chapter 16
Lee menyandarkan punggungnya dengan pasrah ke sandaran sofa. Ia menghela napas dalam-dalam. Baru beberapa jam berada di kantor ia sudah dilanda kebosanan yang luar biasa. Lelah dan tak ada secangkir hot chocolate untuk meredakan ketegangan pikirannya.
Rapat dewan direksi tadi pagi berhasil dilaluinya dengan baik dalam rangka perkenalan sekaligus penyambutan dirinya bergabung di perusahaan. Dan setelahnya ia dipanggil papa untuk datang ke kantornya, padahal Lee baru saja meletakkan pantatnya di atas kursi kebesarannya, di belakang meja direktur. Bahkan ia belum sempat 'menjenguk' game online yang tidak pernah absen dimainkannya setahun belakangan ini.
"Papa ingin berterima kasih padamu." Papa bangkit dari kursinya usai meletakkan gagang telepon di tempatnya. Pria itu melangkah perlahan ke arah sofa dan mengambil tempat duduk persis di seberang putranya.
Lee tak merespon. Ia hanya menatap enggan ke arah papa. Jika bukan atas permintaan mama, ia tidak akan pernah menginjakkan kakinya di tempat ini.
"Kamu sudah memberikan image yang baik tadi," ujar papa menyinggung soal rapat tadi pagi. Papa tersenyum tipis. Ia bersyukur Lee ada di hadapannya sekarang dengan penampilan yang berbeda. Ia tampak lebih dewasa ketimbang sebelumnya. Terlebih setelah ia merubah total penampilannya. Rambut hitamnya telah kembali dan ia juga melepas anting magnet bodoh itu. Lee sangat tampan dengan kemeja putih dan jas hitam yang membalut tubuhnya. Meski ia tampak lebih kurus dari bulan lalu dan papa baru menyadarinya. Selebihnya tidak ada yang kurang dari penampilannya. "Papa harap kamu bisa bekerja dengan baik dan lebih memajukan perusahaan ini."
"Pasti." Sesungguhnya Lee menjawab tidak dengan sepenuh hati. Ia tidak terlalu yakin dengan ucapannya sendiri. Ia hanya ingin tampak percaya diri di depan papa. Untuk menutupi kelemahannya. "apa papa akan meninggalkan perusahaan ini secepatnya? Sepertinya kursi milik papa sangat nyaman," ucap Lee sengaja ingin menyindir papa.
"Lee!" Papa setengah berseru. Pria itu geram mendapat lemparan kata-kata pedas dari putranya sendiri. "apa-apaan kamu ini?"
"Bukankah perusahaan ini nantinya milik Lee, Pa? Jadi, wajar jika Lee bertanya, kan?" Seperti orang polos dan tidak berdosa, Lee menyunggingkan senyum pahit. Jelas-jelas ia ingin mengusir papa dari kantor dengan kata-katanya barusan.
Papa mendesah panjang. Ternyata Lee belum sedewasa yang ia kira. Ia masih Lee yang kemarin dan sebelumnya. Dengan tingkat ego maksimal dan sifat angkuh yang juga masih menyelubungi kepalanya. Anak seperti itu tidak bisa dihadapi dengan keras kepala. Ia perlu disikapi dengan lembut dan sabar.
"Tentu," ucap papa akhirnya. Setelah susah payah meredam emosinya sendiri. Ia tidak boleh gegabah sehingga bisa memicu perdebatan seperti yang pernah terjadi di antara mereka sebelumnya. "tapi, nggak sekarang, Lee. Papa akan menyerahkan jabatan papa setelah kamu siap nanti," lanjutnya kemudian.
"Itu bagus," gumam Lee masih dengan senyum pahit di bibirnya. "bagaimana hubungan papa dengan wanita itu?" Lee menyinggung hal lain sekarang. Bukan lagi soal pekerjaan.
Papa tersentak untuk sesaat. Pria itu sama sekali tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Tapi, hal itu pasti akan diungkit Lee suatu hari nanti, meski tidak sekarang. Dan Lee lebih memilih untuk mengungkitnya sekarang. Tapi, sayangnya papa belum punya jawaban atas pertanyaan Lee.
