Daily Life 2


"Kupon lottery?"

"Ya. Kupon memutar lottery, aku mendapatkannya karena berbelanja lebih dari 1000 yen. Tapi berapa kalipun aku mencoba memutar lottery tersebut pada akhirnya yang kudapatkan hanya kelereng putih yang merupakan hadiah hiburan." Ucap Fukumoto-san di sertai helaan napas.

"Padahal kau selalu beruntung saat main di Kasi- ugh!"

Aku menatap bingung kearah Kaminaga-san yang tengah meringis karena perutnya di sikut oleh Hatano-san.

"Kau mau mencobanya, [Name]? Siapa tau kau mendapat hadiah utama dalam lottery itu." Seru Hatano-san seraya menunjuk sebuah stand di depan supermarket dengan dagunya.

Aku menoleh kebelakang dan memicingkan mata untuk melihat lebih jelas papan bertuliskan hadiah utama di stand tersebut. Tiket penginapan 3 hari 2 malam di Kyoto untuk 3 orang.

"Ya, jika nanti pada akhirnya kau hanya mendapat tisu toilet sebagai hadiahnya itu sudah cukup bagus. Jadi aku bisa menghemat pengeluaran untuk membeli tisu." Ucap Fukumoto-san.

"Hmm." Aku menggumam seraya memakan es krim yang tadi di belikan oleh Hatano-san di supermarket.

Saat ini aku dan Fukumoto-san baru saja pulang dari belanja kebutuhan dirumah, dan kebetulan bertemu dengan Kaminaga-san dan Hatano-san yang sedang membeli es krim saat pulang dari tugas. Sejak kejadian penculikan itu, kemana pun aku pergi, aku selalu di awasi minimal oleh satu orang.

"Boleh juga. Aku mau mencobanya!" seruku bersemangat.

Dan kemudian kami pun mulai melangkah menuju stand tersebut bersama-sama.

.

"Kupon gratis stand makanan?" ucap Amari.

[Name] mengangguk dengan bangga. Ia tersenyum sumringah dengan dagu sedikit terangkat. Wajahnya memancarkan kepuasaan tersendiri saat menatap Fukumoto, Hatano dan Kaminaga.

"Kenapa dia terlihat memandang rendah kalian?" Tanya Miyoshi, saat melihat seringaian puas yang terukir di bibir [Name]. Kebetulan posisinya dan gadis itu lumayan jauh, hingga pertanyaan Miyoshi tak terdengar oleh [Name].

"Tadi kami mencoba kupon lottery yang di dapat Fukumoto dari supermarket." sahut Hatano.

"Karena kebetulan kuponnya ada 4 masing-masing dari kami mencoba satu." kata Fukumoto.

"Dan di antara kami berempat, hanya [Name] yang mendapat hadiah ketiga sedangkan kami hanya dapat hadiah hiburan berupa tisu toilet." Tambah Kaminaga.

"Heh, dengan kata lain kalian kalah oleh [Name]." ujar Tazaki.

"Kami tidak kalah. Ini hanya kebetulan, karena kupon lottery itu kan mengandalkan keberuntungan." Elak Kaminaga.

"Kau hanya mengelak dari kekalahanmu Kaminaga." Ujar Jitsui tanpa mengalihkannya dari buku yang tengah dibacanya.

"Sudah kubilang...."

Fukumoto hanya menghela napas saat melihat teman satu agencynya saling berdebat satu sama lain. Pandangannya beralih pada Odagiri yang duduk di depan meja counter seraya memperhatikan kupon yang di menangkan oleh [Name]. Karena penasaran ia pun meghampiri pria paling pendiam di agency tersebut.

"Ada apa Odagiri?" Tanya Fukumoto.

"[Name]," Odagiri mencoba menarik perhatian gadis tersebut, dan berhasil. Bahkan bukan hanya [Name] saja yang menoleh tapi semua yang berada diruangan tersebut memberi atensinya pada Odagiri.

"Kuponmu ini hanya berlaku di stand umi no hei dekat pantai." Lanjut Odagiri seraya mengarahkan kupon tersebut pada [Name] dan menunjuk keterangan berlaku di pojok kiri bawah kupon tersebut.

