Bab 4
"Ra ayo cepat, kita harus segera berangkat. Ini kasus besar." Seorang laki laki berwajah bulat dengan kamera menggantung dilehernya berkata tergesa kepada wanita di depannya.
"Tunggu dulu, sesuap lagi ya. Lapar ih." Wanita berkemeja cream menyuapkan sesendok bakso ke mulutnya dengan lahap.
"Tidak ada tungu-tungguan! Kau tau target kita dirawat di rumah sakit ini juga. Itu keberuntngan kita, Ra. Ayo cepat," si lelaki langsung menarik paksa tangan wanita itu, namun dia tetap keukeh untuk meyuapkan sesendok lagi ke dalam mulutnya. Masih dengan mulut penuh makanan si wanita mengkuti kemana arah si lelaki melangkah.
"Ron tungin aku. Sejak kapan kau jadi lebih bersemangat dibanding aku."
"Sejak detik ini. Ayolah Ra. Zarra Khairina bukankah kau ingin menjadi wartawan yang super sukses. Ini berita besar jika kita bisa mendapatkannya." Mata Roni berbinar penuh kebahagiaan. Hoki mereka bagus sekali saat ini, kasus besar yang baru booming ada di hadapan mereka.
"Iya sih. Tapi kau mengganggu makan siangku," kata si wanita yang ternyata adalah Zarra.
"Gdubrak." Zarra menabrak sesuatu yang keras, seperti tembok, dia sampai jatuh terduduk. "Aduh, pantatku yang berharga."
"Mari saya bantu berdiri," suara berat seorang pria menggema di lorong rumah sakit. Zarra mendongakkan kepalanya kaget, ternyata dia bukan menabrak tembok namun seorang laki-laki.
'Wah, keras sekali badannya, apa dia seorng atlet, aku saja sampai terpental, dan lihat dia bahkan tidak bergeming dari posisi awalnya tadi," gumam Zarra. Kalau dilihat-lihat lagi sepertinya Zarra pernah melihat orang ini tapi di mana.
"Kau lagi. Apakah nona sengaja mengikuti saya atau apa?" kata pria yang baru saja ditabraknya. Nah, sekarang Zarra mengingatnya dia sudah bertemu beberapa kali dengan lelaki ini, namun itu hanya pertemuan yang tidak sengaja. Zarra saja sudah melupakan kapan dan diamana pernah melihatnya.
"Yang benar saja. Saya tidak mengenal Anda untuk apa saya mengikuti anda. Apakah saya terlihat seperti wanita yang tidak punya kerjaan di mata Anda. Sudahlah maaf atas perbuatan saya tadi, saya benar-benar tidak sengaja. Saya permisi dulu." Zarra pun bergegas meninggalkan si lelaki, dia melewati lorong demi lorong untuk sampai di ruangan VVIP rumah sakit ini.
"Darimana aja Ra?" Sambut Roni sebal.
"Ada lah. Kenapa tampangmu lesu begitu Ron? Bukannya tadi kamu sangat bersemangat sampai-sampai tidak mengizinkanku menghbiskan makan siang. Padahal bakso, bakwan udang, dan tempe goreng tadi sangat menggoda." Pikiran Zarra menerawang ke semua menu dihadapannya yang dia tinggal begitu saja beberapa menit lalu.
"Kita terlambat Ra, orang itu sudah dibawa pulang keluarganya dan sekarang kita benar-benar kehilangan dia," kata Roni bertubi-tubi.
"Kenapa kita tidak ke rumahnya saja? toh sama-sama di Jakarta, kan?" kata Zarra santai.
"Di mana? Tidak ada seorangpun yang mengetahui pasti di mana keluarga Leroy tinggal. Begitu banyak aset yang mereka miliki. Kita tidak akan dengan mudah menemukan keberadaan mereka."
"Ya sudah kalau begitu kita cari berita lain saja. Toh berita bukan hanya tentang keluarga Leroy. Ga dapat ikan Salmon ikan teripun ga masalah," jawab Zarra sekenanya.
Ia sendiri juga malas mencari berita orang yang teramat penting. Selain susah, dia juga harus menghadapi para ajudan di sekelilingnya. Belum lagi ancaman dari berbagai pihak. Meski menulis berita fakta namun kenyataannya berita tipu-tipu lebih laris.
Wajah Roni masih terlihat kecewa. Pandangan Zarra menyapu seluruh ruangan sampai akhirnya tertuju pada mobil BMW hitam di lantai bawah sana, bukankah itu laki-laki yang tadi dia tabrak.
"Rupanya orang kaya, semoga aku tidak berurusan lagi dengan lelaki itu. Sok kepedean banget. Ganteng sih iya tapi atitude nya itu loh," gerutu Zarra
"Ngapain ra? Ngomong sama tembok?"
"Ish.... mau tau aja sih. Yuk buruan cabut."
***
Di teras rumahnya Delio berdiam sendirian. Memandang jauh keluar sana sambil menimang-nimang telepon seluler di genggaman tangannya. Melihat sederet nomor yang sedari tadi terpampang di layar ponselnya dan tak kunjung di hubungi.
Nomor itu selalu disimpannya, tanpa pernah tahu apakah nomor itu masih berlaku atau tidak. Ia hanya ingin menyimpannya, melihatnya sesekali seperti malam ini, dan kembali merasa bersalah dengan si pemilik nomor.
