Part 19

Myungsoo bertanya-tanya dalam hatinya, apakah membiarkan seseorang masuk ke dalam wilayah pribadinya adalah tindakan yang tepat atau tidak?

Awalnya ia tidak sempat memikirkan hal tersebut, tapi sepertinya saat ini ia perlu untuk mempertimbangkannya lagi. Terlebih setelah melihat keadaan kamarnya yang berubah menjadi tempat yang hampir tidak ia kenali. Kalau bukan ranjang dan sofa kesayangannya masih berada disana, ia mungkin berpikir saat ini sedang berada di kamar milik orang lain.

Lihat saja keadaan kamarnya yang benar-benar berbeda, dulu kamar itu hanya diisi oleh sebuah ranjang, sofa panjang, meja kopi serta tv plasma yang menggantung di dinding. Sekarang terlihat lebih padat dengan sebuah meja rias yang baru lengkap dengan peralatan makeup diatasnya, rak buku berukuran sedang serta sebuah meja sketsa. Ia hanya bisa menggeleng melihat betapa padatnya kamarnya saat ini.

"Bagaimana?"

Wanita itu berbalik dan tersenyum lebar menatapnya, ia tidak bisa untuk tidak ikut tersenyum melihat betapa senangnya wanitanya saat ini.

"Apa aku punya hak untuk berpendapat nona?" Tanyanya sedikit skeptis namun masih dengan senyuman, Sooji tertawa lalu mendekatinya.

"Ini salahmu tau. Siapa suruh cuma punya satu kamar," tuduhnya membuat Myungsoo hanya mampu mengangguk pasrah.

Ia memang tidak memprediksi masalah ini, apartemennya sebenarnya memiliki tiga ruangan yang bisa dijadikan sebagai kamar. Tapi sejak awal ia sudah membuat salah satunya menjadi ruangan yang menampung lemari pakaian serta barang-barangnya. Sehingga tersisa dua kamar yang sekarang menjadi kamarnya dan satu lagi adalah ruang kerjanya. Ia tidak berpikir sampai sejauh ini ketika mengajak Sooji untuk tinggal bersamanya, mereka kekurangan kamar.

"Kau sudah menginvasi lemari pakaianku, sekarang kamarku. Aku telah pasrah sayang," Sooji kembali tertawa lalu memeluk tubuhnya, wanita itu menenggelamkan wajah didadanya.

"Kita membutuhkan foto untuk dipajang," ucap Sooji, Myungsoo mengangkat pandanganya dan menatap dinding yang bersih dari frame apapun.

"Kita bisa ke studio untuk melakukannya. Sekarang apa kau sudah selesai?" Myungsoo melepas pelukannya dan menatap Sooji, wanita itu mengangguk. Ia sudah meletakkan semua barag-barangnya ditempat seharusnya.

"Dan sekarang aku lapar," serunya dengan rengekan kecil, Myungsoo mendengus kemudian berbalik hendak meninggalkan kamarnya.

"Ayo ke dapur. Kita lihat apa yang ada," sahutnya, Sooji memekik kecil kemudian mengikuti langkah pria itu menuju dapur.

#

"Sayang,"

"Hmm?"

Myungsoo berdecak, selalu seperti ini. Ia akan diabaikan ketika semangkuk besar es krim berada dalam pangkuan wanita itu.

"Apa es krimnya enak?"

"Hmm."

Bibirnya mengerucut ketika ia kembali dibalas hanya dengan gumaman, melirik wanita yang terlihat acuh disebelahnya ia kemudian menghela nafas sebelum beranjak dari sofa.

"Eh mau kemana?" Sooji tiba-tiba menoleh padanya dengan bingung, ia menunduk menatap wanita itu.

"Tidur," jawabnya singkat. Sooji mengerutkan keningnya kemudian melirik jam.

"Ini baru jam 9. Kau sudah mengantuk?" Tanyanya tanpa sama sekali berpikir bahwa kekasihnya itu sedang kesal terdahapnya.

"Iya," ia bersuara ketus kemudian berlalu begitu saja meninggalkan Sooji untuk masuk ke dalam kamarnya. Sooji yang berpikir bahwa pria itu memang benar-benar mengantuk hanya mengedikkan bahu kemudian kembali fokus pada tayangan tv serta es krimnya yang masih tersisa setengah mangkuk.

Satu jam kemudian, drama yang baru saja ia nonton telah selesai begitu juga dengan cemilannya malam ini. Ia menguap sebelum beranjak dari tempatnya, kakinya sedikit kram karena tidak bergerak selama satu jam lebih. Ia menuju dapur, membuang bekas cup es krim dan mencuci sendok yang digunakannya.

Setelahnya ia masuk ke dalam kamar, alisnya bertaut saat lampu kamar belum dimatikan namun Myungsoo sudah berbaring diatas ranjang dengan mata terpejam.

"Sejak kapan dia tidur dengan lampu menyala?" Gumamnya pelan, Sooji tidak terlalu ambil pusing kemudian ia masuk ke dalam kamar mandi.

Kilat kepuasan terpancar dari kedua matanya saat ia menangkap pemandangan yang cukup asing untuknya. Apartemen ini memang cukup mewah jadi tidak salah jika kamar mandinya juga terlihat mewah, tapi bukan itu yang dilihatnya--melainkan peralatan mandinya yang tersusun rapi diatas wastafel tepat disamping milik Myungsoo. Ia tersenyum, mereka benar-benar akan hidup bersama sepertinya.

