chapter 1
Lee mengulas senyum getir di ujung bibirnya yang manis. Cowok berkulit putih pucat itu melangkah masuk ke dalam cafe dengan langkah-langkah tenang, yang biasa ia sebut 'langkah elegan'. Sepasang tangan yang ia simpan di dalam celana jeans, membuatnya setengah kali lipat terlihat berwibawa meski usianya masih 22 tahun lebih 2 bulan. Penampilannya tidak jauh beda dengan kemarin. Rambut yang dicat merah pekat, sepasang anting magnet menghias kedua telinganya, sehelai sweater putih tulang membalut tubuh kurusnya, dan sebuah celana jeans sebagai bawahannya. Sneakers putih bergaris merah melengkapi penampilannya. Aroma bubble gum menguar ke sekitar tubuhnya saat ia bergerak. Selera parfumnya memang tak biasa. Dalam sebulan ia bisa berganti tiga atau empat jenis parfum sekaligus.
"Selamat pagi," sapa Nindy menghadang langkah elegannya. Gadis itu mengukir senyum terbaiknya menyambut cowok yang berstatus sebagai bos sekaligus sahabatnya. Senyumnya cerah dan menularkan rasa hangat kepada siapa saja yang melihatnya.
"Pagi." Lee menyahut pendek. Tak terlalu bersemangat dengan salam dan basa-basi semacam itu. Sepasang bola matanya bergerak ke sekeliling, meneliti seisi cafe miliknya. "gadis itu jadi bekerja di sini?" tanya Lee sekadar memastikan meski ekor matanya sudah menemukan bayangan seorang gadis yang mengenakan seragam serupa yang dipakai Nindy. Ia tampak sibuk mengepel lantai dan tidak mengetahui kedatangan Lee.
"Yup." Nindy menunjuk ke tempat Danisa sedang beraktifitas dengan dagunya. "tampaknya dia baik dan pekerja keras," ucapnya lagi.
"Oh?" Lee menaikkan kedua alisnya. Ia tidak begitu setuju dengan pendapat Nindy. "benarkah? Kurasa kamu selalu mengatakan hal itu setiap ada pegawai baru," tandas Lee sebelum mendehem keras.
"Memang," gumam Nindy menyembunyikan kekesalan di wajahnya. Setiap pegawai yang masuk PRINCE'S CAFE semua tampak baik. Hanya saja mereka tidak tahan dengan sikap angkuh dan arogan yang selalu ditunjukkan Lee. Siapa saja yang mempunyai atasan seperti Lee pasti akan melakukan hal yang sama, resign sebelum harga dirinya tersakiti oleh sikap Lee. Cowok itu benar-benar tidak tahu cara menghargai bawahan.
Lee melajukan kembali langkahnya ke dekat Danisa yang sudah menyelesaikan pekerjaannya. Gadis itu menegakkan tubuh dan mendapati Lee sudah berada di hadapannya. Dengan kedua tangan yang masih tersimpan di dalam saku celana jeans.
"Kamu siap bekerja?" tegur Lee datar. Tatapan matanya dingin dan siap membekukan nyali.
"Tentu." Danisa menyahut yakin.
"Bagus." Lee menyahut dengan disertai sunggingan senyum pahit. "kamu tahu kan apa saja yang harus kamu kerjakan di sini?"
Danisa menganggukkan kepalanya. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja dan gadis itu yakin bisa mengingat apa saja yang sudah dijelaskan Nindy padanya tadi pagi. Apa saja yang harus dikerjakan saat cafe buka, membersihkan seluruh ruangan, meja dan kursi, cara melayani customer, dan hal-hal lain. Juga sekelumit tentang seluk beluk cafe dan para penghuninya. Tentang Koko Lee, si pemilik cafe dan Koko Lius. Ia adalah kakak sepupu Lee yang bekerja di meja barista.
"Ya, Kak Nindy sudah menjelaskan semuanya tadi," jelas Danisa. Meyakinkan bos barunya.
"Ok." Lee mengangguk samar. "jika kamu ingin berhenti bekerja kapanpun kamu mau, kamu harus segera memberitahuku. Kamu paham?"
Danisa bengong. Ia berusaha keras mencerna ucapan cowok itu. Ucapan atau peringatan? Ia baru bekerja sejam yang lalu bukan?
Tapi, Lee tak butuh jawaban. Cowok itu beralih ke depan meja kasir yang bersebelahan dengan meja barista. Ia menyandarkan salah satu bahunya ke meja kasir dan menghadap ke arah Lius yang sedang mengelap cangkir.
"Apa tidurmu nyenyak?" sapa Lius mencuri start sebelum Lee menyapanya terlebih dulu. Pria berusia 28 tahun itu tak menunjukkan ekspresi apapun. Hanya tangannya yang terampil mengelap cangkir demi cangkir dan menatanya serapi mungkin di dalam rak yang terletak di belakang punggungnya.
