Kejarlah cita-citamu, Nak!
"Kamu serius Al mau mengambil beasiswa itu?" tanya Ily dengan perasaan sedih setelah mereka dinyatakan lulus dan para siswa mencoret-coret baju seragam putih tanda kepuasan mereka.
"Iya," jawab Al menunduk karena tidak tega melihat wajah Ily yang terlihat sedih.
"Ya sudah, kamu hati-hati ya? Maaf aku nggak bisa kasih kamu kenang-kenangan. Tapi aku berdoa semoga kamu lulus dengan hasil yang bagus dan bisa mewujudkan cita-cita kamu itu." Ily berkata sambil menepuk bahu Al. Ily berusaha menutupi rasa sedihnya dengan senyum terbaiknya.
"Makasih ya Ly, kamu juga harus tetap semangat. Belajar yang rajin dan jangan mudah menyerah." Al memberi semangat untuk Ily.
"Aku bisa jadi juara satu nanti, soalnya saingan terberat aku akan jadi pilot," ucap Ily dengan senyum manis yang membuat hati Al semakin berat ingin melepasnya.
"Ya Allah, jika dia jodohku tolong jagakan dia untuk aku. Namun jika dia bukan jodohku, berikan lelaki yang baik untuk menjaga dan melindunginya." Al membatin tulus dari lubuk hatinya.
"Ya Allah, jika Al bukan pelabuhan cintaku, berikan dia wanita yang baik untuk mendampinginya kelak. Dia orang baik dan bertanggung jawab." Ily membatin mendoakan Al dengan tulus dan ikhlas.
"Ly, kamu belum tanda tangan di baju aku." Al memecahkan keheningan diantara mereka.
"Oh iya, nanti gantian ya Al." Ily membuka tutup spidolnya.
"Aku tanda tangan di mana Al? Baju kamu sudah penuh dengan tanda tangan," kata Ily meneliti setiap inci baju Al.
"Kamu tanda tangan di sini aja ya?" Al melepas baju seragamnya dan memunggungi Ily.
"Tapi ini kaos dalam kamu Al. Bukan seragam kamu." Ily tersenyum tak jelas saat Al menyediakan punggungnya agar Ily menanda tangani di sana.
"Khusus tanda tangan kamu, aku kasih tempat spesial dan berbeda dengan yang lain," kata Al membuat hati Ily menghangat.
"Mau tanda tangannya yang kecil apa besar?"
"Yang besar dong. Kalau perlu penuhin punggung aku. Inikan tempat kamu."
Ily segera menanda tangani kaos dalam berwarna putih polos milik Al dan membubuhi kata-kata untuk menyemangati Al.
Selalu jadilah yang terbaik diantara yang baik, aku akan selalu mendoakanmu agar kamu dapat mewujudkan cita-citamu. Semoga kamu sukses dan cepatlah kembali. You are my best friend.
Ily
"Sudah!" seru Ily menutup spidolnya dan tersenyum manis kepada Al yang memutar tubuhnya menghadap Ily.
"Aku tanda tangan di mana? Seragam kamu juga udah penuh," ujar Al bersiap membuka tutup spidolnya.
Ily memutar tubuhnya memunggungi Al, lalu dia mengangkat rambutnya ke atas dan menjepitnya.
"Kamu tanda tangan di bawah kerah aja ya Al. Cuma tempat itu yang masih kosong." Ily membuka kerah bagian tengkuknya. Al lalu menggoreskan tanda tangannya dan membubuhi kata-kata untuk menyemangati Ily.
Banyak bunga di luar sana yang indah, namun bagiku hanya bunga ini yang terindah di antara bunga yang lain. Dapatkah aku memetiknya suatu saat nanti? Good luck Ily, kejarlah cita-citamu dan terbanglah yang tinggi dengan sayap seperti Elangmu. You are my best friend.
Al
"Makasih ya Al," ucap Ily setelah Al selesai menandatangani.
"Pulang yuk? Tadi Bunda sudah duluan pulangnya." Al memakai baju seragamnya yang tadi sempat dia lepas.
Ily dan Al beranjak dari bangku taman sekolahan mereka, meninggalkan semua kenangan masa remaja mereka di sana. Akan kah cerita cinta mereka akan berhenti sampai di sini? Entahlah, hanya Tuhan yang tahu. Namun percayalah, cinta yang tulus dan suci, akan menuntun untuk kembali bersatu dengan campur tangan Tuhan.
"Al ...," panggil Ily lirih saat mereka ingin berpisah di depan gerbang sekolahan.
"Iya?" Al menoleh melihat wajah ayu Ily berhiaskan senyuman yang sangat manis menghangatkan hatinya.
