part 8
"Oh my God! Ini beneran lo, Re?!" Diandra berdecak histeris sambil mengguncang kedua bahuku kuat-kuat bahkan sebelum dia meletakkan tasnya di atas meja kerja. "Sumpah, gue kirain lo panda yang kabur dari kebun binatang. Kalau tahu gini gue kan bisa bawain lo batang bambu muda. Kebetulan di depan rumah gue ada pohonnya, Re," imbuhnya diakhiri dengan deraian tawa yang lumayan nyaring.
"Apaan sih," gerutuku sambil melepaskan diri dari cengkeraman gadis yang sudah menjelma jadi nenek sihir itu. Aku ganti mendorong punggung Diandra ke habitatnya. "Gue capek banget plus ngantuk, tahu nggak?" keluhku kemudian menguap panjang.
"Emang lo lembur sampai jam berapa? Lo nggak nginep di sini, kan?" Diandra meletakkan pantatnya ke atas kursi dan memicingkan kedua mata saat menatapku. Mungkin lingkaran hitam di bawah mataku terlalu eksotis untuk dipandang olehnya.
"No," tegasku tanpa menggeleng. "Gue lembur sampai jam 9 doang, terus pulang. Siapa juga yang mau lembur di sini bareng hantu-hantu gentayangan," lanjutku menunjukkan wajah sewot. Kalau ditemani Mas Yudha, aku tidak akan berpikir dua kali untuk menerimanya.
"Ya, kali aja lo mau," sahutnya dengan cekikikan. "Eh, emangnya lo udah kehabisan baju, Re?" Setelah berhasil menjadikan lingkaran hitam di bawah mataku sebagai candaan garing, Diandra beralih mengomentari penampilanku. Sehelai kemeja flanel kotak-kotak hitam dan merah membalut bagian atas tubuhku berpadu dengan celana jeans yang sedikit robek pada bagian lututnya.
"Kok lo tahu, sih?" Aku menatapnya dengan heran.
"Ya, ampun, Re. Itu kan baju couple-an sama mantan pacar lo si Danang sialan itu. Lo udah pikun? Apa kepala lo kejedot pintu semalam?" cerocos Diandra dengan suara cemprengnya.
Astaga! Aku menepuk jidat sendiri. Diandra benar. Sial. Gara-gara terlalu fokus sama pekerjaan, aku jadi lupa hal sepele semacam ini. Harusnya aku sudah membuang kemeja ini sejak putus dari Danang beberapa bulan lalu. Bukan malah menyimpan rongsokan kenangan seperti ini. Bodoh!
"Gue lupa, Di," sahutku dengan suara rendah dan penuh penyesalan. "Habisnya gue nggak sempet pergi ke laundry. Lo tahu kan, akhir-akhir ini gue sibuk banget." Aku meminta sedikit pengertiannya atas kekhilafan fatal yang sudah kulakukan.
"Uhm. Terus gimana iklannya? Udah kelar?" desaknya terlihat sangat tidak sabar. Bahkan Mas Yudha tidak seantusias itu saat bertanya tentang konsep iklan yang sedang kukerjakan.
"Udah. Pagi-pagi tadi gue ke sini buat menyelesaikan semuanya. Sekarang gue laper banget, Di. Lo nggak bawa makanan?" Aku menggeliat dan bergerak sekadarnya untuk melemaskan otot-otot punggungku yang kaku.
"Nggak. Gue tadi sarapan di rumah. Mama gue masak. Lo sih nggak nitip. Kalau tahu gitu kan gue bisa beliin lo gorengan di abang depan kantor." Diandra memasang wajah menyesal. Tapi sebelnya ia ikut mengungkit kesalahanku.
"Harusnya lo bawain gue bekal masakan Mama lo, Di. Gue sibuk banget tadi sampai nggak sadar kalau udah siang."
"Lo pesen aja, Re."
"Pesen apa?"
"Pizza. Kan bisa delivery tuh. Bisa dianter ke sini, kok. Jadi lo nggak perlu repot-repot turun. Gimana?" Kedua mata Diandra mengerjap tak jelas apa maksudnya.
