Part 21

WARNING BUAT JOMBLOS. Ada scene romantis, bersiap mojok ditembok dan gigit jari 😋😋😋😋
.
.
.
.
.

Myungsoo menarik nafas panjang ketika keluar dari kereta. Beberapa jam yang lalu ia mendarat di Nara, salah satu provinsi di Jepang dan segera mencari perjalanan tercepat menuju kota yang saat ini ia kunjungi.

Yoshino, salah satu kota kecil yang berada ditengah provinsi Nara. Mengerjapkan mata ketika keluar dari stasiun kereta, ia langsung disuguhkan oleh pemandangan pohon sakura yang bermekaran disepanjang jalan. Baru ingat jika Yoshino memanglah sebuah kota yang terkenal sebagai tempat melihat bunga sakura, ia pernah membaca disuatu situs jika sekitar 30.000 batang pohon sakura akan mekar di musim semi.

Merasa beruntung datang ke kota ini dipenghujung musim semi, karena setidaknya ia masih bisa sempat melihat beberapa pohon sakura yang indah sebelum musim panas tiba.

Langkahnya menuju halte cukup cepat, ketika tau bahwa sebentar lagi bus yang akan ia tumpangi hendak berangkat. Tersenyum menyapa beberapa penduduk disana, ia mengambil tempat yang kosong.

Sejak tiba tadi, ia sudah memberi kabar pada Sooji namun wanita itu masih belum membalas chatnya.

"Mungkin dia sibuk," begitu pikirnya, jadi ia menyimpan ponselnya di dalam tas dan mengedarkan pandangan keluar jendela. Pemandangan asri dan sejuk langsung menyapanya.

Sebagian besar wilayah kota ini merupakan kawasan pegunungan jadi sepanjang jalan Myungsoo dapat melihat gunung-gunung yang membentang indah, ia kembali mengalihkan pehatiannya dan kali ini tertuju pada secarik kertas yang berisi tulisan Jongsuk. Itu adalah alamat dimana ibunya tinggal saat ini.

Beberapa saat lagi ia akan bertemu dengan ibunya, wanita yang membuat kehidupannya menjadi mengerikan selama duapuluh tiga tahun terakhir. Ia hanya berharap jika ibunya masih dapat mengenali dan tidak menolak kehadirannya saat ini.

Pikirannya melayang, bagaimana jika ibunya sudah tidak mengenalinya? Atau lebih parahnya lagi ibunya masih sama seperti dulu, menganggapnya sebagai Myungeun? Ah.

Myungsoo memejamkan mata gelisah, disaat seperti ini ia benar-benar membutuhkan Sooji. Hanya wanita itu yang bisa membuat pikirannya tenang dari segala hal-hal negatif. Seharusnya ia bisa memaksa wanitanya untuk ikut bersama karena sekarang ia sudah merasa kesepian.

Hampir setengah jam kemudian, bus yang ia tumpangi berhenti di area penginapan yang akan ia tempati selama di kota ini. Terletak di kaki gunung, penginapan yang disewanya merupakan sebuah pondok yang hampir menyerupai sebuah rumah namun hanya memiliki satu ruangan.

Ia masuk ke dalam pondok setelah mengambil kunci dari penjaga penginapan, Myungsoo tersenyum puas. Setidaknya tempat ini cukup nyaman untuknya. Melirik meja pantri serta konter kompor disisi kanan ruangan, tiba-tiba ia merasa lapar.

Setelah meletakkan ranselnya di atas ranjang, Myungsoo bergegas menuju lemari penyimpanan yang berada didekat meja pantri, ia berharap bisa menemukan sesuatu disana dan matanya berbinar ketika menemukan panci serta beberapa bungkus ramen instan.

"Hmm, setidaknya ini bisa mengganjal perut," gumamnya, ia bersyukur karena pihak penginapan menyediakan makanan ini disini. Mungkin memang salah satu service dari mereka untuk para tamu.

Untuk beberapa jam kemudian, Myungsoo hanya tenggelam bersama kuah ramennya yang hangat. Ia bahkan tidak sadar telah menghabiskan tiga bungkus untuk dirinya sendiri.

#

Setelah beristirahat sebentar, Myungsoo keluar dari penginapan. Ia akan mencari alamat tempat ibunya tinggal. Kata ayahnya, ibunya tinggal di sekitar kaki gunung jadi ia hanya perlu berjalan kaki. Lagipula udara sore ini cukup mendukung.

Myungsoo bertanya pada beberapa penduduk yang ditemuinya mengenai letak alamat tersebut, beberapa orang mengetahui rumah yang dicarinya sehingga dengan mudah ia menemukan.

Sekarang Myungsoo telah berdiri di depan sebuah rumah sederhana, tidak mewah seperti bayangannya. Hanya memiliki satu lantai tapi sepertinya ukuran rumah itu cukup luas.

Ia mendekat untuk menekan bel di dekat pagar, setelah tangannya menyentuh bel itu tiba-tiba gemuruh didadanya terdengar tidak beraturan. Ia merasa gugup, segala pemikiran buruk langsung menyeruak memenuhi pikirannya. Bahkan tidak ada hal baik yang tersisa dalam otaknya saat ini.

Hingga seorang wanita paruh baya dengan mata sipit membuka pagar, menatapnya heran.

"Selamat sore," sapanya, bersyukur ia pernah kursus bahasa Jepang jadi tidak sulit untuk berkomunikasi saat ini.

"Ya, selamat sore. Anda mencari siapa anak muda?"

Wanita itu mengerutkan kening menatapnya, wajahnya memang sangat asing jadi wajar jika wanita itu kebingungan saat ini.

"Saya Kim Myungsoo. Putra Hong Jihye," ucapnya memperkenalkan diri, wanita itu terkesiap sebentar sebelum mendekati Myungsoo. Ia memegang lengan pria itu kemudian berseru pelan.

"Astaga, Myungsoo? Anak Jihye? Ya tuhan--" mungkin hanya perasaannya atau tidak, tapi ia merasa wanita itu terlihat sangat bersyukur karena melihatnya. Entah ini pertanda baik atau bukan.

Ia tersenyum dan mengangguk kecil, "ibuku, aku ingin bertemu ibuku," pintanya dengan suara bergetar. Sudah sangat lama sejak ia menyebut nama ibu, ia tidak menyangka jika membutuhkan waktu yang sangat lama untuk itu.

"Tentu nak, tentu. Ayo masuk."

