part 6
Aku terenyak begitu map berisi konsep iklan wafer keju itu melayang di udara selama sepersekian detik sebelum akhirnya harus terhempas dengan kasar di atas meja. Andai saja laki-laki itu tahu betapa aku membuat konsep itu dengan susah payah, mungkin ia akan berpikir dua kali sebelum melakukannya. Mungkin juga tidak. Tapi apalah dayaku, aku hanya seorang copy writer di perusahaan ini, sedangkan dia bosnya.
Laki-laki itu menyandarkan punggung lalu memindai penampakan tubuhku dari atas sampai bawah setelah berhasil membuatku terkejut dengan lemparan map di atas meja. Tatapan matanya mengarah lurus, tajam dan siap membekukan seluruh persendian di dalam tubuhku. Kenapa ada makhluk bernama manusia yang memiliki tatapan sekejam itu?
"Apa cuma itu yang terpikirkan olehmu?"
Sumpah! Ini adalah kali pertama aku mendengar suara Baekhyun jadi-jadian itu. Padahal sebelumnya aku sempat berpikir jika ia tidak bisa berbahasa Indonesia menilik dari kulitnya yang berwarna putih pucat. Rumor yang kudengar juga mengatakan jika laki-laki itu langsung dikirim kantor pusat Dongsheng Group yang bermarkas di Taipei. Tapi, aku jadi ingat hasil penelusuran Diandra di web perusahaan jika Baekhyun jadi-jadian itu mahir 3 bahasa sekaligus.
"Kamu tahu kan, menjual wafer keju beda dengan menjual gorengan?"
Laki-laki itu bersuara kembali tepat di saat aku melirik ke arah sebuah papan nama di atas meja. Dulu papan nama itu tertulis sebaris nama Pak Willy, tapi sekarang aku tak bisa menemukan huruf-huruf yang sama di sana. WANG LEI. Ya, itu adalah nama laki-laki yang Diandra juluki sebagai Baekhyun jadi-jadian. Namun, menurutku ia sama sekali tidak mirip dengan Baekhyun atau siapapun. Ia hanya seorang laki-laki berusia 26 tahun, berkulit putih pucat, berambut lurus, memiliki alis yang tak terlalu tebal, sepasang mata sipit, hidung lumayan mancung, dan yang paling mencolok adalah tatapan matanya yang supertajam.
Gorengan? Aku tersentak mendengarnya menyebut kata itu. Lamunanku tentang sekelumit gambaran laki-laki itu terhempas dan suaranya berhasil mengembalikanku ke dunia nyata.
Apa ia baru saja mengingatkan aku pada kejadian sial pagi itu? Oh, ingatanku soal bagian itu sangat bagus dan ia tidak perlu mengingatkan. Gorengan, lantai lobi, pagi, kuman, dan sekelumit cacian yang pada akhirnya harus kusesali seumur hidupku.
"Sebenarnya konsep kamu nggak terlalu buruk," ucap laki-laki itu sejurus kemudian. Aku yang sedari tadi merundukkan kepala dan sangat berharap bisa melesak masuk menembus lantai yang sedang kupijak, mengangkat sedikit daguku untuk menatap laki-laki itu. Ia sudah menegakkan punggung dan menautkan jari-jemarinya di atas meja. Bola matanya sedikit bergerak, tak seperti sebelumnya. "Sudah berapa lama kamu bekerja di sini?" tanyanya kemudian.
"Setahun." Suaraku berada pada level paling rendah saat melontarkan jawaban padanya.
"Apa kamu sering mendapat perlakuan seperti itu dari klien?"
Aku melongo. Bingo! Dugaanku soal ia menguping pembicaraanku dengan Diandra kemarin sepenuhnya tepat.
"Maksudnya?" Berpura-pura tidak mengerti dengan pertanyaannya adalah satu-satunya hal yang terpikirkan olehku.
"Bukannya kamu mendapat tawaran kencan dari klien?" Ia memicingkan kedua matanya saat menguarkan pertanyaan itu.
Aku mendehem sembari memutar bola mata. Ia sudah terlanjur tahu dan apa boleh buat.
"Ya, tapi saya menolaknya," ucapku tegas. Tetapi, kalimatku justru mengundang senyum terkembang di bibir laki-laki bernama Wang Lei itu. Bukan senyum tipis ala-ala bintang drama Korea, tapi senyum mengejek.
