Hai, Pilot Al!

Dengan sangat gagah pemuda itu berjalan sambil menarik kopernya. Dia berjalan menyusuri gedung bandara, diikuti Maia dan Dul di belakangnya. Al akan melakukan penerbangan perdananya di Indonesia. Sudah cukup tiga tahun dia mengecam pendidikan di kincir angin, Belanda. Bekerja dengan maskapai di sana selama dua tahun sebagai kopilot untuk memperbanyak pengalaman sebelum dia menjadi pilot. Pengendaliaanya terhadap burung besi sudah tak diragukan lagi. Dengan senyum ramah Al selalu membalas sapaan demi sapaan dari para pramugari pramugara dan pilot lain. Dengan proses panjang Al bisa mengajak Maia dan Dul ikut penerbangan perdananya sebagai pilot. Saat Al menaiki tangga ingin memasuki pintu pesawat debaran jantungnya berdetak lebih cepat. Matanya terbelalak tubuhnya kaku hingga dia mematung di tempat.

"Al, ada apa?" tanya Maia kepada Al dari belakang.

"Subkhanallah Bun, ada Bidadari di atas pesawat ini," puji Al yang melihat senyum seorang pramugari cantik.

Maia dan Dul mengikuti arah pandang Al. Sudah sangat lama setelah kelulusan Al, mereka tidak pernah bertemu dengan Ily. Dan Tuhan mempertemukan mereka lagi di suasana yang berbeda. Al berjalan dengan debaran jantung yang abnormal, mata tak lepas dari Ily. Ily yang belum menyadari bahwa itu Al, sebagai pramugari dia tersenyum ramah menyambutnya. Alis Ily bertautan saat melihat Maia dan Dul. Dia mencoba mengingat-ingat wajah mereka.

"Sudah ingat?" tanya Dul yang melihat wajah Ily seakan mendapat pencerahan.

"Si unyuk Dul!" seru Ily girang lalu menguyel pipi Dul.

"Aaaaaaaa kamu udah besar, giginya juga udah gak ompong," ujar Ily sambil memeluk rindu Dul.

"Dan ini pasti Tante Maia ya?" tebak Ily yang menunjuk Maia.

"Iyapz betul sekali," jawab Maia lalu memeluk Ily.

"Tante dan Dul mau ke mana? Di mana El?" tanya Ily setelah melepas pelukannya. Ily belum juga menyadari jika orang yang di belakangnya adalah Al.

"El masih kuliah di Aussie," jawab Maia lembut.

"Kak Ily nggak nanyain Kak Al?" tanya Dul sambil melirik Al yang ada di belakang Ily. Ily terlihat malu-malu.

"Nggak usah malu Kak, dia ikut dengan kami di sini kok," timpal Dul yang tahu perubahan wajah Ily bersemu merah.

"Oh iyya? Di mana dia?" tanya Ily antusias.

Al yang melihat kegirangan Ily hanya tersenyum. Maia menaik turunkan alisnya menandakan bahwa Al ada di belakang Ily. Ily mengerutkan dahinya.

"Dia ada di belakang kamu," ucapan Maia seketika membuat jantung Ily seakan merosot hingga keperut. Banyak kupu-kupu berterbangan di dalam perutnya.

"Hay Ily," sapa Al dengan senyum mempesonanya.

Tubuh Ily menegang saat mendengar suara nge-bass dari arah belakangnya. Perlahan dia memutar tubuhnya sambil menunduk.

"Hey kenapa?" tanya Al lembut sambil mengangkat dagu Ily.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Ily polos dan gugup.

"Bekerja," jawab Al dengan tersenyum manis.

"Bekerja?" tanya Ily mengulang kata Al dengan wajah herannya.

"Iya, aku adalah Pilot di pesawat ini. Dan aku yang akan menerbangkan burung besi ini," jelas Al membuat hati Ily menghangat.

