Bab 15
"Delio mana ya, Ma?” tanya pria paruh baya dengan gelisah. Usianya memasuki kepala lima, hanya berbalutkan kemeja biru polos dan celana kain sedikit formal. Langkah-langkahnya yang masih terlihat berat hilir mudik sedari tadi.
“Palingan juga masih tidur di kamar,” jawab istrinya santai. Konsentrasinya baru pada dua botol obat yang sedang dia persiapkan diatas piring kecil sesuai dosis yang dianjurkan oleh dokter.
“Gimana sih kok kayaknya kita yang lebih antusias menunggu jawaban dari mereka dari pada calon pengantinnya sendiri,” dumel suaminya.
“Eh, itu anaknya datang!” seru istrinya ketika ia mendengar bel pintu dibunyikan beberapa kali.
Seperti balap lari, mereka buru-buru ke pintu depan dan langsung menyambut tamu yang sedari tadi mereka tunggu. Gadis itu nampak sangat anggun dengan atasan batik biru laut dan celana putih panjang. Seperti perkiraan mereka gadis itu sangat cantik. Kulit yang putih bersih, mata yang begitu hangat, rambut coklat panjang, dan bibir merona, makhluk tuhan yang luar biasa menurut mereka. Cocok sekali dengan anak kesayangan mereka berdua.
“Permisi om, tante. Saya Zarra anak pak Dwi Jati,” kata sang tamu ramah.
“Ayo-ayo silakan masuk.” Sang Istri terlihat sangat senang menyambut tamu yang dia nanti-nantikan. Dengan senyum mengembang dia meminta sang tamu masuk. Berbagai makanan sudah dia sediakan sedari tadi. Beberapa kue buatan rumahan tertata rapi di meja ruang tamu yang nampak luas dan nyaman.
“Silakan duduk nak,” sang suamipun tidak mau kalah. Dia begitu antusias, matanya tidak pernah lepas sedikitpun dari si tamu. Banyak hal yang dia khayalkan sekarang, memiliki menantu sesempurna ini adalah anugrah di keluarganya.
“Iya, Om, Tante,” jawab Zarra ramah.
“Silakan dinikmati! Kue-kue ini buatan tante semua. Sangat lezat,” pinta sang suami didorongnya beberapa nampan kue ke hadapan sang tamu. Terlihat sekali wajah tidak sabar dari kedua pasang suami istri itu seperti mereka telah menantikan saat-saat ini begitu lama.
“Akhirnya ya, Pah kita sebentar lagi akan menimang cucu,” celetuk sang istri. Si tamu sedikit tidak nyaman dengan hal itu. Namun melihat wajah bahagia kedua orang di hadapannya membuat sang tamu sedikit tidak enak hati jika dia akan menolaknya.
“Eee... anu tante, sebenarnya saya...” sedikit ragu namun Zarra sedikit memberanikan diri untuk menyela. Dia sama sekali belum mengatakan maksud kedatanganna dan sepertinya mereka salah menafsirkan hal ini.
“Iya kan pah, dia cantik sekali sangat cocok dengan anak kita. Pasti nanti cucu-cucu kita sangat menggemaskan.”
“Benar ma, papa sangat tidak sabar menantikannya. Apalagi dengan kondisi papa sekarang ini entah kapan Tuhan akan mengambil papa. Hanya ini satu-satunya yang papa inginkan, menimang cucu ma,” kata sang suami penuh haru.
Melihat sang pemilik rumah Zarra kembali teringat dengan ayahnya, mereka sama hanya seorang ayah yang sangat menyayangi anaknya, meski tindakan mereka dalam mencarikan istri untuk anaknya agak diluar batas kewajaran, pikir Zarra.
“Om... Tante... anu...” kata-kata Zarra pun sama sekali tidak digubrisnya. Mereka berdua malah asyik merencanakan masa depannya, yang bahkan si pemilik pun belum tau masa depannya seperti apa.
Zarra menjadi semakin bingung dan segan ingin mengungkapkan isi hatinya seperti apa.
Melihat wajah berbinar dari kedua pasangan itu, membuatnya urung menyampailam maksud kedatangannya.
Sungguh keluarga yang hangat dan menyenangkan juga terlihat sangat harmonis, istri yang memperlakukan suaminya dengan baik, sang suami yang terlihat sangat mencintai sang istri. Pasti akan sangat menyenangkan bila dirinya dapat menjadi bagian dari keluarga ini, batin Zarra penuh harap.
“Apa diterima saja ya, toh juga sudah dipaksa untuk menikah, deadline nya juga sebentar lagi. Apa salahnya dicoba, tapi kalau anak mereka ternyata om-om tua mesum bagaimana, atau siapa tau dia pemuda yang sangat tampan seperti didalam novel-novel romantis,” kedua pikiran-pikiran itu terus melayang dibenak Zarra. Dia bingung untuk memutuskan yang mana, padahal dia sudah membulatkan tekat untuk merundingkan masalah ini terlebih dahulu. Baru memutuskan untuk menerima atau menolaknya.
“Pak Dwi Jati orang yang terlihat sangat jujur dan dapat dipercaya, buktinya anaknya benar-benar datang kesini ya, Pah. Dia pasti akan menepati apa yang telah dia ucapkan kepada keluarga ini, sungguh orang yang sangat baik,” sang istri tidak jemu-jemunya berbicara, membicarakan apapun. Seperti seorang ibu yang sangat menantikan dapat berjumpa dengan anak perempuannya ada banyak hal yang ingin dia bagikan.