Terlalu larut dalam hayalannya, ia tersadar saat mendengar sayup-sayup suara tv. Ah, mungkin Myungsoo terbangun, pikirnya. Karena tidak ingin membuang waktu lebih lama, ia akhirnya segera melakukan ritual malamnya. Membersihkan diri sebelum tidur.

Ia tersenyum saat keluar dari kamar menemukan Myungsoo tengah bersandar dikepala ranjang sambil mengamati tayangan tv, ia berjalan menuju meja riasnya yang baru.

"Apa kau terbangun?" Tanyanya namun tidak mendapatkan jawaban, ia menoleh pada pria itu.

"Ada apa?" Ia mulai berpikir sesuatu mungkin telah terjadi karena pria itu sangat diam, mimpi buruk mungkin?

"Myungsoo?" Setelah memakai krim malam, Sooji beringsut keranjang mendekati pria itu. Myungsoo hanya diam menghiraukannya.

"Eyy, kau ngambek lagi ya?" Sooji terkekeh, bukannya cemas ia malah sedikit terhibur melihat Myungsoo yang mengacuhkannya. Ia memeluk lengan pria itu lalu menyandarkan kepalanya dibahu Myungsoo.

"Apa lagi yang membuatmu ngambek hmm?"

Myungsoo mencibir tanpa suara ketika mendengar pertanyaan itu, ia menekan asal remot tv yang membuatnya menampilkan saluran-saluran yang tidak jelas.

"Myungsoo sayang-" Sooji mendongak menatap Myungsoo, ia mencubit hidung mancung pria itu, "bicaralah, bagaimana aku mau tau kalau kau tidak bicara?" Ia mencubit hidung itu lagi sehingga sang pemilik menunduk untuk menatapnya tajam.

"Kau selalu seperti ini saat aku mengabaikanmu. Kapan aku melakukannya?" Tanya Sooji ketika pria itu sudah mau menatapnya, ia memang tau kebiasaan Myungsoo.

"Kau lebih menikmati es krimmu," ujar Myungsoo ketus, seketika tawa Sooji terdengar.

"Astaga, kau benar-benar menggemaskan," ia berseru kemudian memeluk leher pria itu dengan erat, ia memberikan ciuman-ciuman kecil pada wajah Myungsoo.

"Hei, lepaskan." Myungsoo melepaskan tangan Sooji hingga wanita itu menjauh dari tubuhnya, ia menggerutu pelan sembari membersihkan wajahnya yang basah.

"Kau jorok sekali," tukasnya, Sooji hanya tersenyum geli. Ia kembali mendekati Myungsoo.

"Kau hanya perlu mengatakannya. Jangan diam-diam seperti ini," ia berkata dengan nada menggoda membuat Myungsoo memutarkan bola matanya. Namun kemudian ia merangkul pundak wanita itu, membawanya untuk lebih dekat dengannya.

"Kau tau aku tidak senang kau abaikan."

"Astaga aku hanya sedang makan es krim!" Sooji berseru memukul pelan dada Myungsoo.

"Lainkali kau harus membalasku jika aku memanggilmu," ucapnya tak terbantahkan, Sooji hanya menggeleng pelan.

"Kau seperti perempuan saja," Sooji terkekeh namun langsung membekap mulutnya saat mendapatkan tatapan tajam Myungsoo.

"Baiklah. Akan kulakukan nanti," bisiknya sembari memeluk tubuh pria itu.

Myungsoo tersenyum puas kemudian membalas pelukan itu, "sekarang aku benar-benar mengantuk," gumamnya pelan. Sooji berdecak.

"Kalau begitu tidur."

###

Sooji bingung ingin melakukan apa.

Sudah hampir sebulan semenjak kepindahannya, kehidupannya mulai normal seperti biasa. Ibunya sempat datang mengunjunginya dua kali kemari dan memberikannya respon yang benar-benar tidak ia duga sebelumnya akan keluar dari bibir ibunya.

"Wah kau memiliki kekasih yang kaya raya."

Saat itu Sooji hanya melongo saat mendengar komentar ibunya saat pertama kali masuk kedalan apartemen Myungsoo. Ia tidak tau sejak kapan ibunya berubah menjadi wanita matrealistis seperti itu, seingatnya ibunya adalah perempuan paling sederhana yang dikenalnya. Time changes everybody, right?

Hanya seperti itu ingatan tentang kedatang ibunya kemari, setelahnya ia mengabaikan bagaimana ibunya berceramah tentang ia yang harus bisa menjaga kebersihan tempat ini, harus selalu bisa memasak makanan untuk Myungsoo. Tentang apa yang boleh dimakan dan tidak, bagaimana membersihkan kulkas dan sebagainya. Ibunya bahkan tidak pernah berpidato sepanjang itu terhadapnya ketika ia pindah ke Seoul dan tinggal seorang diri.

Entah seberapa besar pengaruh Myungsoo terhadap ibunya. Benar-benar ajaib.

Bicara tentang Myungsoo, pria itu sungguh sialan. Setidaknya itulah yang ia sedang pikirkan saat ini.

