Part 20 - Bagian 2

Myungsoo menatap nyalang selembar kertas ditangannya, duduk dalam ruang kerjanya yang temaram. Membutuhkan waktu untuk berpikir dengan sangat tenang, ia memilih menyendiri di sana sejak siang tadi.

Ibunya telah ditemukan, apa yang selama ini ia cari ada didepan mata. Namun masih ada sedikit kejanggalan dalam hatinya, dan ia tidak mengetahui apa yang membuatnya sedikit gelisah malam ini.

Ayahnya mengatakan selama ini ibunya tinggal bersama saudara jauh di sebuah kota kecil di Jepang, hanya itu yang ia tau. Myungsoo tidak mendapatkan informasi lain seperti keadaan ibunya, apakah beliau sehat atau tidak, ia tidak tau apapun.

Dulu ketika ia berharap dapat menemukan ibunya, tujuannya adalah untuk mengajak wanita itu kembali hidup bersamanya. Tapi sekarang tujuannya berbeda, setelah kejadian belakangan ini membuatnya berubah pikiran. Ia ingin hidup dengan bebas tanpa beban masalalu, tanpa harus takut dengan semua kenangan buruk yang ia alami. Myungsoo ingin hidup bahagia, setidaknya hanya sekali meskipun merasa itu adalah sesuatu yang mustahil tapi ia ingin mencobanya.

Hidup bersama Sooji adalah tujuannya saat ini, ia tidak ingin masalalunya membuat tujuannya terhalangi. Untuk pertama kalinya dalam duapuluh tiga tahun terakhir ia benar-benar ingin hidup seperti laki-laki normal diluar sana. Ia ingin merasakannya.

"Myungsoo, apa yang kau lakukan disini?" Myungsoo mendongak menatap Sooji yang berdiri diambang pintu ruangan sedang menatapnya heran, "kau bahkan tidak menyalakan lampu," gerutu wanita itu sembari melangkah masuk.

Menyalakan lampu dalam ruangan lalu meneliti penampilan pria yang sudah sejak tadi mendekam dalam ruangan ini.

"Kau baik-baik saja?"

Myungsoo tersenyum kecil dan mengangguk, ia meminta Sooji mendekat. Sooji menurut, saat ini ia berdiri disamping kursi yang diduduki pria itu.

"Apa ada masalah?" Myungsoo memejamkan mata saat merasakan belaian lembut dirambutnya, ia membalik badan lalu memeluk pinggang Sooji, membenamkan wajahnya di perut wanita itu.

"Hei, are you okay?" Sooji melingkarkan kedua lengannya dikepala Myungsoo, ia mengusap beberapa kali rambut halus pria itu.

"Aku sedang berpikir," lirih Myungsoo, suaranya hampir teredam karena wajahnya menempel diperut Sooji, namun Sooji masih dapat mendengar kalimat itu.

"Apa yang kau pikirkan?"

Myungsoo diam, ia tidak menjawab untuk beberapa saat. Setelahnya ia menjauhkan kepalanya untuk mendongak dan menatap Sooji, tangannya masih memeluk wanita itu.

"Aku berpikir harus memulainya darimana," ucapnya, Sooji mengernyit bingung saat mendapati pandangan nanar Myungsoo padanya. Ia tidak mengerti mengapa pria itu terlihat sangat gusar malam ini, padahal sebelumnya ia baik-baik saja.

"Mulai dari hal yang paling mudah. Kurasa itu pilihan yang bijak." Sooji tersenyum, meskipun tidak tau apa yang sedang terjadi. Ia tetap harus bisa memberikan solusi yang menurutnya terbaik atas permasalahan Myungsoo.

"Tidak ada kata mudah dalam hidupku sayang, semuanya rumit. Sangat rumit." Myungsoo menunduk dengan mata terpejam, melihat perilaku pria itu Sooji menjadi ikut cemas.

"Kalau begitu jangan dipikirkan. Kau butuh istirahat, ayo-"

Sooji mengabaikan pandangan Myungsoo padanya, ia menarik tangan pria itu. Dia butuh tidur, terlalu banyak pikiran bisa membuatnya stress. Sooji tidak peduli masalah apa yang sedang dihadapi kekasihnya, yang jelas ia tidak akan membiarkan pria itu larut dalam masalahnya dan membuat dirinya menjadi stress.

