Part 6

Sooji melangkah ke dalam rumah guna menghindari segala konfrontasi yang mungkin akan dilayangkan pria itu kepadanya sebentar lagi. Jujur saja, selama makan malam berlangsung ia sama sekali tidak menikmati hidangannya, meskipun terlihat begitu menggiurkan tapi semuanya terasa hambar saat melewati kerongkongannya, hanya karena berada dibawah tatapan tajam pria itu.

Sekarang, disaat semua orang memilih untuk bersantai dan bercengkrama setelah sesi makan malam selesai, Sooji berpikir bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk pergi. Mungkin mendekam didalam kamarnya hingga pria itu pulang adalah pilihan yang baik, oa juga mengucap syukur pada Ibunya yang menahan pria itu dengan mengajaknya bicara, setidaknya ia punya waktu untuk bersembunyi sebelum ditemukan olehnya.

"Dasar bodoh! Seharusnya dia membantuku tadi-huh," dengan langkah pasti Sooji menuju ke kamarnya diiringi oleh gerutuan pada Wonho yang bersikap masa bodoh atas masalah yang menimpanya nanti-atau Wonho memang tidak mengetahuinya.

Sooji sebenarnya berpikir, mengapa ia harus merasa cemas dan takut kepada pria itu? dia tidak merasa melakukan kesalahan tapi kenapa ia bisa sekacau ini?

Apa mungkin karena tatapannya? Jika saja sebuah tatapan bisa membunuh seseorang, Sooji yakin sejak tadi ia sudah akan kehilangan nyawa karena tatapan bengis yang diberikan oleh pria itu kepadanya. Tapi tidak terjadi apapun padanya, apakah ketakutannya berlebihan?

"Mau ke mana?"

Sooji tiba-tiba berhenti saat baru saja akan melangkahkan kakinya untuk memijak tangga kayu yang akan membawanya ke lantai dua, dimana kamarnya berada--tempat teraman di dalam rumah ini dan ia langsung menyesali keputusannya sesaat setelah merasakan lengannya ditarik secara paksa sehingga tubuhnya berbalik dan menemukan pria itu di sana. Menatapnya garang dengan wajah mengeras.

Hei! Kenapa harus semarah itu padaku?

"Kau tidak berhak bertanya padaku!" Sooji langsung mengeluarkan suaranya dengan spontan. Myungsoo berdecih, menyeringai menatap Sooji tajam mendengar pernyataan konyol itu.

"Soojung huh? Who the hell is she?" Desis Myungsoo membuat Sooji menelan salivanya gugup, ia mengerjapkan mata berusaha untuk terlihat berani di mata pria itu.

"A-apa urusanmu?" Sooji mengumpati suaranya yang terdengar bergetar dan demi apapun yang dimilikinya, ia sempat melihat senyum mengejek pria itu sebelum memasang wajah datarnya kembali. Sooji meringis, ia tidak akan kalah kali ini, menarik nafasnya dalam-dalam kemudian menghembuskannya dengan panjang.

";aiklah aku akan menjawab tapi lepaskan tanganku!" Sooji menatap Myungsoo dengan berani, ia menggeram saat tangan pria itu sama sekali tidak meninggalkan lengannya.

"Who the hell is she?"

"Nah, jadi sekarang kau tertarik dengan seorang wanita, Mr. gay?" Sooji menyeringai melihat wajah mengeras Myungsoo, "are you straight? Oh-this is big news!"

"Tutup mulutmu!" Myungsoo menggeram mencengkram lengan Sooji lebih keras, ia menatap nyalang gadis itu "jawab pertanyaanku selagi aku memintanya baik-baik."

"Baik-baik? Menyakiti lenganku kau katakan adalah cara yang baik-baik? How good!" Sooji berseru lalu menarik paksa lengannya yang terasa kebas dari pegangan Myungsoo, bersyukur karena pria itu tidak menahannya lebih lama karena ia yakin sekarang memar telah tercipta di sekitaran lengannya.

"Katakan saja padaku siapa wanita itu? dan siapa kau sebenarnya?" Myungsoo bertanya dengan marah, tapi Sooji bisa menemukan setitik rasa frustasi dari tatapan tajam pria itu dan ia menjadi sedikit goyah. Apakah perasaanmu untuk Wonho sebesar itu?

"Perasaanmu pada Wonho sebesar itu ya?" Alih-alih menjaga pertanyaan itu untuk dirinya sendiri, ia malah menyuarakannya dengan lantang, sedetik kemudian bibirnya mengeluarkan ringisan pelan ketika punggungnya membentur dinding secara tiba-tiba akibat dorongan kasar dari Myungsoo, ia mendengar pria itu menggeram semakin menatap marah kepadanya.

"Aku tidak main-main saat mengatakan aku meminta dengan baik-baik Bae Sooji," Myungsoo mendesis mengunci tubuh Sooji diantara dinding dan tubuhnya, menatap gadis itu garang. Ia bahkan sudah mengabaikan kedekatan wajahnya dengan wajah Sooji karena terlalu marah. Semua wanita sama! Sama-sama menyusahkan!

