chapter 12

"Ya ampun, Lee!"

Lius mengangakan mulutnya lebar-lebar begitu membuka pintu kamar adik sepupunya. Kamar Lee yang setahunya rapi dan bersih, sekarang ini dalam kondisi mengenaskan. Bak kapal yang baru saja menghantam batu karang dan karam di dasar lautan. Tapi, sayangnya tidak ada peti harta karun di dalamnya. Yang ada hanya tumpukan pakaian kotor yang agak berserakan di atas lantai. Pasti Lee melemparnya begitu saja dan sayangnya tidak tepat sasaran ke mulut keranjang pakaian kotor. Beberapa kaleng minuman tampak tergeletak di atas meja dan beberapa sampah plastik tercecer di atas lantai. Dan itu apa? batin Lius menajamkan penglihatannya. Pria itu bergerak ke dekat tempat tidur dan menemukan benda yang tidak asing tergolek di bawah selimut.

"Lee!" Lius mendesis histeris. Kok bisa celana dalam berceceran di tempat seperti ini? batin Lius bergidik ngeri. Bukankah rumah ini memiliki empat orang pelayan? Kemana saja mereka? Apa tidak ada yang berinisiatif membersihkan kamar majikannya?

Dan Lee? Cowok itu lebih parah dari kamarnya. Lihat saja tingkahnya seperti orang yang baru gila. Sesiang ini ia masih terlelap di bawah selimut seperti bayi tidak berdosa yang butuh tidur yang lebih lama untuk masa pertumbuhannya. Dan dari tubuhnya mengeluarkan aroma yang tidak sedap. Sudah berapa hari ia tidak mandi? Di mana parfum bubble gum yang ia gandrungi akhir-akhir ini?

Lius mendesah. Berat dan kasar. Ia harus berbuat sesuatu untuk membawa Lee ke dunia nyata. Ia tidak bisa membiarkan adik sepupunya larut dalam kesedihan terlalu lama. Kasihan Lee. Kasihan mamanya juga. Ia bisa bangkit dari kubur jika Lee terus-terusan seperti ini.

Lius berinisiatif memanggil dua orang pelayan dan menyuruh mereka untuk membersihkan kamar Lee secepatnya. Tak peduli ada Lee, si pemilik kamar yang sedang terlelap di balik selimut. Meski pada awalnya mereka berdalih bahwa Lee tidak suka siapapun masuk ke dalam kamarnya sekalipun untuk membersihkan tempat itu. Lius tetap memaksa. Kali ini Lius bersikap tegas meski harus menanggung resiko akan berurusan dengan Lee. Mungkin adik sepupunya itu akan marah besar atau mengusirnya sekalipun. Lius tidak peduli.

Satu per satu pakaian kotor milik Lee yang berceceran masuk ke dalam keranjang. Kaleng minuman dan sampah lain dimasukkan ke dalam tempat sampah dan dibawa keluar. Tak butuh waktu lama untuk membuat kamar itu bersih kembali. Hanya saja si pemilik kamar yang harus dibersihkan tubuhnya saat ini.

"Bangun, Lee!" Lius berseru sembari menarik selimut yang menutupi tubuh Lee dengan paksa.

Lee membuka sebelah matanya. Telinganya menangkap suara berisik di dalam kamarnya, tapi, diabaikannya sejak tadi. Barulah saat Lius menarik selimutnya, Lee membuka mata. Tapi, hanya sebelah dan kemudian dipejamkannya kembali.

"Kamu nggak mau bangun?" tegur Lius mencoba untuk melakukan pendekatan dengan halus. Siapa tahu Lee masih bisa diajak bicara baik-baik.

Lee mengerang pelan. Namun, tak bergerak barang seinchipun dari bantal. Entah ia sedang bermimpi, mengigau, atau benar-benar mendengar suara Lius. Hanya Tuhan yang tahu.

"Lee." Lius mulai jengah dengan sikap pasif Lee. "kamu itu kambing atau manusia sih? Badan kamu bau banget, tahu nggak?" Lius menyindir Lee berharap adik sepupunya itu bangun dan menghardiknya karena telah melontarkan kalimat pedas. Atau ia akan menghajar Lius habis-habisan. Itu lebih baik ketimbang melihat Lee tidur seharian, tanpa mandi, tanpa melakukan apapun.

Tapi, harapan Lius kosong. Lee masih tetap pada posisi semula. Kepala lekat di atas bantal dan sepasang mata terpejam. Huh, Lius benar-benar kesal kali ini. Sampai kapan Lee akan seperti ini? Bagaimana dengan nasib cafe jika sang owner-nya saja seperti itu? Lius tidak rela jika cafe ditutup.

Lius menarik tangan Lee dengan paksa sejurus kemudian. Entah ia akan marah, mengusir, atau menendangnya, Lius tidak peduli. Tubuh Lee terangkat dan ia terpaksa membuka kedua matanya.

"Apa-apaan sih?" keluhnya seperti gumaman. Ia tampak terlalu malas mengeluarkan suara.

"Bangun dan mandi sana! Kita perlu bicara, Lee," ucap Lius bernada memaksa. Ia mengalihkan kedua tangannya ke pinggang dan menatap tajam ke arah Lee yang kini sudah sepenuhnya sadar. Hanya saja ia tampak ogah-ogahan. Sorot matanya redup dan tanpa semangat. "tentang cafe," beritahu Lius selanjutnya. Bagaimanapun masalah cafe adalah masalah serius dan mendesak.

Lee menggaruk kepalanya dan rambut merahnya menjadi berantakan. Sebenarnya ia sangat enggan untuk menuruti perintah kakak sepupunya, tapi, ia tidak membantah ucapan Lius kali ini. Rasanya ia tidak punya energi untuk membantah perintah pria itu dan sepertinya Lius punya kekuatan lebih untuk memaksakan kehendaknya.