"Kau tidak ingin bertanya?" Tanya Myungsoo menatapnya, ia menggeleng pelan.

"Kau lebih butuh tidur daripada menerima pertanyaanku." Jawabnya lalu membawa Myungsoo ke kamar.

#

Sooji memejamkan matanya, tapi ia sama sekali tidak bisa tidur. Pergerakan disampingnya sedikit membuatnya terganggu untuk terlelap.

"Kau tidak bisa tidur?" Sooji membuka mata menatap Myungsoo yang masih menggerakkan badan untuk mencari posisi nyaman. Pria itu berbalik kearahnya kemudian menghela nafas panjang.

Ia beranjak duduk, menyalakan lampu tidur disampingnya lalu menarik Sooji untuk bersandar padanya. Kedua lengannya memeluk wanita itu dengan erat.

"Dulu, aku hampir memiliki seorang adik," ucapnya diantara keheningan, Sooji yang sudah hampir terpejam langsung membuka matanya. "Seorang adik perempuan yang jika besar nanti kupikir ia akan menjadi sangat cantik."

Sooji tersenyum, ia membelai dada pria itu dan menempelkan kepalanya disana, mendengar detak irama jantung yang begitu tenang.

"Aku bisa membayangkannya," sahutnya, Myungsoo mengangguk, ia juga sering membayangkan rupa adiknya dulu.

"Tapi sebelum aku bertemu denganya dia sudah pergi," ia melirih pelan, Sooji mendongak untuk mengusap wajah pria itu dengan lembut, "kata ayahku dia pergi ketempat tenang dan damai," Myungsoo tertawa kecil, mengingat dulu ia tidak mengerti dimana tempat tenang itu.

"Dia pasti sudah berbahagia disana Myungsoo," ucapnya menenangkan, pria itu sekali lagi mengangguk atas ucapannya.

"Karena kehilangan adikku, kondisi ibu menjadi tidak baik," lanjutnya lagi. Myungsoo memejamkan mata, mengetatkan pelukannya pada Sooji. Tubuhnya bergetar secara tiba-tiba, mengingat apa yang telah terjadi padanya dulu.

"Demi tuhan, aku sangat mencintaimu Sooji." Sooji terkejut saat mendengar suara Myungsoo yang bergetar lirih, ia mendongak mendapatkan wajah pucat pria itu, "aku mencintaimu, sangat,"

"Aku mencintaimu juga." Bisik Sooji, ia tidak mengerti dengan perubahan pria itu. Ia hanya mencoba untuk menenangkannya dengan mengusap dadanya lebih lembut, sesekali ia mendaratkan sebuah kecupan disana.

"Tenanglah, jangan memaksa dirimu. Aku tau kau mencintaiku," ucapnya lagi menenangkan, namun Myungsoo menggeleng, memberinya tatapan yang penuh luka membuatnya ikut terluka.

"Myungsoo,"

"Aku ingin bahagia Sooji," Sooji mengangguk, ia menangkup wajah pria itu dan memberinya tatapan penuh keyakinan, "aku ingin bersamamu."

"Kita akan bahagia bersama. Percayalah."

Myungsoo tersenyum miris, ia menggelengkan kepalanya dengan helaan nafas panjang, "aku ingin kau tau semuanya," lirihnya.

Sooji menggeleng, "jangan lakukan jika kau tidak ingin. Aku sudah cukup hanya dengan kau mencintaiku Myungsoo."

"Berjanjilah untuk tetap disisiku," Myungsoo mendesah panjang, ia tidak bisa membayangkan hidupnya jika ditinggalkan oleh wanita ini.

"Aku berjanji dengan seluruh hidupku. Aku tidak akan meninggalkanmu." Janji Sooji terdengar begitu meyakinkan membuatnya sedikit merasa lega, ia menunduk mencium pelipis wanita itu kemudian menatapnya penuh cinta.

"Tapi kau perlu untuk mendengar masalaluku. Dan aku memaksamu untuk mendengarnya," ucapnya lagi, Sooji menatap ragu sejenak namun kemudian ia mengangguk, kembali memeluk pria itu, siap mendengarkan apa yang selama ini membuatnya bertanya-tanya.

"Ibuku mengalami depresi saat itu namun aku tidak menyadarinya sama sekali."