Lalu hening, Myungsoo terengah menatapnya karena emosinya yang meledak saat ini sementara Sooji tercekat menatap mata pria itu dari jarak terdekat yang bisa dijangkaunya untuk pertama kali. Bisa melihat sesuatu yang kelam dari balik ketajaman manik hitam itu, ia seakan tertarik dalam pusaran kehampaan serta lautan kesedihan yang bersarang dikedua bola mata yang terlihat sangat tegar dari luar namun begitu rapuh ketika menelisiknya lebih dalam. Mata itu seolah bercerita segala kesengsaraan yang telah dilaluinya selama ini, betapa kuatnya goncangan hidup yang telah menimpanya sampai saat ini dan Sooji bisa melihat semua itu dengan sangat jelas.

Sooji tertegun, tiba-tiba saja--tanpa tau malu perasaannya yang entah datang dari mana begitu ingin tau masa lalu pria itu. Satu menit yang lalu ia bahkan yakin jika masih sangat membencinya, tapi hanya dengan menatap mata itu perasaan bencinya langsung digantikan oleh perasaan simpatik yang sama sekali tidak pernah ia rasakan kepada siapapun selama ini.

"Myungsoo," Sooji dengan bibir yang bergetar berbisik memanggil pria itu, untuk pertama kalinya ia melafalkan nama itu dengan begitu hati-hati dan penuh perasaan.

"Sooji? Myungsoo? Apa yang kalian lakukan di sana?"

#

Sooji merutuki dirinya yang begitu lemah, mengapa ia harus terlena hanya dengan menatap mata pria itu? Seberapa kuat pengaruh kedua bola mata hitam itu sampai membuatnya tidak sadar dan hampir saja melakukan yang sangat memalukan-untuk kedua kalinya.

Sementara dihadapannya, Yoorim menatap sepasang manusia itu dengan alis berkerut. Berniat untuk mencari Sooji di dalam rumah tapi yang ia dapatkan adalah sesuatu yang mengejutkan.

"Jadi?" Yoorim membuka suara, menunggu penjelasan salah satu dari mereka. Itu tadi sangat dekat dan Yoorim tidak yakin apa yang telah putrinya dan Myungsoo lakukan dengan posisi seintim itu.

Myungsoo mendongak menatapnya, terlihat kebingungan, bibirnya terbuka namun tidak berhasil mengeluarkan satu katapun dan Sooji? Gadis itu malah masih sibuk mengutuk kebodohannya tadi.

"Sooji?"

Sooji tersentak menatap ibunya yang sedang menunggu, wabita itu mendesah panjang. Sangat ingin meneriakkan bahwa ia dan Myungsoo tidak melakukan apapun dan mereka sama sekali tidak memiliki hubungan apapun, tapi dia tau ibunya tidak akan percaya dengan apa yang dikatakannya meskipun itu kebenaran karena apa yang akan diungkapkannya berbanding terbalik dengan apa yang ibunya lihat.

"I-itu-" Sooji tergagap melirik Myungsoo, pria itu masih tidak bersuara dan sepertinya tidak berniat membantu untuk menjelaskan apapun kepada ibunya membuat Sooji kembali meradang. Setidaknya mereka berdua bisa meyakinkan ibunya jika memang tidak ada apa-apa.

"Itu apa Sooji?" Dan ketika Yoorim semakin mendesaknya, menimbulkan berbagai macam alasan serta penyangkalan untuk ia ungkapkan saat ini tapi dari sekian ide yang tercetus dalam otaknya sama sekali tidak ada satupun yang masuk akal.

"A-aku-" Sooji mendesis, ia menoleh pada Myungsoo menyipitkan,matanya menatap pria itu, ketika Myungsoo menoleh dan sekali lagi menatap mata Myungsoo yang memberikannya tatapan kebingungan seperti anak yang hilang, Sooji langsung tau apa yang harus dia katakan saat ini juga.

Ia tersenyum dan langsung menyambar tangan Myungsoo yang terletak begitu saja di atas sofa membuat Myungsoo menegang.

"Kami telah menjalin hubungan Bu."

Sooji tertawa dalam hati, Yoorimberseru senang menanyakan kebenaran tentang hubungan mereka pada Myungsoo, sementara pria itu? Dia hanya mampu menatap ngeri Sooji yang sudah seenaknya mengumumkan hubungan yang sama sekali tidak benar itu.

"Myungsoo, jawab pertanyaan Ibuku," Sooji menyenggol lengan Myungsoo sambil berbisik memasang senyum manisnya, membuat pria itu menatap Yoorim yang wajahnya sudah sangat berseri dan terlihat begitu bahagia.

"Kalian benar telah pacaran?" Yoorim mengerjap penuh harap menatapnya, ia hanya memejamkan mata tidak sanggup untuk mengatakan yang sebenarnya dan membuat senyuman di wajah Yoorim memudar. Demi tuhan! Ia baru saja mendapatkan sosok ibu dari Yoorim yang selama ini ia impikan.

"Y-ya, itu benar."

###

"Kau sialan Sooji!" Soojung tercengang, ia telah mendengar semua cerita Wonho tentang kehebohan yang terjadi di rumah Ibu Sooji saat weekend kemarin dan hari ini ia sudah berniat untuk mengkonfirmasinya tapi Sooji telah lebih dulu menceritakan kembali padanya apa yang terjadi sebenarnya.

"Aku tidak tau harus melakukan apa," Sooji mendesis, ia kemudian menyeringai menatap Soojung, "lagipula bukankah itu bagus? Dia tidak akan memiliki alasan lagi untuk merusak pernikahanmu! Aku sudah mengikatnya." Sooji tersenyum bangga membuat Soojung berdecak.