Myungsoo tersenyum lega, awal yang cukup baik. Ia diterima dalam rumah ini. Hanya perlu menemui Ibunya saja. Ketika tiba diruang tamu, wanita itu mengajaknya untuk bercerita sedikit setelah menyuguhkan segelas teh untuknya.

Wanita itu adalah sepupu jauh ibunya, yang hidup sendiri setelah kematian suami dan putranya duapuluh tahun silam. Myungsoo mendengar cerita wanita itu dengan sabar, namun kehadiran ibunya sama sekali tidak terdeteksi saat ini.

"Ibumu datang ke rumah ini tepat setahun setelah suamiku meninggal," Myungsoo diam mendengarnya, jadi selama ibunya memang tinggal disini?

"Tapi keadaannya tidak cukup baik saat itu, jadi aku memintanya untuk tinggal ketika dia berencana untuk pergi lagi. Sampai saat ini aku yang merawatnya."

Myungsoo menautkan alis, sampai sekarang? Apa ibunya tidak dalam keadaan baik saat ini, "apa dia baik-baik saja?" Tanyanya cemas, wanita itu tersenyum kecil.

"Dia tidak bisa dikatakan baik, beberapa tahun belakangan kesehatannya sedikit terganggu," nafas Myungsoo tiba-tiba tercekat mendengarnya. Ibunya sakit?

"Dia tidak dibawa ke rumah sakit?"

"Sudah nak, tapi ibumu meminta dirawat di rumah saja. Dia memiliki pengalaman buruk dengan rumah sakit."

Myungsoo langsung teringat kejadian bertahun-tahun lalu, ketika ibunya terjatuh dan dibawa ke rumah sakit. Saat itupula ibunya kehilangan putri yang sangat dinanti-nantikannya. Perasaannya langsung berkecamuk, apakah tepat ia datang kesini atau--

"Ibumu banyak bercerita tentangmu," suara wanita itu membuat pemikirannya buyar, ia menatap dengan pandangan heran.

"Dia selalu mengatakan kalau dia memiliki putra yang sangat tampan. Dan sekarang aku tau alasan dia terus mengucapkan hal itu, dia benar. Kau tampan nak."

Kali ini jantungnya hampir saja berhenti berdetak. Ibunya? Ibunya sendiri yang mengatakan hal itu? Bagaimana bisa--bahkan kenangan terakhir mereka yang diingatnya adalah ketika ibunya memakaikan rok untuknya. Jadi bagaimana bisa ibunya mengingatnya sebagai seorang laki-laki?

"Ah, aku terlalu banyak bicara ya? Maafkan aku," wanita itu tersenyum malu saat melihat wajah kaku Myungsoo, "ayo kita ke kamar ibumu. Sepertinya dia belum bangun dari tidur siangnya."

Myungsoo masih tertegun, saat merasakan tepukan ringan dipundaknya ia baru sadar lalu beranjak dari kursi. Mengikuti wanita itu untuk masuk lebih jauh ke dalam rumah, tidak banyak yang ditemukannya hanya sebuah ruang tv yang sepertinya merangkap jadi ruang keluarga. Dapur serta beberapa pintu yang mungkin adalah sebuah kamar atau ruang penyimpanan.

"Nah, ini kamar ibumu," langkahnya terhenti ketika melihat wanita itu berhenti didepan sebuah pintu berwarna hitam, "jangan bangunkan dia. Tunggu sampai dia bangun sendiri," pesannya sebelum pergi meninggalkan Myungsoo sendiri.

Myungsoo menjadi bimbang, antara membuka pintu dihadapannya atau berbalik dan pulang ke penginapan. Ia ragu untuk melihat keadaan ibunya. Bagaimana jika ibunya sangat tidak baik? Apa yang harus dilakukannya?

Tiba-tiba sakunya bergetar, ia meraih ponsel dan membuka chat yang baru saja masuk.

Soojiku :

Good luck sayang 💏

Ia tersenyum, wanita itu selalu tau waktu yang tepat untuk muncul. Mendapat dukungan dari kekasihnya, akhirnya dengan berani ia meraih kenop pintu. Membuka satu-satunya benda yang menghalangi dirinya dan ibunya saat ini.

Saat pintu terbuka, bau obat-obatan langsung menyeruak memenuhi indera penciumannya. Kamar yang ditempati ibunya tidak terlalu luas. Hanya berisi ranjang yang disisinya terdapat nakas kecil, satu lemari pakaian dan sebuah meja rias.

Ia melangkah masuk, ingin menatap lebih jelas ibunya yang saat ini terbaring diatas ranjang. Ia meringis saat melihat tiang infus berdiri disamping kepala ibunya, ketika langkahnya semakin dekat dan wajah ibunya semakin jelas-jantungnya bergemuruh hebat. Darahnya berdesir saat menyaksikan wanita yang selama ini ditunggunya berbaring tidak berdaya disana.

Tubuhnya bergetar menahan gejolak airmata yang sudah membendung, ia adalah laki-laki seorang laki-laki tidak akan menangis dalam keadaan apapun--

Dengan langkah ringkih ia mendekat lalu jatuh bersimpuh tepat disamping ranjang ibunya.

"Ibu-"

--tapi ia menangis.

Persetan dengan ego laki-lakinya yang menyuruhnya untuk tidak menangis, persetan dengan semua harga dirinya sebagai pria selama ini. Saat ini ia hanya memikirkan ibunya. Ibunya yang dulu kuat, kini sangat lemah. Ibunya yang dulu cerah, kini sangat pucat. Ibunya yang dulu ia cintai dan saat ini perasaan itu tidak berubah sedikitpun. Ia masih mencintai wanita itu sedalam ia mencintai dirinya sendiri.

"Ibu, maafkan aku," ia masih terisak sambil menciumi tangan ibunya yang sedikit mengering. Tubuh ibunya sangat kurus bahkan beberapa tulang terlihat menonjol.

"Maafkan aku bu, maafkan aku."

Sampai satu jam kemudian yang dilakukannya hanya menangis disamping ibunya. Ia terus menggumakan kata maaf berharap ibunya bisa terbangun dan memeluknya lagi seperti dulu. Namun itu tidak terjadi, ibunya sangat nyenyak dalam tidurnya kali ini.

###

Soojung menatap tajam wanita yang beberapa jam lalu tiba-tiba muncul didepan pintu rumahnya dengan sejumput kebohongan yang ikut membawa namanya.

"Kau berbohong padanya?"

