chapter 14

"Sepertinya mulai sekarang Lee akan jarang berkunjung ke cafe," ucap Lius. Pria itu datang dan meletakkan secangkir hot chocolate di depan Danisa. Dan secangkir lagi di seberangnya. Lalu pria itu mengambil tempat duduk persis di depan Danisa. Harum aroma cokelat langsung menebar ke sekeliling mereka. Menawarkan suasana tenang dan nyaman.

Lius belum memutuskan untuk membuka cafe atau tidak hari ini. Jadi, pagi ini ia mengajak Danisa untuk duduk berdua di salah satu meja pengunjung sembari menikmati secangkir cokelat panas dan membiarkan pintu cafe tertutup untuk sementara waktu. Semacam rapat kecil-kecilan. Tapi, kenapa ia membuat hot chocolate tadi? keluhnya dalam hati. Ia hanya bisa tersenyum pahit menyadari kebodohannya. Rupanya ia sudah ketularan sindrom hot chocolate seperti Lee. Mungkin sudah menjadi kebiasaannya membuat secangkir hot chocolate setiap paginya. Dasar.

"Kenapa?" Danisa tampak bingung mendengar pernyataan Lius. Ia tidak bisa menerka arah pembicaraan pria yang sudah dianggapnya seperti kakak sendiri.

"Lee sudah memutuskan untuk bekerja di perusahaan milik keluarganya. Karena dia pewaris tunggal perusahaan itu," beritahu Lius menjelaskan.

Oh. Danisa hanya menggumam dalam hati. Ia mengangguk dan berhasil memahami situasi yang sedang dihadapi Lee dengan cepat. Problem yang dihadapi orang kaya hanya dua macam, warisan dan pertentangan di dalam keluarga, batin Danisa. Berbeda dengannya yang hanya punya satu masalah saja, yaitu ekonomi.

"Jadi, kita akan merekrut seorang karyawan baru secepatnya," lanjut Lius usai mengatakan pada Danisa tentang kesimpulan pembicaraannya dengan Lee kemarin. Tentang keputusan Lee untuk bekerja di perusahaan milik papanya.

Danisa menghela napas panjang. Setelah sebelumnya ia sempat khawatir jika cafe akan ditutup seterusnya, kini ia bisa bernapas dengan lega mendengar keputusan Lee lewat penuturan Lius. Setidaknya ia masih punya pekerjaan tetap dalam waktu dekat ini. Karena tidak mudah bagi Danisa untuk mencari pekerjaan sebagus di PRINCE'S CAFE. Mengingat ijazahnya yang hanya lulusan SMU.

"Aku akan memasang iklan lowongan di depan," lanjut Lius. Ia menyesap hot chocolate di hadapannya setelah memastikan suhunya telah turun.

Danisa mengangguk. Gadis itu memeluk cangkirnya di atas meja dengan kedua tangan. Ia tak punya komentar apapun untuk diberikan soal itu. Lius lebih tahu dalam hal mencari seorang pegawai baru.

"Bagaimana keadaan Lee? Apa ia baik-baik aja?" tanya Danisa menyambung percakapan. Karena sejak kematian mama Lee, ia belum bertemu dengan cowok itu. Ia juga belum pergi ke rumahnya sekadar untuk mengucapkan bela sungkawa.

Lius menatap gadis di depannya sampai kedua alisnya terangkat ke atas. Lalu pria itu tersenyum. Ia teringat pembicaraannya dengan Lee kemarin. Mereka sempat membahas tentang Danisa dan sekarang gadis itu bertanya tentang kabar Lee. Sebuah timbal balik yang aneh.

"Dia baik," sahutnya tak begitu yakin dengan ucapannya sendiri. Lius menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "sebelum aku datang ke rumahnya dia dalam kondisi nggak baik. Tapi, kemarin kami sempat ngobrol lama dan sepertinya dia baik-baik aja," tuturnya memberitahu. Ia hanya menyimpulkan apa yang ia lihat kemarin.

"Oh." Gadis itu menggumam pendek lalu menyesap hot chocolate miliknya dengan pelan.

