chapter 22

Lee menyesap teh hangat buatan Danisa perlahan, sembari menatap ke depan. Ke arah jalanan kecil yang terbentang di depan rumah Danisa. Membayangkan kehidupan Danisa sehari-hari di tempat yang agak kumuh itu.

"Apa kamu bahagia tinggal di tempat seperti ini?" tanya Lee setengah bergumam. Ia menatap ke arah Danisa yang ternyata juga ikut membuang pandangan ke arah jalan di depan mereka.

"Tentu," sahut gadis itu. Kemudian menoleh. "bahagia atau nggak hidup seseorang bukan tergantung dari apa yang ia miliki. Miskin atau kaya, bukan ukuran seseorang untuk bisa bahagia atau nggak," tandas Danisa. Ia sedikit mengerutkan dahinya. Pertanyaan Lee memang jarang ditanyakan oleh orang kebanyakan. Ia mulai merasa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Lee. Mungkin masalah pribadi yang mengendap di dalam hatinya.

Lee setengah menunduk dan tersenyum tipis. Gadis itu sepenuhnya benar. Dan ia seperti terjebak di sebuah tempat asing, bersama orang asing, dan ia berubah menjadi orang asing pula. Tapi, tak bisa dipungkirinya bahwa dirinya merasa nyaman berbincang dengan gadis itu. Meski mereka berasal dari dua dunia yang berbeda. Latar belakang dan ego yang berbeda.

"Kamu lebih beruntung dariku," ucap Lee kemudian mengangkat wajahnya. "paling nggak hidupmu bahagia meski tinggal di tempat seperti ini."

"Memangnya selama ini kamu nggak bahagia?" sela Danisa memotong perkataan Lee. Gadis itu mulai membuka hatinya untuk bisa berbincang serius dengan Lee. "bukankah apa yang kamu inginkan selalu terpenuhi?"

Lee menggeleng perlahan.

"Bukannya kamu bilang, bahwa kaya atau miskin bukan ukuran untuk bisa bahagia?" ulang Lee mengingatkan Danisa akan apa yang baru saja ia ucapkan.

"Jadi, kamu nggak bahagia selama ini?" tanya Danisa nyaris memekik karena percaya bahwa dugaannya benar.

"Mungkin." Lee tak percaya pada ucapannya sendiri. "kamu tahu, aku sendirian di dunia ini. Meski aku masih punya papa, tapi, aku nggak pernah merasa memilikinya. Dia milik wanita itu. Maksudku wanita selingkuhannya. Terlebih setelah mama meninggal, aku merasa sendirian di dunia ini. Apa aku bisa bahagia dalam keadaan seperti ini?" Lee membuka sekelumit kisah pahit hidupnya. Cerita itu meluncur begitu saja tanpa direncanakan. Bukan untuk mencari simpati Danisa, hanya sekedar berbagi. Karena perasaan wanita lebih halus dan biasanya mereka akan menyimak dengan baik jika seseorang menceritakan kisah hidupnya.

Oh. Danisa bergumam kecil dalam hati. Ia pernah mendengar secuil kisah hidup Lee dari bibir Lius. Jadi, ia tidak terkejut mendengar penuturan Lee.

"Bukankah kamu masih punya Koko Lius? Dia dewasa dan bisa menjadi teman yang baik buatmu," kata Danisa mengingatkan. Bahwa Lee masih punya kakak sepupu dan ia tidak sendirian di dunia ini.

Duh, desis Lee dalam hati. Di saat seperti ini orang yang paling tidak ingin ia dengar namanya adalah Lius. Kenapa Danisa masih menyebut nama itu? Karena setiap Danisa menyinggung soal Lius, dada Lee pasti bergejolak marah. Alasannya? Tidak tahu!

"Bisakah kamu menjadi temanku?"

Danisa tercekat mendengar penawaran Lee. "Teman?" gumamnya heran. Telinganya tidak salah dengar kan?

"Ya. Kamu nggak mau?"

"Bukan nggak mau," jawab Danisa cepat. "apa kamu nggak salah orang? Kita berteman?"

"Apa salahnya?" Lee menyahut dengan cepat pula.

"Ini kedengarannya sangat lucu..."

"Karena aku pernah bersikap buruk padamu?"

"Tepat." Danisa menjentikkan jarinya. "memangnya kamu nggak merasa aneh berteman denganku yang nggak setara status sosialnya denganmu? Pakaian kita beda, rumah kita beda, semuanya beda. Kamu nggak keberatan..."

Lee mendehem sedikit keras. Bermaksud memutus perkataan gadis itu. Telinganya risih mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari bibir gadis itu. Cowok itu tidak berkomentar apapun. Ia menyesap kembali teh di depannya yang berangsur dingin.

"Kamu tahu," lanjut Danisa setelah teringat sesuatu. Ia ingin mengatakan hal ini sejak lama. Bahkan sejak pertama kali melihat Lee di cafe. "aku sempat mengira kamu adalah reinkarnasi seseorang yang pernah ku kenal. " Gadis itu mencermati setiap lekukan di wajah Lee dari arah samping. Tidak sama, batinnya. Liam dan Lee berbeda sama sekali. Ia sudah sering kali melihat cowok itu dan mencari persamaan di wajahnya dengan Liam, namun, tetap saja tidak pernah berhasil menemukannya.

"Hm?" Lee mengarahkan pandangannya kepada Danisa dengan dahi berkerut. Ia tidak begitu memahami perkataan gadis itu. "reinkarnasi? Kamu percaya pada hal semacam itu?" Lee tidak mengerti dengan jalan pikiran Danisa.