Sooji meringis mendengar nada tuduhan itu, ia mengangguk kecil, "aku hanya ingin memberinya ruang. Dia pasti membutuhkan waktu untuk sendiri saat ini," jelas Sooji.

"Alasan itu tidak mengharuskanmu untuk berbohong padanya. Kau bahkan membawa namaku!" Hardik Soojung, ia merasa kesal ketika Sooji bercerita bahwa ia mengatakan pada Myungsoo akan menggantikan Soojung untuk sementara waktu mengurus butiknya. Hell, sejak kapan dia memiliki butik?

"Ini demi kebaikan Soojung. Dia pasti mengerti, aku tidak ingin terlalu membuatnya tertekan karena selalu berada disampingnya." Soojung hanya memutar bola matanya kesal.

"Kau salah Sooji." Kedua wanita itu langsung menoleh menatap Wonho yang baru saja turun dari kamar, pria itu baru selesai mandi setelah pulang dari kantor satu jam yang lalu. Ia mendekati kedua wanita itu lalu duduk disamping istrinya.

"Disaat seperti inilah Myungsoo paling membutuhkanmu," ucapnya lagi membuat Sooji menatapnya heran. Tangan Wonho mengusap perut buncit Soojung namun tatapannya masih pada Sooji.

"Apa maksudmu?"

"Dia akan bertemu ibunya Sooji. Orang yang memberinya kenangan buruk itu. Kau pikir siapa yang paling dia butuhkan untuk menghadapi ibunya selain dirimu?"

Sooji terdiam mendengar penjelasan Wonho. Apa benar Myungsoo membutuhkannya? Tapi ini masalah yang sangat sensitif. Ia sudah cukup dengan mengetahui masalalu Myungsoo, tidak ingin lagi membebani pria itu dengan ikut campur dalam masalahnya.

"Kau terlalu merendahkan dirimu cantik," Wonho tersenyum menatapnya, tanpa sengaja Sooji ternyata menyuarakan apa yang baru saja dipikirnya, "kau yang membantunya keluar dari perangkap trauma masalalunya. Apa kau tidak tau yang kau lakukan adalah hal terhebat dalam hidupnya?"

Sooji termenung mendengarnya, benarkah?

"Seperti aku kan sayang?" Soojung tiba-tiba menyeletuk, Wonho menoleh padanya dan tersenyum penuh cinta.

"Ya," Wonho kembali menatap Sooji, "seperti Soojung yang menerangi kehidupanku yang sangat kelam," Sooji bisa melihat pandangan penuh cinta Wonho untuk Soojung, pria itu terlihat sangat berbeda ketika pertama kali bertemu dengannya. Perubahan itu sangat terlihat dengan jelas.

Apakah itu juga yang terjadi pada Myungsoo?

"Belajar untuk mempercayainya Sooji. Dia sudah mau menceritakan masalalunya, itu berarti dia sudah menggantungkan hidupnya padamu."

"Tapi aku tidak-"

"Semua orang memiliki masalalu. Jangan merendahkan dirimu karena memiliki masalalu yang buruk, kita semua sama Sooji," Wonho menyela, pria itu menatapnya dengan penuh keyakinan, "kau, Myungsoo, aku dan Soojung. Kita semua memiliki kenangan yang sangat buruk dimasalalu, tapi itu bukanlah suatu alasan untuk kita tetap meratapi nasib dan janganpula jadikan hal buruk itu sebagai penghalang untuk meraih kebahagiaan kita dimasa depan."

Soojung tersenyum mendengar perkataan Wonho, ia memeluk lengan pria itu lalu menatap Sooji yang hanya diam saja, "aku dan Wonho berhasil mendapatkan kebahagiaan kami, sekarang giliranmu. Jangan merasa tidak pantas karena kita memiliki hak yang sama untuk mendapatkan yang terbaik."

Matanya berkaca-kaca saat mendengar perkataan Soojung, pernahkah ia mengatakan bahwa rumah ini adalah tempat yang tepat untuk ia datangi ketika sedang merasakan kegelisahan? Perhatian Wonho dan Soojung membuatnya merasa sangat terharu. Ia tidak menyangka akan dihargai sebesar ini oleh kedua sahabatnya itu. Ya, ia telah mencetus Wonho sebagai sahabatnya mulai hari ini, bukan lagi pria yang menikahi sahabatnya, melainkan sahabat yang menikahi sahabatnya. Perumpamaan yang cukup bagus.

"Kalian selalu tau cara membuatku bungkam." Sooji berbisik pelan membuat sepasang suami istri dihadapannya tersenyum lebar.

"Jadi, kau sudah tau apa yang akan kau lakukan bukan?"

Soojung menaikkan alisnya menatap Sooji, sementara yang ditatap hanya memberikan senyuman kecil penuh misteri.

"Kau memberikanku ide yang cukup brilian atas pertanyaan itu," Sooji menyeringai menghapus jejak air mata yang hendak memupuk diujung matanya.

Ia tersenyum, merasa sangat bersyukur karena dipertemukan oleh orang-orang terbaik seperti Wonho dan Soojung. Ia benar-benar sangat beruntung.

#

"Haeri, ayolah-ini masalah hidup dan mati menantumu," Haeri memutar bola matanya kesal. Sejak pagi tadi Sooji sudah mengganggunya, merecoki betapa penting misinya kali ini. Ia bahkan merasa jengah ketika Sooji mengaku-mengaku jadi menantunya. Kapan wanita itu menikah dengan anaknya? Dan kapan ia memiliki anak?

"Haeri bantu aku kali ini saja."

Sooji terus merengek, ia membulatkan tekat akan mendapatkan apa yang dinginkannya dari Haeri. Wanita itu harus memberikannya.

"Baiklah! Aku akan mendatangi paman Jongsuk kalau begitu," Sooji berdiri tegak menatapnya marah, "dan kali ini jangan lagi berharap kau akan mendapatkan restu dari Myungsoo! Huh!" Ia menghentakkan kakinya kesal mengancam Haeri.

"Sooji, kenapa kau yang menentukan restu Myungsoo akan diberikan atau tidak?" Haeri mengangkat alis menatap menantang padanya.

"Karena Myungsoo mencintaiku dan dia akan mendengarkan apa keinginanku!" Ucapnya dengan percaya diri, Haeri menatapnya heran sejenak kemudian ia tertawa.

"Percintaan anak muda," gumamnya pelan, ia lalu merobek selembar note dari atas meja lalu menuliskan sesuatu disana.