"Selamat berjuang, kamu hati-hati di sana ya? Jangan lupakan aku," kata Ily menahan kesedihan di hatinya. Al tersenyum saat Ily berkata seperti tadi
"Makasih Ly, kamu jaga diri baik-baik ya? Jangan menyerah dalam keadaan apa pun. Tetaplah tersenyum seperti ini, karena senyummu bikin orang diabetes," tukas Al mendapat hadiah pukulan kecil di lengannya.
Ily tersenyum malu hingga pipinya memerah membuat Al bahagia karena sudah dapat melihat yang dia inginkan sejak dulu, yaitu melihat Ily tersipu malu karenanya.
"Okey, besok aku berangkat." Hati Ily berdesir ada rasa tak rela di dalam dadanya, namun apa daya, dia bukan siapa-siapa dan Al berhak memilih jalan hidup untuk masa depannya.
"Baiklah, kamu baik-baik di sana, jaga kesehatanmu. Goog bye Al."
"Sampai jumpa Ily, semoga kita bisa bertemu lagi."
Mereka bersama-sama membalikan badan ke arah yang berlawanan, menahan rasa yang ada demi meraih cita-cita. Perasaan tak rela mereka tepis jauh-jauh, mereka yakinkan hati jika rencana Tuhan akan lebih indah. Langkah berat mengiringi jalan mereka, melepaskan sesuatu yang kita suka, itu lebih menyakitkan.
***
Hari kelulusan Al sudah berakhir, seperti yang sudah diputuskan oleh Al saat itu. dia mengambil beasiswa yang akan membuka gerbang jalan untuknya meraih cita-cita. Suasana sedih akan melepas kepergian Al untuk tinggal diasrama pun terasa di keluarga itu. Pasalnya baru ini kali pertamanya mereka akan berjauhan. Mereka tidak pernah terpisah terlalu lama. Dul selalu menangis membuat Al semakin berat untuk pergi. Karena selama ini Al selalu menjaganya dengan baik. El juga merasa berat, karena hanya Al yang bisa membantunya belajar. Al selalu menjelaskan dengan baik dan sabar. Hati kecil Maia sebenarnya berat akan jauh dari Al, namun dia tidak ingin memperlihatkannya. Maia tidak ingin membuat beban Al semakin berat. Hanya doa yang dapat Maia berikan saat ini untuk kesuksesan anaknya nanti.
"Bun, Al berangkat ya? Bunda jaga diri baik-baik. Jaga kesehatan jangan lupa makan dan solat. Jika Bunda lelah jangan dipaksakan untuk bekerja," pesan Al saat mereka sudah di teras menunggu kedatangan mobil jemputan yang akan mengantar Al ke bandara.
"Iya, Bunda akan usahakan itu. Kamu di sana baik-baik ya? Jangan pikirkan kami di sini. Raih cita-cita kamu, tunjukan kepada dunia bahwa kamu mampu membeli suara-suara mereka yang selalu memandang kita rendah. Bunda hanya bisa mendoakanmu. Doa restu Bunda selalu menyertai langkahmu," ujar Maia lalu memeluk Al. Maia menahan air matanya agar tidak terjatuh. Karena jika air mata Maia jatuh dihadapan Al, dia pasti tidak akan tega meninggalkan rumah untuk meraih cita-citanya.
Maia melepas pelukannya lalu tersenyum manis menunjukan bahwa dia tangguh dan tegar walau di dalam hatinya sesungguhnya dia rapuh. Al beralih kepada kedua adiknya lalu memeluk mereka bersamaan. Dul dan El menangis diperlukan Al, Al tak kuasa menahan air matanya lagi.
"Kalian jaga Bunda baik-baik ya? Jangan bandel kalau dikasih tahu Bunda. Bantu Bunda," pesan Al kepada El dan Dul.
"Iya Kak," jawab mereka bersama sambil sesenggukan.
Al berjongkok mensejajarkan tingginya dengan Dul.
"Dul, jangan bandel ya? Bantu Bunda dan Kak El. Kalau pulang sekolah belajar karena Dul sekarang sudah kelas 6. Minta diajari Kak El kalau tidak bisa," pesan Al sambil memegang bahu Dul.
"Iya Kak," jawab Dul sambil sesenggukan.
Al berdiri beralih kepada El dan memegang kedua bahunya.
"Kamu harus sekolah yang rajin dan pintar. Sekarang kamu sudah mulai SMA jadi kamu harus lebih bisa bersikap dewasa untuk menjaga Bunda dan Dul. Kakak yakin kamu bisa menjaga Bunda dan Dul di saat Kakak tidak ada di samping kalian," pesan Al tegas kepada El.
"Iya Kak," jawab El patuh.