"Lalu apa yang terjadi padanya setelah itu?"

"Dia hanya diam seperti patung saat ayahnya mengungkapkan kebahagiaannya atas hubungan itu. Aku tidak yakin apa yang akan terjadi pada paman Jongsuk jika dia tau yang sebenarnya," Sooji mengedikkan bahunya kemudian mendesah.

"Kau benar-benar telah melakukan kekacauan Sooji."

"Tidak masalah, lagipula aku tau ada sesuatu pada pria itu. Aku hanya penasaran dengan sesuatu itu." Sooji menerawang kembali mengingat mata kelam yang menyimpan banyak rahasia didalamnya. Ia sangat ingin menggali satu-persatu rahasia di sana.

"Sesuatu? Apa itu?"

"Entahlah, tapi aku mungkin bisa mengetahui jawabannya sebentar lagi," Sooji tersenyum begitu lebar sehingga membuat Soojung bergidik ngeri.

Selama tiga tahun lebih bersama, ia sama sekali tidak pernah melihat Sooji mau repot-repot berurusan dengan seorang pria diluar pekerjaannya, namun saat ini perilaku wanita itu sungguh membuatnya merinding. Seolah terdapat rencana besar akan pria itu dari melihat pancaran matanya saja.

"Jangan bermain api jika kau tidak ingin terbakar, Sooji."

Sooji melirik Soojung kemudian terkekeh saat mengerti maksud kalimat kiasan itu, ia menggelengkan kepalanya lalu mengusap wajahnya dan mengakui sesuatu yang telah ia sadari semenjak berhasil menatap kedua bola mata itu dari jarak yang paling dekat.

"Sepertinya aku menyukai pria itu Soojung."

"What the hell Sooji? He is gay if you forget that!" Soojung mencebik menatap Sooji dengan bola matanya yang melebar sempurna, pengakuan yang tiba-tiba dan tidak disangkanya keluar dari bibir pualam wanita dihadapannya ini.

"Calon suamimu juga seorang gay, if you forget that."

Sooji menyeringai menatap sahabatnya yang terdiam karena perkataannya, sedetik kemudian ia mendesah merasa menyesal telah mengungkapkan fakta itu. Dia menarik kedua tangan Soojung dan menggenggamnya erat.

"Tell me, how to make him normal again?"

"Sooji, apa kau serius?" Soojung menatapnya tidak yakin, ini adalah salah satu keputusan yang paling terburu-buru yang telah diambil oleh Sooji, bahkan tanpa pemikiran yang matang terlebih dahulu dan dia sangat ragu akan hal tersebut.

"Aku serius, bukankah sudah kukatakan aku ingin mengetahui sesuatu yang tersembunyi dalam dirinya?"

"Kau tidak mengatakan itu beberapa hari yang lalu. Jika tidak salah, aku masih sangat mengingat saat kau memaki dan menyumpahinya Sooji."

Sooji tersenyum kecil, ia mengangguk membenarkan perkataan Soojung. Dia memang masih mengumpati pria itu terakhir kali saat mereka bertemu sebelum hari ini, tapi siapa yang bisa menyangka hanya dengan setitik rasa frustasi dari kedua bola mata hitam itu mampu membuat kebenciannya menyurut dan perlahan digantikan oleh rasa penasaran yang semakin lama semakin mendesaknya untuk mencari tau apapun yang membuat pria itu menjadi seperti sekarang.

"Who knows? Wa can't guess when our hearts changed." Sooji tersenyum simpul, "bisa saja hari ini kau menyukai Wonho tapi besok tiba-tiba membencinya, sama sepertiku yang kemarin membencinya tapi hari ini aku mengaku bahwa aku menyukainya."

Soojung terdiam mendengar penjelasan Sooji, memang benar tidak ada yang tau kapan hati kita berubah untuk merasakan sesuatu pada orang lain. Kita juga tidak bisa mendikte hati untuk bisa memilih kepada siapa dia berlabuh, dan Soojung yakin jika Sooji bahkan tidak meminta hatinya untuk berubah secepat itu. Tapi tetap saja semua ini terlalu mendadak.

"Setidaknya aku tidak membohongi diriku dengan menyangkal apa yang kurasakan. Meskipun perasaanku tidak sebesar perasaanmu pada Wonho, tapi aku rasa itu sudah cukup untukku," Sooji mendesah, untuk pertama kalinya ia merasakan sesuatu bergejolak di dalam dadanya saat memikirkan seorang pria. Ia sendiri bingung mengapa dirinya bisa berubah secepat itu hanya karena bola mata sialan itu, yang ia tau saat ini bahwa dia tidak ingin menyangkal apapun.

"Lalu apa yang akan kau lakukan selanjutnya?"

"Salahkah jika aku yang mendekatinya lebih dulu?"

Sooji menggigit bibirnya menatap Soojung menunggu, pertanyaan yang ia lontarkan membuat sahabatnya terdiam sesaat.

"Kau tidak masalah jika mendekatinya?" Sooji menggeleng dan Soojung mendesah.

Sooji adalah wanita paling praktis yang ia kenal sepanjang hidupnya, dia akan langsung mengatakan apa yang ia inginkan tanpa basa-basi dan apa yang dipikirkannya tanpa memikirkan lawan bicara, wanita itu juga bisa langsung menolak sesuatu yang tidak diinginkannya atau menerimanya tanpa mengatakan apapun. Benar-benar simple.