"Ini, bukan berarti ancamanmu menakutiku. Aku hanya prihatin padamu," Sooji tersenyum senang saat menerima selembar kertas itu. Ia berseru lalu memeluk Haeri.

"Thank you. I love you!"

"I am not!"

Haeri berdecak melihat Sooji keluar dari ruangannya dengan langkah girang. Ia tidak mengerti bagaimana bisa sifat kedua anak itu bisa sama persis?

Pantas saja mereka saling mencintai. Ckck.

###

Keesokan harinya Myungsoo kembali ke rumah Haruka-saudara ibunya. Ia tersenyum saat wanita itu menyambutnya dengan ramah.

"Apa ibuku sudah bangun?" Tanyanya, Haruka tersenyum lebar.

"Kau datang sangat pagi nak, tapi kau beruntung. Ibumu baru saja selesai sarapan."

Jantung Myungsoo kembali bertalu, kemarin ia tidak menunggu ibunya sampai bangun. Hanya sampai tangisan bodohnya itu berhenti lalu ia memilih keluar dan berpamitan pulang, ia tidak ingin bertemu dengan ibunya dalam keadaan yang kacau. Setidaknya ia perlu menyiapkan diri sebelum berbicara pada wanita itu.

"Apa bibi memberitau kedatanganku kemarin?"

"Sesuai keinginamu. Aku tidak mengatakan apa-apa."

Myungsoo tersenyum puas, setelahnya Haruka membiarkannya masuk ke dalam rumah dan menuju kekamar ibunya. Ia kembali lagi, dan perasaan gugupnya menjadi berkali-kali lipat lebih besar dari kemarin. Saat ini ia akan menemui ibunya yang sudah sadar, bukan ibunya yang terlelap seperti kemarin.

Dengan menarik nafas panjang, ia membuka pintu didepannya.

"Haruka, aku but--"

Myungsoo tidak sadar bahwa saat ini ia sedang menahan nafasnya saat mendengar suara rentan ibunya. Ketika wanita itu menoleh kearahnya, mereka sama-sama terdiam. Myungsoo menatap mata ibunya yang sedikit redup.

Ia langsung dilempar kembali ke duapuluh tiga tahun yang lalu, dimana ia dan ibunya berada diposisi yang sama persis. Berdiri didepan pintu kamar, ia menatap ibunya yang duduk diatas ranjang. Persis seperti saat itu, dimana ia untuk pertama kalinya dapat melihat ibunya setelah pulang dari rumah sakit.

"Myung-soo?"

Kakinya bergetar ketika desau angin menghantarkan lirihan Jihye padanya, ia tersenyum kecil. Setidaknya saat ini ibunya mengenalinya sebagai Myungsoo bukan sebagai putrinya yang telah pergi seperti dulu.

"Myungsoo, kaukah itu nak?"

Ia tidak tahan untuk mendekat dan menyentuh tangan ibunya. Ia kembali ketempat dimana ia bersimpuh kemarin, lalu menatap penuh rindu wanita yang kini juga sedang menatapnya teduh.

"Ibu-" Jihye tersenyum lalu meraih wajah Myungsoo untuk ia sentuh, wanita itu memejamkan matanya saat merasakan tekstur kulit putranya. Ini terasa sangat nyata.

"Ibu," Myungsoo ikut memejamkan matanya saat merasakan kerinduan yang mengalir pada sentuhan ibunya. Ia menangkup tangan Jihye yang masih berada diwajahnya.

Saat matanya terbuka, ia langsung bisa menatap mata ibunya yang kini sudah berkilat.

"Myungsoo, anakku," Jihye terisak, menarik untuk masuk kedalam pelukannya yang rapuh. Kedua tangan wanita itu bergetar sata melingkar dipundakknya.

Myungsoo kembali menangis. Kali ini dalam pelukan ibunya, pelukan yang telah ia rindukan hampir seumur hidupnya.

"Myungsoo, maafkan ibu nak. Maaf, maafkan ibu," Jihye terus meracau diantara isakan sambil memeluknya, ia menggeleng membalas pelukan ibunya.

Myungsoo merasakan tubuh Jihye yang tidak berisi sama sekali, ibunya sangat kurus dan ia meringis menyadari selama ini ibunya mungkin tidak hidup selayaknya.

"Ibu,"

Pelukan mereka terlepas, Myungsoo mengusap wajah penuh airmata ibunya. Ia tersenyum membuat Jihye kembali terisak.

"Sayang, maafkan ibu nak."

"Bu, jangan menangis lagi. Kumohon," pintanya masih setia mengusap wajah ibunya yang basah. Merasa perkataannya tidak berguna, akhirnya ia membiarkan saja ibunya menangis.

Sampai beberapa menit kemudian tangisan ibunya sudah berubah menjadi isakan kecil. Ia mengusap wajah itu untuk terakhir kali sebelum beranjak dan duduk ditepi ranjang. Menghadap ibunya.

"Bu,"

"Aku tau, kau kemari untuk meminta penjelasan," lirih Jihye dengan suara serak. Myungsoo menggelengkan kepalanya lalu menggenggam kedua tangan ibunya.

"Kita bisa membicarakan itu nanti, setelah kau merasa baikan," ucapnya membuat Jihye mendongak untuk menatapnya, "apa ibu baik-baik saja?"

Jihye tersenyum miris lalu menggelengkan kepala, wanita itu menatap infus yang tersemat dipunggung tangan kirinya lalu kembali menatap Myungsoo.

"Maafkan ibu nak. Kesalahan ibu dulu--"

"Sstt. Bu, sudah kukatakan tidak perlu membahas ini dulu," ia menyela membuat ibunya diam. Namun hanya sejenak sebelum Jihye kembali bersuara.

"Ibu tau suatu saat nanti kau akan datang dan menagih penjelasan padaku," Jihye menatapnya sendu, "sekarang kau disini. Sudah waktunya kau mengetahui semuanya nak."

Myungsoo hanya terdiam, apa yang dikatakan Jihye memang benar, ia menginginkan penjelasan wanita itu saat ini, tapi ia tidak mau memaksa. Kesehatan ibunya lebih penting saat ini.

"Ibu tidak apa-apa." Jihye tersenyum meyakinkan yang membuatnya mau tak mau akhirnya mengangguk pasrah.

"Ibu sangat depresi saat itu, kau tau bukan?" Myungsoo menganggukan kepalanya, kemudian Jihye melanjutkan mengatakan ia benar-benar tidak sadar ketika menganggapnya sebagai Myungeun. Saat itu dipikirannya anak kecil yang ada dihadapannya adalah putrinya.