Awalnya ia sangat menikmati waktunya tinggal bersama Myungsoo, menyiapkan pakaian kerja pria itu, membuat sarapan pagi dan mengantar kepergiannya setiap jam 8 pagi, kemudian ketika tepat jam 5 sore ia sudah bersiap depan pintu untuk menyambut kedatangan Myungsoo--membiarkan pria itu membersihkan diri kemudian mereka bergelung bersama didepan tv sambil menunggu waktu makan malam. Bercerita sampai waktu tidur kemudian bangun keesokan paginya dengan melakukan kegiatan yang sama. Ia cukup senang dengan kegiatannya itu-setidaknya sampai sepuluh hari pertama, setelahnya ia merasa bosan.

Menunggu kepulangan pria itu tanpa melakukan apapun membuatnya jenuh, ia tidak berpikir bahwa akan menghabiskan sisa hidupnya dengan siklus yang baru saja dipikirkannya. Ia mungiin akan mati dengan cepat karena kebosanan.

Dan Myungsoo bahkan tidak peduli dengan kebosanannya. Ketika ia mengadu bahwa bosan tinggal dirumah terus, pria itu tetap melakukan aktifitasnya seperti seakan-akan tidak pernah mendengar keluhannya. Benar-benar sialan bukan?

Saat itu Myungsoo bahkan mengatakan, dia cukup menikmati keberadaannya disini. Dia tidak merasa kesepian lagi karena memiliki seseorang yang dipeluk saat malam hari. Omong kosong apa yang dikatakan pria itu? Ckck.

Sekarang ia berpikir keras akan melakukan apa untuk membunuh kebosanannya.

"Ah! Astaga kenapa aku lupa." Ia kemudian berseru dan meloncat turun dari sofa, berlari masuk ke dalam kamarnya untuk meraih ponsel.

Bisa-bisanya ia melupakan sahabatnya. Soojung sudah jelas tempat yang tepat untuk ia datangi disaat bosan seperti saat ini. Ia berpikir sudah sangat lama sejak pertemuan terakhirnya dengan wanita itu.

Mereka memang sudah berkomunikasi lagi semenjak ia kembali ke Seoul namun belum sempat bertemu selama ini. Ia cukup merindukan sahabatnya itu.

Sungguh kejam karena ia sempat melupakannya sejenak.

"Halo Soojung!" Ia langsung berseru ketika panggilannya tersambung, terkekeh saat mendengar omelan wanita itu disana. Oh lihat, ia bahkan merindukan omelannya.

"Oh berhenti mengoceh mamma." Sooji tersenyum kemudian melanjutkan, "let's meet up" ajaknya dan jelas langsung disanggupi oleh Soojung.

Setelah mengucapkan beberapa kalimat tentang dimana pertemuannya, ia lalu memutuskan sambungan telepon kemudian berlari ke kamar mandi.

Ia memang membutuhkan penyegaran otak saat ini.

#

Memasuki cafe dengan senyum terukir diwajah, ia langsung menemukan Soojung yang sudah menunggunya di dalam sana. Semakin melebarkan senyumnya ketika menyadari wanita itu terlihat lebih cerah dari biasanya.

"Hai?"

Sooji menyapa dengan riang, langsung duduk didepan Soojung yang hanya mendelik padanya.

"Jangan kejam mamma. Babynya nanti ikut kejam." Ia terkekeh saat melihat raut wajah Soojung yang langsung berubah kalem, tangannya refleks bergerak untuk mengusap perutnya.

"Sudah sangat terlihat ya?" Soojung mengangkat pandangannya dengan bingung, namun ia langsung menangkap maksud perkataan itu saat Sooji menunjuk perutnya dengan dagu.

"Usianya empat bulan setengah," jawab Soojung.

"Sudah selama itu?"

"Yeah sudah selama itu kau menghilang bodoh!"

Sooji tidak tahan untuk tidak terkekeh mendengar ucapan Soojung, lagi-lagi ia memperingati calon ibu muda dihadapannya untuk menjaga bicara. Kalau tidak salah, pada trisemester kedua janin akan mulai mendapatkan organ tubuhnya. Mungkin saja bayinya sudah memiliki telinga saat ini dan bisa mendengar umpatan ibunya sendiri. Oh itu sangat tidak baik.

"Jadi, ceritakan bagaimana kau bisa kembali?" Soojung menuntut, belum sempat ia menjawab wanita itu kembali bersuara, "dan bahkan tinggal bersama Myungsoo? Itu berita yang sangat mengejutkan!"

Sooji masih tersenyum, ia terlihat cukup bahagia saat ini dan Soojung menyadarinya. Sangat berbeda saat melihat wanita itu beberapa bulan lalu.

"Ceritanya sangat panjang," ungkapnya yang mendapat pelototan tajam dari Soojung.

"Dan kita memiliki banyak waktu untuk itu, bukan?" Sooji terekekeh dan mengangguk. Soojung sudah pasti telah bertekad untuk mendapatkan cerita darinya hari ini dan wanita itu jelas tidak akan melepaskannya sebelum mendengar semua hingga tuntas.

"Baiklah, kita mulai darimana?"

"Dari alasanmu melarikan diri?"

Sooji tertawa, dari semua topik kenapa malah itu yang harus ia ceritakan. Bukankah alasannya sudah jelas? Ia patah hati. Apa lagi yang bisa dilakukannya saat itu selain melarikan diri?

