-10-
Untuk bab selanjutnya ada di GoodDreamer! Teman-teman yang penasaran bisa langsung unduh app GoddDreamer dan langsung baca novel ini, ya! Terimakasih!
******************************
Serena tak menjawab apa pun, dia hanya menangis tersedu di kursinya. Damian kembali diam, seolah memikirkan cara apa yang tepat untuk menenangkan Serena. Padahal seharusnya, dia tidak perlu melakukan itu.
"Pesta berakhir pukul 00.30, kemungkinan pukul 02.30 Bapak baru sampai rumah. Sekarang baru jam 21.45, masih ada sedikit waktu untuk bisa jalan-jalan sebentar tanpa sepengetahuan Bapak," lanjut Damian menjelaskan.
Berharap jika Serena akan tertarik dengan tawarannya. Hingga kemudian, Damian kembali terdiam juga.
Awalnya, Serena masih diam, dia berusaha untuk menguasai dirinya sendiri dan mencoba menghentikan tangisannya.
Hingga kemudian, terdengar suara helaan napas yang cukup nyata dari bibir Serena.
"Bisakah kamu membawaku ke pantai? Aku sangat ingin pergi ke pantai sekarang."
Damian langsung tersenyum, dia menganggukkan kepalanya tanpa kata. Pergi ke pantai? Sebuah hal yang tidak masalah sama sekali untuk Damian.
Bagi Damian sendiri lokasi itu tidak cukup jauh dan tidak melawan arah jalan pulang, sebuah hal yang membuat Damian langsung melajukan kendaraannya semakin kencang.
Kira-kira sekitar lima belas menit, Damian akhirnya memakirkan mobilnya di salah satu sisi pantai. Serena langsung memuka pintu mobilnya sendiri, mengeratkan jas yang ia kenakan karena udara dingin pantai yang cukup menusuk tulang-tulang rusuknya dengan nyata.
Kemudian, Serena melepaskan sepatu hak tingginya, berjalan dengan kaki telanjang, duduk di bibir pantai dan melamun di sana.
Damian yang baru saja selesai mengurusi semuanya pun langsung berjalan mendekati Serena, berdiri agak jauh dari Serena yang masih sibuk memandangi pantai juga langit yang malam itu tampak begitu indah.
"Duduklah di sini, aku tidak menyuruhmu untuk berdiri dengan bodoh di sana," ucap Serena.
Damian masih diam, dia seolah enggan duduk sama sekali. masih berdiri dengan setia, dan memandangi lautan juga.
"Maaf, Bu. Lapor, Bu! Saya—"
"Duduklah," perintah Serena lagi.
Kini Damian tidak bisa membantah, dia langsung melangkah maju, duduk dengan jarak yang cukup dengan Serena kemudian dia kembali terdiam.
Suasana malam itu memang teramat sangat hening, baik Damian dan Serena, keduanya sama-sama larut dalam pikiran mereka masing-masing.
Keduanya sama-sama berpikir tentang bagaimana hidup terjadi, dan bagaimana kehidupan tidak berpihak kepada mereka dengan utuh.
"Kamu pasti sudah tahu, kan?" Serena kembali berucap.
Dia pun tersenyum getir, kemudian menundukkan wajahnya. Sanggulannya sudah berantakan, bahkan beberapa helai rambutnya pun ikut beruraian terbawa angin malam.
"Richard memang selalu seperti itu. Dia sama sekali tidak berubah. Jadi, bagaimana bisa aku jatuh cinta kepada manusia yang bahkan tidak pernah bersikap lembut kepadaku? Ketika aku diam seperti patung, dia memperlakukanku seperti patung-patung kesayangannya juga, selalu memperlakukanku dengana begitu manis, seolah aku sungkan dibuatnya. Namun, ketika aku melakukan kesalahan sedikit saja, atau bahkan kesalahan itu dari orang lain yang tidak sengaja memandangku, maka dia akan langsung murka. Dengan dalih cemburu, dan lain sebagainya. Kemudian, setelah dia meluapkan amarahnya, dia mengatakan maaf. Kemudian berdalih khilaf, dan semua yang dia lakukan karena rasa cintanya yang terlalu besar kepadaku."
Serena menundukkan wajahnya, senyum kecut tampak begitu nyata. Tidak pernah terbayangkan bahkan sampai kapan pun juga, jika dirinya akan seperti ini. Sebuah hal yang tidak pernah terpikirkan oleh siapa pun itu.
"Aku kira cinta itu dulu indah, tapi kenapa cinta bagiku menimbulkan trauma. Menikah dengannya bukanlah sebuah keinginan, tapi menderita dengannya adalah sebuah kepastian. Mau sampai kapan aku terus merasakan ini? Mau sampai kapan?"
