Bab 7
“Ra, apa yang terjadi kok ramai – ramai?” kata Roni keluar dari mobil jazz putih yag sekarang terparkir rapi di depan Zarra.
“Panjang ceritanya, ayo kita segera ke lokasi saja.” Setelah berpamitan dengan si ibu, Roni dan Zarra melajukan mobilnya melewati gang–gang kecil. Tak berapa lama mereka sampai di rumah kecil bercat abu-abu.
Di depan rumah itu sudah ada beberapa wartawan yang sibuk mewawancarai saksi-saksi. Zarra pun dengan sigap mulai mengambil beberapa foto dan menulis beberapa informasi yang dia butuhkan. Selesai menggali informasi di TKP Zarra dan Roni segera meluncur ke rumah sakit, ke lokasi kedua di mana korban sedang di rawat.
Tak habis pikir tega–tegaya seorang suami dan seorang ayah melakukan hal kejam seperti itu kepada keluarganya. Tak seharusnya seorang suami yang merupakan imam dalam keluarga, yang harusnya menjadi panutan malah justru menjadi momok yang menakutkan. Suami yang seharusnya mengayomi malah justru mendzolimi. Seorang ayah yang seharusnya membimbing anak – anaknya, malah menggoreskan memori kelam bagi buah hatinya.
Kondisi fisik dan mental anak – anak korban KDRT sangat memprihatinkan. Fisik mereka sakit karena terus terusan dipukul. Mental mereka terganggu karena seseorang yang seharusnya menyayangi mereka malah justru menekan mereka.
Kejadian ayah membunuh anaknya sendiri, ibu tega membuang darah dagingnya sendiri, orang tua melakukan tindak asusila kepada anak dibawah umur, hal-hal semacam ini tidak seharusnya terjadi, jika pemerintah lebih memperhatikan masyarakatnya.
Kondisi ibu merekapun tidak kalah miris, diperlakukan dengan buruk oleh orang yang telah berjanji akan sehidup semati dengannya dulu, orang yang sama yang mengatakan kalau dia akan menjaga dan mencintai dirinya dan anak-anak mereka. Bullshit.
Keterbatasan ekonomi selalu menjadi kambing hitam dari perbuatan–perbuatan diluar batas kemanusiaan, padahal masalah ekonomi dapat diselesaikan dengan kerja keras dan usaha. Karena sebenarnya hasil tidak akan pernah menghianati usaha. Mental-mental seperti inilah yang seharusnya dimiliki oleh orang tua di generasi ini.
“Ra kita pulang yuk, semuanya sudah bereskan?”
“Ayok.”
“Pip... pip.. pip..” sebuah pesan teks masuk di handphone Zarra. Pesan itu berisi sebuah foto seorang laki – laki, dari foto sih oke, mirip oppa oppa korea. Terlihat masih muda dan tampan. Dibawah foto itu ada chat dari si pengirim.
'Ini fotoku. Aku sangat menantikan perjumpaan kita, semoga kamu juga demikian.'
Sudah beberapa hari nomer ini selalu menghubungi Zarra, meskipun Zarra hanya membalas seperlunya tapi dia selalu memulai percakapan dengan manis. Sepertinya dia orang yang baik.
“Siapa Ra?” tanya Roni penasaran. Tidak biasa-biasanya temennya yang satu ini tersipu saat melihat ponselnya. Biasanya yang ada dia selalu manyun setelah membaca beberapa pesan dari ibu kepala.
“Temenmu.”
“Lah temen yang mana lagi Ra?” Roni tambah memutar otaknya menanggapi jawaban aneh Zarra, dia tidak merasa memiliki teman yang sedang dekat dengan Zarra. Siapa?
“Entahlah, dia bilang dia temenan sama kamu dan Nita. Siapa ya namanya, hmmm...” Jawab Zarra sambill memegang dagunya berfikir keras siap anama laki – laki yang sedang mereka perbincangkan. “Hanum, Herman, Hendra, ahh bukan sepertinya. Siapa ya? Hee....”
“Hengki mungkin Ra? Kalau Hengki aku kenal dia kakak kelasku saat kuliah dan juga tetangga Nita. Kita sedikit akrab semenjak aku menikah dengan Nita. Tapi kan aku tidak pernah memberikannya nomer teleponmu, apa mungkin Nita ya. Coba Nanti aku tanyakan lagi,” ujar Roni membenarkan ucapan Zarra, temennya yang satu itu memang susah mengingat nama seseorang yang tidak menarik perhatiannya.
“Ahh, iya Hengki. Kemarin dia menghubungiku dan mengajak ketemu.”
“Ciyeeee, terus gimana terima atau tolak?
“Terimalah, siapa tau jodoh. Aku kan sangat urgent cari pendamping hidup. Sepertinya dia orang yang baik,” jawab Zarra santai.
“Ceileh, segitunnya Ra. Yah semoga cocok ya. Tapi aku sarankan jangan terlalu terburu–buru, kenali dulu orangnya dan latar belakangnya kamu ga mau kan kejadian kayak berita yang kita susun tadi siang.”
“Ihh, amit amit.”
“Nah kan.”
“Pip... pip...” pesan dari Hengki pun kembali terlihat di layar. Kata lelaki itu dia sudah menunggu nya didepan kantor. Apa? Ada di bawah? Yang benar saja. Batin Zarra kemudian tergesa turun ke lantai bawah.