Tapi tetap saja ia menceritakan semuanya. Dari hari pertama ia tinggal di rumah ibunya sampai dua bulan kemudian. Ia juga menceritakan tentang kejadian pelecehan yang hampir dialaminya waktu itu.

"Demi tuhan! Apa kau baik-baik saja?" Soojung tidak menutupi keterkejutannya saat mendengar itu.

"Aku tidak akan disini jika tidak baik-baik saja," jawab Sooji dengan santai. Soojung menyipitkan mata mencari suatu kebohongan atau sesuatu yang disembunyikan olehnya namun tidak ditemukan. Sooji memang baik-baik saja.

"Tapi itu terjadi lagi-" Soojung melirih pelan dengan wajah murung. Raut wajahnya berubah saat mendengar itu, ia tersenyum miris lalu meraih tangan sahabatnya.

"Kali ini aku baik-baik saja. Aku menjaminnya."

Soojung menatapnya dengan penuh keraguan, ia menggeleng meyakinkan wanita itu. Bahwa apa yang telah terjadi kemarin bukanlah suatu guncangan besar untuknya, ia sudah pernah mendapatkan yang lebih buruk jadi ia masih bisa menghadapinya dengan baik kali ini.

"Kau pasti ketakutan."

"Sangat. Aku bahkan berpikir lebih baik mati saja saat itu," ceritanya, Soojung membalas genggaman Sooji untuk memberikan dukungan padanya.

"Tapi sekarang aku oke. Pelakunya sudah dipenjara, jadi tidak perlu khawatir."

"Kau melaporkannya?"

Sooji menggeleng kemudian mengangguk, "sebenarnya Myungsoo yang melakukannya," jawabnya dengan senyum malu. Soojung menatapnya tidak percaya.

"Myungsoo tau?" Dengan antusias ia mengangguk, menceritakan bagaimana pria itu berada dirumahnya pagi itu dan ia malah berpikir bahwa itu hanyalah sebuah hayalan.

"Jadi apa dia juga tau," Soojung menggigit bibirnya menatap Sooji, "tentang kejadian yang sama, dulu?"

Sooji tersenyum sedih dan menggeleng. Tidak ada seorangpun yang tau tentang apa yang terjadi dulu padanya, bahkan ibunya. Ia hanya tidak ingin membuat ibunya kecewa dengan semua yang telah terjadi.

Hanya Soojung yang tau, itupun ia tidak sengaja memberitahu wanita itu saat dipaksa pergi ke club malam untuk bersenang-senang. Setelah menceritakan semua yang ia sembunyikan selama ini kepada seseorang, ia merasa sedikit lebih tenang. Bayangkan betapa beratnya menyimpan rahasia besar itu sendirian, setidaknya ia perlu satu orang untuk berbagi bersama dan Soojunglah orangnya.

"Kurasa kau perlu memberitaunya," saran Soojung langsung ia tolak mentah-mentah. Memberitau Myungsoo? Sama saja dengan bunuh diri namanya.

"Kau perlu jujur padanya. Bayangkan jika Myungsoo memiliki rahasia dan ia tidak memberitaumu. Apa yang kau rasakan?"

"Aku marah tentu saja."

"Tepat Sooji. Myungsoo juga akan melakukan hal yang sama."

Sooji menggeleng, masalah ini beda. Tidak bisa digunakan perumpamaan manapun untuk membandingkannya, ia tidak akan pernah mau memberitau Myungsoo.

"Dia akan meninggalkanku," lirihnya pelan.

"Kau bilang dia mencintaimu. Jika itu benar, maka dia tidak akan pergi Sooji." Soojung berucap dengan yakin, sementara Sooji masih menyangkal semua presepsi sahabatnya.

"Selama kau jujur dan percaya padanya, dia tidak akan meninggalkanmu."

Sooji menggeleng.

Tidak, meskipun ia telah percaya pada Myungsoo, meskipun ia jujur pada pria itu. Ketika ia mengungkapkan masalalunya pada Myungsoo, saat itu juga ia pasti akan ditinggalkan.

Pasti.

###

Sooji keluar dari kamar mandi tepat saat Myungsoo masuk ke dalam kamar, ia tersenyum pada pria itu kemudian mendekati meja rias.

Setelah selesai ia berbalik dan mendapatkan pria itu telah tenggelam menekuni sesuatu di dalam ipadnya. Ia tidak sadar jika pria itu masuk ke dalam kamar membawa benda tersebut.

"Myungsoo," ia kemudian menaiki ranjang. Mendekati Myungsoo dan mengintip apa yang sedang di kerjakannya.

Grafik-grafik sialan itu lagi.

Apa Myungsoo tidak bosan bekerja seharian di kantor? Kenapa harus membawa pulang pekerjaannya? Seharusnya ia istirahat di rumah atau bermesraan dengan kekasihnya, bukannya sibuk memandangi grafik berwarna itu.

"Myungsoo," panggilnya lagi berusaha untuk menarik perhatian pria itu, ia melingkarkan kedua tangannya diperut Myungsoo dan bersandar disana. Myungsoo sendiri tidak sepenuhnya mengabaikan dirinya karena saat ini satu tangan pria itu sudah merangkuk bahunya mesra.

"Sayang."

"Hmm?"