"Lakukan jika itu bukan masalah untukmu," Sooji menyeringai, ia tau bahwa Soojung selalu memberikan solusi terhadap masalahnya sesuai dengan apa yang ia inginkan.

"I will Soojung, I will."

###

Kangjoon tersenyum sangat lebar saat memberikan berkas keuangan yang akan ditandatanganinya, cengiran pria itu bahkan terdengar saat menatapnya.

"Demi tuhan Kangjoon! Berhenti menatapku seperti itu," Myungsoo mendesis frustasi, "mereka akan mengira kau menyukaiku bodoh."

Kangjoon terkekeh mendengar itu, ia menggerling saat meraih berkas yang telah ditandatangani oleh atasannya kemudian mencondongkan tubuh menatap Myungsoo penasaran.

"Bagaimana?" Tanyanya membuat salah satu alis Myungsoo terangkat menatapnya bingung.

"Bagaimana apa?"

"Jangan sok polos! Bagaimana dengan pacar barumu?" Kangjoon menaik-turunkan kedua alisnya berniat menggoda pria dihadapannya, tapi sepertinya godaannya gagal karena pria itu malah menggeram marah.

"Dia-bukan-pacarku." Desisnya tajam penuh penekanan menatap marah pada Kangjoon, kejadian itu sudah berlalu hampir satu minggu tapi Kangjoon tidak berhenti merecokinya meskipun ia selalu mengakatan bahwa semua itu tidak benar. Hubungannya dengan wanita sialan itu tidak ada.

"Seperti aku percaya saja." Kangjoon berdecak meluruskan badannya, menyipit menatap Myungsoo, "kalian bahkan mengaku dihadapan para orang tua," senyumannya yang mengejek membuat amarah Myungsoo naik diatas ubun-ubunnya.

"Kau paling tau aku siapa Kangjoon! Jangan buat aku terpaksa membuktikan bagaimana orientasi seksualku padamu saat ini! Diruanganku!" Nadanya dingin penuh ancaman membuat Kangjoon mendesah pelan.

"Myungsoo--"

"Keluar!"

Kangjoon menghela nafasnya panjang, ia berbalik lalu menuju ke pintu keluar. Sejenak? dia kembali menoleh dan menemukan Myungsoo masih melotot marah padanya, ia kembali mendesah.

"Aku hanya berharap kau bahagia," gumamnya pelan sebelum keluar dari ruangan itu.

Myungsoo menggeram marah, menarik simpul dasinya paksa lalu membuka kancing teratas kemejanya yang tiba-tiba saja membuatnya sesak, ia melempar punggungnya ke sofa dan menyisir rambutnya kasar dengan kesepuluh jari tangannya.

Dia tidak mengerti mengapa begitu marah saat Kangjoon selalu menyinggung masalah wanita itu. Demi apapun, dia sangat membencinya. Seenaknya mengaku menjadi kekasih dan bahkan mengumumkannya tanpa tau malu dihadapan semua orang.

"Dasar sialan!" Myungsoo meninju meja kerjanya keras sehingga membuat tangannya memerah, ia mendesis. Wanita itu terlalu bodoh! Apa yang diharapkannya dengan pengakuan tolol itu?

Hanya karena menjaga perasaan Yoorim, ia memilih diam tanpa mengklarifikasi semuanya. Yoorim adalah sosok yang dicarinya selama ini, ia adalah wanita pertama yang membuatnya tidak mendengus jijik jika berdekatan dengan perempuan, wanita pertama yang memberinya kasih sayang tanpa mengakibatkan dirinya merasa mual, wanita yang membuatnya merasa hangat hanya dengan sentuhan tangannya.

"Bae Sooji sialan." Desisnya tajam. Bukan karena ia menerima Yoorim berarti dia juga menerima putri wanita itu. Dia tidak akan merasakan apapun terhadap wanita lain termasuk Sooji sekalipun dan ia merasa akan gila sebentar lagi jika orang-orang terus mendesaknya dengan pertanyaan-pertanyaan seputar hubungan tolol yang dikatakan wanita itu.

###

Sooji tersenyum kepada pria dihadapannya, matanya masih memancarkan binar pengharapan yang sangat tinggi hingga membuat pria itu menghela nafas panjang.

"Dia tidak akan menyukai ini."

"Jangan khawatir, aku tidak akan membocorkan rahasia kita."

Sooji mengerjapkan mata, memohon pada pria yang duduk diseberangnya saat ini. Suasana cafe siang itu yang terbilang cukup ramai membuat Sooji harus menebalkan wajahnya untuk mendapati pandangan-pandangan aneh dari para pengunjung, karena ia terlihat seperti wanita pengemis cinta terhadap pria dihadapannya.

"Dia akan sangat marah dan kau akan ditendangnya keluar," Sooji terkekeh membuat pria itu menatapnya heran, jika perempuan lain--mereka mungkin akan menciut dan perlahan mundur untuk membujuknya tapi wanita ini beda.

"Aku yang akan menendangnya lebih dulu jika dia memang berniat menendangku."

"Sooji--ssi."

"Kumohon--kau tau niatku sangat baik."

