Bab 3
1 Bulan yang lalu
Baru sehari Adelio Leroy tiba di Jakarta dan langsung menunggui di rumah sakit terus menerus, dari sekian banyak orang di rumah sakit itu, Delio lah yang begitu terlihat khawatir. Selama ini dia hanya mementingkan dirinya sendiri tidak pernah terbesit sedikitpun tentang keluarga. Namun sekarang setelah melihat ayahnya, seseorang yang dulu begitu keras dan angkuh, kini terbaring lemah tak berdaya, nuraninya pun tergerak.
Bagaimanapun juga didalam tubuhnya mengalir deras darah yang sama dengan sang ayah. Memang benar kata pepatah darah lebih kental daripada air, meski berbeda jarak sejauh apapun, meski dia kabur selama apapun, dan meskipun hatinya telah hancur sehancur hancurnya, tempatnya kembali tetaplah di sini, dipelukan kedua orang tuanya.
Semenjak kehadirannya di Indonesia, semua orang seketika melihat perbaikan yang pesat dari kondisi ayah Shaka. Meski Arfin Leroy belum bisa bicara dan bergerak banyak, kehadiran sang anak seolah menyulut api semangat dalam hidupnya.
Air mukanya tampak mulai segar, dan hampir selalu ada perkembangan baru dalam hitungan jam. Padahal beberapa hari yang lalu semua dokter hampir saja lepas tangan dengan kondisinya. Komplikasi jantung dan hati yang dideritanya sudah sangat kritis. Operasipun tidak menjadi jaminan kesembuhan untuknya.
Kelelahan dalam bekerja dan semua tekanan-tekanan itu membuat penyakitnya semakin parah, diatas semua itu pikiran tentang anaknya yang pergi dari rumah menjadi suatu pemicu yang memperparah kondisinya, kian hari kondisinya semakin menurun dan akhirnya satu minggu yang lalu dia tumbang.
Mariana sedang menemui dokter dan mengurus izin agar suaminya bisa dibawa pulang ke rumah. Ia yakin suasana rumah yang hangat akan mempercepat kesembuhan sang suami. Keajaiban yang dulu disebut-sebut oleh dokter, tampaknya telah melingkupi mereka.
Yang kuasa telah mengembalikanya kepada kami. Keluarganya telah utuh lagi. Anak kesayangan mereka yang menghilang 5 tahun lalu kini sudah berada disisinya.
Di tepi tempat tidur dimana ayahnya terbaring lemah, Delio duduk sejak kemarin malam. Matanya tidak lepas mengamati dan mengawasi. Tak pernah ia bayangkan, pria yang begitu gagah, energik, dan gesit, bisa terbaring tak berdaya seperti itu.
Saat ini Delio hanya ingin memastikan dirinya ada setiap kali ayahnya membuka mata dan memangggil dengan suara yang lemah atau lebih berupa bisikan. Namun, Delio tahu namanyalah yang selalu disebut.
Jika Hito tidak mengabarinya seminggu lalu dia tidak akan pernah tahu kondisi ayahnya sudah semakin parah, dia tidak akan pernah pulang ke negara tempatnya di lahirkan. Dia tahu keegoisannya 5 tahun yang lalu membuat kedua orang tuanya bersedih. Namun luka itu juga lah yang tidak mengizinkannya untuk kembali.
Pintu membuka pelan, Mariana masuk dengan sangat pelan, begitu sangat hati–hati. Dia tidak ingin membuat suara sedikitpun yang bisa mengganggu sang suami. “Ka, besok papa boleh kita bawa pulang, Operasi hati papa kemarin lusa sukses. Dan besok papa sudah diizinkan pulang meskipun harus dengan perawatan intensif,” katanya berseri-seri.
Delio menghembuskan nafas lega. Mukanya yang khawatir perlahan mulai menunjukkan adanya harapan.
“Mama sudah dapat rekomendasi suster yang bisa bantu merawat papa dirumah. Fisioterapinya juga sudah bisa dimulai pelan-pelan. Dokter juga akan selalu berkunjung secara berkala. Mama percaya papa akan segera membaik.”