Akhirnya yang ditunggu pun datang, mobil jemputan yang akan mengantar Al dan para calon taruna penerbang ke bandara internasional menuju Denmark. Dengan rasa berat hati mereka mengantar Al ke mobil. Al masuk ke dalam mobil lalu melambaikan tangan perpisahan kepada El, Dul dan Maia.
Al Pov
Bunda walau kita jauh tapi hati kita saling terikat dan akan selalu merasa dekat. Aku akan selalu merindukan belaian manjamu yang menenangkan jiwa ragaku. Tanpamu apa arti diriku, aku tidak akan berdiri di sini menatap burung-burung besi yang besar yang akan membawaku terbang mengejar cita-citaku. Doamu selalu mengiringi setiap langkahku. Karena doamu juga aku dapat kuat menjalani kerasnya hidup ini. Kau segalanya bagiku, Bunda. Kau yang selalu menyejukkan jiwaku di saat aku terdampar dipadang gersang. Kau memberi sinar terang dalam kegelapan. Kau taruhkan seluruh jiwa dan ragamu untuk menjagaku. Janjimu seperti fajar yang tidak pernah terlambat untuk hadir disetiap pagi. Tuhan, jaga ibundaku di saat aku jauh darinya. Lindungi dia selama aku tidak dapat menjaganya. Dia adalah separuh nafasku.
"Al, ayo!" Suara panggilan mengajakku naik ke pesawat yang sudah menunggu kedatanganku.
"Iya!" Aku melangkah dengan hati yang mantap demi masa depanku, untuk sementara aku kalahkan ego yang mengusikku.
Aku mulai melangkahkan kaki menaiki tangga menuju ke tempat boarding. Wanita cantik menyambutku dan penumpang yang lainnya. Aku teringat pada senyum manis Ily. Sedang apa dia sekarang? Apa dia juga saat ini memikirkanku? Oh Tuhan, tolong jaga dia untukku. Tunggu aku, Ly. Sabarlah hingga aku pulang dan datang berdiri di hadapanmu. Setelah waktu yang tepat nanti, aku akan mengungkapkan isi hatiku. Semoga ketika aku pulang nanti, aku belum terlambat mengungkapkan perasaanku yang sesungguhnya ke kamu, Ly.
Aku duduk di kursi dekat dengan kaca jendela, dari sini aku melihat pesawat mulai mengudara. Aku sebentar memejamkan mata, membayangkan senyum Bunda dan Ily yang sangat manis.
***
Suasana sunyi menemaniku sekarang. Aku berdiri menatap bingkai foto yang menggambarkan aku, El, Dul dan Bunda. Rindu yang amat dalam terasa. Sudah dua tahun aku di negara kincir angin ini. Aku selalu bersemangat dan tidak pernah menyerah untuk menyelesaikan pendidikanku.
Satu tahun lagi aku akan lulus, dan sudah ada perusahaan menawarkan pekerjaan untukku. Jauh sebelum ada kata lulus, banyak perusahaan yang mengirim surat kepada kampus untuk mengajakku gabung dalam perusahaannya. Aku belum memutuskan satu perusahaan untuk nanti aku bekerja. Disela kesibukanku belajar, ada perusahaan maskapai di negara ini yang mempercayai aku untuk menjadi kopilot, walau aku dalam masa pendidikan, tapi perusahaan itu sudah mempercayaiku. Itu suatu beban yang membanggakan untukku. Tanggung jawab yang besar aku pikul dan itu melatihku sebelum benar-benar menjadi seorang pilot. Rasa bahagia tak dapat lagi aku gambarkan saat aku mendengar El mengikuti ujian sekolah yang seharusnya ia ikuti setahun lagi.
Hatiku semakin bahagia kala mendengar kelulusannya sebelum saatnya. Karena kecerdasannya, sekolahan mengijinkannya ikut ujian. Dan yang membuatku bahagia, dia mendapat beasiswa ke Aussie untuk melanjutkan pendidikannya. Sejak dulu El menginginkan untuk menjadi seorang arsitek, kini saatnya dia membuktikan bahwa dia mampu mewujudkan cita-citanya itu. Namun yang membuat aku kepikiran adalah Bunda dan Dul. Mereka akan hanya tinggal berdua. Pasti rumah menjadi sepi dan Dul apa bisa menjaga Bunda sendiri?
***
Author Pov
Kejadian dua tahun lalu terulang kembali. Maia mengantar lagi satu buah hatinya untuk pergi menimba ilmu ke negeri kangguru. Rasa sedih bercampur bangga terpancar diwajahnya.