Pria itu terlihat ragu, awalnya ia tidak yakin jika Sooji mengajaknya untuk bertemu melalui seorang resepsionis di kantor dan setelah mengiyakan ajakan wanita itu dan tiba di cafe ini duapuluh menit yang lalu ia menjadi semakin tidak yakin.

Perihal permintaan mustahilnya, bagaimana ia bisa membantu wanita itu untuk masuk dalam apartemen Myungsoo? Oh Myungsoo akan segera menggantungnya jika ia melakukan hal tersebut, tapi alasan yang disebutkan oleh wanita itu cukup menggugahnya.

"Aku ingin mengenalnya lebih dekat Kangjoon--ssi, kita jelas tau apa masalahnya saat ini dan aku berniat untuk membantunya."

Sesaat ia tergoda, tentu saja. Saat seorang wanita datang padanya dan mengatakan ingin membantu Myungsoo dalam masalah orientasi seksualnya, membuatnya tergoda untuk menerima tawaran itu. Tapi, saat kembali memikirkan reaksi Myungsoo ia jadi mengurungkan niatnya.

Pria itu akan sangat murka saat menemukan seorang wanita dalam territorynya.

"Aku tidak bisa."

Kangjoon menggeleng mantap, seberapa besarpun keinginannya untuk Myungsoo bisa normal layaknya pria pada umumnya, tapi ia masih menghargai persahabatannya untuk tidak mengusik wilayah pribadi pria itu.

"Kangjoon--ssi," Sooji menatapnya lesu, wanita itu masih berharap bantuannya.

"Aku tidak bisa memberimu akses ke dalam apartemennya diam-diam, tapi jika ingin bertemu dengannya--aku bisa mengaturnya," Kangjoon menjelaskan, ia sangat mendukung wanita ini untuk membantu Myungsoo. Tapi tidak dengan menyelinap masuk ke dalam apartemen pribadinya.

"Lagipula apa sih yang ingin kau lakukan dengan menyelinap ke sana?" Sooji tersenyum membuat Kangjoon semakin penasaran akan jawaban atas pertanyaan yang sudah sejak awal muncul dikepalanya.

"Hanya ingin memberinya kejutan."

"Jangan bercanda. Myungsoo tidak menyukai hal semacam itu, jika kau ingin mendekatinya--lakukan dengan perlahan," ucap Kangjoon memberi peringatan pada Sooji membuat wanita itu mengangguk mengerti.

"Aku tidak paham bagaimana mendekati seorang pria, ini yang pertama jadi kupikir dengan memberinya kejutan--seperti memasak di apartemennya akan membuatnya senang."

Sooji menjelaskan pemikirannya yang sangat polos itu membuat Kangjoon berdecak! Ia tidak menyangka bahwa akan mendukung kedua orang yang paling tidak tau apapun tentang lawan jenisnya untuk bersatu.

"Kau bisa bertanya kepada teman wanitamu, karena aku juga tidak mengerti. Kita jelas memiliki pandangan yang berbeda," Sooji kembali mengangguk mengerti, ia kemudian menghela nafasnya panjang.

"Kangjoon--ssi?"

"Ya?" Kangjoon menaikkan alisnya melihat Sooji seperti ingin menanyakan sesuatu tapi menahan dirinya, "tanyakan saja apa yang ingin kau tanyakan, Sooji. Tidak perlu sungkan."

Sooji meliriknya kemudian menunduk seperti berpikir, beberapa saat setelahnya ia menaruh kedua tangannya dia atas meja lalu menatap Kangjoon dengan ragu. "Apa aku terlihat seperti--wanita murahan?" Suara Sooji menciut diakhir kalimatnya, menatap cemas pada pria yang hanya mengangkat alis dihadapannya.

"Tolong jawab aku," Sooji mendesak membuat pria itu tersadar kemudian menggeleng.

"Aku tidak mengerti dengan pertanyaanmu," jawabnya retoris, sejujurnya Kangjoon bingung karena wanita itu langsung menanyakan hal yang memang tidak dimengertinya.

"Begini--aku mendekati Myungsoo lebih dulu dan berniat membantunya untuk berubah--" Sooji mendesah, kembali tatapan cemasnya ia lemparkan pada pria itu, "apa itu terlihat seperti seorang wanita murahan yang melemparkan diriku pada pria itu?"

Suara itu berbisik tapi Kangjoon dapat mendengarnya dengan jelas, suara yang terdengar bergetar namun dipenuhi dengan keyakinan yang begitu kuat akan apa yang telah diucapkannya.

Kangjoon kemudian tersenyum, sudah jelas jika wanita ini adalah wanita yang paling polos yang pernah ditemuinya. Ia juga yakin jika ciuman yang diberikannya pada Myungsoo pada malam itu mungkin yang pertama untuknya.

"Kau bukan wanita murahan Sooji," Kangjoon mengulum senyumnya semakin lebar, "dengan kebaikan hatimu untuk membantu Myungsoo, itu telah membuktikan betapa terhormatnya dirimu. Kau wanita terhormat, jangan ragukan itu."

"Benarkah?" Sooji tersenyum bahagia saat melihat anggukan kepala Kangjoon untuknya.

"Au cemas dengan pikiranku sejak tadi. Terima kasih sudah mau menyangjungku Kangjoon--ssi."

"Itu bukan sanjungan nona, hanya sebuah kebenaran yang ada." Kangjoon tersenyum.