"Ehemmm! Bun jadi keinget cerita Rex Delmora di wattpad ya? Si pangeran burung besi dan bidadari burung besi," ujar Dul pada Maia yang sebenarnya menyindir Al dan Ily.

"Iya Dul, sepertinya Bunda akan cepat-cepat melamar Kak Ily untuk Kak Al sebelum cerita cinta mereka setragis cerita Rex Delmora," timpal Maia membuat Dul terkekeh sedangkan Al dan Ily tersipu malu dan menjadi salah tingkah.

Penerbangan ini terasa bahagia apa lagi saat Al sedang mengecek atau mengontrol keadaan pesawat yang terkadang berpapasan dengan Ily. Seperti saat ini tugas Al digantikan oleh kopilot, jadi Al bisa menemui Ily di kabin.

"Kamu masih sama seperti yang dulu, cantik, imut, menggemaskan," puji Al membuat Ily tersipu malu.

"Apaan sih kamu Al. Kamu bagaimana kabarnya?" tanya Ily menoleh Al yang ternyata sedang memperhatikan wajah ayunya. Membuat Ily semakin salah tingkah dan pipi memerah.

"Alhamdulilah baik. Bagaimana dengan kabarmu?"

"Alhamdulilah baik juga Al."

"Kamu sudah punya calon?" tanya Al terdengar serius.

"Calon apa maksudnya?" tanya Ily yang sebenarnya tahu maksud pertanyaan Al tadi. Hanya dia ingin Al memperjelas pertanyaan tadi.

"Ehem! Maksud aku, apa kamu sudah punya calon suami atau pacar, gitu." Al mengulang pertanyaannya lebih jelas dan Ily menjawab hanya menggeleng malu.

"Apa setelah kita kembali dari penerbangan ini aku dan Bunda boleh ke rumahmu untuk melamar kamu?" Ily tak tahu harus menjawab apa, entah mengapa dia hanya bisa mengangguk dan tersenyum bahagia sambil malu-malu tak jelas.

"Apa selama ini kamu menungguku?" tanya Al lagi dan hanya dijawab dengan anggukan.

"Kenapa dari tadi hanya mengangguk dan menggelengkan kepala saja? Kamu nggak mau bicara sama aku?" tanya Al membuat Ily mendongak menatap Al cepat.

"Tidak, bukan itu Al. Aku hanya masih merasa canggung karena sudah lama tidak melihatmu. Saat kita bertemu ternyata pekerjaan kita saling membutuhkan," jelas Ily dengan wajah bersemu merah, pipinya sudah seperti tomat yang siap panen.

"Dan aku juga membutuhkanmu untuk mengisi hari-hariku," sahut Al membuat perasaan Ily berbunga-bunga dan hatinya seakan berlopat-lompat.

"Apa kamu selama ini masih menungguku, Ly?" tanya Al lagi yang ingin mendengar jawaban dari mulut Ily secara langsung.

"Iya Al," jawab Ily sambil menatap rindu wajah tampan Al.

"Apa yang membuatmu menungguku? Padahal aku tidak pernah meninggalkan janji dan harapan untukmu?"

"Entahlah, hatiku yang berkata agar menunggumu. Dan hatiku juga berkata, jika kamu akan kembali lagi," jawab Ily sambil memegang dadanya.

"Aku sangat bahagia Allah mempertemukan kita lagi," ujar Al dengan perasaan bahagia.

"Ini yang namanya takdir Al. Kita tidak tahu dengan siapa akan berjodoh, bagaimana jalan hidup kita ke depannya. Hingga Allah, mempertemukan kita di suasana yang berbeda." Ily tersenyum sangat manis kepada Al.

"Iya, Allah sudah menyiapkan skenario untuk kita yang sangat menakjubkan. Perpisahan akan mengajarkan kita, arti sebuah kebersamaan," timpal Al membuat hati Ily damai dan tentram.

Cinta tahu kemana dia harus pulang. Cinta juga tahu dengan siapa dia harus bersanding. Cinta tak akan pernah tersesat untuk kembali, dia tahu jalan untuk pulang. Cinta yang akan menuntun kembali kepada cinta.

