7 - MAKAM
Motor itu melaju dengan begitu kencang, orang-orang yang berada di pinggir sirkuit menepuk tangan mereka dan berteriak untuk menyemangati si pengendara motor berwarna merah tersebut.
Motor tersebut terus mengitari arena sirkuit dengan kencang hingga menimbulkan bunyi yang sangat nyaring dan berisik. Dari pinggir sirkuit, seorang gadis kecil tersenyum dengan lebarnya menatap pengendara motor yang tengah menjadi pusat perhatian tersebut, senyum bangga terus terpancar di wajah cantiknya, sampai akhirnya...
BREUUMMMM
CIIIITTTT
BRAAKKKK
Tetesan oli yang berasal dari tangki yang bocor itu membuat kecelakaan tak dapat dihindari, pengendara motor yang memakai jaket kulit tersebut terpental beberapa meter hingga tubuhnya berhenti ketika membentur tumpukkan ban motor yang ada di pinggir sirkuit dan membuat ban-ban tersebut berjatuhan dan menimpa dirinya.
Orang-orang yang menyaksikannya menahan napas dan petugas paramedis serta beberapa crew dari pembalap tersebut segera berlari menghampiri sang pembalap.
Gadis kecil itu hanya dapat terdiam di tempat melihat tubuh orang yang ia kenal itu diangkat dari tumpukkan ban besar dalam keadaan tak sadarkan diri. Tiba-tiba saja kepalanya terasa pusing, ada sebuah cahaya terang kecil di hadapannya, semakin lama cahaya tersebut semakin besar dan besar hingga melenyapkannya.
“KAKAK!!”
Shaila bangun dari tidurnya, keringat dingin bercucuran di dahinya, baju tidurnya sudah lepek karna keringatnya.
“Lagi-lagi.” Shaila menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Sudah beberapa bulan ini dia tak memimpikan mimpi buruk tersebut, namun sekarang mimpi itu kembali lagi menghantuinya dan membuat dadanya sesak luar biasa seakan kejadian itu baru terjadi kemarin.
Shaila menoleh dan meraih sebuah figura dari atas nakas yang berada di sampingnya. Sebuah foto keluarga yang tersenyum dengan sangat bahagianya di dalam sana. Shaila merindukan masa itu.
“Pa, Ma, Kak, Shaila kangen.”
Tanpa disadari air mata jatuh begitu saja dari mata cantiknya. Shaila memeluk figura itu dan membawanya ke bawah selimut berwarna biru lautnya. Setidaknya dengan cara seperti ini dapat membuatnya merasa seperti dipeluk oleh keluarganya yang sangat ia rindukan.
*****
“Lo yakin gak papa, La?” tanya Mela pada gadis yang sedang berjalan di sampingnya, Shaila.
“Gak papa kok,”
“Gue anter aja yah, Bayu bawa mobil kok jadi kita bareng-bareng aja yah ke sana.”
“Gak usah, Mel. Serius deh, gue gak papa.”
Shaila dan Mela berdiri di depan sekolah mereka, Mela menunggu kekasihnya datang menjemput sedangkan Shaila menunggu taksi yang akan mengantarnya ke suatu tempat.
“Kok bisa sih lo mimpi kayak gitu lagi? Bukannya lo udah gak pernah mimpiin itu lagi yah?”
Shaila mengangkat kedua bahunya. “Mungkin itu teguran karna udah sebulan ini gue gak nengokkin. Lagian gue juga kangen mau ketemu mereka.”
Sebuah mobil terrios berwarna hitam berhenti di depan mereka, kaca mobil itu terbuka dan memperlihatkan sesosok lelaki sepantaran mereka masih dalam seragam putih abu-abu sedang tersenyum ke arah mereka.
“Maaf lama nunggu yah?” Bayu melirik ke arah Shaila. “Hai, La. Long time no see.”
Shaila tersenyum canggung. “Ah, iya, Bay.”
“Lo yakin nih gak mau ikut? Kalo gak mau ikut yah kita drop aja ke sana yah?”
“Iya, La. Ikut aja yuk, udah lama nih gak ngumpul bertiga.” Timpah Bayu.
“Duh, gak papa kok gue. Gue juga gak mau ganggu kalian.”
“Elah masih kaku aja lo, La.”
“Ya udah deh kalo gak mau, gue duluan yah.” Mela mencium pipi kiri dan pipi kanan Shaila, gadis itu lalu masuk ke dalam mobil. “Kalo ada apa-apa telpon gue!”
Shaila mengacungkan kedua ibu jarinya. Tak lama mobil Bayu pun melaju, Shaila menghela napas lega. Dia memang tidak begitu dekat dengan lelaki itu, selain karna dia adalah pacar sahabatnya, itu juga karna sebelum berpacaran dengan Mela, Bayu sempat mendekati Shaila dan menyatakan perasaannya kepada dia walaupun akhirnya ditolak.