"Apakah kamu tidak tahu sifatnya seperti itu sejak dulu?" tanya Damian pada akhirnya.
Serena kembali menggelengkan kepalanya, kemudian dia memandang Damian. Pipi itu tampak merah, ujung bibir Serena memar dan berdarah.
Siapa yang tega melihat kondisi Serena seperti ini? Tidak ada.
"Aku bertemu dengan Richard bukan karena satu hal kebetulan, kami tidak pacaran, atau aku mencintainya, kemudian kami menikah atas dasar cinta. Berawal dari dia yang katanya tidak sengaja sering melihatku, bersilaturahmi ke rumahku, kemudian tahu jika orangtuaku terlilit banyak hutan. Lantas Richard menawarkan sebuah bantuan yang sangat manis. Yaitu dia ingin melunasi semua hutang orangtuaku, serta memberikan sejumlah uang sebagai modal usaha."
Entah mengapa, setiap kali Serena mengingat kejadian itu, hatinya merasa teriris sembilu. Kesal dengan takdir yang telah dialaminya sekarang ini.
"Namun dengan syarat, dia diterima menjadi menantu orangtuaku. Richard, kamu tahu sendiri kalau usia kamu terpaut jauh, dia adalah seorang duda, yang konon istri pertamanya meninggal mendadak saat hamil, hingga istri pertamanya serta bayi yang ada di rahim istrinya meninggal bersama-sama. Dia memintaku untuk dijadikan istri, itu adalah syarat satu-satunya yang diminta Richard pada saat itu, dan tentu saja, karena orangtuaku dalam keadaan terdesak, serta mungkin ingin cepat kaya. Jadi, orangtuaku menyetujui syarat tersebut."
Sejenak suasana menjadi hening, baik Damian dan Serena kini sama-sama saling diam. Hingga akhirnya, Serena kembali mengeluarkan suaranya lagi.
"Aku dijual orangtuaku sendiri kepada Richard, dan aku terpaksa harus menikahi Richard, sebuah hal yang cukup membuatku syok bukan main, aku sangat hancur saat itu. Aku sama sekali tidak pernah menyangka jika takdirku akan setragis ini. Tidak pernah terbayangkan bahkan sampai kapan pun juga, bagaimana bisa takdirku menjadi sangat mengerikan seperti ini."
Serena tersenyum kaku, kemudian dia kembali menangis. Kini isakannya terdengar dengan sangat nyata.
"Semua mimpiku hancur, Damian. Semua cita-cita dan harapanku hancur. Aku menikah dengan Richard dan pada akhirnya aku tahu bagaimana tabiat jahatnya. Awalnya aku berpikir, tidak apa-apa aku dijual orangtuaku, jika memang cinta itu belum datang, aku akan belajar. Aku bisa meneruskan pendidikanku, aku bisa meraih mimpiku, dan aku bisa mengejar apa yang ingin aku kejar saat itu setelah aku menikah."
Serena kembali tersenyum lagi, sebuah janji manis yang ditawarkan oleh Richard dulu, dipercayai oleh Serena begitu saja. Sebuah janji palsu yang tidak ada gunanya.
"Namun nyatanya ... jangankan aku bisa kuliah, keluar dari rumah pun aku selalu disiksa seperti ini. Bekali-kali hingga aku lelah. Jadi aku memutuskan untuk mengubur dalam-dalam semua mimpi dan anganku itu. Aku memutuskan untuk tidak melakukan apa pun, menyibukkan diri dengan salah satu hobiku yaitu menanam tanaman di dalam rumah, bertemu dengan tanaman pun tidak menjadi masalah, asalkan aku aman. Asalkan aku tidak merasakan pukulan, aku sama sekali tidak keberatan. Bahkan sampai Richard, memberiku beberapa ajudan, bahkan mereka pun tidak melakukan apa pun. Hanya menolongku mengambilkan air, hanya tidak sengaja menyentuh pergelangan tanganku, bahkan tidak ada satu ajudan pun yang bertahan satu minggu bekerja untuk mengurusku. Semuanya dipecat dengan cara yang tidak hormat, semuanya dipecat dengan cara yang sangat mengerikan."
Serena mengusap wajahnya dengan kasar, mimik wajah frustasinya tampak begitu nyata.
"Lantas, bagaimana bisa aku hidup dengan manusia, jika kenyataannya Richard menyuruhku menjadi manusia individu? Lebih dari itu adalah, untuk apa dia memberiku ajudan, jika pada kenyataannya, ajudan yang dia maksudkan adalah, agar mereka bisa mengintaiku dua puluh empat jam. Sama seperti kamera CCTV, tidak boleh membantu, mendekat pun tidak boleh. Aku jadi bingung sebenarnya tugas dari ajudan untukku itu seperti apa? Aku tidak mengerti apa yang ada dipikirkan oleh Richard selama ini."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top