Sooji mencebik, "katanya tidak senang diabaikan. Sekarang malah aku yang diabaikan, balas dendam huh?" Omelnya dengan wajah ditekuk.

Myungsoo hanya meliriknya sebentar, "iya sayang, ada apa?" Sooji mencibir mendengar balasan pria itu.

"Apa kau mencintaiku?"

Tiba-tiba Myungsoo mengalihkan perhatiannya, ia menatap Sooji dengan alis berkerut, "kenapa bertanya seperti itu lagi?" Tanyanya heran. Sooji tidak menjawab melainkan menunduk memainkan ujung kaosnya.

"Sooji?"

Myungsoo menggeleng, kemudian mematikan ipadnya, menyimpan benda itu ke dalam laci nakas disamping ranjang. Jika Sooji berniat untuk mencuri perhatiannya, itu sebuah kesuksesan besar karena kali ini ia tidak memalingkan wajahnya dari wanita itu.

"Jadi, apa masalahmu kali ini hmm?" Ia bertanya kembali, Sooji mengerucutkan bibirnya sebelum mendongak memberi tatapan protes pada pria itu.

"Aku tidak memiliki masalah apapun," ujarnya setengah merajuk. Myungsoo menarik Sooji untuk lebih dekat padanya.

"Lalu apa yang kau tanyakan?"

"Aku hanya bertanya dan kau hanya perlu menjawab."

Myungsoo tersenyum, menaikkan tangannya untuk mencubit hidung Sooji. Melakukan hal yang sama ketika wanita itu ingin menggodanya.

"Bukankah jawabannya sudah jelas hmm?" Tanyanya, Sooji meringis sambil mengusap hidungnya, "Kau mau menyuruhku mengulanginya dan akan menangis lagi, begitu?"

Sooji mendelik, ia tidak lupa bagaimana Myungsoo meledeknya setelah kejadian memalukan itu. Mendengar pernyataan cinta pria itu sampai ia menangis tersedu-sedu, ia bahkan sangat malu ketika mengingatnya.

"Bukan begitu, aku hanya ingin lebih yakin."

"Yakin?" Myungsoo menatapnya bingung.

"Jawab saja, kau mencintaiku?"

Myungsoo menggelengkan kepalanya, "yes, i do love you, my dear," bisiknya ditelinga Sooji. Wanita itu tersenyum geli saat mendapatkan ciuman mesra ditelinganya.

"Jangan menangis lagi."

Ia langsung mencubit perut Myungsoo ketika merusak suasana romantis diantara mereka. Sementara pria itu hanya tertawa.

"Sejak kapan kau mencintaiku?"

Myungsoo menghentikan tawanya seraya berpikir keras, "sejak pertama melihatmu?" Dan kali ini cubitan kedua mendarat ditubuhnya.

"Jangan mencoba untuk berbohong!" Hardik Sooji. Semua orang juga tau apa yang baru saja dikatakannya adalah sebuah kebohongan besar. Ia ingat pertemuan pertama mereka dan saat itu Myungsoo bukan telihat mencintainya tapi terlihat ingin membunuhnya.

"Aku hanya bercanda. Hmm, mungkin sejak kau pergi?" Myungsoo berucap diantara kekehannya, "atau sejak melihatmu menangis diparkiran malam itu? Atau bahkan sejak pertama kali kau menanyakan hal ini?"

Myungsoo menggeleng lalu menatap Sooji, "entahlah, aku tidak begitu yakin sejak kapan cinta itu datang," ujarnya dengan alis yang masih berkerut.

"Lalu kapan kau menyadarinya?" Sooji bertanya lagi. Myungsoo terdiam sebentar, sebelum mendekatkan wajahnya untuk mencium bibir Sooji dengan kecupan manisnya.

"Sejak mengetahui seseorang mencoba untuk menyakitimu," jawabnya dengan lugas. Ya, meskipun tidak yakin sejak kapan ia mencintai wanitanya, namun ia tau sejak kapan menyadari perasaan itu. Perasaan marah saat mengetahui wanitanya disakiti oleh orang lain, perasaan ingin melindungi dan menjaga wanitanya dari bentuk kejahatan apapun dan perasaan untuk tetap berada disisi wanitanya selamanya.

Mata Sooji sudah berembun saat mendengar perkataan Myungsoo. Ia tidak tau jika musibah yang baru saja dialaminya membawa perubahan besar terhadap hubungan mereka. Ia tidak tau apa yang akan terjadi jika saja kejadian itu tidak terjadi, apa ia akan tetap dirumah ibunya dan meratapi nasib? Atau-

"Hei, sudah kuperingatkan untuk tidak menangis kan?" Myungsoo mengusap pipinya, airmatanya belum keluar tapi pria itu tau bahwa ia akan menangis sebentar lagi.

"A--aku bertanya-tanya, bagaimana jika ini tidak pernah terjadi?" Sooji bergumam pelan, "apa kau akan menyadari perasaanmu? Apakah kau akan mencintaiku? Atau kita tidak akan bertemu lagi? Benar-benar berpisah."

Myungsoo menggelengkan kepalanya, "Tuhan selalu punya cara untuk membuatku kembali padamu. Meskipun bukan karena kejadian ini, aku yakin ada jalan lain yang akan tetap membuatku datang padamu."

"You're my home Sooji. Sejauh apapun aku pergi, aku akan tetap pulang kerumah. Padamu."