"Ayahmu marah besar ketika mengetahui kelakuan ibu, dia mencoba menyadarkan ibu. Tapi, ibu sendiri yang tidak ingin sadar. Ibu masih ingin merasakan bagaimana rasanya memiliki seorang anak perempuan," Jihye meringis menatap penuh penyesalan pada Myungsoo.

Myungsoo baru tau jika ternyata waktu itu rahim ibunya ikut diangkat bersamaan dengan janinnya, karena kerusakan yang terjadi dirahimnya membuat nyawanya sedikit terancam. Itulah alasan mengapa ia bisa sangat depresi, membayangkan tidak bisa memiliki anak lagi membuatnya sangat sedih saat itu.

"Ayahmu terus memperingati ibu. Dia terus berusaha mengatakan bahwa adikmu telah tiada tapi ibu tidak menerimanya. Sampai ibu menyakitimu, saat itu ibu tidak sengaja."

Myungsoo termenung, ibunya sering mencubit atau memukulnya jika melakukan sedikit kesalahan dulu, sekarang mengatakan bahwa ia melakukannya secara tidak sengaja?

"Kenapa ibu melakukannya?"

"Karena saat itu ibu telah sadar bahwa kau adalah Myungsoo, putraku bukan putri yang selama ini kuharapkan," Jihye kembali terisak sementara Myungsoo menatap tidak percaya pada ibunya.

"Usiamu baru enam tahun waktu itu ketika ibu menyadarinya. Tapi, ibu berusaha menyangkal semuanya. Ibu tetap memperlakukanmu sebagai Myungeun karena ibu tidak terima kenyataan bahwa kau adalah laki-laki."

Myungsoo tidak tau harus berkata apa saat ini, pengakuan ibunya sungguh mengejutkan. Ia masih bisa mengerti jika ibunya melakukan semua itu karena tidak sadar dan dalam kondisi mental yang kurang baik tapi, kenyataannya saat itu ibunya telah sadar. Ia sadar bahwa anak yang dimilikinya adalah seorang laki-laki tapi dengan tidak berperasaan ia malah merubah anak itu menjadi seorang perempuan.

"Ayahmu tau jika ibu sudah menyadarinya, dia sekali lagi menyuruh ibu untuk menyerah namun ibu terlalu keras kepala dan tidak mendengarkan keinginan ayahmu sampai ayahmu selalu memarahi ibu."

"Bagaimana dengan perselingkuhan yang ayah lakukan?" Myungsoo bertanya, meskipun ia sudah mendapatkan penjelasan dari Haeri tapi ia masih butuh tau dari sisi ibunya. Alasan mengapa ibunya mengatakan bahwa Haeri dan ayahnya telah berselingkuh.

Jihye tersenyum masam, "saat itu ibu tau ayahmu hendak bertemu Haeri dan Yoorim, tapi Yoorim tidak bisa datang jadi ibu sengaja membawamu kesana dan membuat mereka seakan-akan terlihat sedang beduaan saja."

Myungsoo mengepalkan tangannya, jadi selama ini ibunya telah berbohong? Membuat skema seolah-olah ayahnya yang bersalah selama ini namun ternyata dialah yang melakukan kesalahan sejak awal.

"Ibu hanya tidak tau harus melakukan apa lagi. Ibu sengaja melakukannya agar memiliki alasan untuk pergi, ibu merasa tidak pantas menjadi seorang ibu dan istri." Jihye kembali terisak, ia menutup wajahnya dengan kedua tangan.

"Apa kau tidak memikirkan dampak dari perbuatanmu?" Myungsoo mendesis, ia merasa marah saat mengetahui semua yang telah terjadi dulu memang rencana ibunya.

"Maafkan aku,".

"Kau tidak tau karena perbuatanmu itu aku menjadi seorang--" Myungsoo mengatupkan rahangnya. Ia menggeram pelan, "aku menjalani hidup yang benar-benar kacau, bu," lirihnya.

"Karena kebohonganmu aku harus membenci ayahku. Aku membenci pria yang sudah merawatku selama ini. Kenapa kau membuat ayah yang menanggung semua kesalahanmu bu? Kenapa?" Ia bertanya dengan frustasi, tidak percaya jika semua ini telah terjadi. Ia membenci ayahnya untuk waktu yang lama hanya karena sebuah kebohongan kecil ibunya.

"Maafkan ibu nak, maaf,"

"Orang yang lebih berhak mendapatkan permintaan maafmu bukan aku, tapi ayah dan bibi Haeri."

Jihye hanya mengangguk kecil, ia sadar jika perbuatannya dulu adalah sebuah kesalahan besar. Itu alasannya ia memilih pergi meninggalkan suami dan anaknya agar tidak merasa lebih bersalah lagi.

"Ibu tau kesalahan ibu sangat besar. Ibu tidak mengharapkan pengampunanmu nak, ibu hanya ingin kau tau bahwa ibu sangat menyesal."

Myungsoo hanya diam. Penyesalan memang selalu mengiringi kehidupan seseorang dan ia salah satunya. Ia tau perbuatan ibunya tidak pantas untuk dimaafkan, kesalahan ibunya membuat kehidupannya berantakan, kesalahan ibunya membuat hubungannya dengan ayahnya berantakan, kesalahan ibunya membuat masa depannya terancam hancur. Namun, seburuk apapun yang dilakukan olehnya, sefatal apapun kesalahannya, seorang ibu tidak akan pernah menjadi orang asing. Wanita itu tetapnya ibunya terlepas dari semua kesalahan yang pernah ia lakukan.

Dan ia hanya seorang bocah laki-laki yang begitu mencintai ibunya. Apapun perlakuan wanita itu, ia tetap mencintai ibunya. Bahkan diantara kemarahannya saat ini, masih terselip rasa cinta disana untuk ibunya.

Seburuk apapun tindakan yang dilakukan Jihye, wanita itu akan tetap menjadi ibunya. Selamanya.

###

Myungsoo berbaring dengan pandangan kosong. Ia memikirkan apa yang terjadi hari ini. Semua pengakuan ibunya bukan membuat perasaannya lega tapi ia malah semakin merasa terbebani. Tidak menyangka ia akan menyia-nyiakan hidupnya selama ini hanya karena kebohongan yang diciptakan oleh ibunya.

Menyesal?