"Lalu kapan kau akan menemui Myungsoo?" Sooji terlihat berpikir sebentar, mengingat-ingat jadwal pertemuannya dengan klien diluar jam kantor.

"Bagaimana dengan sabtu ini? Apa dia memiliki rencana?"

"Kurasa tidak--aku akan mengabarimu jika dia memiliki rencana lain," Sooji mengangguk menyetujui pria itu, lalu mengeluarkan ponselnya dan menukar nomornya dengan Kangjoon.

"Aku harus segera kembali ke kantor, jangan lupa menghubungiku ya," Sooji tersenyum lalu bergegas dari meja itu setelah mengecek ponselnya, ia terlihat terburu-buru sehingga tidak menunggu jawaban Kangjoon, hanya membiarkan pria itu mengangguk lalu pergi.

"Kau akan kewalahan menghadapi wanita ini, Kim Myungsoo."

Kangjoon menyeringai, akhirnya ada satu wanita yang datang untuk menarik Myungsoo dari segala kegelapan yang menyelimutinya selama ini.

###

Myungsoo menggeram, jika bukan karena Kangjoon asisten merangkap sekertarisnya, ia mungkin akan menyewa penjaga untuk melarang pria itu keluar masuk ruangannya.

Sama seperti sekarang, dia baru saja bernafas lega karena berfikir hari ini Kangjoon tidak merecokinya tapi tiba-tiba pintu ruangannya terbuka dan menampilkan cengiran bodoh pria itu.

"Kau akan ke mana besok?"

Itu pertanyaan yang sama dan kesekian kalinya Kangjoon lontarkan padanya sejak menginjak ruangannya hari ini. Dia mendesah, mengapa semakin hari tingkah Kangjoon semakin menyebalkan.

"Kenapa? Mau menculikku lagi?" Cibirnya kesal, mengingat dua minggu lalu Kangjoon membawanya ke rumah Yoorim yang berakhir dengan tragedi dimana orang-orang berpikir bahwa ia menjalin hubungan dengan wanita sialan itu.

"Aku tidak menculikmu Myungsoo!"

"Ya terserah apa katamu," desanya mengalah. Myungsoo tidak ingin berkonfrontasi hari ini, ini hari terakhir ia bekerja sebelum weekend. Jadi, sebisa mungkin dia harus membuat perasaannya baik daripada harus menghabiskan dua hari liburnya dengan perasaan dongkol.

"Kadi katakan kau akan ke mana?"

"Aku hanya di apartemenku." Kangjoon menatapnya tidak percaya, dia memutar bola matanya malas. "Aku tidak peduli kau percaya atau tidak--sekarang keluar dari ruanganku dan bekerjalah!"

Kangjoon menghela nafasnya, "pastikan kau di rumah besok," Myungsoo mengacuhkannya, sehingga dengan jengah ia berjalan keluar dari ruangan itu. Setidaknya Kangjoon mendapatkan kejelasan tentang posisi pria itu besok.

###

Sooji menatap tidak percaya pada security didepannya, meremas kuat paper bag yang ia bawa lalu mendesah panjang.

"Apa anda yakin dia keluar?" Pria bertubuh tambun itu menganggukan kepalanya atas pertanyaan Sooji.

"Kalau begitu bisakah saya menunggu di atas saja? Saya kekasihnya," Sooji tersenyum berusaha membujuk, ia tidak percaya jika Myungsoo keluar tapi jika memang harus menunggu, lebih baik jika ia menunggu didepan pintu apartemen pria itu daripada di lobi.

"Ah tidak masalah nona, saya akan mengabarkan beliau jika telah tiba."

Sooji tersenyum berterima kasih pada pria itu lalu berjalan menuju lift yang akan membawanya ke lantai di mana hunian Myungsoo berada.

Ia mendesah panjang, pasalnya sudah lebih dari setengah jam menunggu tapi orang yang ditunggunya tidak datang juga, ia sempat menekan bel untuk meyakinkannya bahwa Myungsoo ada di rumah atau tidak tapi sama sekali tidak mendapat jawaban sehingga membuatnya mendesah kecewa.

Mengambil ponselnya, Sooji menyandar di dinding tepat disamping pintu apartemen Myungsoo. Dia menelpon Kangjoon dengan wajah yang tertekuk dalam.

"Halo--apa? Dia tidak di rumah--jangan membohongiku!--tidak, tidak ada siapapun--baiklah akan kutunggu."

Sooji menggeram, ia akan memberi perhitungan pada Kangjoon jika pria itu benar-benar mempermainkannya.

#

"Halo?"

"Kau dimana?"

Teriakan diseberang sana membuat Myungsoo berjengit kaget, pasalnya ia sedang menggunakan earphone sekarang jadi suara teriakan itu melengking langsung memasuki gendang telinganya.

"Kau seperti istri yang kutinggal pergi saja!"

Myungsoo mendengus, dia tidak berharap jika Kangjoon mengganggu liburnya saat ini.

"Kau bilang akan di rumah Myungsoo. Sekarang kau di mana?"

"Kau kenapa sih? Aku sedang di jalan."

"Di jalan ke mana? Kapan kau akan pulang?"

"Kangjoon berhenti bersikap seperti seorang istri yang menyebalkan!"

Myungsoo tidak mengerti dengan kegusaran pria itu, sejak kapan Kangjoon harus tau tentang kemana saja ia pergi selama hari libur? Dan tidak biasanya pria itu menelponnya sepagi ini.

