part 7

"Hah?! Masa sih, Re?" Sepasang mata Diandra melotot tajam dan keningnya berkerut dalam. "Baekhyun jadi-jadian itu nguping obrolan kita di telepon dan lo nggak cerita sama gue?" Ia melayangkan sebuah protes keras untuk hal sepele semacam ini.

"Sorry." Aku menggumam di sela-sela mengunyah makanan. "Lagian lo nggak balik ke kantor sorenya jadi gue lupa cerita sama lo. Nggak pa pa, kan?"

"Nggak pa pa apanya?" ujarnya ngotot. Gadis itu sepertinya ingin bersikeras untuk menjadikanku sebagai tersangka. "Jelas-jelas dia tahu soal Pak Sasongko karena nguping obrolan kita, kan?"

"Belum tentu," sahutku cepat. Aku buru-buru menelan hasil kunyahan gigi-gigi rahangku jika tidak ingin tersedak saat berbicara. "Bisa aja Pak Sasongko lapor sama Bos soal iklan itu, kan?" Aku mengajukan dugaan, entah itu benar atau tidak.

"Renata bener." Faris yang sejak tadi sibuk melahap makan siangnya, kali ini memberikan komentar. "Bisa aja Pak Sasongko kecewa karena Renata menolak buat diajak kencan lalu dia ngadu sama Bos untuk menjatuhkan karir lo, Re." Faris memainkan ujung sendoknya dan berhenti saat benda logam itu mengarah kepadaku. Sebuah analisis yang bagus dan logis.

"Bisa juga, sih." Diandra menggumam pelan sembari menerawang ke suatu tempat. "Terus Baekhyun...."

"Wang Lei." Aku memutus kalimat Diandra secepat mungkin. "Namanya Wang Lei dan dia nggak ada mirip-miripnya sama Baekhyun atau siapapun. Ngerti?"

"Emang Bae... Siapa? Apa Bos sangat mirip sama dia?" Faris menatapku lalu Diandra bergantian dengan ekspresi bingung. Tentu saja laki-laki playboy yang satu ini tidak tahu dunia Kpop dan sebangsanya.

"Nggak!"

"Ya!"

"Hei, kalian ini nggak kompak banget, sih?" Faris berdecak.

Aku melenguh kesal dan melanjutkan makan siangku. Siapa bilang laki-laki itu mirip Baekhyun? Hanya Diandra saja, kan?

"Eh, Mas Yudha nggak ikut makan bareng kita?" Setelah kami larut dalam obrolan panjang aku baru sadar kalau pimpinan tim kreatif kami absen dari acara makan siang bersama.

"Nggak. Dia pergi keluar." Faris sebagai satu-satunya orang yang paling dekat dan tahu jadwal kegiatan Mas Yudha mengomentari pertanyaanku. "Kayaknya ada urusan penting. Tapi gue nggak tahu," imbuhnya tanpa mengalihkan perhatian dari isi piringnya.

"Nggak biasanya lo nanyain Mas Yudha," timpal Diandra sembari melirik ke arahku. Gadis itu sepertinya mulai mencium aroma-aroma mencurigakan dari gelagat yang kutampilkan.

"Nggak biasa gimana?" Aku terkekeh senatural mungkin menyembunyikan gelagat-gelagat aneh yang bisa saja terbaca oleh Diandra atau Faris. "Kalau ada Mas Yudha kan enak. Ada yang menengahi kalau ntar kita berantem, terus sekalian ada yang bayarin makan siang kita. Betul nggak?"

"Dasar." Makian pelan keluar dari bibir Diandra yang belepotan jus alpukat. "Terus si Bos bilang apa sama lo?" Gadis itu menarik percakapan kembali ke topik awal. Tema tentang Mas Yudha sama sekali tidak tercatat sebagai hal yang menarik baginya. Padahal aku sedang bersemangat untuk menggosip tentang Mas Yudha.

"Dia nyuruh gue bikin konsep baru iklan wafer keju itu. Dan lo tahu, dia nyuruh gue buat nyerahin konsep itu besok. Gila banget nggak?" cerocosku berapi-api.

"Loh, kenapa mesti diserahin sama dia? Kan ketua tim kita Mas Yudha," tukas Faris lebih cepat dari kereta api ekspres.

"Guys, dia masih inget sama kejadian pagi itu," tuturku lemas. Padahal isi piringku sudah tandas dan jus tomat milikku masih tersisa setengah gelas. "Dia inget kalau gue pernah maki-maki dia gara-gara gorengan itu," imbuhku lagi.

"Beneran, Re?" Kedua mata Diandra melotot, namun hanya berlangsung beberapa detik saja. "Emang sih, wajah lo nggak gampang dilupain. Di kantor kita cuma lo yang punya wajah galak. Ya kan, Ris?"