***

Seperti yang diucapkan Al waktu di atas pesawat kala itu. Setelah mereka kembali dari penerbangan, Maia, Al dan Dul datang ke rumah orangtua Ily untuk melamar.

"Maaf Pak Afrizal, saya sebagai orangtua dari Al Kohler datang kemari dengan niat baik, saya berniat untuk melamar putri Bapak yang bernama Prilly Mahatei untuk anak saya Al Kohler," ujar Maia sopan kepada Afrizal.

Debaran jantung Al dan Ily sangat kencang. Rasa nervose dan was-was menyelimuti hati mereka. Ily memainkan ujung dress yang ia pakai malam ini, untuk mengurangi rasa grogi karena menghadapi situasi yang sangat menegangkan itu.

"Saya serahkan keputusan ditangan Ily Bu Maia," ujar Afrizal sambil menoleh ke arah Ily. Ily tersenyum malu, sambil menunduk.

"Bagaimana dengan kamu Ily?" tanya Afrizal yang menanyai Ily secara langsung di depan keluarga Al.

Ily mengangguk tanda menerima dengan wajah ia sembunyikan dengan kepala menunduk.

"Jangan hanya mengangguk. Katakan sesuatu biar jelas," seru July lembut sambil mengelus rambut Ily.

"Iya Ma, Ily mau," jawab Ily malu-malu.

"Alhamdulilah ...," ucap Maia, Al dan Dul bersamaan.

"Jika lamaran kami diterima Al sudah siapkan cincin sebagai tanda pengikat sementara. Jangan dilihat dari nominalnya, tapi lihatlah ketulusan Al dan jerih payah dia untuk mendapatkan cincin ini," tukas Maia sambil meletakan benda beludru merah berbentuk mawar di atas meja.

"Kami tidak pernah memandang sesuatu dari nominalnya. Yang penting ikhlas dan tulus memberinya kepada kami, dengan senang hati kami menerimanya," sahut July lalu memakaian cicin itu dijari manis Ily.

"Bagus Jeng, pas dijari Ily," timpal July setelah memakaikan cincin itu dijari Ily.

"Baiklah kalau begitu kita berunding tanggal dan hari apa yang tepat untuk melangsungkan pernikahannya," seru Afrizal yang mulai siap berdiskusi.

Maia hanya mengikuti kemauan orangtua Ily. Jika dia mampu dan sesuai dengan hatinya, Maia dengan senang hati menyetujuinya. Ily merasa kagum dengan calon ibu mertuanya itu. Dia bisa menjadi dua sosok sekaligus, sosok ayah dan bunda. Di acara seperti ini seharusnya kepala rumah tangga yang maju ke depan, namun saat ini justru seorang ibunda dari calon suaminya yang menyelesaikan urusannya. Al memperhatikan wajah cantik Ily yang sibuk mengagumi Maia.

***

Setelah acara lamaran selesai keluarga Maia pun berpamitan. Al sudah tidak mengijinkan Maia bekerja lagi. Al sudah menjamin hidup dan biaya sekolah Dul. Namun Maia tetap tidak ingin merepotkan Al. Walau Al setiap bulan memberinya jatah untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, tetapi dia tetap bekerja. Maia menerima jasa menjahit untuk mengisi harinya yang kosong agar tidak merasa bosan. Dengan gaji yang Al miliki sekarang dia mampu membelikan apa yang dia sendiri butuhkan dan bisa membantu Maia. Al sudah memiliki apartemen di Denmark. Karena sebenarnya Al masih terikat kerja sama dengan perusahaan disana. Al kembali ke Indonesia hanya sementara karena dia sudah mengajukan kepada perusahaan jika dia diangkat menjadi pilot penerbangan pertama dia ingin di Indonesia. Setelah nanti Al menikah mau tidak mau Ily harus ikut bersamanya ke Denmark.