"Aku bukan istrimu sialan! Jadi katakan kau di mana?"

Dia menggelengkan kepala mendengar umpatan Kangjoon, "aku sedang di jalan, aku ingin mengunjungi seseorang," jawabnya jujur.

"Siapa?"

"Jangan bertanya lagi. Aku lagi menyetir, kututup."

Tanpa menunggu jawaban Kangjoon ia segera menutup sambungan telepon dan memblokir nomor pria itu khusus hari ini, karena ia sama sekali tidak ingin diganggu oleh pria bawel itu.

Myungsoo mendengarai mobilnya selama satu jam setelahnya, ia tersenyum saat tiba di pekarangan rumah itu lagi. Dengan langkah ringan ia keluar dari mobil dan membawa kotak cupcakes yang tadi sempat dibelinya saat perjalanan, senyumnya terkembang saat menekan bel tidak sabar untuk menanti sang tuan rumah membuka pintu didepannya.

"Myungsoo?" Myungsoo tersenyum pada wanita yang terlihat kaget diambang pintu, ia mendekat dan memeluk wanita itu dengan cepat.

"Bibi urim."

###

Jika pria itu ada dihadapannya sekarang, Sooji bersumpah akan menendang bokongnya sampai sakit hingga ketulang-tulang. Sudah lebih dari dua jam ia menunggu seperti orang bodoh dikoridor ini tapi sang pemilik apartemen sama sekali tidak memunculkan batang hidungnya, terlebih pria yang saat ini sedang berada disambungan teleponnya meracaukan permintaan maaf karena tidak tau jika Myungsoo berniat keluar hari ini.

"Berikan saja nomor ponselnya padaku, aku yang akan menghubunginya sendiri."

Sooji memutar bola matanya saat mendengar penolakan diseberang sana dengan mengatakan Myungsoo akan marah jika nomor pribadinya diketahui orang asing.

"Aku kekasihnya jadi hal wajar jika aku mengetahui nomornya! Kirimkan saja padaku sekarang!"

Setelah membentak ia segera mematikan ponselnya, entah ini hari sialnya atau apa karena semua rencananya tidak berjalan lancar. Ia menatap paper bag yang sudah tergeletak disamping kakinya dengan nanar.

Aku bahkan bangun pagi-pagi buta untuk membuatnya.

Saat merutuki kesialannya, sebuah pesan masuk sehingga membuatnya tersenyum senang mendapatkan kontak yang dinantinya. Dan tanpa menunggu lebih lama lagi ia langsung menghubungi sang pemilik nomor.

Sooji menggigit bibirnya menunggu nada sambungan itu, tapi sama sekali tidak ada jawaban sehingga membuatnya mendesah. Namun saat akan menjauhkan ponsel itu dari telinganya ia mendengar sapaan dari seberang.

"Halo!"

"Ini aku--Sooji"

"Tunggu jangan ditutup dulu!" Sooji berteriak panik saat tau rencana pria itu untuk mematikan sambungan teleponnya, "kau di mana? Aku berada di depan apartemenmu," ucapnya cepat.

Dia mendengar geraman dari pria itu lalu umpatan kasar dan omelannya yang tidak penting.

"Aku tidak peduli! Kembali sekarang karena aku menunggumu!"

"Myungsoo aku tidak akan pulang sampai kau datang," Sooji menghela nafasnya tajam, tidak akan menyerah begitu saja, ia sudah bertekad dan apapun yang terjadi dia tidak akan menyerah atas pria itu.

"Aku akan tetap menunggumu pul--"

Sooji mendengus marah, bisa-bisanya pria itu mematikan sambungannya begitu saja. Dia mendesah panjang, seperti yang dikatakannya--ia tidak akan pulang sebelum pria itu kembali.

Tidak peduli jika harus menunggu sampai mati sekalipun.

###

"Kau tidak mengatakan akan datang kemari."

Yoorim tersenyum saat mengeluarkan beberapa cupcake yang dibawa Myungsoo, ia melirik pria yang duduk dimeja makannya lalu mengangsurkan segelas kopi panas untuknya.

"Aku juga tidak merencanakannya, hanya tiba-tiba menjalankan mobilku dan sampai ke sini," Myungsoo tersenyum menyesap kopinya.

Yoorim duduk dihadapan Myungsoo dan mengamatinya dengan seksama, membandingkan pria yang sekarang ada dihadapannya dengan pria yang selama ini Jongsuk keluhkan tentang kenakalannya, dan ia sama sekali tidak menemukan kecocokan diantara keduanya. Myungsoo terlihat seperti anak yang baik-baik saja.

"Lalu bagaimana dengan Sooji?"

Myungsoo tersedak saat mendengar nama wanita itu disebut, dengan waspada menatap Yoorim kemudian ia tersenyum kikuk.

"Ka--kami sama-sama sibuk jadi jarang bertemu, tapi dia baik-baik saja," bohongnya dengan sangat lancar membuat senyum terpatri diwajah Yoorim.

"Dia memang mengeluh padaku karena pekerjaannya belakangan ini, mengatakan jika dia kurang tidur karena dateline rancangannya sudah semakin dekat," jelas Yoorim menerawang, membayangkan anaknya bekerja siang malam diluar sana.

