END
"Al." Maia mendekati Al yang sedang bersantai di teras rumah yang dulu sederhana kini sudah berbeda karena Al dan El membujuk Maia untuk merenovasi rumahnya hingga menjadi sebuah istana bagi keluarga mereka.
"Iya, Bun." Al menegakkan duduknya sedangkan Maia duduk di bangku bersebelahan dengannya.
"Nggak terasa ya Kiki udah besar, sepertinya baru kemarin Bunda gendong dia masih merah," seru Maia sembari memandang Kiki sedang bermain lempar bola bersama Ily.
Al yang sedari tadi mengawasi mereka hanya tersenyum bahagia.
"Iya, Bun."
"Al, adikmu kemarin pagi telepon Bunda. Katanya dia ada niat baik akan mengikuti jejakmu," kata Maia membuat Al serius menanggapi hal tersebut.
Sebagai anak sulung, Al dari dulu selalu menjadi orang pertama yang Maia ajak berunding dan berdiskusi soal keluarga mereka. Bukan maksud Maia membebankan urusan rumah tangga bersama Al, namun sebagai anak tertua Maia berharap Al dapat menjadi teman untuk menyelesaikan setiap persoalan yang menghadangnya.
"Alhamdulillah, orang mana Bun?" tanya Al mulai tertarik dengan pembahasan ini.
"Orang Indonesia, mereka sama-sama bekerja di Aussie. Mungkin cinta lokasi karena mereka bekerja di kantor yang sama," jelas Maia membuat Al tersenyum bangga.
"Siapa namanya Bun?"
"Setahu Bunda, namanya Marsha. Bunda sempat kemarin di kirimi fotonya. Anaknya cantik dan kelihatannya kalem."
"Kapan kita akan mendatangi keluarganya, Bun?"
"Kita tunggu kabar selanjutnya dari adikmu ya?" Maia menyentuh lengan Al memberi ketenangan di hatinya.
"Daddy ... Eyang ...." Kiki berteriak sambil melambaikan tangannya agar Al dan Maia menghampiri.
"Tuh, lihat kecerdasanmu menurun ke anakmu," ujar Maia lalu berdiri berjalan lebih dulu menghampiri Kiki dan Ily.
Al mengikuti ibundanya mendekati anak dan istrinya. Suara tawa ceria Kiki menjadi rasa bahagia yang tak terkira di hati Al dan Ily begitu pun Maia.
"Eyang, cini ita main bola," pekik Kiki girang sambil memutar-mutarkan tubuhnya.
"Eh, sudah ... nanti pusing." Ily menghentikan tubuh Kiki yang masih berputar.
"Ucing Mommy ...," rengekan manja Kiki saat menjatuhkan tubuhnya di dada Ily. Al hanya tersenyum memperhatikan kelucuan Kiki.
"Makanya, kalau Mommy bicara dengerin. Bandel sih," omel Ily lalu mengangkat tubuh Kiki dan mendekapnya penuh kasih sayang.
Maia mengelus rambut Kiki lembut sembari tersenyum bahagia.
"Masuk yuk! Bentar lagi magrib." Al mengambil alih menggendong Kiki. Maia merangkul Ily akrab mengikuti Al masuk ke dalam rumah.
***
Suasana bahagia menyelimuti keluarga Maia. Acara pernikahan yang menyita waktu dan tenaga sudah tergelar lancar dan hikmat. Sungguh rasa syukur yang teramat dalam saat Maia melihat kedua putranya sudah meraih kebahagiaannya. Tak banyak yang Maia inginkan dari putra-putranya. Dia hanya ingin putranya menjadi imam yang baik dan lelaki yang mampu bertanggung jawab untuk membahagiakan keluarganya, agar apa yang pernah dia alami tak melanda kepada keluarga putra-putranya.
"El, selamat ya? Hanya doa yang dapat Bunda kasih buat kamu. Semoga kamu dapat menjadi imam yang baik di dunia dan akhirat."