“Ma...,” Delio ingin bertanya sesuatu, ragu, ya dia sama sekali tidak tahu harus mengatakannya dari mana, “Bisnisnya papa siapa yang urus?” itulah satu pertanyaan yang paling enggan dia tanyakan, tapi cepat atau lambat pasti akan terungkap.
Delio tahu persis bagaimana Bisnis itu bergantung pada ayahnya. Usaha hotel yang dibangun ayahnya dari nol itu murni miliknya seorang. Dialah orang nomor satu dan penentu di bisnis tersebut. Tidak ada yang bisa dipercaya menggantikan posisi ayahnya selain dirinya sendiri.
Entah berapa lama kantor, bisa bertahan tenpa kehadiran ayahnya. Apa lagi persaingan direksi semakin berat, pasti banyak yang menginginkan posisi direktur utama. Penggulingan kekuasaan akan mudah mereka lakukan kalau Delio tidak segera mengambil alih posisi ayahnya.
Meskipun dalam hati dia sangat tidak menginginkan jabatan itu, namun dia tidak akan membiarkan usaha yang dibangun ayah dengan susah payah direbut apalagi oleh orang itu. Orang yang dulu menyebabkan kakaknya meninggal. Andai saja kakak nya tidak meninggal pastilah sekarang dia bebas dari seluruh tanggung jawab yang merepotkan ini.
“Bagaimana ma?”
Ekspresi Mariana kontan berubah drastis. Sama seperti Delio diapun menghindari pembahasan mengenai hal itu, meski tahu cepat atau lambat mereka berdua harus membicarakannya. Mariana lalu menggeser kursi dan menggenggam tangan anaknya.
“Nak, mama tahu ini berat dan kita tidak punya banyak pilihan, untuk sekarang lebih baik kita fokus saja pada kembuhan Papa. Kamu gak perlu memikirkan tentang bisnis itu. Atau biar mama saja yang akan menggantikan ayahmu.”
“Tidak ma, Delio tidak akan membiarkan mama berada di posisi yang berat itu. Posisi itu sangat berbahaya,” potong Delio. “Para penjilat itu tidak akan dengan mudah mama tangani. Namun harus ada yang mau mengambil alih, kalau tidak, semuanya berantakan. Dan skenario terburuk semuanya akan hilang dari tangan keluarga kita.”
Mariana pun menunduk. Berharap dirinya tak perlu mengucapkan satu permintaan itu. Satu hal yang selama ini mengganjal dan sudah menyesak ingin keluar, tapi ia tak pernah tega memintanya pada Delio. Kejadian 5 tahun lalu saja sudah sangat berat bagi anak itu, meskipun sekarang dia terlihat lebih dewasa namun dia tahu luka itu masih ada disana.
“Saya akan menggantikan Papa,” Delio tiba-tiba berujar mantap. Tatapan matanya yang tajam membuat keseriusannya tanpa celah.
Mariana mendongak. Terperangah. Apa dia tidak salah dengar, baru saja anaknya mengucapkan apa. Benarkah dia mau menantang bahaya demi ayahnya. Benar-benar tak seperti Delio 5 tahun yang lalu. Lagi pula keputusannya untuk kembali ke Indonesia sudah menjadi bukti, bahwa dia sudah berubah.
“Saya tidak tahu harus mulai dari mana, Ma. Tapi saya akan coba sebisa saya,” lanjut Delio. “Saya tidak akan membiarkan orang-orang itu merebut posisi papa.”
Mariana mempererat genggamna tangannya, “Dari semua orang di dunia ini yang bisa Papamu percaya untuk menggantikan dirinya, hanya kamu orangnya. Kamu pasti bisa, nak.” Namun bersamaan dengan mengucapkan kalimat itu hati Mariana pun tersayat. Ia tahu betapa mahal pengorbanan yang diberikan anaknya. Sekali dia melangkah kesana tidak ada kata mundur bahkan sampai ajal menjemput. Delio lagi-lagi terpaksa membunuh semua mimpinya, untuk hidup bebas. Seandainya waktu bisa berputar, pikir wanita paruh baya itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top