Ini sudah menjadi resiko Maia sebagai seorang ibu, dia sudah berhasil mengangkat salah satu anaknya ke atas daratan. Hati Maia sedikit lega karena dia sudah berhasil mengantarkan putra pertamanya untuk membina rumah tangga. Pendidikan tanggung jawab yang selama ini Maia beri, kini benar-benar terasa hasilnya. Seorang ibu rela ditinggalkan anaknya jika dia sudah berhasil membina rumah tangga sendiri. Ibu tidak akan menuntut apa pun dari anak yang sudah dia lahirkan dan dia didik dengan baik. Seorang ibu hanya selalu memberi tanpa mengharapkan imbalan berbentuk apa pun. Ia sudah merasa bahagia jika melihat anak-anaknya sukses dan bahagia.

"Bunda, terimakasih kamu telah menepati janjimu," ujar Al yang kini berbaring disamping Maia.

"Janji adalah hutang. Jika hutang itu tidak dibayar Bunda takut nanti Allah akan meminta pertanggung jawabannya pada Bunda," jelas Maia mengelus pipi Al lembut.

"Tapi Al belum sempat memberikan Bunda sesuatu, Al juga belum bisa membuat Bunda bahagia," ujar Al menatap wajah Maia yang mulai terlihat garis senjanya.

"Bunda sudah bahagia, jika melihat anak-anak Bunda juga bahagia dan berhasil. Bunda tidak perlu apa pun dari kalian. Hanya Bunda meminta satu. Tanggung jawab terhadap keluarga kalian masing-masing suatu hari nanti. Kalian adalah calon kepala keluarga, itu artinya semua kendali di tangan kamu. Bahagia atau tidaknya rumah tangga kalian nanti ada di tangan kalian sendiri. Bunda hanya dapat mendoakan dan mengantar kalian hingga ke depan gerbang. Urusan di dalam kalian sendiri yang memutuskan dan menjalankan. Jangan mengikuti jejak yang tidak baik, contohnya seperti keluarga kita. Cukup Bunda saja yang mengalami hal ini, jangan biarkan keluarga kalian nanti menjadi porak poranda," nasehat Maia kepada Al yang menyentuh hati Al.

"Iya Bun, Al akan menjaga keluarga Al nanti segenap jiwa dan raga Al. Seperti Al menjaga Bunda dan adik-adik selama ini," jawab Al lalu memeluk erat Maia.

"Terimakasih ya Bun, atas segala yang sudah Bunda beri untuk Al selama ini?" ucap Al tulus mengeratkan pelukannya pada Maia.

"Iya sama-sama. Itu sudah menjadi kewajiban dan tanggung jawab Bunda. Sekarang kita tidur. Dul sudah tidur, kasihan dia besok akan ujian sekolah," seru Maia lalu memeluk dua buah hatinya yang tidur menghimpitnya.

"Coba El ada ya Bun? Pasti pernikahanku nanti akan terasa lengkap dan kebahagiaannya akan terasa lebih sempurna," ujar Al sebelum dia memejamkan mata.

"Iya, tapi maklumi El ya Al? Kamu tahu sendiri jika adik kamu yang satu itu gila belajar. Jika sudah mengejar target dia harus selesaikan tanpa bisa ditunda-tunda atau pun diganggu gugat," jelas Maia yang mengingat betapa keras kepalanya El jika sudah memiliki keinginan dan target dalam hidupnya.

"Kira-kira dia sedang apa ya Bun di sana?" tanya Al menahan rindunya kepada adik yang jauh di mata namun dekat di hati.

"Besok kita telepon El ya? Sekarang kita tidur." Al memeluk Maia dengan nyaman, sedangkan tangan Maia dua-duannya bekerja mengelus kepala Al dan Dul.

"Iya Bun," jawab Al yang kini matanya mulai terasa berat.

Maia terus mengelus rambut Al dan Dul agar mereka dapat tidur nyenyak dipelukannya. Akhirnya Al dan Maia pun menyusul Dul ke alam mimpi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top