part 5

"Beneran lo diajak kencan klien, Re?" Raut Faris terlihat superserius. Saat ini ia lebih mirip polisi yang sedang menginterogasi tersangka maling sandal jepit ketimbang seorang copy writer. Diandra pasti sudah menceritakan semua hasil percakapan kami di telepon kemarin pada Faris saat survei lokasi.

"Kenapa? Lo jealous?" Malahan Diandra yang menyahut sembari mencari titik-titik kelemahan di wajah Faris. Barangkali ia bisa membaca jika laki-laki itu benar suka padaku.

"Gue cuma tanya doang, Di. Gitu aja sewot," timpal Faris kentara tidak terima dengan tatapan mengintimidasi yang dilancarkan sepasang mata dengan bulu-bulu lentik milik Diandra. Secara tidak langsung gadis itu sudah menuduh Faris.

"Siapa yang sewot," balas Diandra juga tidak mau kalah. Pantas saja selama ini tidak pernah ada kedamaian bersemayam di ruang tim kreatif kami. Semua penghuni tempat ini sama-sama punya ego tinggi, termasuk aku. Kecuali Mas Yudha. Laki-laki itu cenderung memilih untuk bungkam ketimbang ikut nimbrung obrolan kami. Ya, sesekali saja ia menyahut. Dan untungnya pagi ini ia masih belum tiba di kantor. "Lo tuh, Re. Dari tadi makan gorengan mulu." Diandra ganti menatapku dengan pandangan kesal.

"Gue laper, Di. Semalem gue cuma makan dikit doang." Aku menggumam dengan keadaan mulut penuh.

"Bukannya iklan itu cuma tayang di Youtube doang?"

"Ya," jawabku setelah menelan makanan di dalam mulutku. "Tapi tetep aja Pak Sasongko nggak suka adegan seorang cewek yang nonton tivi bareng kucingnya sambil berbagi makan wafer keju itu."

"Masih untung bukan lo yang diminta Pak Sasongko buat jadi bintang iklannya, Re," sela Faris kemudian tergelak keras. 

"Kenapa nggak?" Aku menimpal dengan cepat. "Gue kan nggak jelek-jelek amat," kikikku.

"Kucingnya yang nggak mau syuting sama lo, Re." Faris membalas.

"Terus gimana? Lo masih mau tangani iklannya Pak Sasongko?" Diandra menimpal kembali ke tema.

"Ya. Mas Yudha nyuruh gue bikin konsep yang baru, ntar sisanya dia yang ngurus. Lo tahu kan, kalau masalah beginian gue nggak mau ngadepin sendirian," ujarku usai menandaskan pisang goreng lezat hasil karya abang gorengan yang biasa mangkal di depan gedung kantor. "Beresiko tinggi buat cewek cantik kayak kita." Aku mengedip genit ke arah Diandra.

"Kalau tahu gitu mestinya gue nemenin lo kemarin, Re." Nada suara Faris terdengar menyesal. Laki-laki bertubuh tinggi dan berisi itu melangkah gontai kembali ke habitatnya, maksudku ke meja kerjanya. "Ngapain juga gue nemenin si Diandra bawel survei lokasi."

"Eh, kok gue dibawa-bawa, sih? Pakai bawel segala lagi? Udah bosen hidup lo?" Diandra nyolot seraya melemparkan sebatang pulpen ke arah Faris.

Aku hanya nyengir melihat Faris terbahak-bahak mengekspresikan kebahagiaannya, sementara Diandra tampak marah besar. Gara-gara Faris, sih.

"Lo lagi PMS, ya?"

Diandra mencibir lalu menghadap ke komputernya kembali dengan sisa-sisa kemarahan.

"Guys, ini masalah gue kenapa jadi kalian yang berantem, sih?" Aku mulai mengangkat suara ketika isi kantung kresekku tandas tak bersisa. "Please, gue perlu ketenangan hari ini buat nyari ide iklan wafer keju lezat tapi sialan itu, tahu nggak?" Aku melayangkan tatapan ke arah Diandra lalu Faris bergantian. Penuh pengharapan.

"Bukan wafer kejunya yang sialan, tapi Pak Sasongko," tukas Diandra cepat dan benar.

"Ya, maksud gue itu." Aku tersenyum.

"Eh, tapi sampel wafer kejunya masih ada nggak?" Faris mengangkat sebelah tangannya. "Ngomongin makanan bikin perut gue laper, nih."

"Emang lo belum sarapan?" tanyaku dengan melihat Faris sekilas. Aku harus mengecek beberapa email yag masuk ke komputerku.

"Udah, sih. Tapi laper lagi."