"Eh..."

.

Joker Game © Koji Yanagi

My New Family Series: Daily Life © Yuzu Nishikawa

[Reader!Daugther x Amari!Father] [ D-Agency, Letkol Yuuki, Emma, Sakuma]

Series [Miyoshi x Reader]

Pict mulmed © to owner [source from https://id.pinterest.com/pin/411938697143867749/]

'Anggap aja foto dimulmed itu [Name] yang lagi pakai baju renang.'

Untuk yang mau baca bagaimana awalnya Reader bertemu dengan anak D-Agency silakan liat FF DraOne: MeiJun Fusion 'My New Family' by Misamime & Yuzu Nishikawa di akun @CollabofMiracle

(Ide Lottery itu terinspirasi dari FF 'He's not my boyfriend, He's my Omiai partner' by Misamime, thanks dude//pelukcium)

Don't Like, Don't Read!

Enjoy it!

.

Musim panas.

Laut.

Pantai.

Tiga kata yang menggambarkan salah satu kunci penting saat liburan musim panas. Cuaca cerah dengan langit biru dan burung camar yang terbang di sekitar, ditambah hembusan angin menyejukan walau sinar sang mentari begitu menyengat.

Mungkin hal itu akan begitu menyenangkan saat pergi dan menikmatinya bersama orang terkasih. Seharusnya itulah yang gadis itu rasakan saat ini.

"Nah, selamat menikmati pantai musim panas [Name], Emma." Ucap pria bersurai coklat itu.

Gadis kecil dengan surai kecoklatan itu mengangguk senang dengan senyum sumringah. Berbeda dengan gadis remaja disebelahnya yang menampakan wajah resah.

Amari –pria dengan surai coklat itu, hanya tersenyum kecut melihat salah satu putrinya yang terlihat tak bersemangat.

"Aku titip mereka-" Tangannya terulur untuk mengelus puncak kepala putrinya, tapi pandangannya beralih kearah pria yang berdiri di belakang kedua putrinya,

"-Miyoshi."

Pria dengan surai reddish brown itu menghela napas kecil seraya mengangguk dan mengatakan, "aku mengerti, Amari."

Amari tersenyum puas dan kembali mengalihkan pandangannya pada kedua putrinya itu. "Baiklah, kalau begitu selamat bersenang-senang. Papa akan menjemput kalian setelah tugas dari Yuuki-san selesai."

"Hm, hati-hati ayah."

"Selamat jalan, papa."

Setelah melepas kepergian Amari, Miyoshi mengajak [Name] dan Emma menuju ruang ganti di dekat pantai. Tak butuh waktu lama untuk Miyoshi berganti pakaian dengan celana renang seatas lutut dan kemeja lengan pendek yang tak terkancing. Tapi dua orang yang di tunggunya tak kunjung keluar dari ruang ganti tersebut.

3 menit.

5 menit.

10 menit.

Sudah cukup untuk Miyoshi bersabar menunggu kedua putri Amari berganti baju renang. Ingin rasanya ia mengedor pintu ruang ganti tersebut, jika saja ia tak menimbang resiko yang harus ia dapat jika nekat menggedor pintu ruang ganti untuk wanita.

"Miyoshi-san..."

Miyoshi tersentak saat mendengar suara lirih dengan nada kelam yang tiba-tiba memanggil namanya. Ia menoleh mendapati [Name] yang berdiri didepannya dengan wajah suram, berbeda 180 derajat dengan Emma yang tersenyum sumringah.

"Kau menghabiskan waktu hampir 15 menit dan sama sekali belum mengganti pakaian?" Tanya Miyoshi dengan nada sarkastis.

"Itu," [Name] mengalihkan pandangannya dari tatapan tajam Miyoshi, tangannya mengusap tengkuknya sebagai pengalihan rasa gugupnya lalu melanjutkan ucapannya yang sempat ia gantungkan, "baju renangku ketinggalan dimobil ayah..."

"Bagaimana bisa..."

