Bab 13
Tidak ada alasan untuk meninggalkan Bandung pada musim seperti ini. Hujan gemricik, inilah masa terbaik untuk menghabiskan waktu yang hangat bersama seluruh keluarga, sambil menikmati hangatnya coklat panas buatan mama merupakan surga terbaik bagi Zarra kecil.
Saat itu usianya baru 5 tahun saat mereka bertiga masih tinggal di sana. Mama yang sangat menyayanginya dan ayah yang selalu bermain dengannya. Dari pagi hingga sore dihabiskan bercengkrama juga bercanda bersama. Kenangan yang sangat manis yang tak bisa Zarra kecil lupakan.
Mata Zarra sudah tidak bisa lagi dibuka, semalaman dia dihukum oleh ibunya membersihkan seisi rumah. Dengan rasa kantuk yang teramat sangat dan sesekali jatuh tertidur, Zarra tetap menyelesaikan semua tugas yang diberikan sang ibu. Dia sadar ini tidak adil, namun dia juga tau ini adalah hukuman yang sebanding dengan tidak pulang semalaman.
Semilir angin pagi mengalir sejuk dari celah jendela di depannya, terlihat beberapa anak sekolah mulai berlarian menuju ke sekolah yang tidak jauh dari kompleks perumahan miliknya. Hal itu menandakan hari sudah menunjukkan hampir pukul 7. Dia bergegas menyelesaikan semua pekerjaannya secepat mungkin, lalu mandi dan bersiap ke kantor.
Kali ini Zarra berjalan kaki menuju kantor, dia sengaja melakukannya untuk mengusir kantuk juga agar badannya lebih segar. melihat hijaunya dedaunan dan birunya langit membuat perasaannya sedikit ringan. Dia merasa bukan apa-apa dibanding luasnya semesta, kerikil kecil dirumah bukan halangan dirinya untuk terus berkarya.
"Sayang, sini aku saja yang suapi," beberapa bisikan muda mudi mulai terdengar di sana sini. Musim hujan, musim pacaran membuat Zarra merasa terkucilkan ditambah lagi dateline menikah tidak sampai 30hari lagi.
"Haaaahhh,"
Terlihat beberapa orang berjilbab sedang asyik bercengkrama disalah satu sudut rumah makan. Ada dua orang laki-laki dan juga dua orang perempuan duduk saling berjauhan. Seorang lelaki terlihat memandang si perembuan sambil menimang-nimang, si perempuanpun juga ikut melirik si lelaki dengan malu-malu.
"Lagi ta'aruf ya, lucu sekali tingkah mereka. Seandainya aku juga bisa ta'arufan. Yah mana ada yang mau dengan gadis yang tidak berjilbab sepertiku," guman Zarra mengomentari calon pasangan yang masih malu-malu itu. Dipandangnya begitu lekat. Suasana yang terlihat damai, mencari pasangan dengan jalan keagamaanpun tidak ada salahnya, semua punya jalannya masing-masing untuk menemukan pujaan hatinya.
Muda mudi yang masih ingusan pun merasa jalan mereka sudah benar dengan mencari pasangan lewat pacaran meski mereka belumlah berfikir akan menikah dengan pasangan mereka sekarang, namun memiliki pacar adalah kebanggaan tersendiri unyuk anak-anak seusia mereka.
Para gadis dan lelaki pengahamba Tuhanpun mencari pasangan dengan cara mereka yang santun, dengan tidak saling bersentuhan, dengan saling menghargai satu sama lain, dengan campur tangan pihak ketiga yang akan mendampingi di manapun mereka berjumpa, yang mana tidak membiarkan dua sejoli berduaan.
Semua manusia punya jalan mereka sendiri yang kesemuanya itu indah juga unik.
"Gdubrak..."
"Aduh maaf, maaf saya tidak melihat kedepan," karena terlalu asyik baper dengan kisah cinta orang-orang disekitarnya Zarra berjalan tanpa melihat orang disekitar dirinya.
Dia ternyata menabrak seorang gadis cantik berkerudung merah muda, yang sekarang terlihat sedabg memunguti beberapa buah buku yang berserakan dijalan. Zarra pun dengan sigap turut membantu gadis itu, sabgat teduh pikirnya.
Dipandangnya lekat gadis itu, Zarra terus mengingat dimana dia pernah melihat wajah itu. Tidak asing.