"Aku lihat Lee sempat drop," ungkap Lius lagi. Lebih memperjelas kalimatnya. "dia kelihatan rapuh dan seperti orang yang nggak punya semangat hidup. Memang nggak mudah baginya menerima kenyataan. Kamu tahu, dia sangat menyayangi mamanya dan itu merupakan pukulan berat baginya. Tapi, aku berharap dia tegar menghadapi semua ini. Kami sudah ngobrol dan kelihatannya dia baik-baik aja sebelum aku tinggal kemarin."

"Apa mamanya sakit?" tanya Danisa ingin tahu.

"Kanker," jawab Lius pendek.

"Sebenarnya aku ingin mengunjunginya... "

"Mengunjungi Lee?" Lius nyaris memekik mendengar pengakuan Danisa. Padahal Lee sudah bersikap buruk terhadapnya selama ini, tapi, gadis itu malah menunjukkan rasa simpatinya. "kamu mau diomeli Lee lagi?"

Danisa menggeleng kuat-kuat.

"Bukan begitu," sangkal Danisa. "aku belum mengucapkan bela sungkawa padanya. Aku ingin ke sana, tapi, nggak tahu rumahnya."

"Oh." Lius mengangguk pelan. "mungkin lain kali. Lee pasti akan ke sini suatu saat nanti."

"Ya."

"Oh, ya." Lius mendadak teringat sesuatu. "aku sudah meminta bantuan Nindy sebelum kita dapat pegawai baru. Dia bilang akan membantu kita sepulang kuliah nanti."

"Itu bagus," sahut Danisa tampak senang. "jadi, kita bisa mulai bersiap sekarang," ujarnya bersemangat.

"Semangat banget," cetus Lius. Ia hanya tersenyum menanggapi ucapan Danisa. "kamu nggak keberatan buka cafe berdua aja?"

Danisa menggeleng.

"Kita pasti bisa melakukannya," ujar Danisa optimis.

"Baiklah. Nanti kalau kamu capek, bilang padaku, ya. Kita bisa tutup lebih awal." Lius mengembangkan senyum.

"Kalau begitu aku akan membersihkan lantai dan Ko Lius mengelap kaca. Bagaimana? Mau nggak?" tawar gadis itu seraya bangkit dari tempat duduknya dan bersiap melangkah ke belakang untuk mengambil peralatan kebersihan.

Lius mendengus. Sebenarnya ia paling malas jika disuruh bersih-bersih. Seandainya ada pegawai baru lagi, ia tidak perlu ikut kegiatan kerja bakti seperti ini. Tapi, sekarang bukan saatnya untuk bermalas-malasan kan? Mau atau tidak, Lius harus membantu Danisa.

"Ya, baiklah," ucap Lius pasrah. Ia bangkit dan mengikuti instruksi Danisa untuk mengelap kaca.

Danisa mulai bekerja. Gadis itu menyapu lantai sedang Lius mengelap kaca depan. Sebenarnya sudah terlambat untuk membuka cafe jam segini. Tapi, mereka akan melakukannya berdua hari ini sembari menunggu Nindy datang.

"Aku akan mentraktirmu makan siang nanti!" Lius berteriak dari balik kaca pintu. Tangannya berhenti melakukan pekerjaan. Ia juga urung untuk menyemprotkan cairan pembersih kaca.

Danisa menoleh mendengar teriakan Lius yang menggiurkan itu. Gadis itu tersenyum sembari balas berteriak.

"Boleh!"

"Kamu mau makan apa?!"

Danisa menghela napas sejenak. Pikirannya sedang bekerja untuk menentukan menu pilihannya.

"Bagaimana kalau nasi Padang?" tawar Lius sebelum Danisa berhasil menentukan pilihannya. "ah, kamu sudah pernah makan itu kan? Hmm, bagaimana kalau nasi ayam bakar? Atau ikan bakar? Kamu mau apa?"

Danisa mendengus. Penawaran Lius terlalu banyak baginya.

"Nasi Padang aja," sahut Danisa akhirnya. Tapi, kali ini ia ingin makan lauk yang beda.

"Kamu nggak bosan? Bagaimana kalau kita pesan Chinese food aja?"

Tapi, Danisa menggeleng dan teguh pada pilihannya. Dan Lius harus menurut kali ini.

Mereka melanjutkan pekerjaan dan segera membuka cafe setelah menyelesaikan semuanya. Sekitar pukul satu siang, Nindy datang sesuai dengan janjinya untuk membantu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top