"Itu wajar, kau masih kecil sayang," balas Sooji, Myungsoo membenarkan. Ia memang tidak tau menau tentang kondisi ibunya.

"Karena kondisinya seperti itu. Dia menjadi sedikit aneh," Myungsoo meringis, ia memejamkan matanya dengan tarikan nafas dalam, "semenjak saat itu dia-" pria itu mengatupkan bibirnya.

Sooji mengerti jika itu sangat sulit untuk Myungsoo, ia tersenyum tenang lalu mendongak mencium pipinya yang sedikit tegang.

"Pelan-pelan saja," bisiknya. Myungsoo mengangguk masih memejamkan matanya. Ia tidak punya nyali untuk menatap wanitanya sekarang. Setidaknya sampai ia bisa mengungkapkan semuanya.

"Dia berpikir aku adalah adikku. Adikku yang telah tiada saat itu." Dengan satu tarikan nafas Myungsoo berhasil mengatakannya, ia diam menanti respon wanita dalam pelukannya namun sampai beberapa menit berlalu ia tidak mendengar apapun.

"Sooji?" Ia membuka mata, menunduk menatap Sooji yang saat ini seperti sedang terpaku, "sayang?" Menepuk pipi wanita itu, ia kemudian lega saat Sooji mengerjapkan mata.

"Kau-kau-" Myungsoo tersenyum miris, ia tau reaksi Sooji akan seperti ini.

"Ya, ibuku berpikir aku adalah putrinya. Ia memperlakukanku seperti anak perempuan," Myungsoo menggeleng, mengingat masa-masa itu, "itu sungguh menjijikkan," ia meringis sembari membuang wajahnya. Merasa malu terhadap Sooji.

"Hei," Sooji menarik dagu Myungsoo untuk menoleh padanya, ia tersenyum menenangkan, "tidak perlu merasa malu. Itu hanya sebuah kenangan Myungsoo," ucapnya dengan suara lembut.

Myungsoo menatapnya sejenak kemudian memeluknya. Membenamkan wajahnya dipundak wanita itu, ia mendesah panjang menahan gejolak kesedihannya. Ia sangat takut dengan apa yang Sooji pikirkan tentangnya saat ini.

"Aku tidak merasa jijik padamu jika itu yang kau risaukan saat ini," ungkap Sooji lagi membalas pelukan pria itu.

"Aku mencintaimu," bisik Myungsoo membuatnya tersenyum, Sooji tidak akan pernah bosan mendengar kata cinta pria itu.

"Jadi, itu yang membuatmu seperti ini? Menjadi seorang-hmm-" Sooji menggigit bibirnya merasa berat untuk melengkapi pertanyaan itu.

"Gay?" Myungsoo bergumam, wanita itu mengangguk, "mungkin kejadian itulah pemicunya, tapi aku juga tidak tau dengan pasti." Jawab Myungsoo.

"Dulu aku merasa lebih nyaman jika bergaul dengan laki-laki, dibandingkan perempuan. Bisa jadi itu juga alasannya kenapa aku jadi seperti ini," tambahnya lagi, Sooji mengangguk mengerti.

"Dan akhirnya kau sangat membenci perempuan?"

"Aku sudah merasakan kehilangan yang sangat ketika Ibu pergi meninggalkanku. Jadi aku tidak ingin membuat diriku kembali merasakannya jika aku bersama dengan wanita lain." Myungsoo menghela nafas panjang.

"Itu membuatku secara tidak sadar lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman priaku sampai aku benar-benar tidak memiliki rasa apapun terhadap wanita dan kita tau akhirnya seperti apa," Myungsoo tertawa lirih, seandainya dulu ia bisa lebih berani untuk menghadapi masalahnya. Mungkin akhirnya tidak akan seperti ini.

"Kau menyesal karena telah memilih hidup yang seperti itu?" Tanya Sooji.

"Selalu ada kata penyesalan atas perbuatan yang kita lakukan sayang, baik ataupun buruk."

"Apa kau juga menyesal bertemu denganku?" Myungsoo tersenyum ketika mendengarnya.

"Satu-satunya hal yang aku syukuri atas kemalangan yang menimpa hidupku adalah pertemuan pertama kita," ungkapnya dengan wajah berseri. Sooji ikut tersenyum mendengarnya.