"Aku memisahkan baju renangku di tas kecil agar gampang saat menggantinya, tapi tas itu tertinggal dimobil ayah..." jelas [Name] dengan suara lirih. Sepertinya gadis itu begitu berat untuk menjelaskannya pada Miyoshi.

Miyoshi sendiri tau apa yang membuat gadis itu enggan padanya. Sejak kejadian di ruang makan waktu itu, gadis yang resmi menjadi putri sahabatnya itu seolah menjaga jarak darinya.

Miyoshi menghela napas kasar, lalu berdiri dihadapan [Name].

"Aku belikan baju renang dulu. Kau dan Emma tunggu di sini, dan jangan coba-coba melangkah pergi sedikitpun dari sini!"

[Name] menatap Miyoshi tak percaya, tapi sedetik kemudian ia menunduk kembali dan mengangguk.

"Aku mengerti."

.

Sudah 10 menit sejak Miyoshi-san pergi membelikanku baju renang tapi sampai sekarang ia belum kembali juga. Sedangkan Emma terlihat sudah tak sabar untuk berenang di laut.

"Kakak, kapan paman Miyoshi kembali?" tanyanya padaku dengan wajah berharap.

"Emma sudah kubilang jika di luar panggil aku kakak."

Suara rendah seorang pria terdengar dari belakangku. Aku menoleh dan mendapati Miyoshi-san yang berdiri dengan sebuah paper bag di tangannya. Ia menyodorkan paper bag tersebut kearahku dan berkata, "ganti bajumu dengan baju renang ini dalam waktu 5 menit!"

Setelah mendengar perintahnya, tanpa mau membuang waktu dan membuat Miyoshi-san marah, aku segera kembali memasuki ruang ganti. Meninggalkan barang-barangku dan Emma bersama Miyoshi-san.

5 menit kemudian aku keluar dari ruang ganti dengan sedikit malu-malu. Ini pertama kalinya aku memakai pakaian yang begitu terbuka, walau hal itu wajar karena aku mengenakan baju renang.

"Tak kusangka ternyata cocok juga untukmu." Puji Miyoshi-san.

"Te-terima kasih." Balasku tersipu.

Wow, aku tak menyangka akan mendapat pujian dari Miyoshi-san.

"Ya, karena aku yang memilihkan baju renang itu jadi wajar saja jika kau cocok memakainya. Selera fashionku itu yang terbaik." Ujar Miyoshi-san.

Dan aku menyesal sempat tersipu akan pujiannya tadi.

"Kak Miyoshi, ayo cepat kita ke laut!" rengek Emma, dan sepertinya ia menuruti apa yang dipinta Miyoshi-san.

Kami berjalan menuju pantai dan terlihatlah sekumpulan pengunjung yang menyesaki pantai tersebut. Kami mencoba mencari tempat, tapi sepertinya di manapun begitu ramai. Jadi Miyoshi-san memutuskan untuk menuju ujung pantai dekat dengan tebing yang tempatnya sedikit jauh dari kerumunan pengunjung dan pastinya sedikit sepi.

Setelah mendapatkan tempat yang cocok, Miyoshi-san menancapkan payung besar yang di bawa olehnya dari rumah dan aku mengelarkan tikar untuk duduk.

"Kalian pergilah bermain di laut. Aku akan menjaga barang dan mengawasi kalian dari sini, lalu jangan lupa pakai sunblock terlebih dahulu." Perintah Miyoshi-san pada kami.

Aku meuruti apa yang diperintahkan oleh Miyoshi-san. Setelah aku selesai memakaikan sunblock pada Emma dan juga untukku, kami berdua berlari menuju laut seraya berteriak, "laaaauuuuttttt!"

Aku dan Emma bermain di tepi pantai karena kami tak bisa berenang. Walau kami menggunakan ban renang, tapi aku tetap tak bisa berenang terlalu jauh dari tepi pantai.

.

Setelah satu jam bermain air bersama Emma. Kami kembali menuju tempat dimana Miyoshi-san duduk. Kulihat ia tengah duduk dibawah payung sembari membaca buku.