"Ternyata kamu bisa bicara sopan juga." Ia setengah bergumam, tapi telingaku dapat menangkap kalimatnya tanpa satupun kata yang terlewat.
Aku ingin mendengus kuat-kuat di depannya sekarang. Tapi tentu saja tidak kulakukan.
Sebenarnya ia ingin memuji atau menyindirku, sih?
"Maaf." Akhirnya sebuah kata yang sangat sulit untuk kuucapkan itu mengalir keluar dari bibirku meski dengan terpaksa. Jelas laki-laki itu menyinggung soal insiden gorengan dan aku tidak punya alasan untuk mengelak.
"Maaf?" Ia mengulangi kata-kataku, tetapi tentu saja dengan nada berbeda. Kedua alisnya sudah terangkat ke atas. "Untuk apa meminta maaf?" tanyanya kemudian.
Memangnya apalagi kalau bukan untuk kebodohan dan makian yang terlanjur keluar dari mulutku waktu itu?
Aku menghela napas sebentar.
"Soal kejadian pagi itu...." Aku sengaja menggantung kalimatku di udara. Toh, laki-laki itu masih mengingat peristiwa itu. Apalagi yang mesti kujelaskan?
"Oh." Mulutnya ber-oh lalu kepala laki-laki itu mengangguk beberapa kali.
"Saya minta maaf soal kejadian pagi itu." Aku melengkapi kalimatku beberapa saat kemudian. Bagaimanapun juga kelangsungan karirku di Dongsheng Group adalah prioritas utama.
"Apa kamu terbiasa bicara kasar seperti itu pada orang lain?" Ia beralih menatapku dengan pandangan serius. "Apa kamu juga memperlakukan klien kita dengan cara yang sama?"
Ya, ampun! Dia kan sudah menguping semua pembicaraanku dengan Diandra di telepon kemarin. Harusnya dia tidak melewatkan satupun kalimat yang keluar dari mulutku saat itu. Aku sama sekali tidak memaki atau mengeluarkan kata-kata kasar pada Pak Sasongko. Aku sudah bilang itu di telepon, kan?
"Kalau kamu bicara sekasar itu pada klien, bagaimana kita bisa mempertahankan perusahaan periklanan ini?" Ia mencerocos kembali padahal aku sudah mempersiapkan argumen penyangkalan untuk membela diri.
"Saya tahu bagaimana memperlakukan klien...." Duh, bagaimana aku harus memanggilnya? Pak? Dia masih 26 tahun dan terlalu muda dipanggil dengan sebutan itu. Atau Bos saja? "Saya selalu menggunakan kata-kata yang baik saat berhadapan dengan klien," lanjutku.
"Memperlakukan orang lain walaupun dia bukan klien juga sangat penting, kamu tahu?" timpalnya. Punggungnya kembali menyandar dengan nyaman. "Kita nggak pernah tahu orang yang kita temui di jalan atau di manapun juga, kelak bisa jadi klien kita. Apa kamu paham?"
Aku menahan napas dan merundukkan wajah dalam-dalam. Tatapan dan ucapannya seperti pisau yang sanggup mengiris hatiku. Ya, aku merasa terpojok dan ia berhasil membuatku jatuh dalam perasaan bersalah. Andai saja waktu bisa diulang....
"Ya, Bos. Saya mengerti." Dengan segenap rasa malu yang sudah tumpah ruah di wajahku, kata-kata itu harus meluncur dari bibirku.
"Buat ulang konsep iklan itu dan hasilnya serahkan padaku besok...."
Aku mengangkat wajah dan menatapnya tak percaya. Besok? batinku.
"Sekarang kamu bisa pergi," suruhnya. Kepala laki-laki itu langsung tertunduk mencermati lembaran-lembaran kertas di atas meja usai mengusirku jauh-jauh dari ruangan itu.
"Saya pergi dulu," pamitku beberapa detik kemudian karena aku sempat mematung sesaat di depan meja laki-laki itu.
"Bawa ini sekalian."
Aku terpaksa membalikkan badan kembali saat suara laki-laki itu terdengar. Ya, konsep iklan waferku ketinggalan di meja bos.
Aku buru-buru mengambil map milikku dan bergegas melangkah keluar dari ruangan itu dengan perasaan campur aduk.
Huft.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top