"Terimakasih banyak," gadis itu lalu memandang Zarra dengan berbinar. "lho Zarra kan, apa kabar? ini Aliya, teman SMA dulu,"
Pantas saja Zarra merasa tidak asing dengan dirinya. Ternyata dia adalah Aliya, ketua kelasnya dulu, gadis yang anggun dalam balutan baju takwa nya. Dahulu dia sudah sangat cantik dengan jilbab anak SMA nya, sekarang lebih tampak teduh dengan jilbab besar seperti ini. Gadis seperti ini pastilah sudah memiliki tambatan hati, laki-laki mana yang akan menolak pesona sedasyat ini.
Tersemat cincin di jari manisnya, tanda bahwa dia telah laku terjual. Entah kenapa semenjak ultimatum dari ibu sambungnya beberapa hari lalu untuk segera menikah, Zarra selalu sensitif memperhatikan hal-hal remeh yang berhubungan dengan cinta dan pernikahan.
"Hei benar Zarra kan? Hmm, apa aku salah orang ya," tampak Aliya bingung dengan respon lawan bicaranya yang hanya terbengong-bengong.
"Ah iya benar ini Zarra, maaf loading dulu hehehehe," canda Zarra. Beberapa saat mereka mebgobrol hangat. Teman yang sudah lama tidak berjumpa, jika sekarang berjpa hal-hal memalukan saat SMA pasti dibahas, mimpi-mimpipu tidak luput dari perbincangan.
"Wah kamu semakin sukses ya sekarang, irinya, aku sekarang tidak melakukan apapun ini hanya seorang ibu rumah tangga,"
"Kamu beruntung sudah mendapat tambatan hati di usia ini." gumam Zarra lirih.
Padahal dimata Zarra yang dimiliki oleh Aliya adalah sesuatu yang diinginkannya sekarang, keluarga kecil, dengan suami yanga sangat menyayanginya.
Terkadang, lebih tepatnya biasanya orang memandang orang lain begitu sempurna dan mengeluhkan apa yang kita miliki sekarang, padahal orang lain memandang kita demikian seperti kita memandang orang lain.
Jadi sebenarnya siapa yang dikagumi oleh siapa, apa yang seharusnya dikeluhkan jika orang yang memandang kita saja sangat kagum dengan apa kita miliki sekarang.
"Hei, Aliya." panggil seorang laki-laki, yang sedang berlari tergopoh-gopoh. Terlihat sekali lelaki itu cemas mencari Aliya. Keringat sedikit mengalir dari dahinya.
"Oh, Adit, maaf tadi aku mau berbelanja sebentar di toko seberang, malah keasyikan ngobrol sama temen." jawab Aliya sambil tersenyum.
"Kenapa tidak menghubungi, aku kan cemas." lelaki itu begitu mencemaskan Aliya, terlihat jelas dari wajahnya.
Apakah kalau memiliki pasangan akan seperti itu, terus diperhatikan, serasa dunia milik berdua. Zarra belum pernah sekalipun merasakan yang namanya pacaran meski wajahnya sangat diatas rata-rata. Yah itu semua karena dia terlalu disibukkan dengan berbagai pekerjaan.
"Cih, bucin banget sih nih cowok. Lebay kali udah segedhe gini dicariin," batin Zarra. Dia terus memperhatikan lelaki ini, dia mengenakan kaos oblong putih polos dengan celana jeans berwarna biru dongker, tas selempang melingkar di bahunya yang bidang, ditangannya tersemat sebuah jam hitam yang elegan, menambah daya tarik lelaki ini.
"apa sih kelebihannya sampai Aliya bisa jatuh hati pada lelaki ini, keren sih, tapi Aliya sepertinya bukan tipe yang memperhatikan tampang." gerutu Zarra
"Loh, kamu kan? Kalau tidak salah, nona wartawan yang kemarin? saya Aditya, masih ingat?"
"oh laki-laki itu toh, pantas sepertinya pernah lihat."
"Hai, saya..."
"kalau begitu aku duluan ya Al, sudah mau telat ini, lain kali kita berjumpa lagi ya. Jangan lupa chat aku," Zarra bergegas meninggalkan Aliya. Selain menghindari kedua pasangan itu, dia memang sebentar lagi terlambat jika tidak bergegas.
Hari yang aneh menurut Zarra, namun dia sangat menantikan perjumpaannya lagi dengan Aliya. menurutnya Aliya yang sekarang sudah terlihat sangat dewasa dan memyenangkan mengobrol bersamanya.
"Yahh dikacangin," keluh Adit yang merasa diacuhkan oleh Zarra.
"Sudahlah Adit, kalau kau tertarik dengannya lain kali akan aku kenalkan deh, percaya pada kakak iparmu ini."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top