Lee bangkit dari tempat tidurnya dan melangkah perlahan menuju kamar mandi. Sungguh, ia bukan seperti Lee yang pernah Lius kenal selama ini. Ia seperti bocah polos dan entah ke mana perginya sifat angkuh yang selalu membalut pikirannya. Ya, Lius bisa merasakan apa yang dirasakan Lee. Ia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa mamanya telah meninggal seminggu yang lalu. Kehilangan seorang yang teramat dicintai memang tidak mudah. Rasanya seperti kehilangan salah satu anggota tubuh.

Lee keluar dari kamar mandi setengah jam kemudian. Entah apa yang dilakukannya di dalam kamar mandi selama itu, Lius tidak peduli. Yang penting Lee sudah seperti manusia normal sekarang. Rambut merah yang basah, tubuh yang segar dan wangi. Ia juga telah mengganti pakaiannya dengan sebuah kaus tanpa lengan dan celana pendek berbahan denim sebagai bawahannya.

Lius sudah menunggu Lee sembari duduk di atas sofa berwarna krem bermotif polkadot yang berada di lantai balkon kamar adik sepupunya itu. Dari sana ia bisa menikmati pemandangan kolam renang yang cukup luas. Sembari menikmati secangkir kopi, tentu saja tidak sama dengan kopi yang mereka jual di cafe. Semilir angin menerpa wajah Lius berulang kali.

Lee datang dan mengambil tempat duduk tepat di sebelahnya. Aroma wangi segera menyapa hidung Lius begitu Lee menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Berbeda jauh dengan saat ia belum mandi tadi.

Lee tampaknya enggan untuk membuka obrolan meski ia sudah sepenuhnya sadar. Ia melepaskan tatapan ke arah kolam renang yang tenang tanpa riak. Sudah lama ia tidak berenang di sana. Mungkin sudah tiga atau empat bulan. Kesibukan di cafe membuatnya tidak punya waktu untuk berolah raga.

"Kembalilah ke cafe." Suara Lius terdengar memecah keheningan. Ia menoleh ke arah Lee dan menatapnya dengan serius. "cafe sudah tutup selama seminggu, kamu tahu? Kami nggak bisa menjalankan tempat itu tanpamu, Lee. Atau kalau kamu izinkan, aku akan merekrut dua orang karyawan lagi."

"Dua karyawan? Memangnya kamu yang mau menggajinya?" Lee menoleh dan langsung menyemprotkan kata-kata pedas. Seperti Lee yang sesungguhnya. Berarti ia masih senormal biasanya.

Lius nyengir. Dasar, makinya dalam hati. Ia pikir dalam suasana berduka seperti ini, kebiasaan memaki orang seenaknya sendiri seperti ini tidak akan dilakukan Lee, tapi, dugaan Lius salah. Namun, setidaknya ia bersyukur jika Lee masih waras. Sebelumnya ia sempat takut Lee akan terguncang jiwanya.

"Kalau begitu kembalilah ke cafe," sambung Lius akhirnya. Mengalah.

Lee terdiam sejenak. Tapi, Lius bisa mendengar hembusan napas Lee kuat-kuat.

"Cari karyawan satu orang lagi," ucap Lee dengan nada pelan. Tanpa emosi seperti sebelumnya. Tapi, gaya dan sikapnya seperti orang dewasa.

Lius mengerutkan dahi. Benarkah Lee mengizinkan dirinya merekrut seorang karyawan lagi? Cepat sekali ia berubah pikiran.

"Aku nggak bisa stand by terus di cafe," lanjut Lee beberapa saat kemudian. Sebelum Lius sempat melempar komentar. "aku akan bekerja di perusahaan seperti yang diinginkan mama." Lee menatap lantai yang dipijaknya sejenak lalu menoleh ke arah Lius dengan serius.

"Lee?" Lius terperangah mendengar keputusan adik sepupunya. Ia sangat tahu jika Lee tidak menyukai pekerjaan di kantor. Duduk di belakang meja, membubuhkan tanda tangan, rapat, menatap komputer, dan membaca seabrek laporan. Lee benci itu semua meski sejak dulu kedua orang tuanya ingin Lee meneruskan usaha keluarga. Tapi, wajar rasanya jika ia berubah pikiran setelah mamanya tiada. "kamu serius?"

Lee menyunggingkan senyum pahit. Pertanda ia tidak main-main dengan ucapannya.

"Aku menyerahkan urusan cafe sepenuhnya padamu," ucap Lee sembari menepuk pundak Lius.

Lius mengangguk tanpa suara. Ia sudah menduga hal seperti ini akan terjadi cepat atau lambat. Lee tidak bisa melarikan diri dari tanggung jawabnya sebagai pewaris tunggal perusahaan. Dan sekaranglah saatnya.

"Tapi, kamu harus memberiku laporan keuangan setiap bulan, kamu juga harus memberitahuku apa aja yang terjadi di cafe, dan dilarang pacaran antar sesama pegawai. Kamu paham?" Lee mengajukan sederet persyaratan pada Lius dengan mimik wajah serius.

Lius melongo mendengar persyaratan yang baru saja disebut Lee. Pasti Lee sedang menyindirnya dengan Danisa. Dasar!

"Kenapa? Kamu cemburu?"

Jleb! Lee tersentak mendengar pertanyaan Lius yang sangat sederhana, namun, sudah cukup menusuk jantungnya. Cemburu? Bahkan kata-kata itu tidak terpikirkan sama sekali olehnya.

"Siapa bilang? Enak aja!" Lee menimpuk bahu Lius keras-keras membuat kakak sepupunya itu menjerit kesakitan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top