"Sudah selesai main airnya? Kenapa cepat sekali?" Tanya Miyoshi-san saat menyadari keberadaan kami.

"Kami lapar!" ucapku serempak dengan Emma.

"Kalau begitu kita beli makan dengan kupon yang kau dapat dari lottery."

Saat mendengar hal itu, mataku mulai berbinar. Akhirnya kupon yang menjadi alasan utamaku datang ketempat ini akan segera kupakai untuk membeli makanan.

.

"Ahh, kenyang!" seruku riang berjalan disebelah kanan Emma yang menggenggam tanganku.

"Tentu saja kau kenyang. Kau menghabiskan seporsi yakisoba, yakitori, unagi kabayaki dan ikayaki sekaligus."

"Ehhhh.... Tapi ini pertama kalinya aku makan makanan yang dijual dekat pantai."

"Tidak ada menu khusus. Semua makanan yang dijual dekat pantai sama saja dengan makanan yang bisa kau makan kapan pun."

"Tapi aku tak pernah bisa membeli makanan tadi."

"Kau bisa membuatnya sendiri."

"Tapi aku tak pernah membuatnya."

"Kau bisa meminta Fukumoto membuatkannya atau memintanya mengajarimu cara memasaknya."

Skakmat.

Kenapa setiap berdebat dengan Miyoshi-san aku selalu kalah. Padahal di panti dulu aku yang paling pintar membalikkan kata-kata anak-anak yang lain.

Uhm, ngomong-ngomong kenapa Emma tidak berbicara sedikitpun?

Aku menundukkan kepala kearah Emma yang tengah menoleh kebelakang. Untung saja ia menggandeng tanganku dan Miyoshi-san, jadi walau jalan tanpa melihat kedepan ia tak mungkin menabrak.

"Ada apa Emma?" Tanya Miyoshi-san mendahuluiku yang hendak bertanya.

"Itu...."

Emma berhenti melangkah, yang secara otomatis membuatku dan juga Miyoshi-san ikut berhenti, lalu kami mengikuti kemana arah pandangan Emma. Rupanya ia melihat seorang gadis remaja yang tengah memakan kakigori dengan sirup warna warni; terlihat sangat lezat.

"Yang sedang di makan oleh kakak itu apa? Kenapa berwarna-warni?" Tanya Emma, memandang polos kearahku dan Miyoshi-san secara bergantian.

Aku dan Miyoshi-san saling berpandangan sebentar sebelum kami berjongkok untuk menyamakan tinggi badan kami dengan Emma.

"Itu kakigori." Kataku menjawab pertanyaan Emma.

"Kakigori?" Emma menelengkan kepalanya bingung.

"Es serut yang diberi berbagai macam sirup." Jelas Miyoshi-san seraya mengelus kepala Emma.

Mendengar penjelasan dari Miyoshi-san, dapat kulihat tatapan berbinar dari mata Emma. Sepertinya ia ingin sekali memakan kakigori.

"Apa kau mau?" Tanya Miyoshi-san.

Emma mengangguk antusias saat Miyoshi-san menawarkan kakigori. Begitu pula denganku yang juga sangat ingin memakan kakigori, aku mengacungkan tangan seraya berkata, "aku juga mau."

Berbeda dengan Emma yang diberi senyum manis oleh Miyoshi-san. Yang kudapatkan darinya adalah tatapan datar yang seolah mengatakan, 'yang benar saja. Apa kau belum kenyang juga?'

"Apa masih ada sisa kuponnya?" Tanya Miyoshi-san seraya berdiri.

Aku merogoh kantung jaketku, tapi tak menemukan apapun disana. "Sudah habis."

"Kalau begitu kalian kembali ke tempat kita menaruh barang dan tunggu aku, lalu jangan coba-coba untuk berenang atau main di laut tanpa pengawasanku. Aku akan kembali setelah membelikan kakigori." Setelah mengatakan hal itu Miyoshi-san mulai berjalan menuju kedai kakigori yang letaknya tak jauh dari tempat kami berdiri.

