karena ia tidak tega melihat gadis itu, akhirnya ia berinisiatif meminjamkan bahunya. Ia menyandarkan kepala Danisa ke bahunya sampai gadis itu terbangun nanti.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top