"Nggak." Gadis itu menggeleng. "aku nggak percaya, tapi, dia percaya pada reinkarnasi. Pada awalnya kukira dia bercanda saat bilang ingin menjadi orang lain setelah meninggal nanti. Dan kamu tahu, aku sempat mengira kamu adalah reinkarnasi dirinya," tutur Danisa dengan mimik sangat serius.

Lee tergelak mendengar perkataan konyol gadis itu. Setidaknya ia merasa semakin menikmati obrolan mereka berdua.

"Kenapa? Apa aku mirip dengannya? Bagian mana dariku yang mirip dengannya?" cecar cowok itu seraya menunjuk mata, hidung, dan keseluruhan wajahnya dengan telunjuk. Setelah ia menyelesaikan gelak tawanya.

"Kalian berdua sama-sama angkuh," ungkap Danisa mengejutkan Lee. Cowok itu terperangah.

"Benarkah?"

Danisa mengiyakan. Ia menunjukkan sikap yang sangat serius. Terbalik dengan sikap Lee yang seolah menganggap semua itu hanya sebuah lelucon belaka.

"Memang ada sebagian orang Chinese yang mempercayai hal itu," ucap Lee. "tergantung kepercayaan mereka. Tapi, aku sama sekali nggak percaya pada hal semacam itu."

"Aku juga." Danisa menyetujui ucapan Lee. "kamu memang bukan reinkarnasi dari seseorang itu. Kalian berbeda."

"Apa seseorang itu sangat berarti buatmu?" Lee tertarik dengan seseorang yang Danisa bicarakan.

"Iya."

Oh. Lee menelan ludah. Danisa pernah memiliki tambatan hati rupanya.

"Seperti apa dia?" Lee semakin penasaran dengan cerita Danisa. Ia ingin mengorek lebih dalam lagi kisah cinta gadis itu.

Danisa mendesah pelan. Untuk sesaat ia mencoba melukis wajah Liam di dalam pikirannya. Setahun belakangan ini ia sudah susah payah untuk bangkit kembali dari patah hati akibat kehilangan Liam. Dan Lee seolah datang untuk mengungkit kembali luka lama itu.

"Bisa kita bicara hal lain?" tanya Danisa tampak tidak suka jika Lee mulai mengorek kehidupannya lebih dalam lagi.

"Baiklah," ucap Lee menyetujui. Cowok itu mengalah. Sebenarnya ia juga tidak begitu suka membicarakan cowok lain yang pernah dekat dengan Danisa. Lius juga. Pokoknya ia tidak suka cowok manapun di dunia ini yang dekat dengan gadis itu. Kenapa ia jadi egois?

"Kenapa sebelumnya kamu bersikap begitu buruk padaku?" Danisa mulai beralih pada topik lain. "dan kenapa tiba-tiba kamu berubah baik seperti ini?"

Lee tergagap. Ia belum mempersiapkan jawabannya. Pertanyaan Danisa seperti anak panah yang menancap di kepalanya. Memaksanya berhenti berpikir.

"Karena aku nggak suka melihat pegawaiku berpakaian seperti itu. Bukankah aku sudah pernah bilang padamu?" Akhirnya Lee bisa membalas pertanyaan gadis itu setelah berpikir dalam waktu singkat.

"Itu alasan yang tampak dibuat-buat," seloroh Danisa. "kalau bukan aku, apa kamu akan melakukan hal yang sama?"

Lee membeku dan menatap Danisa lama. Ia merasakan hal yang aneh saat menatap gadis itu. Sebenarnya apa yang membuatnya selalu tergelitik untuk mengusik gadis itu? Dan Lee sadar, jika Danisa tidak seburuk itu. Ia cantik dengan apa yang ada pada dirinya. Tanpa riasan palsu yang kebanyakan gadis lain pakai untuk menutupi kekurangan di wajahnya. Gadis itu polos dan menyukai apapun yang ada pada dirinya. Ia lebih senang menjadi dirinya sendiri. Mungkin itulah alasan Lee mulai tertarik pada Danisa.

"Nggak." Akhirnya Lee mengeluarkan jawaban pendek.

"Kenapa?"

"Karena kamu berbeda dari yang lain."

"Berbeda?" Danisa menggumam bingung. "beda apanya?"

"Sepertinya sudah malam," ucap Lee sembari bangkit dari atas kursi plastik yang baru saja didudukinya. Ia sengaja tidak menjelaskan apa yang dipikirkannya. "aku mau pulang. Besok aku harus berangkat pagi-pagi."

Danisa menghela napas. Tak bisa berbuat apa-apa. Toh, ia tak punya hak untuk menahan Lee lebih lama lagi hanya untuk menjawab keheranannya. Ia melepas kepergian Lee dengan pikiran yang penuh dengan pertanyaan.

Cowok itu bukan Liam atau reinkarnasi dari Liam. Ia adalah dirinya sendiri dengan segala keegoisannya. Terlalu banyak misteri yang ia simpan dan menjadi bahan pertanyaan di kepala Danisa. Kenapa orang seperti Lee gampang berubah dalam waktu singkat? Danisa tidak bisa merubah siapapun, Lee ataupun Liam. Mereka berubah pasti karena keadaan yang mengharuskan mereka berubah dan kebetulan Danisa terlibat dalam waktu yang sama.

Danisa masuk ke dalam rumah dan membuang jauh-jauh pikiran-pikiran tentang Lee. Ia mesti istirahat dan memulihkan stamina tubuhnya sebelum beraktifitas kembali esok hari.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top