Aku dan Emma saling bertukar pandangan lalu tersenyum dan berteriak pada Miyoshi-san,

"Aku mau pakai sirup melon yang banyak!"

"Emma mau sirup maple."

Miyoshi-san hanya melambaikan tangannya tanpa menoleh. Aku dan Emma tertawa senang sebelum kembali berjalan menuju tempat dimana barang-barang kami di letakan.

.

Sembari menunggu Miyoshi-san membeli kakigori. Aku dan Emma menghabiskan waktu dengan bermain pasir, entah itu membuat istana pasir atau melukis wajah seseorang diatas pasir.

"Bagaimana Emma?"

"Hebat! Ini hebat kakak. Gambar kakak mirip dengan wajah papa."

"Hehe. Kalau begitu kakak akan menggambar Emma disebelah papa."

"Oh, bagaimana kalau kakak menggambar semuanya dan kita tunjukan pada kak Miyoshi."

"Ide bagus Emma." Seruku antusias atas saran Emma.

Aku mulai membentuk wajah Emma diatas pasir dengan sebuah pulpen yang kutemukan disamping tas Miyoshi-san. Setelah menggambar wajah Emma diatas pasir, selanjutnya aku akan menggambar diriku sendiri lalu Miyoshi-san, Hatano-san, Jitsui-san, Tazaki-san, Kaminaga-san, Fukumoto-san, Odagiri-san, Sakuma-san dan juga Yuuki-san.

15 menit kemudian

Sudah sekitar 15 menit aku menunggu Miyoshi-san membeli kakigori  tapi sampai sekarang ia belum kembali juga. Memang sih saat Miyoshi-san hendak membelikan kakigori, aku sempat melihat stand penjual kakigori itu terlihat sangat ramai, bahkan antriannya begitu panjang. Dan sejak tadi aku bersama Emma hanya duduk terdiam di bawah naungan payung pantai yang di pasang oleh Miyoshi-san tadi.

"Kak, aku bosan. Kenapa kak Miyoshi lama sekali? Padahal gambar kakak juga sudah jadi." Keluh Emma.

Aku hanya menatap sayu gambarku diatas pasir yang sudah selesai sejak tadi. Huft, rasanya bosan hanya duduk diam di bawah payung, padahal jauh di dekat pantai utama banyak orang yang bersenang-senang. Aku harus mencari cara untuk menghilangkan kejenuhan Emma selama menunggu Miyoshi-san.

Benar juga. Kalau tidak salah, semalam Kaminaga-san meminjamkan bola pantai padaku. Aku mengacak tas ranselku dan akhirnya menemukan bola pantai yang di pinjamkan Kaminaga-san.

"Emma mau main bola pantai dengan kakak?"

"Uhm." Gumam Emma seraya mengangguk senang.

Aku meniup bola pantai tersebut, lalu setelah merasa jika udara didalamnya sudah cukup, aku menutup penyumbat udaranya.

"Ayo kita main bola pantai Emma."

Aku dan Emma bermain bola pantai sedikit jauh dari tempat kami meletakan barang-barang. Alasannya, karena aku tidak mau jika gambar yang sudah kubuat susah payah harus hancur karena tak sengaja terkena bola.

.

Sudah 10 menit aku main bola pantai dengan Emma. Kami hanya saling mengoper bola pantai tersebut secara bergantian, hingga bola yang kuoperkan pada Emma terlalu jauh dan berakhir menggelinding hingga ke tepi laut.

"Bolanya..."

Aku menggenggam tangan Emma yang hendak mengejar bola untuk menghentikannya, lalu menepuk kepalanya dengan lembut, "biar kakak saja."

"Tapi kak Miyoshi melarang kita ke laut, kak." Ucap Emma sembari menahan tanganku saat aku hendak melangkah menuju laut.

Sekali lagi aku mengelus dengan lembut kepala adikku ini. "Kakak hanya mengambil bola. Jadi tenang saja."