"Aamiin. Makasih Bun." El segera memeluk Maia erat menumpahkan rasa bahagianya dan haru karena kerja keras Maia selama ini dia mampu menjadi apa yang selama ini dia impikan.
Air mata haru menetes di pipi Ily saat melihat hal tersebut.
"Mommy atit? Napa angis?" Kiki bertanya polos dan menghapus air mata Ily dengan tangan mungilnya membuat Ily semakin terharu.
Al yang berdiri di samping Ily hanya tersenyum mendengar perhatian kecil dari putranya. Al lalu mengambil alih menggendong Kiki.
"Mommy baik-baik saja sayang. Mommy sedang bahagia, kalau orang terlalu bahagia bisa sampai menangis seperti itu untuk mengekspresikan perasaannya," jelas Al.
Walau Kiki masih kecil, Al dan Ily selalu berusaha memberikan pendidikan dini. Mengarahkan segala sesuatu, karena di saat usia seperti Kiki yang cerdas dan ibarat masih memiliki memory kosong dan harus diisi dengan hal-hal yang baik, agar mudah dia ingat dan selalu dapat menjadi pengingatannya saat dia ingin melakukan hal yang akan merugikan banyak orang mau pun dirinya sendiri.
Kiki hanya menatap Al polos dan sangat menggemaskan membuat Al tertawa lepas. Semua menoleh ke arah Al dan Ily, membuat Ily mengulum senyum saat mereka menjadi pusat perhatian.
"Kenapa Al?" tanya Maia.
"Nggak papa Bun, ini ngetawain wajah polos Kiki," jelas Al jujur apa adanya.
El mendekati Al lalu mengambil Kiki dari gendongan Al dan mengangkatnya ke udara seperti sedang menerbangkan pesawat.
"Inilah, pilot Kiki yang akan mendaratkan pesawat di bandara Soekarno Hatta," seru El, melayang-layangkan Kiki ke udara membuat Kiki tertawa hingga terpingkal-pingkal menguasai rumah Maia.
Marsya yang melihat keakraban keluarga barunya sekarang ini, hanya tersenyum bahagia dan merasa bersyukur karena Tuhan mengirimkannya kepada keluarga yang baik dan penuh dengan kehangatan.
"Udah Kak El, buruan kasih Bunda cucu lagi," tukas Dul yang baru saja masuk ke dalam rumah entah dari mana.
"Dari mana kamu Dul?" tanya Maia saat Dul sudah mendekatinya dan bertekuk lutut di depan Maia yang sedang duduk di sofa ruang keluarga.
"Dari ambil bayaran, Bun. Lumayan bulan pertama magang sudah di kasih bayaran," jelas Dul membuat Maia merasa bangga dan membelai wajah anak bungsunya.
Dul mengeluarkan sesuatu dari kantong tas yang dia bawa tadi. Lalu melepas sendal yang saat ini Maia kenakan. Dul mengganti sendal Maia dengan sendal lain yang baru saja dia beli.
"Dul ...." Maia berkata lirih menuntut penjelasan.
"Bunda, jangan menolak ya? Ini hasil keringat Dul yang pertama kali. Semoga akan berkah untuk ke depannya. Ini salah satu nazar Dul, jika sudah dapat menghasilkan uang sendiri dan hasil pertama akan Dul kasih buat Bunda. Dul tahu Bunda nggak memerlukan ini, tapi Dul minta tolong, terima ini karena Dul ingin membuat Bunda bangga," ujar Dul tulus sembari menggenggamkan sebuah amplop putih yang masih tertutup rapat.
Air mata haru tak lagi dapat terbendung dari semua mata yang menyaksikan hal itu, apa lagi Maia yang melihat jelas betapa tulus hati dan mata Dul saat berbicara seperti itu.
"Lalu ... ini apa?" Maia menggerakan kakinya melihat alas kaki yang baru saja Dul pasangkan di kakinya.