"Tapi sayangnya udah habis tuh. Dihabisin Mas Yudha kayaknya," sahutku tanpa melirik ke meja Faris. Kalau Mas Yudha yang menghabiskan sisa sampel wafer keju lezat itu, siapa yang bisa protes.

"Rasain lo." Diandra terkikik menyaksikan kesialan yang menimpa Faris. Tapi laki-laki itu hanya mendengus pelan dan tak mengeluarkan sepatah komentarpun.

***

"Kamu dipanggil Bos, Re."

Aku tergagap dan langsung mendongakkan wajah ke arah Mas Yudha yang sudah berdiri di dekat kursiku. Bahkan aku tidak menyadari kedatangannya karena terlalu sibuk memelototi layar komputer di depanku.

"Hah?" Aku menatap linglung ke wajah Mas Yudha yang lumayan tampan dan kadang membuatku tenggelam dalam khayalan bodoh tentangnya.

"Kamu dipanggil Bos baru kita," ulang Mas Yudha sambil menyentil keningku.

"Aww." Aku mengusap bekas sentilan Mas Yudha yang meninggalkan rasa sakit. "Kenapa bos manggil aku?" tanyaku berlagak bodoh. Bukankah Bos baru itu adalah Baekhyun jadi-jadian yang sudah menabrakku sampai gorenganku jatuh? Dan kemarin aku terjebak bersamanya di dalam lift sepulang dari menemui Pak Sasongko sialan itu. Aku hanya bisa berbagi tatap dengan Diandra yang ikut mendengar suara Mas Yudha.

"Tadi aku ketemu Bos di depan lobi dan kayaknya dia tahu soal iklan wafer keju itu...."

"Mas Yudha ngomong soal Pak Sasongko sama Bos?" timpalku panik. Kalau Mas Yudha bertemu bos baru itu di depan lobi, itu artinya mereka naik lift dan menuju ke lantai ini bersama-sama. Mereka bisa bicara banyak hal selama perjalanan itu, kan?

"Nggak." Mas Yudha menggeleng dengan gaya meyakinkan dan aku percaya kalau ia sedang tidak berbohong. "Aku nggak mungkin ngomong sama dia soal beginian. Lagian kita belum tahu gaya kepemimpinannya, kan?"

Lalu dari mana dia tahu.... Oh, ya! Bukankah kemarin saat aku mengoceh di telepon, Baekhyun jadi-jadian itu ada di belakangku? Bisa jadi ia menguping pembicaraanku. Kemungkinan yang sangat masuk akal.

"Kamu udah kelar bikin konsep yang baru?" sentak Mas Yudha membuyarkan lamunan kecil yang menghuni isi kepalaku.

Kepalaku menggeleng berat. "Belum, Mas," jawabku dengan nada melas minta dikasihani.

"Kalau begitu kamu bawa konsep yang lama ke depan bos."

"Kok?" Ah, bibirku membulat.

"Bos pingin lihat konsep iklan kamu, Re."

"Oh." Lagi-lagi bibirku harus membulat.

"Udah, cepetan ke ruangan Bos. Dia pasti udah nungguin kamu," suruh Mas Yudha sambil mendorong bahuku. Sebuah pemaksaan manis, tapi berat untuk dilakukan.

Kenapa mesti aku, coba? Bahkan kejadian di lantai lobi masih tergambar dengan jelas di pikiranku. Saat tahu isi dan pisang gorengku berhamburan keluar dari kantung kresek lalu mendarat dengan mengenaskan di atas lantai. Dan akhirnya harus terkontaminasi dengan debu dan entah berapa banyak kuman. Ugh....

"Ya, Mas." Aku bangkit dan melangkah dengan gontai usai menyambar sebuah map berisi konsep iklan wafer keju dari atas meja. Diandra hanya menatapku dengan iba saat aku meliriknya sebelum keluar dari ruangan kami. Firasatku buruk tentang ini.

Ruangan bos hanya dibatasi bidang kaca sehingga siapa saja bisa melihat apapun yang ia lakukan di dalam sana. Dan laki-laki itu sedang duduk seraya merundukkan kepala memelototi sebuah kertas di atas meja. Penampilannya masih seperti biasa, rapi. Tubuhnya dibalut setelan jas mahal dan berkelas berwarna gelap. Yah, sebelas dua belas dengan Baekhyun yang asli. Duh, kenapa di saat seperti ini pikiranku bisa mengembara ke mana-mana.

Aku menarik napas dalam-dalam untuk memenuhi rongga paru-paruku sebelum mengetuk pintu ruangan bos. Bisa jadi di dalam sana pasokan oksigen minim dan aku sesak napas, kan?

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top