Sebuah taksi berhenti di depan Shaila dan langsung memasukinya. Setelah mengucapkan tujuan, taksi berwarna biru itu pun berjalan pergi. Shaila merasa tidak sabar bertemu dengan orang-orang yang sangat ia rindu. Sebentar lagi kita ketemu.
Taksi yang Shaila tumpangi berhenti di sebuah pemakaman umum di daerah Karet, gadis itu berjalan menyusuri jalan setapak dengan tiga bucket bunga yang tadi sempat ia beli di tengah jalan.
Langkahnya terhenti di sebuah pusara yang di sekitarnya dihiasi dengan keramik berwarna biru, di samping kiri pusara itu terdapat dua pusara dengan warna keramik yang sama. Shaila meletakkan satu-persatu bunga yang ia bawa ke makam tersebut.
Setelah menyirami dan menaburi makam tersebut dengan bunga yang ia beli di depan tempat pemakaman, Shaila pun berdoa di depan pusara-pusara tersebut, memanjatkan doa untuk orang-orang yang telah berbaring di dalamnya.
Selesai berdoa, Shaila tersenyum menatap ketiga pusara tersebut. Gadis cantik itu membersihkan daun-daun kering yang berjatuhan di atas pusara yang terpahatkan nama Gading Septiyan di pusaranya.
“Kakak apa kabar?” Shaila menatap kedua pusara di sampingnya. “Papa sama Mama juga gimana?”
“Kalau aku... saat ini sih aku baik-baik aja, tapi seminggu yang lalu nggak baik-baik aja. Ada cowok yang buat aku kesel mulu. Kalo Kak Gading tau pasti itu anak bakal Kakak hajar yah kayak Kakak hajar cowok yang nge-bully aku waktu SMP.”
Shaila tertawa mengingat kejadian kakaknya yang terpaut usia tiga tahun darinya menghajar teman sekelas yang mengganggunya. Bahkan kakaknya itu sampai harus meminta maaf kepada keluarga anak yang dihajarnya. Namun setelah itu, anak lelaki yang mengganggunya –karna alasan dia menyukai Shaila, tidak lagi berani mengganggu dirinya.
“Aku udah mulai terbiasa sama kehidupan aku tanpa kalian. Tapi yah, terkadang aku masih kangen sama masakkan Mama, candaan Papa dan omelan Kak Gading.”
Shaila terdiam, dia menelan ludahnya. Dia memang sudah terbiasa menjalani dua tahun ini tanpa keluarganya, namun jika bertemu dengan mereka seperti ini masih berat untuknya. Dia merasa bersalah karna dia adalah alasan mengapa mereka berbaring di bawah sana sedangkan dirinya baik-baik saja menjalani hidupnya.
“Aku kangen kalian.”
Air mata mengalir begitu saja dari kedua mata bulatnya. Tak dapat dipungkiri, ada waktu dimana dia sangat ingin menyusul anggota keluarganya itu, namun mengingat wajah ketiganya yang sedang tersenyum kepadanya membuat gadis itu mengurungkan niatnya, setidaknya dia harus hidup dengan sehat dan menjadi orang yang berguna bagi lingkungannya, seperti apa yang mereka inginkan.
****
Arka mencium batu nisan yang berada di depannya, nisan tempat orang tercintanya terbaring. Setelah mengatakan semuanya kepada Ibundanya membuat hati Arka menjadi jauh lebih tenang dari sebelumnya.
“Ma, Arka pulang dulu yah, nanti Arka balik lagi.”
Arka tersenyum dan mengusap batu yang bertuliskan nama Anisa Hapsari sebelum akhirnya bangkit dan memukul ringan seragamnya untuk membersihkan dari kotoran yang menempel.
Lelaki tinggi itu lalu berjalan ke area parkiran yang berada di area pemakaman di daerah Karet. Langkah Arka terhenti saat matanya mendapati sesosok gadis yang tengah berjalan lesu keluar area pemakaman. Kedua alis Arka saling bertaut.
Ngapain dia di sini? Batin Arka, namun detik berikutnya ia mengangkat bahu dan kembali berjalan menuju motornya.
Arka mengendarai motornya keluar area pemakaman dengan kecepatan normal. Saat melewati halte matanya lagi-lagi menangkap sosok gadis itu, gadis yang kini sedang duduk di halte bus dengan kepala menunduk.
Arka menghentikan motornya dan menoleh ke belakang, menatap Shaila yang terlihat begitu lemas. Walaupun jarak antara dirinya tidak dekat, namun Arka dapat melihat dengan jelas mata sembab Shaila.
Saat akan memundurkan motornya menghampiri Shaila, tiba-tiba gadis itu bangkit dan menghentikan sebuah taksi yang langsung berhenti di depannya. Arka menatap taksi yang membawa gadis itu melewatinya begitu saja dan lagi-lagi dia melihat wajah muram gadis yang biasanya ceria itu dari balik kaca.
Bukannya perhatian atau apa, Arka hanya tak ingin kalau penyebab gadis yang ia anggap bawel menjadi muram seperti itu adalah karna dirinya.
*****
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top