Dan Sooji sudah benar-benar tidak sanggup untuk menahan air matanya. Ia memeluk Myungsoo semakin erat, yang juga membalas dekapannya dengan begitu hangat. Myungsoo kali ini tidak melarangnya untuk menangis, pria itu membiarkannya.

Oh Tuhan, aku sangat mencintai pria ini.

###

Myungsoo sedang memindahkan telur dari wajan ke atas piring saat merasakan sebuah tepukan ringan dipundaknya. Ia berbalik dan terkejut saat tiba-tiba mendapatkan kecupan dibibirnya.

"Good morning."

Ia tersenyum, berbalik untuk meletakkan wajan kemudian kembali menghadap wanita yang sudah mengejutkannya barusan.

"Seharusnya kau melakukannya dengan tepat Miss," selanjutnya ia sudah menarik tubuh Sooji untuk merapat padanya, bibir keduanya bertaut dan Myungsoo sedang menikmati makanan pembukanya pagi ini.

Sooji menggeliat sebentar kemudian ikut bergabung menikmati bibir Myungsoo pagi ini. Terasa begitu manis dan memabukkan disaat yang bersamaan.

"Begitulah ciuman dipagi hari yang benar."

Sooji terkekeh dengan wajah merona saat menangkap kedipan nakal Myungsoo, mengusap bibirnya yang basah ia berbalik untuk duduk dimeja makan sementara Myungsoo meraih dua piring yang telah siap dengan sarapan mereka.

"American breakfast hmm?" Sooji menaikkan alisnya saat piring yang ia terima hanya berisi telur yang di scramble, beberapa lembar bacon, dua potong sosis sapi dan dua lembar roti gandum.

Myungsoo tersenyum kecil, "kita perlu berbelanja. Kita kehabisan beras," ucapnya dengan sedikit menutupi wajahnya yang memerah.

"Apa aku makan sebanyak itu? Kita baru membeli beras dua minggu lalu." Sooji bertanya dengan histeris, ia melihat porsi makan Myungsoo selama ini tidak terlalu banyak jadi sudah pasti dirinya lah penyebab tragedi ini.

"Baru menyadarinya hmm?" Myungsoo menyahut sambil mengigit roti membuat Sooji mencibir.

"Ah tapi sayang,"

Sooji mendongak menatap Myungsoo, "ya?"

"Kurasa kau perlu melakukan sesuatu," ucapnya setelah berpikir sejenak. Sooji menatapnya bingung.

"Aku takut kau akan stress jika tinggal di rumah terus. Bekerjalah atau lakukan apapun."

Sooji tersenyum saat mendengarnya, ia memang berencana untuk melakukan sesuatu, "aku sudah memiliki rencana hari ini," ucapnya dengan antusias.

"Benarkah? Apa itu?"

"Aku ikut bersamamu."

Myungsoo menatapnya heran, "bukan yang seperti itu maksudku sayang." Ia menolak, tau bahwa kehadiran Sooji dikantor hanya akan membuat pekerjaannya terhambat karena tidak fokus. Lebih baik membiarkan wanita itu pergi kemanapun yang diinginkannya asal tidak ikut dengannya ke kantor.

"Aku tidak akan bisa menyelesaikan pekerjaanku kalau kau ada disana." Sooji mengerucutkan bibirnya kesal.

"Pergilah ketempat lain. Ah kunjungi Soojung saja, kalian belum pernah bertemu bukan?"

"Aku sudah bertemu dengannya minggu kemarin."

"Benarkah? Bagaimana kabarnya?" Myungsoo bertanya kemudian, Sooji sedikit heran-apakah ini usaha pria itu untuk mengalihkan perhatiannya atau memang ia benar ingin tau kabar sahabatnya.

"Dia baik. Kandugannya sudah terlihat." Myungsoo melebarkan matanya ketika mendengar itu, Sooji terkekeh, "iya sayang, dia sedang hamil."

Setelahnya pria itu terbatuk, tidak menyangka akan mendengar kabar itu secepatnya, "secepat itu?"

Sooji menyeringai. Ia tau apa yang ada dipikiran kekasih tanpannya dan ia tidak bisa menahan diri untuk tidak menggodanya.

"Wonho bahkan lebih baik darimu," ujarnya dengan santai. Ia tersenyum dalam hati saat mengetahui pria itu sedikit terganggu.

"Kenapa wajahmu seperti itu?" Sooji bertanya membuat Myungsoo menatapnya, "apa kau masih memiliki perasaan padanya hmm?"

Pria itu langsung menggeleng cepat, ia melotot tidak percaya, "apa yang kau bicarakan. Aku mencintaimu bodoh," ucapnya dengan panik. Ia tidak ingin Sooji menyalah artikan responnya terhadap kehamilan Soojung. Ia hanya terkejut, benar-benar terkejut, itu saja.

Tiba-tiba Sooji tertawa, melihat raut wajah Myungsoo yang begitu memprihatinkan. Ia menyeringai.

"Astaga, kau panik sekali," Myungsoo menyipitkan mata menatapnya, "Aku hanya bercanda," sambungnya membuat pria itu menggeram pelan.

"Kau benar-benar--"

"Eh sudah jam depalan. Ayo berangkat!" Sooji menyela, ia beranjak untuk membawa piring kotor mereka ke tempat cuci piring. Ia bisa membersihkan itu sebentar, sekarang mereka perlu bergegas.