Mendengar kata-kata barusan batin Zarra seperti tersambar petir, tante ini benar, janji tetaplah janji apapun itu dia harus menepatinya. Karena janji adalah hutang yang bagaimanapun juga harus dia bayar. Apalagi keluarga ini sangat baik kepada ayahnya. Jika bukan karena keluarga ini yang telah menolong ayahnya, mungkin sekarang keluarganya sudah hidup di emperan toko.
“Iya tante, saya kemari ingin memberikan jawaban atas janji ayah saya. Saya akan dengan senang hati menerima pinangan dari keluarga om dan tante. Ayah sudah menceritakan semuanya. Saya mewakili seluruh keluarga saya, sangat brterimakasih atas bantuan Om dan Tante,” kata Zarra mantap, sekarang di hatinya sudah tidak ada lagi ganjalan, dia dengan tulus menerima pernikahan ini. Sebagaimanapun wajah sang suami, dia tetap tidak akan menarik kata-katanya.
“Alhamdulillah, Jadi besok kita langsungkan pernikahannya, papa setuju kan,” jawab sang istri cepat.
“Tentu saja, Joko, Joko,” sang suami dengan mantap menyetujui permintaan sang istri. Bagi mereka mempersiapkan pesta adalah hal yang mudah. Meskipun akan memerlukan waktu untuk mempersiapkan pernikahan di catatan sipil namun mereka bisa melangsungkan pernihakan menurut agama terlebih dahulu.
“Iya tuan,” terlihat pria paruh baya tergopoh gopoh mendekat ke arah si tuan rumah.
“Tolong segera persiapkan pesta semeriah mungkin ya, besok Delio dan Zarra akan menikah.” Pinta sang istri tergesa, seperti takut jika pernikahan ini tidak segera berlangsung Zarra akan berubah pikiran.
“Apa tidak terlalu terburu-buru Tante? Saya saja belum berkenalan dengan calon suami saya?” terang Zarra.
Batin Zarra sedikit berdebar, bagaimana mungkin dia akan menikah secepat itu. Dia saja tidak tahu rupa calon suaminya.
“Ah, iya tante lupa memperkenalkan kalian. Del... Del... Delio kemari sebentar nak,”
Zarra seperti mengenal nama itu. Kalau tidak salah ingat pria yang dia kenalnya beberapa hari yang lalu bernama Delio. Tapi pria itu terlalu sempurna untuk ukuran pria yang dijodohkan. Bukannya tampang sesempurna itu bisa mendapatkan hati siapa saja, kenapa dia mau memyetujui perjodohan konyol ini.
"Mungkin hanya namanya saja yang sama," gerutu Zarra. Namun batinnya masih tetap penasaran apa benar calon suaminya adalah orang yang seperti dalam pikirannya? ataukah benar hanya kebetulan namanya sama.
Tidak berselang lama seorang lelaki datang mendekat kearah mereka. Terlihat lelaki itu baru saja bangun dari tidurnya, masih dengan celana kolor dan kaos oblong berwarna putih dan rambut masih setengah acak acakan dia menghampiri sumber suara yang sedari tadi ribut memanggilnya. Sambil mengusap kedua matanya dan sesekali menguap, lelaki itu ikut duduk di kursi di depan Zarra. Sepertinya dia belum menyadari keberadaan Zarra, karena dia masih sibuk mengumpulkan nyawa.
“Apa-apaan ini Del, kamu belum, bersiap? Bukankah mama sudah memberi tahumu kemarin, kalau hari ini kau akan bertemu dengan calon istrimu,” keluh sang istri yang ternyata bernama Mariana itu, dia sampai tidak habis pikir dengan kelakuan anaknya satu ini.
"Maaf ya Zarra sayang. Anak ini memang kadang susah diatur. Tugasmulah yang mengaturnya setelah kalian resmi menikah,"
Zarra mengamati lelaki itu dari ujung kepala sampai ujung rambut, benar dia lelaki yang sama yang menemukan name tagsnya dulu. Lelaki yang terlihat sangat memperdulikan penampilan itu, sekarang bertingkah seperti lelaki kebanyakan sangat cuek dengan penampilannya.
“Hmmm, calon apa ma? dan siapa Za...rra...” kata si lelaki, kali ini dia terbengong-bengong melihat gadis di depan matanya. Dia gadis itu, gadis yang sama yang selalu mengusik hidupnya, sekarang disini di depan matanya dan melihatnya hanya berpakaian kolor. Delio pun langsung ngacir kembali ke kamarnya. Mukanya memerah menahan malu. Dia sama sekali tidak tahu bahwa wanita yang hendak kedua orang tuanya kenalkan adalah wanita itu.
Zarra hanya senyam senyum sendiri melihat kelakuan lelaki di depannya.
"Makanya kalau mama ngomong itu didengerin, kan jadinya kamu sendiri yang malu," omel mama Shaka rupanya dia membuntuti anaknya pergi. "Segeralah bersiap dan antarkan Zarra ke butik langganan mama, kalian fitting baju disana."
“Apa? Fitting?” kali ini Delio terlihat sangat terkejut.
"Iya kalian akan menikah besok, jadi persiapkan baik-baik! pilihlah gaun yang sangat cantik untuk calon menantu mama. Ingat itu Del!"
'Apa-apaan kedua orang tua ini, seenaknya saja memutuskan, bisa-bisanya menikah besok kenapa tidak sekalian hari ini saja,' batin Delio.
Meskipun Delio agak kurang setuju dengan pernikahan yang terkesan seperti lomba lari ini, jauh dilubuk hatinya dia sangat bahagia. Calon istri yang dipilihkan kedua orang tuanya adalah wanita yang sama yang sudah mencuri hatinya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top