Dengan ragu akhirnya Emma melepaskan tanganku. Aku mulai melangkah mendekati laut dan mengejar bola yang mulai menjauh karena terseret ombak. Perlahan-lahan aku mencoba mendekati bola pantai tersebut, tapi semakin aku mendekat semakin jauh pula bola itu terseret ombak. Sekarang aku sudah masuk ke laut sebatas pinggang, aku menoleh untuk melihat Emma, dan terlihat ia menatapku khawatir. Aku melambaikan tangan padanya untuk memberi isyarat jika aku baik-baik saja dan tak perlu khawatir. Aku kembali melangkah untuk menjangkau bola pantai yang semakin menjauh.

Sedikit lagi.

Aku tau ini sudah batasku untuk berusaha mengambil kembali bola pantai tersebut. Karena sekarang aku sudah masuk kedalam laut sebatas leher, terlebih ombak-ombak kecil yang mulai menghantam wajahku, jika aku memaksakan masuk lebih dalam aku yakin aku akan tenggelam. Tapi hanya beberapa millimeter jarak antara tanganku dan bola tersebut. Aku mencoba mengulurkan tanganku sepanjang mungkin untuk meraihnya.

"Dapat!"

Bersamaan dengan teriakanku, saat itulah tiba-tiba ombak besar menghantamku hingga membuatku tenggelam. Aku mencoba untuk menggapai permukaan tapi percuma, tak ada satu pun yang dapat kugapai selain air laut. Semakin kucoba untuk menggerakan kedua kakiku, semakin kaku pula kedua kakiku ini. Semakin banyak kucoba untuk mengambil napas, semakin banyak air laut yang masuk kedalam hidung dan mulutku. Tenggorokanku sakit, aku tak bisa bernapas, paru-paruku seolah menyempit, aku tak bisa melihat apapun kecuali air. Apa yang harus kulakukan? Apa aku akan mati? Bagaimana dengan Emma?

'Siapapun juga kumohon tolong aku!'

.

"Kakak!" Emma berteriak sekencang mungkin saat melihat ombak besar yang seperdetik kemudian sudah menghantam tubuh kakaknya hingga gadis itu tenggelam.

Tak membuang banyak waktu, Emma berlari menuju pantai tengah dimana banyak orang berkumpul untuk meminta bantuan menolong kakaknya tersebut. Tapi baru beberapa kali kaki mungil Emma melangkah, dari arah pantai tengah terlihat Miyoshi yang membawa dua cup kakigori ditangannya.

"Paman!" teriak Emma histeris. Berlari menghampiri Miyoshi dengan uraian airmata.

"Emma, sudah kubilang panggil aku kak-"

"Kakak diseret laut!" teriak Emma terisak sambil menunjuk kearah dimana [Name] masih berusaha menggapai apapun untuk keluar dari laut.

Manik kecoklatan itu terbelalak. Miyoshi melempar asal kakigori ditangannya, melepas kemeja putihnya yang memang tak terkancing dan berlari kearah laut secepat mungkin. Berenang menuju [Name] yang mulai kelelahan akibat hantaman ombak secara terus menerus. Miyoshi mempercepat kedua tangan dan kakinya untuk berenang menuju [Name]. Jangan remehkan kemampuan renang anggota D-agency, yang bahkan mampu berenang di dinginnya air laut musim dingin.

Tangan Miyoshi meraih pergelangan tangan [Name], sedangkan tangannya yang lain merangkul pinggang gadis tersebut, mengangkat setengah tubuh gadis itu tetap berada diatas permukaan air.

"Apa kau bodoh! Bukankah sudah kubilang ja-"

Miyoshi berhenti memarahi [Name], saat merasakan tangan yang melingkar di lehernya itu gemetar ketakutan, begitupula dengan tubuh [Name] yang berada di pelukannya. Walau wajahnya basah karena air laut, tapi masih bisa Miyoshi lihat airmata yang menetes dipipi gadis itu.

Miyoshi menghela napas perlahan guna meredam emosinya. Tangannya mengelus punggung [Name] yang tengah terbatuk akibat telalu banyak menelan air laut dengan begitu lembut. Mencoba membantu gadis itu untuk lebih tenang.

"Tenanglah. Kau sudah selamat." Bisik Miyoshi lembut.