"Ayo--"

"Sooji."

Ia tertawa mendengar geraman itu, mengabaikan kekesalan Myungsoo karena candaannya barusan--menarik lengan pria itu dan menyeretnya untuk keluar dari apartemen.

"Simpan amarahmu untuk sebentar malam. Kita bisa bersenang-senang dengan itu," ucap Sooji penuh janji membuat Myungsoo mau tak mau meredakan amarahnya.

Ia tiba-tiba membayangkan apa yang bisa mereka lakukan malam ini.

#

"Sooji!"

Wanita itu menghentikan langkahnya dan berbalik, seketika wajahnya menjadi girang saat mengetahui siapa pemilik suara itu.

"Kangjoon!" Ia balik berseru, berlari kecil mendekati pria itu, "astaga! Sudah berapa lama aku tidak melihatmu? Kau semakin tampan," pujinya membuat Kangjoon tertawa.

"Sstt, jangan bicara seperti itu. Kita tidak tau apa serigala itu bisa mendengarmu atau tidak," tukasnya, Sooji mengerutkan kening heran.

"Serigala?"

"Pacarmu Sooji. Aku tidak mau dicemburui olehnya, itu akan sangat buruk."

Mengerti dengan perkataan Kangjoon, Sooji akhirnya tertawa.

"Jadi apa yang kau lakukan disini?" Kangjoon bertanya.

"Aku bosan di rumah," jawabnya, "ah ayo ikut denganku ke kantin. Aku punya banyak hal yang perlu kau dengar," Sooji tersenyum menarik lengan Kangjoon untuk ikut, tujuannya sebelum pria itu memanggilnya adalah pergi ke kantin dan menikmati beberapa minuman di sana. Ia bosan melihat Myungsoo yang sibuk.

"Apa ini tentang usahamu yang berhasil huh?"

Sooji menoleh dengan pandangan berbinar padanya, "bagaimana kau bisa tau?"

Kangjoon berdecak, "bagaimana aku tidak tau jika setiap hari Myungsoo selalu mengelukan namamu," ucapnya setengah mengeluh. Sooji tersenyum senang.

"Dia benar-benar sudah terpesona padaku tau," ujarnya dengan sombong. Sooji menarik Kangjoon ke meja yang kosong diujung kantin.

"Aku bisa melihatnya. Dia sangat tidak tertolong." Kangjoon membayangkan Myungsoo yang setiap hari mengatakan bahwa ia tidak bisa hidup tanpa Sooji. Pria itu berubah menjadi menjijikan setelah menyadari perasaannya.

"Dia benar-benar sudah normal kan? Ia tidak menyukai pria lagi." Sooji berbisik diakhir kalimatnya, tidak ingin mengambil resiko dengan membiarkan seseorang mendengarkannya.

"Mungkin."

"Mungkin?"

"Dia masih terlihat antipati terhadap wanita Sooji." Kangjoon menceritakan bagaimana Myungsoo masih menolak untuk meeting bersama klien yang memiliki personal assistant wanita, ia juga menolak untuk berdekatan dengan wanita lain jika sedang bertugas diluar kantor.

Sempat Kangjoon bertanya mengapa pria itu masih menghindari perempuan ketika ia telah mengaku mencintai seorang wanita, "aku tetap tidak senang berdekatan dengan wanita lain jika itu bukan Sooji" itu jawaban yang ia berikan membuat Kangjoon sedikit bergidik melihat betapa besar pengaruh Sooji terhadapnya.

"Benarkah? Lalu bagaimana dengan pria?"

Kangjoon menatap Sooji tidak percaya, "apa yang kalian lakukan selama ini? Kau bahkan tidak lebih banyak tau dariku," Sooji hanya meringis kecil.

"Terakhir kali aku mengorek tentang dirinya, kami berpisah. Aku masih belum ingin membahas masalah itu dengannya," ucap Sooji mengingat kembali kejadian diparkiran restoran malam itu. Benar-benar berakhir dengan buruk dan ia tidak ingin mengulangnya.

"Ckck, kalian sama-sama bodoh," decak Kangjoon, Sooji hanya mengangguk membenarkan. Sedekat apapun hubungan mereka sekarang, ia merasa masih ada tembok besar yang menghalangi keduanya untuk semakin mendekat. Dan ia sama sekali tidak tau bagaimana cara untuk meruntuhkan tembok itu.

#

Myungsoo menutup telepon bersama dengan pintu ruangannya terbuka disertai tawa dua orang yang tidak asing untuknya. Ia menajamkan mata saat menatap Sooji yang ternyata masuk bersamaan dengan Kangjoon, mereka terlihat sangat akrab.

"Darimana?"

Sooji dan Kangjoon terlonjak saat mendengar desisannya, wanita itu menoleh padanya masih dengan senyum lebar.

"Dari kantin, aku sudah mengatakannya tadi," jawabnya menatap Myungsoo heran. Sementara pria itu melirik Kangjoon dengan tatapan membunuh.

"Astaga, aku memiliki pekerjaan. Aku harus pergi," ucapnya dengan cepat membuat Sooji menoleh padanya.

"Kau bilang hari ini tidak ada pekerjaan?" Kangjoon tertawa kikuk melirik Myungsoo yang sudah siap menerjangnya, kemudian kembali menatap Sooji dengan pandangan memelas.