"Ini sendal sederhana yang Dul beli buat Bunda. Setidaknya alas kaki ini bisa melindungi surga Dul dari kerikil yang tajam. Karena surga Dul ada di bawah telapak kaki Bunda." Air mata haru tak dapat lagi terbendung di pelupuk mata Maia.
"Terimakasih," ucap Maia tulus lalu mencium kening Dul.
Ily mengambil Kiki dari gendongan El, lalu Al dan El berjalan mendekati Dul ikut bersujud di depan Maia. Kini ketiga putra Maia di depan matanya.
"Terimakasih, karena Bunda yang selalu menjaga hidup kami,
Bunda ajarkan kami menjadi yang terbaik, Bunda nggak pernah lelah sebagai penopang dalam hidup kami dan Bunda sudah memberikan kami semua yang terindah yang tidak pernah orang di luar sana memberikan untuk kami. Kami merasa aman dan nyaman di dekapan Bunda," ujar Al membuat semua menangis haru.
"Hanya Bunda yang selalu kami ingat saat kami jauh dan kehilangan arah, selain Allah. Terimakasih Bunda sudah berjuang sejauh ini untuk kami. Tanpa Bunda kami tak akan bisa hingga seperti ini," imbuh El membuat Maia semakin terisak tangis bangga.
Maia memeluk ketiga buah hatinya menyalurkan cinta dan kasih sayangnya yang sangat besar.
"Terimakasih, kalian sudah menjadi anak yang baik dan Bunda bangga dengan apa yang sudah kalian gapai saat ini."
Marsya dan Ily yang melihat hal itu ikut menangis bahagia. Marsya mendekati Ily lalu memeluknya dari samping.
"Aku bahagia berada di tengah keluarga yang hebat dan penuh kasih sayang," ucap Marsya yang baru kali ini merasakan keharmonisan keluarga Maia.
"Aku wanita beruntung yang dapat masuk di tengah-tengah keluarga ini," timpal Ily membalas pelukan Marsya.
"Mommy ... atit," seru Kiki lucu karena dia berada di tengah antara Marsya dan Ily.
Marsya lalu melepas pelukan mereka lalu melihat Kiki mencibikkan bibirnya membuat Marsya gemas.
"Ihhhh, keponakan Auntie lucu banget sihhh. Jadi gemeeeessss." Marsya mencubit pipi Kiki sayang lalu menggelitikinya hingga tertawa terbahak, membuat semua kini memperhatikan mereka.
Al, El dan Dul membantu Maia berdiri menghampiri kedua menantu dan cucunya yang sedang asyik bercanda gurau. El merengkuh pinggang istrinya, lalu Maia mengangkat Kiki dari gendongan Ily, menciuminya gemas. Al dan Ily saling memandang merasakan kebahagiaan yang sempurna.
"Kita abadikan momen langka ini yuk?" seru Dul memasang kamera untuk mengambil gambar secara otomatis.
Dul ikut bergabung di tengah-tengah mereka. Gelak tawa memenuhi rumah tersebut, membuat siapa saja yang berada di tengah-tengah mereka merasakan kehangatan sebuah keluarga yang harmonis.
Sungguh hebatnya seorang ibu yang selalu memberikan segalanya hingga menaruhkan nyawa demi menghadirkan kita ke dunia ini, untuk dapat menghirup oksigen dan melihat ciptaan Tuhan di muka bumi ini. Tanpa adanya seorang ibu kita tak akan pernah ada di dunia ini. Ibu, adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang menjadi pelita di kegelapan jalan kita. Di balik ketegaran dan senyumnya yang tulus menenangkan jiwa dan raga, ibu menyimpan sejuta kesedihan yang tak ingin kita tahu. Di balik keceriaan dan senyumnya dia tetaplah wanita rapuh yang butuh penopang dan penyanggah. Ibuku adalah pahlawan.
END
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top