"Jika Papa ingin menikahinya, silakan," ucap Lee seolah tidak ingin memberi kesempatan bicara pada papanya. "Lee nggak keberatan jika Papa benar-benar serius ingin menikahi wanita itu. Tapi, Papa harus meninggalkan semuanya. Rumah, mobil, dan perusahaan ini. Bagaimana? Apa Papa setuju?" Sepertinya Lee sengaja merencanakan semua ini dari awal. Ingin memojokkan papa sehingga ia tidak punya pilihan.
"Lee." Papa menghela napas. Berat dan sarat dengan beban. "Papa tahu, Papa memang bersalah. Salahkan Papa atas semua yang menimpa keluarga kita. Tapi, jangan membenci Papa seperti ini. Kamu adalah satu-satunya anak papa dan bagaimanapun kamu memperlakukan papa, papa nggak akan pernah bisa membenci kamu," tandas Papa. Suaranya terdengar lemah penuh dengan kepasrahan. Bukan karena ia kalah, tapi, ia mengalah dari egonya sendiri. Hubungan ayah dan anak tak bisa terputus oleh apapun juga. Sehebat apapun perdebatan di antara mereka, papa tidak akan pernah bisa membenci Lee.
"Syukur deh, jika Papa sadar dengan semua kesalahan Papa," timpal Lee cepat. "tapi, tampaknya Papa sama sekali nggak menyesal dengan kematian mama. Apa memang papa menginginkan kematian mama?"
Papa tercekat mendengar tuduhan Lee.
"Bicara apa kamu, Lee?"
"Kenapa Papa nggak melakukan apa-apa padahal mama sedang sakit? Apa Papa sengaja membiarkan mama menderita sendirian dengan penyakitnya? Benar begitu, kan Pa?" desak Lee beruntun. Cowok itu sepertinya ingin memancing Papanya untuk berdebat.
Papa menggeleng samar. Bukan seperti itu, batinnya.
"Mamamu menolak untuk diobati, Lee..."
"Bohong!" teriak Lee keras. Ia bangkit dari tempat duduknya dengan wajah yang sudah merah padam menahan amarah. "Mama nggak mau diobati karena dia nggak tahan dengan sikap Papa. Karena Papa telah mengkhianatinya dan Mama lebih memilih untuk mati daripada menderita. Papa tahu hal itu, kan?!" Lee menekan intonasi suaranya agar Papa merasa terdesak.
Papa membeku seketika. Tak ada sanggahan atau pembelaan diri yang keluar dari mulutnya. Pria itu hanya bisa diam dan bernapas dengan hati-hati.
"Sebaiknya Papa segera meninggalkan kantor ini sesegera mungkin. " Lee berbisik di dekat telinga Papa dan melangkah setelah berhasil mengancam pria itu.
Lee melangkah dengan tergesa meninggalkan ruangan Papa dengan hati dipenuhi amarah. Cowok itu tak langsung menuju ruangan barunya, tapi, ia berbelok ke arah toilet.
Lee hanya bisa menatap gambar dirinya di dalam cermin. Sepasang mata yang dipenuhi dendam dan amarah sedang memantul ke arahnya. Lee melihat bayangan tubuhnya sedikit berbeda. Tak ada lagi penampilan sok artis yang ia lihat saat bercermin. Hanya sesosok tubuh yang dibalut setelan jas resmi dan mencerminkan kedewasaan. Sebuah kemapanan pikiran. Tapi, sesungguhnya di dalam tubuh itu masih sama seperti kemarin-kemarin. Ego, keangkuhan, dan kebencian masih bersarang di dalamnya.
Brakk!
Cermin di depan Lee terlihat retak sesaat setelah cowok itu mengayunkan kepalan tinjunya ke sana. Dan menyisakan aliran darah yang merembes keluar dan membasahi punggung tangannya. Sakit memang. Tapi, hati Lee lebih sakit lagi.
Kenapa, Ma?! batin Lee berteriak keras. Kenapa mesti menyerah pada keadaan? Kenapa tidak bertahan lebih lama? Demi Lee! Seandainya mama mampu bertahan lebih lama, mama dan Lee bisa hidup berdua saja. Tanpa papa. Dengan begitu hidup kita bisa bahagia. Tapi, kenapa mama menjadi seorang pengecut?
Setitik air mata jatuh menetes dari mata Lee. Air mata pertama setelah mama meninggal. Akhirnya, air mata yang sekian lama tidak mau tertumpah, menetes juga akhirnya. Setidaknya Lee merasa lega. Meski beban di hatinya belum berkurang sedikitpun.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top