"Gue nggak doyan pizza," selorohku tegas. "Jangan-jangan lo yang pingin makan pizza. Bener, kan?" Ujung telunjuk kananku mengarah ke meja Diandra dan gadis itu tersenyum kecil.
"Ya, gue cuma mau makan sisa lo aja, Re. Kali aja lo nggak habis. Kan pizza porsinya gede." Diandra terkekeh dan ekspresi wajahnya tampak menyebalkan.
Huft.
"Faris di mana, ya? Kira-kira dia mau dititipin gorengan nggak, ya?" Aku membuang tatapan dari meja Diandra sambil menggumam sendirian. Ujung telunjukku beralih mengetuk-ngetuk pipi kanan.
"Mending jangan nitip sama si Faris, deh. Ntar dia bisa kegeeran, Re. Disangkanya lo beneran naksir sama dia." Sahutan Diandra yang ceplas ceplos berhasil mengalihkan fokus pandanganku ke arah mejanya. Sial. Gadis itu benar.
Aku membuang napas lewat mulut kuat-kuat. "Lo bener, Di," gumamku. "Tapi gue males banget keluar...."
"Selamat pagi, guys." Sapaan selamat pagi yang manis meluncur dari bibir Faris yang mendadak muncul dari balik pintu. Eh, panjang umur juga tuh anak. Baru diomongin juga sudah nongol. Instingnya benar-benar kualitas jempol. "Tidur lo nyenyak, Re?" Laki-laki itu menatapku sebentar sebelum akhirnya menjatuhkan pantat di kursi kesayangannya.
"Tumben lo perhatian sama gue," ujarku dengan mata terfokus ke arah layar komputer.
"Kan lo yang paling sibuk diantara kita semua."
Aku melenguh pelan. Sudah tahu sibuk, tapi sama sekali tak ada niat membantu, batinku kesal. Minimal membawakan sesuatu untuk dimakan apa susahnya. Dasar pelit!
Eh.
Mas Yudha tiba-tiba masuk di saat aku memaki Faris dalam hati. Untung saja bibirku masih terkatup rapat dan tidak sampai meloloskan satupun kata-kata kasar.
"Pagi, Mas." Diandra mencuri start dengan mengucapkan sapaan kepada Mas Yudha terlebih dulu.
Mas Yudha hanya menyelipkan seulas senyum tipis dan melangkah menuju ke meja kerjanya.
"Re."
Aku tergagap ketika tiba-tiba Mas Yudha memanggil tepat di saat kedua mataku sedang sibuk tertuju ke arahnya. Huh. Laki-laki itu seperti sebuah sihir yang menghipnotisku agar selalu memperhatikan setiap gerak-geriknya yang menurutku 'keren banget'.
"Ya, Mas?" sahutku agak terbata. Semoga Mas Yudha tidak merasa sedang kuawasi tadi.
"Konsep iklannya udah kelar?"
"Iya."
"Kamu ke ruangan Bos sekarang. Dia nungguin kamu, tuh," beritahu Mas Yudha membuat nyaliku seketika menciut.
"Sekarang?" ulangku ragu. Dan justru pertanyaanku mengundang kepala Diandra dan Faris untuk menoleh.
"Nggak, tahun depan," sahut Mas Yudha cepat. "Ya sekarang, Re." Laki-laki itu menatapku dengan gemas.
"Okay." Aku mengangguk dengan lagak ogah-ogahan. "Mas Yudha nggak mau lihat konsepnya dulu?" pancingku sengaja ingin mengulur waktu. Entah kenapa kakiku sulit sekali diajak melangkah ke ruangan Bos.
"Bos yang langsung bertanggung jawab sama iklan itu, Re," ujar Mas Yudha membuatku kaget.
"Kok gitu?" Aku menciptakan begitu banyak kerutan di kening.
"Udah, cepetan pergi ke ruangan Bos," suruh Mas Yudha dengan nada memaksa. Gerakan dagunya mengisyaratkan sebuah pengusiran tanpa kompromi.
"Iya, iya." Aku bergegas bangun dari kursi dan mengayunkan ujung sepatuku keluar dari ruangan tim sambil merengut. Terlebih lagi saat Diandra mengangkat kepalan tangan kanannya dan gerakan bibirnya yang mengatakan 'semangat'. Ugh. Semangat apaan?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top