Bab 14
Senin adalah hari sibuk untuk semua orang termasuk Zarra, pagi-pagi buta dia sudah meluncur ke TKP untuk mengumpulkan berbagai macam informasi. Berbekal buku catatan kecil, sebuah bolpoin dan handphone, dia memulai aksinya, mencatat detail demi detail kejadian di lokasi itu.
Di sana sini tampak berkerumun beberapa wartawan yang lain, para polisi pun juga sedang sibuk mencari berbagai bukti. Mereka semu aseperti diburu waktu untuk menyelesaikan tugas mereka masing-masing.
“Hei, Zarra. Kita bertemu kembali. Ternyata kau benar-benar seorang wartawan. Tidak menyangka ya, badan sekecil itu gesit sekali mencari informasi sampai-sampai ikut terjaring, ” canda salah seorang lelaki berpakaian polisi lengkap, mengingat kannya kembali kejadian didalam penjara saat itu. Lelaki itu juga sibuk mencaat beberapa hal yang dia temukan di notes kecilnya.
“Oh pak Aditya. Anda baru saja memuji atau menghina saya?” sambung Zarra pendek. Lelaki disampingnya ini sungguh tak terduga, banyak sekali ekspresi yang dia tunjukkan, pertama bertemu sedingin es, lalu sekarang sehangat mentari.
“hahaha..” wajah tertawanya ini juga sangat rupawan menurut Zarra.
“haah, sudah lah. Anda yang menangani kasus ini?”
“Ya, sangat miris kan?” benar, hal ini sangat di sayangkan.
Berita yang dia ulik hari ini sedikit bukan tapi sangat miris. Sebuah klinik dinyatakan telah terbukti melakukan praktek aborsi. Setelah pihak kepolisian mengadakan penyelidikan diketahui bahwa sebuah klinik ibu dan anak yang cukup terkenal ini memliki beberapa kasus terselubung.
Ternyata selama ini klinik itu sudah menjalankan praktek illegal, sudah lebih dari 2600 kasus aborsi telah mereka tangani selam lima taun belakangan Beberapa orang kini telah ditetapkan sebagai tersangka termasuk beberapa dokter dan perawat.
“Bapak benar. Sangat kejam, bukan hanya tersangka yang kejam, namun si pelaku aborsi juga sangat tidak berperi kemanusiaan. Saya sendiri sebagai wanita sangat menyayangkan hal ini. Karena saya yakin wanitalah yang sangat dirugikan,” tambah Zarra.
Yang lebih disayangkan lagi adalah fakta bahwa kebanyakan yang melakukan praktek aborsi adalah para pelajar dan mahasiswa. Miris sekali, dulu saat mereka melakukannya, mereka sangat menikmatinya dengan alasan suka sama suka namun setelah buah cinta mereka tumbuh dan berkembang, mereka ingin menyingkirkannya begitu saja.
Karena dari awal mereka lah yang salah, mereka bertindak tanpa memikirkan hal apa yang akan terjadi nanti. Rasa malu membuat mereka rela melakukan bebagai macam cara, termasuk cara-cara kotor seperti ini.
“Padahal diluar sana ada banyak pasangan yang merindukan kehadiran seorang anak. Mereka rela mengeluarka uang puluhan juta agar mereka bia menimang seorang bayi. Sungguh sangat bertolak belakang dengan kasus ini.”
“Begitulah manusia,” celetuk Aditya. “Oh iya, kita belum pernah berkenalan secara resmi kan? Saya Aditya, panggil saja Adit.”
“Ah, saya Zarra. Bapak suami Aliya kan?”
“Haaa.. suami? Sepertinya ada kesalah pahaman disini,”kata sang polisi bingung.
“Pertama saya bukan suami siapapun, pacar saja tidak punya apalagi istri. Kedua Aliya itu kakak ipar saya, yah meski kami seumuran tapi dia adalah istri dari kakak saya. Ketiga, bagaimana mungkin kau beranggapan dia itu istri saya?”
“Karena cincin.” Kini Zarra baru memperhatikan dengan jelas ternyata dijari manis lelaki ini tidak ada cincin. Jadi benar bahwa dia hanya salah paham. Di liriknya sang lelaki, muka Zarra kini memerah karena malu “Ah, maafkan saya.”
Para polisi yang lain melongo melihat keakraban Aditya dan Zarra. Mereka saling menoleh ke satu sama lain, saling membisikkan hal yang sama. Baru kali ini mereka melihat atasan yang samgat serius itu tertawa riang, bercengkrama dalam waktu yang lama dengan seorang wanita. Sungguh ekspresi yang baru bagi mereka.