"Jika aku tidak mengalami hal buruk itu, mungkin sekarang kita tidak akan ada disini. Berpelukan, penuh cinta."

Wajah Sooji langsung memerah mendengar itu, ia juga sempat berpikir. Bagaimana jika Myungsoo bukan seorang gay? Pria itu mungkin sudah berakhir di kamar hotel dengan para wanita-wanita tidak jelas diluar sama. Sepertinya.

"Aku tersanjung mendengarnya," ucap Sooji malu-malu.

"Kuanggap itu sebagai pujian."

Myungsoo menunduk lalu mencuri ciuman dari bibir Sooji, wanita itu menggerutu membuatnya tertawa.

Ya, setidaknya saat ini ia sudah bisa tertawa lepas. Semua beban yang ia rasakan nyaris hilang dari pundaknya membuatnya merasa lebih ringan. Mendapati Sooji yang masih mau mencintainya dengan segala kenangan buruk yang ia miliki, ia merasa tidak ada seorangpun yang lebih beruntung darinya. Ia bersyukur atas hal itu.

###

"Kau akan pergi!"

Myungsoo terlonjak saat mendengar teriakan itu, ia menoleh mendapati Sooji sudah berjalan kearahnya dengan pandangan menuduh, memegang tiket pesawat yang entah didapatkannya dari mana. Myungsoo memelas.

"Sayang, we've talk about this," ucapnya setengah memohon. Sooji sudah berdiri menjulang dihadapannya dengan satu tangan menopang pinggang sementara tangan lainnya mengibaskan tiket itu.

"Dan meninggalkanku sendiri?" Sooji masih melotot membuat Myungsoo mendesah. Ia merasa serba salah.

"Aku sudah mengajakmu. Kau menolaknya." Desahnya dengan wajah frustasi, Sooji menggeleng menatap tajam pria itu.

"Kau memilih waktu yang tidak tepat Myungsoo! Kau sengaja melakukannya bukan?" Tuduhan kali ini membuatnya lebih panik, ia melebarkan mata lalu berdiri dari sofa untuk menghadap wanita itu.

"Sayang, aku tidak tau kau sudah memiliki rencana," ucapnya membela diri, "kau tidak memberitahuku." Kali ini ia yang memberikan tuduhan pada wanita itu.

Sooji menelan salivanya, "itu kejutan tau! Aku sengaja menyembunyikannya," ungkapnya.

"Kau akan bekerja lagi. Bagian mana dari hal itu yang akan membuatku terkejut hmm?"

Sooji mendesah, ia melempar tiket itu ke wajah Myungsoo lalu berbalik, "kau menang tuan Kim. Pergilah! Terserah kau mau kemana, aku tidak peduli lagi!" Teriaknya sembari berjalan memasuki kamar. Melihat itu Myungsoo hanya tersenyum geli.

Setelah pengungkapan tentang masalalunya pada Sooji beberapa hari lalu, ia memutuskan untuk mengunjungi ibunya. Ia ingin bertemu dan mengklarifikasi beberapa hal yang masih mengganjal dihatinya.

Myungsoo juga mengajak wanitanya ikut bersama ketika ia memutuskan untuk pergi, tapi Sooji malah menolak dengan alasan ia sudah mulai bekerja lagi. Awalnya ia sedikit bingung, kapan wanita itu melamar pekerjaan, tapi ketika tau tempatnya bekerja ia menjadi mengerti.

Soojung membuka butiknya sendiri semenjak menikah, dan saat ini wanita itu sedang cuti hamil jadi Sooji yang menggantikannya mengelola butik itu untuk sementara. Myungsoo cukup senang mendengarnya, setidaknya Sooji memiliki hal untuk dikerjakan daripada harus tinggal dirumah tanpa melakukan apapun.

Dan sekarang wanita itu merajuk karena ia benar-benar akan pergi? Astaga! Ia tidak tau jika perempuan bisa serumit ini.

#

Dua hari setelahnya-tepat sehari sebelum ia berangkat, Myungsoo kembali dibuat gusar. Sooji mendiaminya lagi, setelah dua hari kemarin wanita itu baik-baik saja, tetapi ketika menyadari jadwal keberangkatannya adalah besok, wanitanya kembali merajuk.