Dia benar – benar tidak menyangka kalau lelaki itu berani datang ke sini. Bukannya tidak baik membiarkan orang menunggu terlalu lama. Oleh karena itu Zarra pergi dengan kecepatan tinggi hingga dia tidak sadar sudah menabrak seseorang. Tanpa melihat siapa orang yang ditabraknya dia berlalu pergi setelah meminta maaf.
“Tidak sopan sekali wanita itu.” Kata orang disamping orang yang baru saja ditabrak Zarra. “Loh bukannya itu gadis yang tadi pagi bikin onar di jalan?”
“Sudahlah pak Joko. Dia memang suka menabrakku.”
“Apa Tuan?”
“Ah tidak maksud saya, mungkin dia sedang terburu buru. Lihat! dia saja sampai tidak sadar menjatuhkan name tagnya.” Laki–laki itu kemudian mengambil name tag yang bertuliskan Zarra Khairina dan menyimpannya di saku nya.
***
8 Jam yang lalu
Delio terlihat melamun memandang jalanan yang sangat ramai dari balik kaca mobilnya. Jakarta tidak seperti New York, di sini kemacetan terjadi dimana-mana, lalu lalang orang pun tidak dapat dihitung lagi. Ditambah lagi panas dan polusi udara ini sungguh menyesakkan.
“Apakah tuan memerlukan sesuatu? Atau mau saya turunkan lagi AC nya tuan, sepertinya tuan dari tadi sedang gelisah.”
“Tidak perlu pak Joko. Saya baik-baik saja hanya sedikit bosan,” terang Delio ramah.
Sebenarnya selain perubahan suasana yang berbeda 180 derajad, ada satu masalah lagi yang membuatnya sangat gelisah. Hari ini hari pertamanya ke kantor, hari yang sudah dia nanti-nantikan sejak 5 tahun yang lalu. Dia masih agak canggung dalam berekspresi, dia harus bisa menunjukkan keberaniannya nanti. Dia tidak mau dicap lemah lagi, dia ingin dihari pertamanya ini dapat mengguncang seluruh dewan direksi. Mengukuhkannya sebagai pimpinan yang akan ditakuti semua orang.
Saat ini Delio hanya membutuhkan sedikit penyemangat. Andai saja dia memiliki seseorang yang bisa dia jadikan pemicu keberaniannya. Tiba-tiba ida dikagetkan suara pertengakaran.
Terdengar suara keras dari arah jalan diseberang sana, seletah dia amati lagi suara itu datang dari seorang wanita dan seorang laki-laki, lelaki itu terlihat sangat kasar tidak sepadan dengan si wanita yang sangat kecil dan lemah. Namun si wanita kecil itu justru memiliki keberanian yang sangat besar, dimatanya bagaimana seseorang dengan tubuh sekurus itu berani menantang pria yang jauh lebih besar darinya.
“Pak, pak, apa yang terjadi?” Delio membuka pintu mobil karena penasaran
“Itu pak tadi ada orang yang mau menabrak ibu itu,” kata pengguna jalan yang kebetulan lewat dan menunjuk ke arah ibu tua di belakang si wanita, “Dan sekarang dia sedang marah-marah menyalahkan keteledoran ibu-ibu itu, padahal jelas sekali dia yang salah, untung ada wanita itu.”
“Oh jadi begitu situasinya,” batin Delio, dia terus melihat kearah pertengkaran itu, diamatinya seluruh tindak tanduk si wanita.
“Sungguh keras kepala, dan apa-apaan ini tidak ada satupun orang yang menolong dia. Apa tidak ada satu orangpun yang bersimpati. Lihat wanita sekecil itu saja berani?”
Delio pun kehilangan kesabarannya setelah melihat bahwa lelaki lawan adu mulut sang wanita mulai melakukan kekerasan. Dia perlahan tapi pasti, berjalan ke arah si wanita. Digenggamnya tangan si lelaki sampai dia melepaskan genggamannya dari tangan si wanita. Dilemparkannya berlembar-lembar uang seratus ribuan.
Hanya karena uang yang tidak seberapa ini orang sanggup melukai orang yang lain. Sungguh rasa kemanusiaan penduduk negeri ini dipertanyakan. Si wanita terus menerus mengucapkan terimakasih atas bantuannya, namun dia menyadari satu hal, dia tidak asing dengan wajah si wanita, yah dia pernah beberapa kali menemuinya. Ingatannya menerawang jauh pada kejadian-kejadian lucu yang dia temui beberapa waktu yang lalu.
“itu bukan masalah besar. Lain kali berhati–hatilah jangan membuat masalah yang nantinya akn merugikan dirimu sendiri, gadis mawar. Ini pertemuan ke sekian kali kita, aku terkesan dengan perilakumu yang energik dan unik,” kata Delio, senyum tersungging dari mulutnya. Inilah kali pertama dia tersenyum semenjak kembali ke Indonesia.
Begitu saja, dia kemudian berlalu pergi karena sebentar lagi rapat direksi yang harus dia hadiri akan segera dimulai. Karena kejadian tak terduga barusan, semangat Shaka kembali terpacu, dia tidak akan kalah dengan keberanian wanita itu.
“Dia saja bisa seberani itu melawan lelaki yang jauh lebih kuat darinya, kenapa aku tidak bisa demikian melawan para direksi yang bukan apa-apa dimatanya itu,” batin Shaka.
“Apa Tuan sudah siap?”
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top