Tentu saja ia merasa sangat menyesal. Apalagi ketika mengingat ayahnya. Saat pria itu hampir jantungan setiap ia berbuat masalah ketika masih remaja dulu, atau saat ayahnya harus menebusnya di kantor polisi karena berkelahi dijalanan, atau saat ia melemparkan kata-kata kasar pada ayahnya. Ia sangat menyesali perbuatannya, dan betapa mulia ayahnya karena sampai saat ini pria itu masih menganggapnya sebagai anak. Bahkan ia belum benar-benar meminta maaf pada ayahnya.

Ia merasa malu, benar-benar malu. Terlebih pada Haeri, semua hinaan yang ia lontarkan secara frontal pada wanita masih terekam sangat jelas dipikirannya. Ia malu karena telah menuduh wanita itu dengan hal yang sama sekali tidak pernah ia lakukan.

Myungsoo mendesah panjang, ia meraih ponsel hendak menghubungi Sooji. Ia butuh mendengar suara wanita itu agar tidak stress. Semua kebenaran ini benar-benar berat untuk otaknya cerna.

"Kenapa ponselnya masih tidak aktif," ia menggumam pelan, chat terakhir wanita itu hanya saat sore tadi ketika ia baru akan kembali ke penginapan, saat tiba dipenginapan ia menghubungi wanita itu tapi ponselnya mati. Sekarang sudah lebih dari dua jam namun nomornya masih belum aktif juga.

Ia berdecak, baru dua hari dan wanita itu sudah berulah. Mana pacar yang kemarin marah-marah padanya karena pergi? Sekarang ia hanya dihadapkan dengan sambungan telepon yang tidak aktif serta kekasihnya yang tidak ia ketahui kabarnya.

"Awas saja kau Bae Sooji!" Menggeram kesal, Myungsoo melempar asal ponselnya. Ia sedang kalut setelah bertemu ibunya sekarang dibuat cemas lagi karena Sooji. Ia benar-benar telah dikendalikan oleh wanita itu.

Lama termenung diatas ranjang, tiba-tiba suara ponselnya menyeruak. Ia langsung bangkit dan meraih benda pipih itu.

"Oho! Masih ingat punya kekasih hmm?" Gumamnya dengan wajah menyeramkan ke layar ponsel, ia kemudian menerima panggilan yang masuk.

"Bae Sooji! Kenapa ponselmu mati!" Ia langsung berteriak marah, tidak memberi kesempatan wanita itu untuk berbicara, "apa yang kau lakukan selama ini sampai ponselmu mati?"

"Sayang, kau tidak merindukanku?"

Ia berdecak, bukannya menjawab, Sooji malah menanyakan hal yang tidak penting saat ini. Ia butuh penjelasan wanita itu, bukan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.

"Jangan mencoba untuk mengalihkan topik. Sekarang katakan kau dimana? Apa yang kau lakukan?"

"Astaga, berhenti marah-marah Kim Myungsoo."

"Makanya jawab pertanyaanku," Myungsoo menekuk wajahnya, "atau kau pergi bersama Kanjoon lagi? Kau cari mati huh?"

"Ckck, dasar pencemburu. Aku tidak bersama laki-laki lain."

"Lalu kau dimana?"

"Didepan pintu penginapanmu."

Mata Myungsoo membulat saat mendengar pernyataan Sooji, ia mendengus sesaat hampir saja percaya pada tipu muslihat kekasihnya.

"Jangan bercanda Sooji,"

"Aku serius. Kalau tidak percaya, coba buka pintunya."

Myungsoo mendengus lalu beranjak dari ranjang, ia tidak percaya wanita itu datang menyusulnya tapi tidak ada salahnya jika mengeceknya sekali. Saat membuka pintu ia tidak menemukan siapapun disana, hanya angin malam yang dingin menyapanya.

"Kau membohongiku," desah Myungsoo kecewa. Ya, meskipun menyangkal tapi ia menaruh sedikit harapan atas kehadiran wanitanya itu saat ini.

"Tidak. Aku serius, kau saja yang belum membuka pintu."

Alis Myungsoo bertaut, "aku sudah membuka pintunya Sooji. Tidak ada siapapun. Jangan membodohiku!" Myungsoo menghardik kesal, ia hendak menarik pintu untuk ditutup lagi namun tiba-tiba ia merasa ada orang yang menahannya.

"Myungsoo!"

Ia berbalik dan menemukan Sooji berdiri dihadapannya dengan hidung memerah, berapa lama wanita itu berdiri diluar sana?

"Kupikir tempatmu disebelah. Aku salah nomor rupanya," Sooji tertawa sambil mengusap pipinya, ia menatap Myungsoo yang hanya tercengang ditempatnya.

"Tidak ingin memelukku? Aku kedinginan dan merindukanmu," ia cemberut dengan wajah memelas, Myungsoo mengerjap beberapa kali lalu menarik tangan Sooji untuk masuk ke dalam pondoknya.

"Dasar bodoh! Sejak kapan kau menunggu diluar?" Myungsoo mengomeli Sooji dengan posisi memeluk wanita itu, ia melingkarkan lengannya dipundak Sooji lalu menghirup aroma wanita itu yang sudah sangat dirindukannya.

"Tidak lama. Udaranya memang cukup dingin," Sooji menjawab membalas pelukan hangat kekasihnya.

"Bodoh!"

Sooji hanya tersenyum mendengar umpatan Myungsoo padanya, tau pria itu sangat senang karena kehadirannya saat ini dan ia merasa bangga atas ide briliannya untuk menyusul Myungsoo.

#

"Kenapa kau datang kemari?" Myungsoo duduk disampingnya, Sooji tersenyum sambil menyeruput coklat panas yang dibuatkan pria itu untuknya.

"Karena kau membutuhkanku," jawabnya percaya diri, Myungsoo tersenyum kemudian merangkul pundaknya mesra.

"Kau tau aku selalu membutuhkanmu setiap detik." Bisikan Myungsoo membuatnya geli, ia tertawa kecil lalu menjauhkan diri dari pria itu. Ia meletakkan gelasnya di atas meja kopi lalu duduk menyamping untuk menghadap Myungsoo.

"Aku punya tujuan lain datang kemari," ucapnya, kali ini raut wajahnya tidak terlihat menyenangkan membuat Myungsoo mengerutkan kening.

"Apa ada masalah?" Myungsoo meraih wajah Sooji dan menatap cemas. Ia tersenyum lalu menggeleng kecil, meraih tangan pria itu kemudian menggenggamnya erat.