“Hoii Ra, sudah selesai?” tanya Roni terengah-engah. Tampaa dia buru-buru datang mencari Zarra “Ada berita bagus Ra, tentang ayahmu.”
Setelah mendengarkan penjelasan Roni, Zarra langsung bergegas pulang. Dia tidak sabar bertemu kembali dengan sang ayah. Kerinduan yang begitu menyeruak terpancar dari wajahnya. Air matanya sesekali menetes ke pipi putihnya.
“Ayah, Ayah dari mana saja?” Seketika itu pula Zara berlari memeluk sang ayah, berminggu-minggu menghilang tanpa kabar. Syukur Alhamdulillah sekarang ayahnya pulang dengan selamat. Begitu banyak pertanyaan di benak Zarra, namun dia urungkan karena dia tahu sang ayah pastilah sangat letih. Dia ingin memberikan ruang untuk ayahnya beristirahat, toh masih ada banyak waktu untuk bertanya.
“Sekarang semua sudah lengkap, ayah ingin mengatakan sesuatu kepada kalian semua,” ucap sang ayah. Dimatanya terpancar keraguan yang sangat besar. Tidak ada sepatah katapun keluar dari mulut sang ayah, hening selama beberapa saat.
“Perusahaan kita sudah sangat jatuh, tidak ada yang tersisa sama sekali. Semua aset dan uang kita telah dibawa lari oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Bermimggu-minggu ayah berusaha mencari jalan keluarnya sendiri. Namun hasilnya nihil. Ayah sangat bingung apa yang harus ayah sampaikan kepada kalian semua, maka dari itu ayah menghilang tanpa kabar, ayah memutuskan untuk merenung sebentar saja, berusaha untuk memberanikan diri menghadapi kalian.”
Wajah lelah terpancar, kerutan di keningnya menandakan bahwa masalah ini benar-benar serus dan telah mencapai batas yang dapat beliau tangani seorang diri.
“Apa? kita bangkrut?” kata Andin tidak terima. Yah tidak bisa dibayangkan cewek yang sluruh hidupnya digunakan untuk berfoya-foya bisa dengan mudah menerima situasi saat ini.
“Jadi maksud ayah sekarang kita semua miskin?” tanya Karin menegaskan. Dia juga tidak mau jika hidup mereka yang sudah sempurna ini tiba-tiba terguling ke posing bawah. Hal yang memalukan baginya, dia tidak akan bisa menampakkan mukanya didepan teman-teman sosialitanya dan pacarnya tentunya.
“Ayah belum menyelesaikan kata-kata ayah.” Pandangan mata sang ayah menerawang jauh, seperti mengingat-ingat kejadian yang begitu penting
“Saat ayah menyendiri, ayah tidak sengaja bertemu satu keluarga yang sangat baik, padahal kita tidak saling mengenal sebelumnya namun mereka dengan senang hati menawarkan bantuan. Dan bantuan itu tidak sedikit, bagi perusahaan kita hal itu sangat kita butuhkan, bahkan bisa membuat perusahaan kita berkembang lebih baik lagi.” Kali ini tatapannya semakin terlihat sedih, keringat mulai mengalirdari plipisnya.
“Wah itu kabar baik, lalu kenapa wajahmu sangat murung seperti itu?” tanya ibu menyelidik.
Zarra dan adik-adiknya pun merasa demikian, meski kabar pertama memang sedikit kurang baik namun ayah mereka sudah menemukan solusinya bahkan dapat mengembangkan perusahaan lebih besar lagi bukankah itu adalah kabar yang sangat baik, lalu kenapa hal it tetap tidak membuatnya senang.
“haaahh, tapi bayaran dari bantuan mereka adalah, mereka menginginkan salah satu putri ayah sebagai menantu mereka,” meski keraguan itu masih terlihat dari suaranya, namun sang ayah tetap mengatakannya.
“Ayah telah berjanji akan menerima pinangan itu sebagai ganti atas bantuan yang mereka berikan.” Kali ini wajah sang ayah tertunduk sedih.
“Maafkan ayah, ayah benar-benar tidak tahu lagi harus meminta bantuan kepada siapa, Ayah tidak bisa membiarkan kita semua menjadi gembel.”
“Tapi ayah aku tidak mau,” gerutu Karin
“Aku juga, aku kan udah punya ayang Satria.” Tambah Andin.
“Tidak apa ayah, ayah sudah melakukan hal yang benar. Karena Andin dan Karin sudah memiliki pasangan dan dirumah ini hanya Zarra yang belum memiliki pasangan kenapa tidak kita kirimkan saja dia. Benarkan nak,” jelas ibu Zarra diiringi ucapan setuju dari kedua saudaranya, mata mereka tampak berbinar, senyum meremehkan pun tersungging dari wajah mereka.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top