"Bunda, El janji nggak akan lama. Sebelum saatnya El akan menyelesaikan pendidikan ini. El akan berusaha keras agar kita cepat berkumpul seperti dulu lagi. Bunda jangan nangis ya?" kata El yang menghapus air mata Maia.
"Bunda akan selalu mendoakanmu dan kakakmu yang jauh dari Bunda. Sejauh apa pun kalian dari Bunda, tapi dengan doa Bunda merasa selalu dekat dengan kalian. Pergilah kejar cita-citamu setinggi langit. Jangan merasa sendiri di sana, karena ada Bunda yang selalu ada dihati kamu," pesan Maia lalu mencium kening El.
"Dul, kamu harus jaga Bunda baik-baik ya? Tinggal kamu yang dekat dengan Bunda. Kak Al dan Kak El akan secepatnya pulang dan kita akan berkumpul lagi seperti dulu. Kamu belajar yang rajin dan harus bantu Bunda ya?" pesan El lalu memeluk Dul sangat erat.
"Kak El cepat pulang ya? Dul nggak mau lama sendiri cuma sama Bunda. Pasti rumah sepi," rajuk Dul manja.
"Iya Kak El akan secepatnya menyelesaikan pendidikan ini. Dan sabarlah Kak Al setahun lagi akan segera pulang menemani kalian," ujar El menenangkan hati Maia dan Dul.
"Tapi pasti itu tidak akan lama karena Kak Al pasti akan sibuk dengan pekerjaannya," timpal Dul sambil masih memeluk pinggang El.
"Itu yang harus kita maklumi karena pekerjaan Kak Al nanti yang akan jauh dari keluarga. Iya kan Bun?" tanya El yang menoleh pada Maia meminta persetujuan.
"Iya, betul kata Kak El, kita harus memahami Kak Al jika nanti dia tidak bisa selalu berkumpul bersama kita," ujar Maia memberi pengertian kepada Dul.
Akhirnya mobil jemputan yang akan mengantar El kebandara pun datang. Dengan perasaan berat Maia dan Dul mengantar El.
"Kamu hati-hati di sana. Jaga kesehatan, jangan lupa solat dan makan yang teratur ya?" pesan Maia saat Al akan masuk ke dalam mobil.
"Iya Bun, Bunda juga jaga kesehatan jangan terlalu lelah bekerja," jawab El lalu masuk ke dalam mobil.
Mobil itu berjalan meninggalkan Maia dan Dul yang berdiri di depan rumah sambil melambaikan tangan. Ada rasa sedikit lega di hati Maia karena dia berhasil mengantar kedua buah hatinya menuju gerbang kesuksesannya. Kini tinggal satu lagi yang harus Maia perjuangkan. Maia menoleh kepada Dul lalu merangkulnya masuk ke dalam rumah.
"Bun, rumah jadi sepi ya? Tinggal kita berdua. Aku akan selalu menemani Bunda. Aku tetap akan di sini bersama Bunda," ujar Dul saat mereka masuk ke dalam rumah.
"Jangan menjadikan Bunda beban dalam karirmu. Jika kamu ingin seperti kakak-kakakmu, Bunda tidak papa. Memang itu tugas Bunda dan resiko yang harus Bunda terima jika kalian ingin sukses," ujar Maia kepada Dul.
"Dul akan tetap sekolah di sini saja biar selalu dekat dan bisa menjaga Bunda."
"Baiklah jika itu sudah menjadi keputusanmu. Bunda tidak akan memaksamu."
***
El Pov
Terimakasih Bunda. kasih sayang yang sudah kau curahkan kepadaku selama ini. Kamu adalah wanita yang hebat dan tegar. Dengan tangan kosongmu kau mampu mengantar kami meraih cita-cita. Dari kasih sayang yang kau curahkan kepada kami, kau bekali kami dengan pendidikan yang baik. Kau adalah pahlawan bagi kami. Dari wajahmu kulihat cahaya yang tegaskan bahwa kau selalu terangi setiap langkahku. Setiamu yang berjanji akan menjagaku sepenuh hati telah kau penuhi.
***
Seorang Ibu rela jauh dari buah hatinya demi meraih kebahagiaan yang mereka inginkan. Dia rela sakit demi anak-anaknya. Dia pertaruhkan harta bendanya untuk mengantar anak-anaknya meraih cita-cita walau dia sendiri merasa kurang, tapi dia akan tetap berusaha keras untuk mewujudkannya. Ibu tidak akan menuntut ganti rugi kepada anaknya dia ikhlas lahir batin melakukan semua itu. Karena maka dari itu surga ada di telapak kaki ibu.
#########
Part yang bikin aku terharu. Adakah anak muda zaman sekarang begini ya?
Penasaran sama kelanjutannya?
Cuuuuuus, pesan bukunya di bukuloe
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top