Faris hanya mengangguk mendapat todongan dukungan dari mulut Diandra.

"Hei, hei. Enak aja kalau ngomong," gerutuku kesal. Menurutku, aku lumayan cantik. Tidak terlalu cantik, sih. Tapi, agak cantik. Masih pantas untuk menemani seorang laki-laki pergi ke undangan resepsi pernikahan. "Kalian ini jahat banget, sih." Aku memutuskan meneguk jus tomat milikku sampai tak bersisa ketimbang melihat pemandangan Diandra dan Faris yang cekikikan karena sudah berhasil membuatku terpojok.

"Berarti ntar malem lo harus lembur, Re." Setelah menyelesaikan tawa mengejek, Diandra beralih ke topik serius kembali.

"Ya. Terpaksa."

"Mau gue temenin?"

"Nggak!" Sebuah teriakan langsung kusemburkan ke wajah Faris.

"Kenapa? Emangnya lo berani lembur sendirian? Lo belum denger gosip kalau di kantor kita banyak hantunya?" Faris memelankan suara di akhir kalimatnya. Tapi, aku tidak akan terpedaya tipu muslihatnya kali ini.

"Gue nggak takut," ujarku santai.

"Beneran di kantor kita ada hantunya?" Diandra memasang wajah polos dan tak tahu menahu. "Gue pernah lembur tapi sampai jam 8 doang. Tapi nggak ada apa-apa tuh. Mungkin hantunya keluar pas jam 12 malam kali, ya."

"Bego," desisku sambil tersenyum tipis. "Ya suka-suka hantunya dong, mau keluar jam berapa," imbuhku sambil mengibaskan tangan kanan di depan wajah Diandra.

"Emang beneran lo mau lembur ntar malem? Berani lo, Re?" cecar Faris mempertanyakan kembali soal nyaliku.

"Ya. Gue mau lembur, tapi nggak sampai malem banget. Gue kan bisa kerjain di kost." Aku mengambil selembar tisu yang tersedia di atas meja dan mengelap bibirku sejurus kemudian. "Guys, balik kantor yuk. Gue harus nyari ide mulai dari sekarang kalau nggak pingin begadang semalaman," ujarku seraya mengangkat pantat dari atas kursi kayu.

Diandra dan Faris ikut-ikutan beranjak dari kursi masing-masing setelah memastikan isi gelas mereka sudah kosong.

"Eh, itu kan Bos kita." Diandra berbisik pelan sambil menarik lengan blazer hitam polkadot yang membungkus bagian atas tubuhku hari ini.

Aku mengikuti arah yang ditunjuk dagu Diandra dan mendapati sosok laki-laki yang baru saja masuk ke dalam kantin. Wang Lei. Ya, aku sudah bisa mengingat namanya dengan baik dan mulai sekarang aku akan menyebutnya dengan nama itu. Baekhyun jadi-jadian? Hoho... Gelar itu terlalu terhormat untuknya.

"Emangnya dia mau makan siang di kantin ini?" Faris ikut menimpal dengan suara sepelan mungkin.

"Yaelah, guys. Gedung ini kan punya keluarga dia, ya suka-suka dia mau makan di mana aja. Gitu aja kok dipermasalahkan." Aku menukas dengan gaya cuek jutek. Tapi, sebuah cubitan kecil harus mendarat di lenganku sebagai reward atas kata-kataku tadi. Membuatku mengerang kesakitan.

"Untung Bos nggak denger," decak Diandra bersyukur setelah kami berhasil keluar dari kantin. "Lo tuh ya, kalau ngomong apa-apa dipikir dulu. Kalau bos denger gimana?" Gadis itu menatapku sambil mengeluarkan jurus omelannya.

"Iya, iya. Tapi nggak usah pakai nyubit segala. Sakit, tahu nggak?" Aku memasang wajah menderita sembari mengusap bagian lengan yang baru saja dicubit Diandra.

"Gue tuh heran sama kalian berdua, ya. Udah gede masih aja berantem...."

"Emangnya lo nggak pernah berantem sama kita-kita?!" Diandra langsung nyolot dan meletakkan kedua tangannya di atas pinggang. Gadis itu berdiri menghadang langkah Faris tepat di depan pintu lift.

"Ya, sih." Faris mengusap tengkuknya seraya membuang pandangan ke arah lain. "Temenan sama cewek-cewek emang ngerepotin, ya," gerutunya nyaris tak terdengar.

"Dasar," desisku sambil mengayunkan tangan kanan ke pundak Faris dengan gerakan secepat kilat. Laki-laki itu mengaduh kesakitan sementara aku dan Diandra hanya terkikik puas melihatnya tersiksa.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top