"It's about my past."

Myungsoo terdiam, alisnya bertaut saat melihat wajah Sooji yang sedikit pucat, "kau jauh-jauh kesini hanya untuk membahas masalalumu?" Tanyanya tidak percaya.

"Kau bisa menungguku pulang. Lebih nyaman bercerita saat dirumah," masih dengan senyuman Myungsoo mencoba untuk tidak terpengaruh sedikitpun.

"Aku tidak yakin keberanianku akan bertahan sampai kau pulang. Dan aku tidak ingin menyia- yiakannya."

Myungsoo tersenyum, ia menarik wajah Sooji untuk mendekat, menyatukan kening mereka. Ia menatap wanita itu intens.

"I don't really care about your past. Just us, now and our future," bisiknya pelan, Sooji membalas tatapannya dengan pandangan nanar. Ia menggeleng, menangkup tangan Myungaoo diwajahnya.

"Aku memaksamu untuk mendengarnya Myungsoo," tersenyum saat mendengar penuturan wanitanya, ia seperti mengenal kalimat itu.

"Okay, speak then--"

Myungsoo menunggu, posisi mereka masih sama seperti tadi. Kedua kening yang menyatu dengan pandangan penuh arti satu sama lain. Ia tidak berpikir bahwa Sooji akan sanggup mengutarakan apa yang ingin disampaikannya karena saat ini bibir bawah wanita itu bergetar, begitupula dengan tubuhnya.

Ia kemudian memajukan wajahnya hingga bibirnya menggapai bibir Sooji yang bergetar, ia menyesap dalam bibir itu, tangannya turun untuk mengusap punggung Sooji hingga wanita itu merasa lebih tenang.

"Don't say anything. I love you," Myungsoo menjauhkan wajahnya lalu menatapnya penuh cinta, Sooji memejamkan mata. Ia tidak bisa, Myungsoo harus tau apa yang telah terjadi padanya. Tidak adil ketika pria itu sudah mau membagi masalalunya yang dianggapnya memalukan sementara ia tidak mengatakan apapun tentang dirinya.

"Myungsoo, aku--"

"Jangan memaksa dirimu. Itu yang kau katakan padaku sayang, jadi terapkan kalimat itu untuk dirimu sendiri," Myungsoo menyela, Sooji kembali menggelengkan kepala.

"Aku harus mengatakannya. Ini tidak adil untukmu," lirihnya pelan. Myungsoo meringis tidak sanggup melihat wajah frustasi kekasihnya. Ia bahkan melihat luka yang selama ini tidak pernah ditunjukkan kedua bola mata indah itu.

"Lebih tidak adil jika aku membiarkanmu mengingat kenangan buruk itu sayang. Aku tidak bisa melihatmu terluka seperti ini."

Myungsoo mendongakkan wajah Sooji agar dapat menatapnya lebih jelas, "jangan mengingat apa yang tidak pantas untuk dingat," bisiknya.

Mata Sooji panas saat mendengar kalimat Myungsoo, "kau tau-" lirihnya, perasaannya sesak saat melihat senyum miris terukir diwajah pria itu.

"If we talk about your-fucking-past fiance, yeah i know baby. I know," wajahnya mengeras ketika mengatakannya. Mengakui bahwa ia tau apa yang telah menimpa Sooji dulu.

"Bagaimana-"

"Ayahku menceritakannya ketika kejadian itu terulang lagi."

Sooji menutup mulutnya tidak percaya, ia menatap nanar Myungsoo dengan penuh luka. Memundurkan badannya untuk menjauh dari Myungsoo, ia menggeleng.

"Mereka hanya tau-" Sooji menunduk menatap kakinya yang bersila diatas sofa, ibunya hanya tau jika dulu ia memang hampir mendapatkan pelecehan oleh calon tuangannya tapi ia sama sekali tidak memberitau apa yang telah terjadi malam itu.

Myungsoo hanya diam, membiarkan Sooji menenangkan dirinya. Ia tau wanita itu cukup shock namun bukan berarti ia akan membiarkannya larut dalam pemikiran yang negatif

"Sayang-"

"Myungsoo aku-"

"Sudah ya, jangan membahasnya lagi." Myungsoo membujuknya, ia tidak ingin wanita itu melanjutkannya.

"Kau harus tau apa yang terjadi malam itu," bisik Sooji ragu, ia sudah bertekad ingin mengungkapkan semuanya pada Myungsoo.

"Kalau kau ingin hidup bersamaku kau harus tau jika-"

Myungsoo meletakkan jari telunjuk diatas bibir Sooji membuat wanita itu mendongak menatapnya. Pria itu menggeleng, menolak untuk mendengar apapun yang akan Sooji katakan. Ia tidak ingin wanita itu mengungkapkan sesuatu yang berat untuk ia ucapkan.

"Jangan diteruskan. Itu akan menyakitimu," Sooji menggeleng, sampai saat ini pria itu masih saja memikirkannya. Bagaimana ia bisa menyimpan rahasia ini semakin dalam?

"Myungsoo, kau benar-benar harus tau. Aku sudah tidak--"

Myungsoo menggeleng lalu memeluk tubuhnya dengan erat, pria itu mendekati telinganya lalu berbisik pelan.

"You're not a virgin. And then what?"

Tubuh Sooji menegang saat mendengar bisikan itu, Myungsoo sudah tau bahkan sebelum ia mengakuinya. Bagaimana bisa pria itu tau disaat tidak seorangpun tau tentang hal itu?

Tiba-tiba air matanya menyeruak saat merasakan pelukan Myungsoo semakin erat padanya, apa Myungsoo tidak merasa jijik padanya? Dia bukan seorang wanita suci lagi.

"Sudah kukatakan aku tidak peduli apapun masalalumu. Aku mencintaimu, dan itu tidak akan pernah berubah sampai kapanpun."

Sooji terisak, ia memeluk pinggang Myungsoo, menenggelamkan wajahnya diceruk leher pria itu. Ia tidak menyangka akan dicintai sebesar ini oleh Myungsoo, tidak ketika rahasia terkelamnya telah terungkap.

"Hei, tidak perlu malu. Itu hanya kenangan sayang," bisikan itu kembali terdengar, dan sedikitnya ia merasa terhibur mendengar Myungsoo mengulang kalimat yang ia gunakan untuk menenangkan pria itu beberapa minggu yang lalu.

"Kau tidak jijik padaku? Aku wanita kotor Myungsoo."