"A--aku sibuk. Bye." Hanya dengan beberapa langkah Kangjoon melesat keluar dari ruangan, Sooji mengernyit bingung. Sampai ketika ia menatap Myungsoo yang masih mengeluarkan aura kemarahannya akhirnya ia mengerti.

Myungsoo sangat menyeramkan ketika cemburu, tapi ia suka. Menggemaskan.

Dengan senyum lebar ia berjalan mendekati pria yang masih mengeraskan rahangnya, ia mengusap wajah Myungsoo dengan lembut.

"Kau sangat lucu saat cemburu sayang," ujarnya dengan mata mengedip. Myungsoo mendengus lalu menarik pinggang Sooji untuk mendekat.

"Aku tidak senang melihat kau tertawa bersama pria lain," ia mendesis tajam, bukannya takut Sooji malah terkekeh. Wanita itu berjinjit setelah mengalungkan lengannya keleher Myungsoo.

"Aku hanya tergila-gila padamu, ingat?" Menyeringai sebelum menjatuhkan kecupan ringan dirahang tegang pria itu, "i'm you're home. Remember?" Sekali lagi Sooji mengecup sisi rahang Myungsoo yang lain.

Ia menjauhkan wajahnya masih dengan merangkul leher Myungsoo, "jangan marah lagi."

Myungsoo menggeram sebelum menyambar bibir Sooji yang sejak tadi sudah sangat menggodanya. Ia menjilat bibir pualam itu kemudian menggigitnya membuat Sooji merintih pelan. Wanita itu membuka bibirnya meminta Myungsoo untuk memberikan apa yang ia inginkan.

Mereka terhanyut dalam pagutan yang begitu dalam dan mesra. Sooji mengeratkan pelukannya saat merasakan lidahnya dibelit oleh milik Myungsoo, membalas perlakuan pria itu dengan tindakan yang sama hingga decakan ciuman mereka terdengar begitu mengundang di ruangan tersebut.

Sooji merasa kakinya melemas namun pelukan Myungsoo menahannya, ia mendesah saat Myungsoo kembali mengulum bibirnya dengan intens sebelum pria itu melepaskan ciuman mereka.

Bibir keduanya terlihat basah dan berkedut, Myungsoo menarik nafas panjang menatap intens wajah merona wanitanya.

"Kau perlu untuk dihukum nona."

Sooji menyeringai, menjilat bibir bawahnya memberikan tatapan menggoda pada Myungsoo.

"Punish me then."

Setelahnya mereka kembali bergulat dalam ciuman yang kali ini terasa begitu panas. Myungsoo tidak lagi menahan diri, mencicipi semua yang bisa ia rasakan dari wanita itu dan Sooji menerimanya dengan senang hati. Myungsoo menggeram dalam saat tangan Sooji turun untuk membelai dadanya.

Ia benar-benar telah bergairah pada seorang wanita yang tidak lain adalah Sooji. Kekasihnya.

###

Myungsoo melangkah cepat memasuki rumah ayahnya, ia mengumpat. Meneriakkan semua jenis sumpah serapah didalam hati, mengapa ayahnya memilih waktu yang sangat tidak tepat untuk memanggilnya?

Ia sudah akan melakukannya, demi tuhan! Sepanjang duapuluh delapan tahun kehidupannya ia baru merasakan perasaan itu. Menginginkan seorang wanita hingga hampir gila karenanya tapi, ayahnya benar-benar perusak sejati.

"Astaga! Aku bisa gila!" Rutuknya kesal, ia setengah berlari saat melihat keberadaan ayahnya dan Haeri disana.

"Aku benar-benar akan membakar rumah ini jika kau memanggilku karena seusatu yang tidak penting ayah!" Hardiknya tiba-tiba membuat Jongsuk dan Haeri menoleh, menatapnya terkejut.

"Well, sepertinya kami mengganggu malam indahmu nak?" Haeri terkekeh saat melihat wajah Myungsoo yang memerah, pria itu mengabaikan ucapan ayahnya dan memilih duduk disana. Percuma melampiaskan amarahnya pada pria tua itu, tidak akan mengembalikan waktunya.

"Jadi ada apa?"

Haeri menoleh menatap Jongsuk yang juga memandangnya, melihat Jongsuk mengangguk-ia menghela nafas panjang.

"Mereka menemukannya," alis Myungsoo sedikit berkerut, siapa-

"Mereka menemukan ibumu Myungsoo"

TBC.

Halooooo~ ada yang nungguin gak? Barusan gak ada yang nagih soalnya 😂😂😂

Dua hari kemarin lagi mager jadi gak ngetik, baru hari ini dapat moodnya. Dan jadilah part sepanjang ini 😤😤😤

Udah puaskan dengan sayang-sayangannya? Mau momen cinta-cintaannya gak 😈😈😈 mau gak? Mau gak?

Please, jangan mengutuk 'tbc' nya lagi 😅 dia gak salah kok, memang udah waktunya dia muncul disana 😥

Dua atau tiga part lagi insyaAllah ending 💪💪💪 semoga gak lebih dari prediksi lagi yaa 😆

See you next part 🙋🙋🙋🙋

Thank.xoxo
elship_L
.
.

-04'Jan'17-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top