"Sayang-"

Sooji mengabaikan, mereka sudah bersiap tidur. Ia tidak ingin pergi dalam mode bertengkar dengan kekasihnya. Itu akan memperburuk suasana hatinya.

"Sayang, ikut denganku saja," ia kembali membujuk, naik keatas ranjang dan mendekati wanita itu.

"Sayangku, cintaku, Soojiku, jangan marah lagi ya?"

Sooji yang sudah berbaring membenamkan wajahnya kebantal, ia tidak tahan untuk tidak tersenyum mendengar rayuan Myungsoo. Ia tidak menyangka jika seorang Myungsoo yang sama sekali tidak memiliki pengalaman bersama wanita bisa merayu sehebat ini.

Ia bahkan hampir melupakan kekesalannya saat ini, hanya dengan panggilan penuh cinta yang disematkan Myungsoo untuknya.

"Sayang ayolah, aku benar-benar bisa gila kalau begini." Myungsoo menyahut frustasi, ia menyentuh pundak Sooji lalu tersenyum saat tidak mendapatkan penolakan dari wanita itu.

Dalam sekejap mata ia sudah ikut berbaring dan memeluk tubuh Sooji dari belakang, Myungsoo melingkarkan lengannya diperut wanita itu lalu dagunya ia letakkan diatas pundak Sooji.

"Aku tau kau sudah tidak marah," bisiknya pelan, Sooji masih belum mau membuka suara tapi Myungsoo tidak mempermasalahkannya. Dengan Sooji yang tidak menolak pelukannya saja itu sudah cukup.

"Aku janji akan pulang secepat mungkin."

"Aku akan merindukanmu," balas Sooji, pria itu tersenyum lalu mencium pipi kekasihnya dari samping.

"Sebelum kau merindukanku, aku sudah akan pulang," ucapnya dengan girang.

Sooji mendengus lalu memukul punggung tangan pria itu, "bodoh! Bagaimana bisa?" Ia mencibir, "sekarang saja aku sudah merindukanmu."

Senyum Myungso semakin merekah mendengar itu, "kau menggodaku lagi sayang?" Bisiknya ditelinga Sooji, wanita itu menggeliat geli.

"Aku juga merindukanmu," ucap Myungsoo lagi, ia membalikan tubuh wanita itu, menatap wajahnya yang memerah, "seharian ini aku tidak mendapatkan cemilanku," kekehnya. Sooji menggerutu lalu memukul dadanya pelan, Sooji seharusnya tsadar jika Myungsoo hanya memikirkan bibirnya saja.

"Otak mesum!"

"Hanya padamu sayang," Myungsoo tersenyum sebelum maju untuk meraup bibir Sooji. Ia merasa dahaganya terpuaskan setelah seharian ini tidak mencicipi bibir itu. Ia merapatkan tubuh Sooji padanya, melumat dengan lembut dan memberikan gigitan kecil dibibir bawah wanitanya.

Sooji melenguh membuka bibirnya membuat Myungsoo dengan sigap memasukan lidahnya untuk mencicipi lebih dalam.

Tangannya tanpa sadar meraba punggung hingga bagian depan tubuh Sooji, ketika menemukan kancing baju wanitanya, ia langsung melepaskan sstu persatu.

Myungsoo kembali merasakannya, perasaan aneh yang pernah ia rasakan ketika mencium Sooji dikantornya. Itu kembali lagi dan sekarang lebih besar dari sebelumnya, ia menyadari hal tersebut.

Dengan perlahan tanpa melepaskan ciumannya, Myungsoo membalikan tubuh Sooji hingga wanita itu berada dibawah kungkungannya saat ini, ia menjauhkan wajah sejenak untuk melihat wajah wanitanya lalu kembali menunduk untuk mencium bibir ranumnya.

Dilain pihak, Sooji tau apa yang sedang ia dan Myungsoo lakukan saat ini. Tangannya terangkat untuk meremas lembut rambut Myungsoo dan ia membalas tiap ciuman yang didapatkannya dari pria itu. Ia mendesah saat tangan pria itu mulai menyentuhnya, kapan terakhir kali ia merasakan sentuhan langsung Myungsoo dikulitnya? Sudah lama sekali sepertinya dan kali ini rasanya jauh lebih baik dari sebelumnya. Ia merasakan bibir pria itu menjauh namun tidak lama kecupan-kecupan kecil turun dari leher menuju dadanya. Ia bahkan tidak sadar jika bajunya telah terbuka saat ini.