Lee tidak serta merta menjawab pertanyaan kakak sepupunya. Sungguh, ia tidak suka mengakui jika pria itu adalah kakak sepupunya. Tapi, mau diapakan lagi. Pohon silsilah keluarga mereka menyatakan seperti itu.
"Sejak kapan kamu peduli dengan tidurku?" balas Lee disertai senyum getir. Pertanyaan Lius menurutnya konyol dan lucu.
Lius melepaskan tawa renyah. Untuk sejenak ia menghentikan gerakan tangannya karena sibuk menghayati tawa.
"Selera humormu buruk, kamu tahu?" Lius mengolok. Ia meredakan tawa dan kembali mengelap cangkir di tangannya. "kamu sudah sarapan? Mau kubuatkan sesuatu?" tawar Lius tanpa menoleh. Ia menata cangkir-cangkir yang telah selesai dilapnya ke atas rak di belakang meja barista.
"Hot chocolate?"
Lius sudah memutar kembali tubuhnya setelah berhasil menata cangkir-cangkir itu. Tanpa bertanya lebih lanjut ia segera membuatkan pesanan Lee. Hot chocolate favorit Lee. Tak butuh waktu lama dan beberapa saat kemudian secangkir hot chocolate tersaji di hadapannya. Aroma cokelat yang kuat menguap ke sekitar hidung keduanya.
"Apa gadis itu akan bertahan di sini?" gumam Lee. Ia melirik ke arah Danisa yang sekarang sudah beralih mengelap kaca pintu. Karena beberapa menit lagi cafe akan resmi dibuka.
"Tergantung kamu," sahut Lius ikut-ikutan mengarahkan ekor matanya pada gadis itu. "seandainya kamu lebih lunak terhadap pegawai baru, aku yakin mereka nggak akan kabur seperti yang sudah-sudah. Kamu ingat, sudah ada tiga pegawai yang kabur karena sikap arogan kamu. Kamu harus memperbaiki sikap mulai sekarang," tandas Lius setengah mengoreksi sikap Lee.
Lee menyeringai.
"Apa aku seburuk itu?" tanya Lee dengan wajah tak bersalah.
"Ya!" seru Lius. Mengundang perhatian Nindy. Gadis itu menoleh ke arah mereka berdua dengan dahi berkerut. Sontak membuat Lius buru-buru menutup mulutnya. Urung melanjutkan kata-katanya
Lee mendengus kasar. Ia tak terlalu mengambil hati jawaban kakak sepupunya. Ia menyesap isi cangkir di hadapannya perlahan dan menghayati setiap aliran hangat yang masuk ke dalam kerongkongannya. Perutnya kosong sejak semalam dan terasa lebih baik sekarang.
"Jadi, kapan Nindy akan berhenti?" sambung Lius beberapa detik kemudian. Tanpa mengarahkan pandangan kepada gadis yang sedang mereka bicarakan.
"Besok."
"Besok?" ulang Lius dengan nada yang berbeda. Penuh dengan keterkejutan.
"Kenapa sekaget itu?" tegur Lee tampak santai. Seolah masalah itu bukan hal yang mesti dikhawatirkan.
"Tapi Lee," timpal Lius cepat. "bagaimana dengan pegawai baru itu? Dia kan baru sehari bekerja. Nggak mungkin dia bisa mengerjakan semua pekerjaan di sini seperti Nindy yang sudah berpengalaman." Dahi Lius tampak sekasar jeruk pertanda ia sedang gusar.
"Semua pekerjaan apanya?" Lee menimpali tak kalah cepat. "memangnya kamu ngapain di sini? Kalian kan bisa bekerja sama. Ajari dia," suruh Lee dengan ketus. Tampaknya ia cepat sekali kesal.
Lius mendesah berat. Lee tak bisa dilawan dengan kata-kata apapun. Ia harus mengalah seperti yang biasa dilakukannya selama ini. Selain ia butuh uang, ia juga merasa punya kewajiban membantu adik sepupunya itu. Searogan apapun dia.
"Baik," ucap Lius pasrah. "tapi, aku minta bayaran lebih."
Seketika matanya melotot seakan ingin melompat keluar dari tempatnya.
"Dasar penjilat," desis Lee kesal. Kalau saja jarak mereka berdua tidak terpisahkan meja, pasti ia sudah melayangkan kepalan tangannya ke wajah Lius meski ia tahu kakak sepupunya itu hanya bercanda.
Lius hanya senyum-senyum menanggapi kekesalan adik sepupunya. Ia tak menggubris Lee dan menyibukkan dirinya sendiri.
Lee kembali menyesap cokelat panasnya sampai tidak bersisa.
"Dia bilang akan mampir kalau ada waktu," kata Lee kemudian. Setelah berhasil meredam emosinya.
"Oh." Lius hanya menatap Lee sekilas dan tak banyak menanggapi.
Papan open dipasang di balik kaca pintu masuk begitu jam yang tergantung di dinding menunjuk angka 10. Para penghuni cafe siap melayani pelanggan mereka hari ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top