Tak ada jawaban dari [Name], tapi gadis itu hanya merespon dengan cara mengeratkan pelukan tangannya dileher Miyoshi dan menyembunyikan wajahnya dibahu pria itu. Bahkan setelah mereka sudah berada di tepi pantai, [Name] masih tetap dalam posisinya tersebut.

"Apa kalian baik-baik saja?" Tanya seorang pemuda berwajah khas orang Eropa tengah menggandeng Emma yang menangis.

Miyoshi menatap tajam pemuda bersurai pirang itu lalu mengambil alih genggaman tangan Emma. "Apa kau seorang lifeguard?"

"I-iya benar."

"Kemana saja kau saat gadis ini hampir tenggelam." Sindir Miyoshi.

"I-itu...." Pria bersurai pirang itu ragu saat hendak menjawab ucapan Miyoshi, "gadis itu tak masuk dalam jarak pengawasan kami."

"Tak masuk dalam jarak pengawasan, katamu?" Miyoshi mengulang ucapan pria tersebut dengan nada remeh, "jadi daritadi apa saja yang kau awasi? Apa hanya para pengunjung yang berenang di pantai tengah saja yang harus kau awasi, huh?"

Pria itu tak dapat membalas ucapan tajam dari Miyoshi. Ia sadar, jika ia lalai dalam tugasnya kali ini.

"Kau datang kesini dan tau jika gadis ini tenggelam pun, karena kau mendengar gadis kecil ini menangis, ya 'kan?" Seolah tak puas, Miyoshi terus menyudutkan pemuda yang menjadi petugas lifeguard tersebut.

"M-maaf, saya sebagai perwakilan para lifeguard di pantai ini meminta maaf karena telah lalai dalam mengawasi para pengunjung dan hampir membahayakan nyawa salah seorang pengunjung." Ucap pemuda itu meminta maaf.

Miyoshi menghela napas, dan berjalan membelakangi pemuda itu; yang tengah membungkuk, untuk kembali ke tempat dimana barang-barang miliknya diletakan. Menggandeng Emma dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya menahan bobot tubuh [Name] yang tengah digendongnya.

"Apa ada yang bisa saya bantu sebagai permintaan maaf?" Tanya pria itu, entah merasa benar-benar menyesal karena lalai akan tugasnya atau hanya sekedar basa basi saja.

"Sudahlah. Kau kembali saja ke posmu dan kerjakan tugasmu dengan benar kali ini." Ujar Miyoshi tanpa menoleh.

Pemuda bermanik biru itu hanya dapat menatap kepergian Miyoshi. Matanya terfokus pada gadis yang menyembunyikan wajahnya dibahu Miyoshi. Ia ingin melihat gadis seperti apa yang menjadi korban atas kelalaian tugasnya.

.

Aku mengerjapkan kedua mataku untuk membiasakan cahaya yang masuk kedalam mataku. Aku meringis saat merasakan pusing di kepalaku, dan juga mataku yang rasanya begitu berat untuk terbuka. Di tambah dadaku yang rasanya masih begitu sakit untuk menarik napas dalam. Aku menoleh ke samping dan menatap Emma yang tertidur dengan pulas. Sepertinya setelah Miyoshi-san menolongku, aku tertidur begitu saja. Miyoshi-san pasti sengaja tak membangunkanku untuk membiarkanku istirahat sejenak.

Aku menyibak handuk yang menutupi tubuhku; yang masih mengenakan pakaian renang. Lalu mencoba mencari sosok Miyoshi-san. Tak perlu susah-susah mencarinya, karena ia saat ini berada beberapa meter dari tempat kami berteduh. Ia berdiri ditepi pantai membelakangi kami dan ia sepertinya tengah menikmati keindahan matahari sore yang hendak tenggelam.

Aku sungguh merasa tak enak hati karena sudah banyak merepotkannya. Kuputuskan untuk berjalan menghampirinya dan meminta maaf serta berterima kasih karena sudah menolongku.

"Miyoshi-san." Aku berhenti dan berdiri dibelakangnya.

Miyoshi-san menoleh dan memutar tubuhnya menghadapku. "Kau sudah bangun?"