"Kau adalah wanita tersuci yang pernah kukenal seumur hidupku. Jadi jangan berani-berani merendahkan dirimu." Myungsoo bersuara tegas membuatnya merasa sedikit terintimidasi.

"Tapi aku sudah tidak perawan," cicitnya, ia merasa menyesal karena telah gagal mempertahankan kehormatannya untuk Myungsoo. Ia sangat berharap jika pria itu adalah yang pertama untuknya.

"Kesucian seorang wanita bukan dilihat dari dia masih perawan atau tidak. Tapi dari hatinya. Kau satu-satunya wanita yang memiliki hati paling tulus diantara semua wanita yang kukenal."

Sooji terdiam mendengar ucapan Myungsoo, ia melepaskan pelukannya untuk menatap pria itu.

"Kau menerimaku?"

"Dengan sepenuh hati sayang," jawab Myungsoo dengan senyuman lebarnya.

"Kau tidak masalah bukan menjadi yang pertama?"

"And then let me be the last."

Sooji tersenyum mendengarnya, "aku mencintaimu. Sangat mencintaimu Myungsoo."

"So do i."

#

Kaki Sooji bergetar menanti apa yang akan terjadi padanya setelah ini. Ia menatap Myungsoo yang berlutut dihadapannya sementara ia duduk ditepi ranjang dengan kaki menapak lantai kayu pondok.

Ia merintih saat merasakan sentuhan ringan pria itu dibetisnya, ia meremas pelan pundak Myungsoo.

"Myungsoo-"

"Do you trust me?"

Sooji mengangguk yakin mendengar bisikan Myungsoo, ia memejamkan mata saat pria itu berdiri seiringan dengan tubuhnya yang perlahan terlentang diatas ranjang.

"Buka matamu," ia membuka mata sesuai keinginan pria itu, ikut tersenyum saat melihat senyum kecil Myungsoo untuknya.

"Percaya padaku, oke?" Ia kembali mengangguk, kemudian setelahnya Myungsoo melakukan apa yang sudah menjadi tugasnya. Ia mendesah saat merasakan tangan Myungsoo yang tidak sengaja menyentuh kulitnya ketika pria itu menarik bajunya ke atas.

Saat ini tubuhnya benar-benar terekspos. Ia malu saat mendapati Myungsoo menatap penuh kekaguman tubuhnya yang hanya berbalut underwear saja. Pakaian luarnya telah dilepaskan oleh pria itu.

"My favorite," bisik Myungsoo saat mendekati dadanya dan memberikan kecupan mesra disana. Ia mendesah kembali.

"Ini milikku."

Sooji merintih saat bibir Myungsoo menjelajahi tubuh bagian atasnya. Ia menggeliat merasakan sensasi aneh yang berputar diperut bawahnya, tangannya refleks menggenggam rambut Myungsoo ketika pria itu menyesap kulit area pinggulnya. Ia bergerak gelisah.

"Myung--soo,"

"Kau menyukainya?" Dengan malu-malu Sooji mengangguk, ia memang menyukai apa yang dilakukan oleh pria itu ditubuhnya. Ia menyukai sentuhan intimnya.

Myungsoo kembali merangkak untuk mensejajarkan wajah mereka, pria itu tersenyum sebelum mencium pipi merahnya.

"May i?" Tangannya sudah terulur kepunggung Sooji, menyentuh pengait yang menghalangi tubuh indah wanita itu. Sooji sekali lagi mengangguk.

Ia menggigil kedinginan ketika satu-satunya penutup tubuh atasnya dilepas oleh Myungsoo, namun tiba-tiba ia merasa hangat. Mendunduk sedikit untuk melihat bagaimana Myungsoo mencium dadanya dengan begitu lembut dan penuh perhatian, ia mendesah untuk kesekian kali ketika bibir pria itu menyentuh bagian tersensitif miliknya.

"Myungsoo--"

Pria itu mengabaikan racauannya. Ia lebih memilih untuk fokus pada dua benda kenyal favoritenya. Mencium dan mengulum puncaknya dengan gerakan berirama sehingga membuat tubuh wanitanya menggelinjang hebat.

Sooji menggeram ketika gerakan bibir serta tangan pria itu semakin intens, ia mendorong kepala Myungsoo agar bisa lebih dalam untuk memberi kepuasan pada dadanya. Tepat ketika jemari pria itu memelintir puncaknya dengan keras ia merintih hebat, sesuatu yang hangat mengalir dipusat dirinya. Ia terengah-engah sementara Myungsoo masih memberikan kecupan-kecupan kecil didadanya.

"What was that?" Tanya Sooji dengan nafas tersengal, ia merasa seperti melayang. Seperti sesuatu dalam dirinya terbebaskan membuatnya sangat lega dan nikmat disaat yang bersamaan.

"That's called 'O' baby."

Myungsoo menyeringai, ia naik untuk mencium bibir Sooji, melumatanya dengan dalam. Melakukan kegiatan favoritenya yaitu menggigit rakus bibir itu, Sooji mendesah ingin melepaskan diri namun tangannya bertindak lain. Ia malah menarik leher Myungsoo agar lebih mendekat padanya. Ia menggeliat, tangan nakal Myungsoo kembali beraksi.

"Sekarang nikmati hidangan utamanya, sayang," bisik Myungsoo penuh minat. Sooji hanya pasrah menanti apa yang akan selanjutnya diberikan Myungsoo padanya.

Malam ini ia benar-benar telah menyerahkan dirinya secara utuh pada Myungsoo. Lahir dan bathin.

TBC.

Oke! Jangan marah karena aku potong santapan utamanya 😂 ini bukan Ff NC jadi jangan harap ada adegan nananina 😈 yang diatas udah cukup membayar imajinasi mesum kalian jadi jangan minta lebih 😂😂😂😂

Nextnya ending. InsyaAllah kalau tidak kepanjangan wkwk.

Dan yeah, yang bertanya-tanya Suzy perawan atau bukan--noh ada jawabannya. Jangan kecewa. Tidak ada manusia sempurna begitupula Suzy 😂 yang berlalu biarlah berlalu, udah gak jaman noleh kebelakang buat ngintip masalalu. Sekarang waktunya buat bergerak maju kedepan untuk meraih kebahagian *cieileeehh bahasa gue apaan banget ya 😂😂😂😂😂

See you next part~ 🙋🙋🙋🙋

Thank.xoxo
elship_L
.
.

-07'Jan'17-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top