Myungsoo melakukan hal yang sangat bagus, pria itu membuat gejolak gairahnya melayang tinggi hanya dengan kecupan dan tangannya. Sementara Myungsoo merasa bangga ketika mendengar desahan Sooji akibat perbuatannya. Ia puas dengan apa yang telah dilakukannya.

Tau apa yang seharusnya ia lakukan selanjutnya, Myungsoo menjauhkan tubuhnya dari Sooji membuat wanita itu sedikit merasa kehilangan. Myungsoo tersenyum. Tangannya menyentuh perut Sooji dengan gerakan yang sangat menggoda, ia meraba bagian pusarnya kemudian menjalar kesamping, meremas lembut pinggul wanitanya dengan kedua tangannya.

Sooji memejamkan mata sembari menahan nafas, merasakan tangan Myungsoo dipinggulnya membuatnya entah mengapa merasa sedikit resah. Sampai ketika jemari-jemari besar itu meraih celana tidurnya dan hendak menariknya turun tubuhnya seketika menegang.

Sebuah kilasan kejadian tiba-tiba muncul membuatnya langsung membuka mata dan menemukan Myungsoo saat ini sedang menatapnya, ia baru menyadari jika pria itu tidak melanjutkan gerakannya. Apa ketegangannya disadari oleh pria itu?

"Ke--kenapa?" Sooji mencicit pelan saat Myungsoo sama sekali tidak membuka suaranya, ia takut Myungsoo berpikir bahwa ia menolak pria itu. Ia menggeleng meraih tangan yang hendak menjauh darinya, "jangan--ka--kau bisa me--melakukannya," ucapnya dengan terbata-bata. Ia tidak ingin mengecewakan Myungsoo hanya karena kilasan memori sialan itu.

Myungsoo tersenyum, ia memperbaiki letak celana tidur Sooji. Menegakkan tubuh saat duduk disamping tubuh kaku wanitanya, ia mengusap kepala Sooji sebelum kembali mengancingkan bajunya.

Sooji menatapnya heran, apa yang dilakukan pria itu?

"Aku merasa sekarang bukan waktu yang tepat," ucap Myungsoo seakan tau apa yang ada dibenaknya, "besok aku akan pergi. Aku tidak ingin mengambil resiko dengan membatalkan keberangkatanku jika kita melakukannya," sambungnya dengan nada menggoda.

Sooji yang tadinya tegang langsung merasa rileks ketika mendengar alasan itu, ia tersenyum kecil, "jangan kecewa sayangku," bisik Myungsoo lalu berbaring disampingnya, pria itu tertawa pelan saat merasakan cubitan kecil mendarat diperutnya.

Myungsoo memeluk tubuh Sooji, membenamkan wajah dirambut wanita itu. Ia memejamkan mata.

"Kita akan memiliki waktu yang banyak nanti. Jadi jangan kecewa, oke?"

Sooji langsung tertawa ketika mendengarnya, dan itu membuatnya merasa lega.

Myungsoo merenung, membiarkan Sooji terlelap dalam pelukannya

Bodoh Kim Myungsoo!

Merutuki dirinya sendiri, mengapa ia bisa sebodoh ini? Untung saja ia cepat tersadar karena jika tidak ia sudah pasti akan menyakiti Sooji.

Bagaimana ia bisa lupa dengan pengalaman wanitanya? Ia hampir saja melakukan hal yang paling tidak diinginkan oleh Sooji. Ia tau Sooji tidak menginginkannya hanya dengan merasakan reaksi tubuh wanita itu, awalnya ia memang terlihat menerima tapi Myungsoo yakin jika Sooji benar-benar akan menolaknya ketika ia bertindak lebih jauh dari ini.

"Maafkan aku sayang," ia menunduk menatap wajah Sooji yang terpejam, mencium kening wanita itu dalam lalu memeluk tubuhnya dengan erat.

"Aku mencintaimu."

TBC.

Jangan protes kalau pendek. Part ini panjang kalau digabung dengan bagian 1 yang kemarin.

Dua part lagi ending. Brace your self~

Thank.xoxo
elship_L
.
.

-06'Jan'17-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top