"Uhm," gumamku sembari mengangguk, dan kembali terdiam. Aku harus minta maaf tapi bagaimana caranya mendapatkan kata-kata yang tepat. Terus bagaimana jika Miyoshi-san marah karena aku begitu merepotkan. Tunggu, kenapa aku harus bingung bagaimana meminta maaf dan memikirkan kemarahan Miyoshi-san, wajar saja jika Miyoshi-san marah karena aku begitu merepottkannya 'kan.

"Maaf," ucapku lirih.

"Hm?"

"Dan terima kasih karena sudah menolongku." Ucapku masih dengan nada yang lirih.

Uh, kenapa Miyoshi-san tak merespon ucapanku. Apa dia begitu marah padaku. Aku menunduk tak berani menatap wajah Miyoshi-san, tapi saat merasakan tepukan halus dikepalaku, aku memberanikan diri untuk mendongkak.

"Kalau kau mau meminta maaf ucapkan dengan jelas agar niatmu meminta maaf bisa dirasakan orang itu." Ucap Miyoshi-san.

Wajahku menghangat setelah mendengar kata-kata Miyoshi-san. Benar, aku bersalah dan aku harus meminta maaf dengan jelas.

"Maafkan aku karena tidak mendengarkan ucapanmu untuk tidak mendekati laut tanpa pengawasan, dan terima kasih telah menolongku tadi." Ucapku dengan nada suara lantang dan jelas.

Miyoshi-san kembali menepuk kepalaku dengan lembut, lalu ia tiba-tiba berkata "sepertinya Amari dan yang lainnya sudah menjemput."

Aku menoleh dari balik bahuku. Kulihat ayah dan yang lainnya berjalan mendekat kearah kami, lalu Emma entah sejak kapan ia sudah terbangun dan kini tengah digendong oleh Tazaki-san. Aku memutar tubuhku dan melambaikan tangan pada ayah.

"Ayah!" teriakku padanya.

Ayah balas melambai padaku, tapi seperdetik kemudian ia tiba-tiba berlari kencang kearahku, melepas jasnya lalu menutupi tubuhku dengan cara memakaikan jasnya yang besar itu.

"Ke-kenapa [Name] memakai baju renang seperti ini?" Tanya ayah pada Miyoshi-san.

"Baju renangku tertinggal dimobil ayah, lalu Miyoshi-san membelikanku baju renang ini." Jelasku pada ayah.

Pandangan ayah kini beralih kepada Miyoshi-san. Tatapannya seolah menuntut penjelasan.

Miyoshi-san hanya menggidikkan bahunya lalu menjawab, "hanya bikini yang dijual dekat umi no hei."

Ayah tampaknya ingin memprotes tapi Miyoshi-san sudah memotong ucapannya terlebih dulu, "jadi, kenapa kau menjemput kami ramai-ramai?"

"Yuuki-san memberi kita waktu untuk berlibur besok. Jadi kami memutuskan untuk kesini."

"Jadi...." Aku menatap ayah dengan senyum merekah diwajahku.

"Kita akan bersenang-senang di laut bersama yang lainnya besok."

Aku bersorak senang dan berlari menghampiri Emma untuk memberitahukan kabar ini, meninggalkan ayah dan Miyoshi-san yang masih terpaku di tempat mereka. Akhirnya liburan bersama ayah yang kutunggu-tunggu akan datang. Kupikir aku tidak akan pernah bisa berlibur bersama ayah dan yang lainnya, tapi ternyata tidak.

Hari ini adalah pembukaan di mana aku akan bersenang-senang bersama ayah dan yang lainnya. Aku tidak sabar menunggu hari esok. Kira-kira hal menyenangkan apa yang akan kualami esok hari?

END

A/N:

umi no hei: rumah laut, toko yang biasanya ada ditepi laut dan menjual berbagai makanan minuman bahkan pakaian renang

.

Daily life bersama Miyoshi selesai, tapi part di pantai masih lanjut di chapter selanjutnya. Thanks for reading.


Yuzu Nishikawa

.

26 Juni 2016


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top