Meski kini jarak mereka mendekat, tidak lagi terpisah lautan, Delio malah merasa mereka menjauh. Entah kenapa. Luka yang dulu dia torehkan masih mengendap dalam hatinya. Andai saja dulu dia bukanlah seorang pengecut, andai saja dia memiliki sedikit saja keberanian yang dimilikinya hari ini, semua tidak akan menjadi seperti sekarang.
Kakak, kamu jauh sekali rasanya. Semoga kamu masih mengingat ku. Dan apakah kamu sekarang sudah memaafkanku? Ataukah kamu masih tetap membenciku seperti saat itu?
"Kriingg... Kriinggg...." ponsel yang ada di tangannya kini berdering , betapa terkejutnya dia melihat nama yang terpampang di depan layar ponselnya sekarang, nama yang sedari tadi dia lihat, tangan dia bahkan tidak berani menekan tombol panggil, sekarang nomor itu malah yang menghubunginya.
"Ya hallo."
"Delio, kapan balik ke Indonesia? Kenapa tidak memberi kabar?" suara ceria seorang wanita terdengar begitu antusias, Delio mengenal suara ini, suara yang seharusnya ia jauhi. Suara seseorang yang seharusnya tidak pernah dia dengar lagi, karena pasti si pemilik suara sangat membenci dirinya.
"Kak Kinan?"
"Tentu saja aku Kinan, siapa lagi coba? Jangan-jangan kau tidak menyimpan nomor ku ya? Haah, dasar mentang-mentang aku bukan lagi calon kakak iparmu, kamu melupakanku begitu saja."
Tidak ada kata-kata kasar maupun hujatan kebencian keluar dari mulut sang wanita, bukan benci namun lebih seperti marahnya seorang kakak kepada adiknya yang telah lama tidak memberi kabar.
"Maaf kak," kata-kata yang ditahannya selama ini, kata-kata yang sangat takut dia ucapkan akhirnya tersampaikan juga. "Andai saja saat itu aku tidak egois, kak Rey pasti ...."
"Sudah lah Delio, itu semua takdir, kau tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri. Sudah 5 tahun berlalu, aku sudah hampir melupakan seluruh kejadian saat itu. Jadi apakah kau sudah membawa calon istri?" kata Kinan serius sembari mengalihkan perhatian.
Dia tau masalah yang waktu itu pasti menjadi pukulan terberat dalam hidup Delio, begitu pula dalam hidupnya sendiri. Bukanlah hal yang mudah melupakan kejadian yang merenggut orang yang sangat dia cintai. Namun dia juga sadar bahwa masalah itu bukan sepenuhnya salahnya. Delio masih begitu muda tahun saat itu dan diberi tanggung jawab sebesar itu bukanlah hal yang sepele.
"Haah, kok tiba-tiba calon istri? Kakak becanda ya?" kata Delio membuyarkan lamunan Kinan.
"Tentu saja aku serius, seorang direktur utama pasti membutuhkan pendamping kan. Atau kau mau aku menjadi pendampingmu?" Delio terkesiap mendengar kata-kata dari seberang sana. Kata-kata yang dulu saja tidak berani dia pikirkan. Baginya Kinan adalah Kakak perempuan yang sangat dia hormati dan calon kakak iparnya yang sangat baik. "Hahahaha aku becanda kali Deli. Lagipula aku sudah punya satu orang malaikat kecil."
"Kakak sudah berkeluarga?" mata Delio seolah ingin meloncat keluar mendengar kata-kata Kinan.
"Tentu saja, dengar ya, aku tidak mau terus menerus larut dalam kesedihan. Kau juga harus seperi itu Adelio Leroy. Kau tidak seharusnya terus menyalahkan kesalahan yang tidak kamu perbuat." Kinan mengucapkannya dengan nada sangat serius sampai akhirnya terdengar suara gadis kecil merengek minta disuapi oleh mamanya.
"Ma, lapar. Mau mamam."
"Iya... iya sebentar sayang mama baru berbicara dengan om Delio."
Sepertinya Kak Kinan sudah menjalani hidupnya dengan baik, batin Delio sedikit lega melihat kakak yang dia sayangi ternyata sudah mampu bergerak maju.
"Oh iya aku menantikan perjumpaan kita nanti, aku akan mengenalkankmu ke putri kecilku. Dia sangat manis. Dah Delio."
Sesaat setelah Kinan mematikan panggilannya, Delio menjatuhkan diri di ranjang. Dia sangat bersyukur ternyata hal yang selama ini dia takutkan tidak benar-benar terjadi.
Kak Kinan sudah memilih kebahagiaannya sendiri. Dan mulai sekarang dia juga harus berusaha lebih giat lagi . Dia harus bisa membongkar apa yang sebenarnya terjadi 5 tahun yang lalu. Misteri itu harus dia pecahkan, agar dia bisa tenang melepas kepergian sang kakak ke alam sana, dan bisa melanjutkan hidupnya, terbebas dari rasa bersalah.
"Sudah-sudah lebih baik aku mandi saja pasti pikiran akan menjadi lebih tenang," Delio pun berjalan kearah kamar mandi yang super besar, dibukalah satu persatu kancing kemeja yang sedari tadi melekat di tubuhnya. Dia mulai mencium semerbak harum mawar dari baju itu. Bau siapa ini, Delio tidak pernah merasa memakai parfum seperti ini, ini lebih mirib bau seorang wanita dari pada parfum maskulin miliknya.
Dia kembali mengingat-ingat kejadian hari ini yang bisa membuatnya mendapat aroma mawar ini.
"Oh rupanya parfum gadis itu tidak sengaja menempel di bajuku saat menabrak tadi, tidak buruk, aromanya manis," gumam Delio sambil membaui kemeja miliknya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top