"Apa bibi tinggal sendiri di sini?" Myungsoo mencoba mengalihkan topik, ia ke sini bertemu Yoorim untuk menghilangkan penatnya, bukan malah membicarakan wanita itu dan membuatnya semakin pusing.

"Iya, kau tau sendiri putriku tinggal di Seoul."

"Bibi tidak kesepian?" Yoorim tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

"Sepanjang hari aku berada di toko bunga yang ada diujung jalan, toko itu dibeli oleh Sooji dua tahun lalu untukku agar tidak kesepian," Yoorim menjelaskan kesehariannya selama ini, ia juga mengatakan pegawainya di toko bunga sering mampir ke rumah untuk sarapan ataupun makan malam bersamanya jadi ia tidak benar-benar kesepian.

"Lalu apa putrimu sering pulang ke rumah?" Myungsoo merutuki dirinya, mengapa ia malah bertanya tentang wanita itu disaat sudah tidak adalagi topik yang dia temukan diotak cerdasnya.

"Dia akan pulang jika mendapatkan libur, kau tau sendiri kesibukannya bagaimana--bahkan dia harus lembur saat akhir pekan," Myungsoo hanya menganggukan kepalanya tidak berniat untuk menjawab--sebenarnya tidak ingin memperpanjang topik ini.

"Lalu bagaimana denganmu? Kudengar dari Jongsuk, kau juga tidak tinggal di rumah bersamanya?"

"Ya itu benar bi, aku tinggal di apartemenku sendiri."

"Kau masih menentang hubungan ayahmu?" Yoorim kemudian bertanya tiba-tiba membuat Myungsoo menatapnya tidak senang.

"Kurasa Sooji juga akan menentang jika mengetahui bibi ingin hidup bersama pria lain selain ayahnya," Myungsoo menggumam pelan mengutarakan pemikirannya, ia sama sekali tidak setuju dengan pernikahan kedua. Karena setaunya semua orang hanya akan menikah sekali seumur hidup dengan pasangannya.

"Kau tau, kadang dalam hidup kita sering memilih sesuatu yang tidak sejalan dengan takdir kita. Dan ketika kita menyadarinya, semuanya telah terlambat," Yoorim menyentuh punggung tangan Myungsoo dan tersenyum pada pria itu, "tapi bukankah lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali?"

Myungsoo terdiam mendengarnya.

"Begitupun ayahmu--cobalah tanyakan sekali lagi padanya, alasannya untuk menikahi Haeri, kau pasti belum mengetahuinya kan?" Myungsoo menggelengkan kepalanya saat menatap Yoorim melontarkan pertanyaan itu.

"Karena wanita itu sudah merayu ayahku! Ibuku meninggalkan kami karena wanita itu."

Yoorim tersenyum saat Myungsoo berbicara menggebu-gebu padanya, ia mengangguk kecil menandakan bahwa mengerti perasaan pria itu saat ini.

"Tapi itu hanya kesimpulanmu selama ini bukan? Kau sama sekali belum mendengarnya langsung dari ayahmu."

"Bibi--"

"Aku tau aku tidak berhak ikut campur--tapi setidaknya kau bisa pertimbangkan apa yang aku katakan."

Myungsoo mendesah, perasaannya semakin kalut. Yoorim sama saja seperti yang lain, mendukung ayahnya dan wanita sialan itu. Dia mendesis mengingat wajah wanita itu.

"Myung--"

Yoorim menghentikan panggilannya saat mendengar nada dering dari ponsel pria itu, Myungsoo mengintip layarnya dan mengernyit bingung karena id pemanggilnya yang tidak terdaftar.

"Kenapa tidak diangkat?" Myungsoo menatap Yoorim sebentar lalu kembali menatap layar ponselnya.

"Aku akan mengangkatnya sebentar bi," pamitnya lalu berjalan keluar dapur menuju ruang tengah.

"Halo?"

Alisnya berkerut saat mendengar sapaan ditambah desahan lega diseberang teleponnya.

"Siapa?" Beberapa detik Myungsoo terdiam untuk mencerna jawaban wanita itu, ia lalu menjauhkan ponselnya untuk mengecek nomor yang menghubunginya.

Sial!

Saat hendak mematikan ponselnya, teriakan dari seberang membuatnya terhenti. Kembali mendekatkan ponsel itu ditelinganya lalu mendengar pertanyaan wanita itu.

"Sial! Apa yang kau lakukan di sana?--jangan mengusikku Bae Sooji! Sudah cukup dengan kekacauan yang kau perbuat."

Omelnya tiba-tiba merasa emosi dengan wanita yang seenaknya itu. Beruntung hari ini ia tidak di apartemen jadi tidak harus bertemu dengan wanita sial itu.

"Aku juga tidak peduli! Dan jangan memerintahku!"

Myungsoo menggeram marah mendengar nada kekeraskepalaan wanita itu.

"Lakukan sesukamu Bae Sooji!"

Lalu ia mematikan ponselnya begitu saja setelah mendengar kembali ancaman wanita itu untuk tetap menunggunya sampai pulang.

"Tunggulah sampai kau mati bodoh!"

#

TBC.

No comment 🙊🙊🙊

Btw , selamat hari raya kurban alias idul Adha ya 🙏🙏🙏 mohon maaf lahir dan bathin 😁

Thank You. xoxo.

Best Regards,
elship_L

-11Sep'16-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top